Thursday, January 29, 2009

Nasgitel, Rokok dan Usul Fiqih

Siang itu seperti biasa mas Bejo mampir ke wedangan Pak Min Senthung untuk istirahat sebentar sebelum melanjutkan lagi tugasnya melayani para customernya menggunakan becak kesayangannya yang sekarang diparkir persis di depan warung wedangan Pak Min.

Ketika masuk ke wedangan itu, mas Bejo melihat sudah ada beberapa orang yang memang pelanggan loyal wedangan Pak Min. Disitu diantaranya ada pakde Basuki yang lulusan sekolah agama, ada mas Ahmad yang lulusan pesantren kyai marbun, dan ada juga mas Andi yang sarjana komunikasi.


“Nasgithel, Pak!”, kata mas Bejo ke Pak Min mulai pesanan favoritnya yaitu teh nasgitel alias teh panas legi tur kenthel (panas, manis, kental). Tak berapa lama, nasgitel pun sudah terhidang di hadapan mas Bejo yang sudah mulai menyantap beberapa bakwan dan gorengan yang memang muantap dan khas wedangan Pak Min.

Seperti biasa setelah makan gorengan dan wedang nasgitel nya itu, mas Bejo mengeluarkan sebungkus rokok kretek dari sakunya, dan “jress..sssshh..krtkkrtk..”, mas Bejo menyalakan dan mulai menghisap rokok kreteknya itu. Bau rokok kretek murahan itu pun langsung memenuhi wedangan Pak Min.

Bau rokok mas Bejo yang menyengat itu menyadarkan pakde Basuki dan mas Ahmad yang waktu itu lagi asyik ngobrol.
“Loh…sampeyan kok ijik ngrokok, Jo?!”, tanya pakde Basuki kepada mas Bejo dengan nada agak tinggi.
“Lha kenopo to pakde? Lak biasa wae to aku ben mrene lak yo ngrokok..?!”, jawab mas Bejo heran dengan pertanyaan pakde Basuki.

“Joo..Bejo..! Lha sampeyan opo ra weruh nek MUI ki wingi wis mengharamkan rokok…?! Lha nek ngerti haram terus tetep dilakoni yo dosa kowe, Jo!”, kata pakde Basuki.
“Lha nyuwun pangapunten, pakde. Kulo mboten ngertos kulo, lha wong kulo lak dinan2e lak nang ndalan dadi pilot, dadi mboten weruh. Emange knopo to pakde kok diharamne?”, jawab mas Bejo.

“Dadi ngene ceritane, Jo”, pakde Basuki memulai penjelasannya. Dalam menentukan hukum fiqih kuwi, para ulama nduwe metode utowo cara2 untuk menyimpulkan sesuatu itu haram, dianjurkan (sunnah), mubah, makruh utowo haram. Ilmu sing mempelajari kuwi jenenge ilmu “Ushul Fiqih”.

“Opo to kuwi kok nganggo usul2 barang, Pakde?”, tanya mas Bejo menyela.
“Sik to! menengo sik, Jo!”, kata pakde Basuki meminta mas Bejo mendengarkan dulu penjelasannya.

Dalam ilmu ushul fiqih kuwi ono macem2 kaidah sing digunakne karo para Ulama untuk menyimpulkan sebuah hukum. Sebagian ulama menganggap bahwa tidak semua urusan itu ada aturannya dalam al-Quran dan hadits kanjeng Nabi Muhammad SAW. Koyo masalah rokok iki sing menurut mereka gak ono aturane mergo jarene mulai ono setelah Colombus ketemu wong indian nang Amerika kono. Karena itu para ulama mengembangkan kaidah2 untuk memutuskan hukum seperti kaidah misale analogi utowo qiyas, menutup jalan2 atau sadd dhara’I, membuka jalan2 atau fathu dhara’I, pertimbangan kemaslahatan umat utowo maslahah mursalah, lan sak teruse.

“Opo meneeh kuwi?!”, mas Bejo tambah bingung.
“Sek to, menengo sek to. Ora crigis wae! Meh dilanjutne ora?!”, pakde Basuki mulai jengkel karena disela lagi oleh mas Bejo.
“Nggih…nggih.. Monggo diterusaken, Pakde”, kata mas Bejo meminta pakde meneruskan penjelasannya.

