Saturday, December 19, 2009

Tak ada tukang taman, tak ada taman..

Alkisah, seorang pengusaha sukses, sebut saja Fred namanya, baru pindah ke rumah barunya. Dia punya impian untuk memiliki sebuah taman indah di rumah barunya. Oleh karena itu dia memutuskan untuk menggunakan jasa konsultan pertamanan yang juga temannya untuk merancang taman di rumah barunya itu. Temannya ini cukup terkenal sebagai konsultan pertamanan yang handal.

Sebagai pengusaha yang cukup sukses, Fred terhitung sangat sibuk sehingga praktis tidak punya waktu yang cukup untuk merawat pekarangannya. Oleh karena itu dia minta ke temannya yang konsultan pertamanan itu agar menciptakan taman yang sedemikian rupa shg hanya butuh sesedikit mungkin perawatan. Antara lain dia minta ada alat penyiram otomatis dan peralatan otomtatis lain yang memungkinkan semuanya jalan sendiri tanpa perawatan. Pendek kata, yang dia fikirkan adalah bagaimana caranya punya taman yang indah tanpa perawatan.

Setelah mendengarkan dengan seksama ocehan Fred tentang spesifikasi kebutuhan tamannya itu, Akhirnya sang konsultan itu kemudian berkomentar, “Fred, saya dapat memahami apa yang kau katakan. Tetapi ada satu hal yang perlu kau pahami sebelum kita melangkah lebih jauh: Bila tak ada tukang taman, tak ada taman!

Mungkin banyak diantara kita yang bermimpi untuk mengandalkan taman (baca: bisnis, organisasi, keluarga, hidup...) pada sesuatu yang bersifat otomatis dan instan. Kemudian berharap munculnya hasil akhir yang dahsyat.

Tetapi kehidupan tidaklah berjalan seperti itu. Kita tidak dapat begitu saja menyebar sedikit benih, lalu pergi, dan melakukan apa pun yg kita mau, kemudian berharap bahwa di kemudian hari ketika kembali, kita menemukan kebun yang indah dan tumbuh subur, siap untuk menghasilkan panen buah dan sayur2an untuk memenuhi keranjang kita. Kenyataannya tidak demikian. Kita harus menyiram, memelihara, dan menyiangi secara berkala, kalau kita berharap dapat menikmati hasil panennya.

Bagaimanapun setiap usaha akan memberi hasil. Segala sesuatu akan tumbuh. Tetapi tanah itu akan menjadi kebun yang indah atau semak belukar perbedaannya ditentukan oleh keterlibatan dan kelalaian kita sebagai tukang kebun atau tukang taman.

Catatan sederhana ini saya tulis diilhami oleh sebuah pembicaraan dengan seorang teman beberapa hari lalu, yang mengklaim bahwa buah jagung yang didapat saat ini adalah dari benih padi yang dia dulu pernah tinggalkan dengan keterlibatan seadanya dalam memeliharanya. Oleh karena itu buah jagung itu adalah miliknya, katanya.

Saya tidak mau membiasakan diri untuk bermain klaim. Saya hanya berusaha melakukan apa yang dimintakan oleh si pemilik lahan saja. Saya bukan mbok Minah yang mengambil 3 kakao untuk bibit dari lahan orang. Saya juga tidak berniat melupakan ada kontribusi teman. Menurut saya, apa yang dituai mesti sesuai dengan kontribusinya.

Tapi ala kulli hal, saya juga tidak mau ngotot untuk berebut buah itu dengan mengorbankan kotornya hati ini. Jika Anda berniat untuk bekerja sama, mari kita kerja sama dan menuai hasilnya bersama sesuai dengan kontribusi kita masing-masing. Jika anda menuntut yang lebih dari kontribusi Anda, silahkan Anda kerjakan sendiri. Jika anda memilih untuk keras, mari kita tanyakan kepada pemilik lahan.

Kalau boleh memilih dan kalau ini merupakan tindakan yang bertanggung-jawab, sebenarnya saya mungkin akan lebih memilih untuk mencari lahan lain untuk saya tanam, pelihara dan tuai hasilnya nanti. Bukankah Allah mengatakan bahwa bumi-Nya ini sangat luas, Kawan?

Haihat..Haihata min ad-dzillah! Pantang Hina!


Wednesday, December 9, 2009

Talking About Bakat

“Apa bakat Bapak?”, tanya rekan saya yang konsultan SDM kepada salah seorang pegawai bank dalam acara penjelasan assessment SDM Teknologi Informasi. Tak ada jawaban yang muncul dari pegawai tersebut, selain senyum-senyum dan tengok kanan-kiri. Lalu pertanyaan yang sama ditanyakan kepada para peserta acara tersebut lainnya. Dan tak ada jawaban dari para peserta kecuali beberapa gelintir orang yang berkata secara sporadis sambil senyum2: “Menyanyi..Olah raga..!”.

