Friday, June 29, 2007

Antara yang Fardhu dengan yang Sunnah

Antara yang Fardhu dengan yang Sunnah[1]

Di antara gejala meremehkan berbagai perbuatan yang termasuk fardhu kifayah, sementara lebih menekankan ibadah yang hukumnya sunnah, adalah seperti ditunjukkan oleh seorang teman yang berkeinginan melakukan haji sunnah (mungkin untuk ketiga kalinya), ketika saya bertanya kepadanya: “Berapa biaya haji-mu ini?! Hampir seribu junaih (mata uang Mesir, semacam pound sterling)?!”

“Ya, mungkin lebih,” jawabnya.

Lalu saya berkata kepadanya: “Saya ingin menunjukkan kepada Anda sebuah amalan yang lebih afdhal. Si Fulan baru saja menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Farmasi. Ia seorang pemuda miskin, sangat membutuhkan bantuan, seperti juga halnya masyarakat Muslim pada umumnya dalam keadaan miskin, dan sangat membutuhkan lebih banyak apotik2 yg bisa menolong mereka. Berikan uang yang sedianya akan Anda gunakan untuk haji, kepada pemuda lulusan Farmasi itu (sebagai modal-kerja dalam suatu perseroan) agar ia membuka sebuah apotik yang akan sangat berguna bagi masa depannya sendiri dan juga sangat bermanfaat bagi umat. Saya yakin, Allah swt akan memberimu pahala lebih besar daripada pahala hajimu ini!!!”

Temanku itu berteriak keheranan: “Omongan apa ini?”

“Jika Anda mengikuti saranku,” kataku lagi, “Anda telah menegakkan sebuah faridhah (yakni perbuatan fardhu) dan sekaligus menutup sebuah celah kelemahan masyarakat, di samping ikut serta dalam jihad yang amat sangat besar manfaatnya …, sebagai ganti ibadah sunnah yang akan Anda kerjakan!”

Masih dalam keheranannya, temanku itu berkata lagi: “Aku harus meninggalkan haji, demi membantu seseorang membuka sebuah apotik? Apa-apaan ini?!”

“Benar,” kataku lagi. “Mayoritas umat Muslim masa sekarang tidak menyadari betapa terpuruknya mereka dalam kenistaan dan keterbelakangan yang mereka sedang alami sekarang maupun yang akan mereka hadapi di masa mendatang. Dan karenanya, mereka melaksanakan agama mereka laksana seekor unta buta yang menabrak sana sini tanpa mengetahui hasil dan akibat apa yang akan dihadapinya!!!”

Sejumlah amat besar kaum Muslim masa kini tidak (atau belum) menyadari betapa

besarnya tragedi yang sedang menimpa umat mereka. Tidak juga seberapa besar keterbelakangan amat mengerikan yang mengancam masa kini dan masa depannya. Dan oleh karenanya, mereka terus-menerus menggapai-gapai dalam kegelapan yang tak ada akhirnya.

Dalam beberapa buku karangan saya pernah saya kutip pernyataan sebagian para fuqaha, bahwasanya Allah swt takkan menerima suatu ibadah yang sunnah sebelum telah dilaksanakannya yang fardhu. Fardhu di sini, mencakup fardhu `ain maupun fardhu kifayah.

Oleh sebab itu, jika pelaksanaan sesuatu yang bersifat sunnah dapat menghalangi pelaksanaan yang fardhu, maka tak ada tempat bagi yang sunnah. Contohnya:

Jika puasa sunnah (atau mungkin juga bertahajjud semalam suntuk—pent.) mengakibatkan seorang guru kelelahan (di siang hari) sehingga tidak mampu melaksanakan kewajibannya mengoreksi hasil kerja murid2nya dengan cukup teliti, maka tak seyogianya ia berpuasa sunnah. Demikian pula jika hal itu membuat seorang dokter kurang teliti dalam memeriksa seorang pasien, atau dalam mendiagnosis jenis penyakitnya, atau dalam menulis resep obat yang tepat untuknya ..!

Bukankah Allah swt telah memaafkan (atau memberikan keringanan) bagi mayoritas kaum beriman dari “kewajiban” bertahajjud di malam hari atau memperpanjangkan bacaan ayat2 Al-Qur’an di dalamnya, sepanjang mereka sudah dilelahkan oleh jihad fi sabilillah, atau oleh perjalanan berniaga guna mencari rizki dari kota yang ini ke kota yang itu?! (Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu (wahai Nabi) berdiri (bershalat) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya, demikian pula segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu. Maka Allah memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Qur’an. Dia mengetahui (pula) bahwa akan ada di antara kamu orang2 yang sakit dan orang2 yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang2 lain lagi yang berperang di jalan Allah. Maka bacalah sekadar apa yang mudah bagimu dari Al-Qur’an …. (QS Al-Muzzammil: 20).

Pada hakikatnya, semua jenis ibadah, baik yang fardhu `ain atau kifayah, adalah sarana pensucian diri individual (tazkiyat an-nafs), juga demi penguatan keimanan masyarakat. Dan seorang Muslim yang bijak akan memilih melaksanakan jenis ibadahnya sesuai

yang lebih cocok bagi dirinya sendiri, tanpa berupaya melarikan diri dari kewajiban yang dibebankan kepadanya.

Seorang hartawan misalnya, ibadahnya yang paling utama adalah dengan menginfakkan hartanya dalam amal kebajikan dan memberikan bantuan kepada yang memerlukan. Tidak cocok baginya berpuasa sunnah atau bertahajjud di malam hari sebagai pelarian dari kewajibannya berinfak fi sabilillah. Demikian pula seorang ulama yang luas ilmunya, ibadahnya yang utama ialah memberi nasihat untuk semua orang; yang khusus maupun yang awam. Tidak cocok baginya terus-menerus ber-i`tikaf , atau berdiam diri dan mengelak dari keharusan ber-amr ma`ruf dan nahi munkar, terutama saat merajalelanya demoralisasi dan kekacauan! [undzurilaina]


[1] Diterjemahkan oleh ustadz Muhammad Baqir dari buku Musykilat fi al-Thariq al-Hayah al-Islamiyyah karya Syaikh Muhammad al-Ghazali

No comments:

Post a Comment