“Lha para Ulama sing mengharamkan rokok iki, pada umumnya menggunakan prinsip sadd dhara’I atau menutup jalan2 yang dapat menyebabkan kemudharatan pada individu maupun masyarakat. Nah karena kabew wong (termasuk pak dokter sing sok udud) mengatakan bahwa rokok itu berbahaya bagi kesehatan, maka jalan menuju kebahayaan/kemudharatan kuwi kudu ditutup. Dadi kesimpulane rokok kuwi Haram hukume”, kata pakde Basuki mengakhir penjelasannya tentang kenapa rokok haram.

“sek..sek to, pakde! Ampun kesusu”, kata mas Ahmad menyela kesimpulan pakde Basuki yang menurutnya terlalu terburu-buru. Mas Ahmad sendiri merokok, karena kyainya dulu juga perokok berat. Menurut sing takpelajari seko kyai-ku ndisik, kesimpulane bedo karo kesimpulan sampeyan niku.
“Lha kyai sampeyan ndisik ngerti ushul fiqih opo ra?!”, tanya pakde Basuki ke mas Ahmad.
“Kyaiku ndisik yo ngerti ushul fiqih, ora mung njenengan thok sing ngerti. Kyaiku ndisik yo nggunake kaidah2 sing njenengan omong mau”, jawab mas Ahmad agak marah kyainya dipertanyakan keilmuannya.
“Lha terus piye ceritane lek ngono?”, kata pakde Basuki menantang mas Ahmad untuk menjelaskan bagaimana penjelasannya kok bisa kesimpulannya berbeda dengan kesimpulannya.
“Ngene, pakde. Koyo sing njenengan omong mau, nang ushul fiqih ki ono prinsip fathu dhara’I atau membuka jalan2 yang dapat menimbulkan kebaikan. Contone, rabi atau menikah kuwi lak apik, dadi segala hal-hal yang dapat membuka jalan menuju pernikahan yang baik, misale koyo biro jodoh sing apik, kuwi hukume yo dadi baik. Setuju nggak, Pakde?”, tanya mas Ahmad meminta persetujuan pakde basuki.

“Yoh..he’e, terus piye bab rokok mau?”, jawab pakde Basuki.
“Sik..sabar sithi to, Pakde! Saiki aku meh takon menurut njenengan nek bermasyarakat utowo bersilaturahim kuwi apik opo elek?”
“Yo apik no, piye to kowe ki kok mbulet wae penjelasane. Bab rokok ki piye?”, jawab pakde Basuki yang sudah nggak sabar menunggu jawaban dari mas Ahmad kenapa rokok bisa halal menurut mas Ahmad.
“Wis, njenengan ki kok nggak sabaran tenan to, Pakde! Lha merokok kuwi telah terbukti bisa memperlancar jalannya kita bermasyarakat dan bersilaturahim. Nek ngobrol karo ngrokok lak obrolan iso dadi nyantai lan akrab ngono to. Nha dadi rokok kuwi hukume yo dadi baik alias halal, malah iso2 cenderung sunnah! Itu karena dia bisa membuka jalan menuju silaturahim dan bermasyarakat yang baik”, jawab mas Ahmad dengan yakin mengakhiri penjelasannya tentang rokok.

Pakde Basuki terdiam bingung, kok bisa prinsip yang sama menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Yang satu bilang haram dengan alasan menutup kemudharatan, yang satu bilang halal dengan alasan membuka jalan kebaikan.
Mas Bejo tidak bisa menahan senyumnya karena lega ada yang membelanya untuk tetap menjadi ahli hisab rokok.

Mas Andi yang dari tadi diam mulai angkat bicara.
“Ehhmm2…aku boleh ikut ngomong nggak ini?”, mas Andi minta izin untuk berpendapat.
“Oh…monggo wae. Disini semua orang bebas berpendapat”, kata mas Ahmad menjawab.

“Nyuwun sewu, mas Ahmad. Tapi pendapat sampeyan itu menurutku lemah!”, kata mas Andi.
“Lha kok bisa?!”, tanya mas Ahmad dengan nada agak tinggi. Sementara Pakde Basuki memperoleh secercah harapan untuk mencari pembelaan terhadap pendapat awalnya bahwa rokok itu haram.
“Gini, mas Ahmad. Karena sampeyan bilang tadi bahwa rokok itu baik karena dapat membuka jalan ke bermasyarakat dan bersilaturahim yang baik, maka mestinya kesimpulan hukumnya adalah bahwa merokok itu boleh kalau dihisapnya secara bersama2 sambil bersilaturahim. Jadi kalau merokoknya sendirian di jamban, habis makan, temen minum kopi, dan sejenisnya maka hukumnya menjadi haram menggunakan prinsip yang dibilang pakde Basuki?!”, kata mas Andi.

Kali ini semua jamaah wedangan pak Min menjadi bingung.
“Bingung ya?!”, tanya mas Andi.

Mas Andi pun meneruskan penjelasannya mengenai tata-cara ulama dalam menyimpulkan hukum.
Ada lagi kelompok ulama lain yang meyakini bahwa tidak ada segala sesuatu di muka bumi ini yang nggak ada aturannya dalam nash (Quran dan hadits), baik yang bersifat umum/khusus, mutlak/bersyarat, tersurat/tersirat, dsb. Dalam surat al-Anam, Allah SWT berfirman yang artinya Tiadalah kami lupakan sesuatupun dalam kitab ini (al-Quran).

Karena itu dalam hal rokok ini para ulama mencoba mencari nash yang mengisyaratkan ke arah itu. Kemudian misalnya ditemukan ayat yang mengatakan bahwa menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk. Nah, tugas para ulama atau mujtahid lah yang menentukan apakah rokok itu termasuk sesuatu yang baik atau buruk. Dan terkadang kesimpulan yang dihasilkan bisa bergantung pada kondisi-kondisi tertentu, bergantung pertimbangan mujtahid. Adapun jika para ulama tidak berhasi melakukan penyimpulan hukum maka berlakulah kaidah-kaidah penerapan seperti al-bara’ah (terserah, semuanya boleh), ihtiyath (prinsip kehati-hatian), dsb.

Alhasil, terlepas dari soal rokok ini, ilmu fiqih ini memang kompleks. Kalau kita tahu kompleksitas ilmu fiqih ini semestinya kita tidak gampang2 menghakimi suatu pendapat benar atau salah. Memang seharusnya urusan seperti ini diserahkan kepada ahlinya”, kata mas Andi mengakhiri penjelasannya.

Semua jamaah majelis wedangan Pak Min pun terdiam. Sebagian mengangguk-angguk, sebagian lagi Cuma diam terpana mendengar penjelasan mas Andi yang sarjana komunikasi itu tapi bisa lebih bijak dari seorang yang memang mempelajari agama secara khusus. Mungkin karena terlalu yakin dengan kebenaran gurunya masing-masing sehingga dia menganggap bahwa kebenaran hanyalah miliknya, yang lainnya salah.

Pak Min yang dari tadi cuman ndengerin perdebatan seputar permasalahan hukum fiqih ini mulai nggak sabar untuk berkomentar. “Mangkane awake dewe kabeh ki lak wong awam to masalah iki. Lha takon masalah ngene kok nang wong awam. Wong tuwa ku ndisik tau pesen nang aku. Intine sebagai awam, awake dewe ki mesti memahami Quran lan hadits ki seko para ahline. Lha nek takon hukum nang wong awam ki podo karo mbek wong edan!”, kata Pak Min.

Kata2 Pak Min itu membuat para jamaah wedangan Pak Min saling menatap satu dengan lainnya, lalu serentak berteriak: “wooo…lha dadi wong edyan kabeeh iki!! Hahahahaha…”. Semua jamaah menyadari bahwa tidak seharusnya kita terburu2 menghakimi pendapat lain sebagai salah atau sesat, kecuali kalau mau dibilang sebagai "orang gila" seperti kata Pak Min tadi. [undzurilaina]