“Ada yang bisa bantu saya lagi menjawab apa bakat bapak ibu sekalian?”, lanjut teman saya itu mencoba memancing para peserta untuk berfikir apa bakat yang dimilikinya. Dan tak ada lagi jawaban yang keluar dari mulut puluhan peserta acara tersebut kecuali gemuruh suara para peserta yang saling mentertawakan teman-temannya karena sama-sama tak bisa menjawab apa bakatnya sendiri.

Ketika ditanyakan apakah definisi bakat, beragam pula jawabannya. Dan memang bakat ini didefinisikan secara beragam oleh berbagai ahli. Tapi secara umum, bakat dapat didefinisikan sebagai kemampuan potensial yang ada dalam diri seseorang untuk melakukan suatu jenis aktifitas tertentu, baik ia sudah dikembangkan ataupun belum.

Dalam hal pengembangan bakat ini ada sebuah perdebatan klasik yang menarik antara “Nature” versus “Nurture”. Perdebatan ini berkaitan dengan mana yang lebih penting antara bakat (nature) dengan penempaan/pelatihan (nurture) dalam hal pengembangan seseorang. Tentu saja keduanya penting untuk menghasilkan kemampuan kinerja pada suatu bidang/jenis aktifitas tertentu. Yang menjadi permasalahan berikutnya adalah manakah yang perlu dijadikan fokus penempaan, bagian kekuatan bakat kita atau sisi kelemahannya.

Kebanyakan orang akan menjawab bahwa kelemahanlah yang perlu menjadi fokus penempaan sehingga ia tidak lagi menjadi kelemahan lagi. Tapi tepatkah jawaban tersebut?

Salah satu lembaga yang melakukan survey untuk menemukan jawaban ini antara lain adalah Gallup, sebuah lembaga survey terkemuka dunia. Gallup melakukan survey terhadap bakat “membaca cepat” (speed reading) pada populasi tertentu yang ditentukan. Hasil survey pertama mengatakan bahwa kecepatan paling rendah adalah sekitar 90 kata per menit, dan yang tercepat adalah 350 kata per menitnya. Apa langkah terbaik yang harus dilakukan untuk meningkatkan kemampuan membaca cepat dari para peserta itu? Sebagian besar dari orang yang ditanya akan menjawab bahwa melatih peserta dengan kecepatan baca 90 kata per menit akan lebih mungkin menghasilkan signifikansi peningkatan ketimbang yang 350 kata/menit. Karena dalam bayangan kita masih ada rentang improvement yang cukup besar dari 90 kata/menit, sementara yang 350 kata/menit sepertinya sudah mendekati mentok.

Setelah dilatih metode speed reading yang baik, peserta yang semula memiliki kecepatan 90 kata/menit dapat berhasil ditingkatkan menjadi 140 kata/menit. Wah, bagus dong?!

Iya, bagus. Tapi bagaimana kalau yang dilatih speed reading adalah peserta yang sudah 350 kata/menit? Ternyata hasilnya adalah 6.000 kata/menit!! Jauh lebih menakjubkan, bukan?

Kenyataan hasil survey-survey yang sejenis ini kemudian mengarahkan kepada pengembangan pendekatan pengembangan SDM baru yang berbasis kekuatan (strenght-based approach). Kekuatan ini diidentifikasi sebagai bakat alamiah. Pendekatan ini menggantikan pendekatan yang sejak lama banyak digunakan yaitu deficit-based approach.

Paradigma Nature (lawannya nurture) meyakini bahwa bakat terbentuk sejak 60 hari sebelum manusia dilahirkan sampai dengan 14-16 tahun, dan sulit untuk berubah setelahnya. Diketahui bahwa setiap manusia dipastikan memiliki bakat atau karakter yang berbeda-beda. Oleh karena itu, daripada membuang-buang waktu dengan memberikan pelatihan yang ditujukan untuk memperbaiki kelemahan, akan lebih baik bila kita berfokus pada pengembangan KEKUATAN untuk mendapatkan hasil terbaik dan mensiasati KELEMAHAN yang ada.

Sang Maha Pencipta tidaklah menciptakan semua manusia dalam keadaan yang sama, dan tidak membekali potensi yang sama bagi semua bidang kepada setiap manusia. Untuk memutar roda-roda kehidupan, Dia menciptakan beberapa individu dengan potensi talenta yang khusus, agar setiap individu meniti sebuah jalan yang sesuai dengan talentanya dan melakukan aktifitas-aktifitas yang terpancar dari kecenderungan batin dan kekuatan fitrinya.

Seperti kata sebuah pepatah bijak: setiap rahasia memuat keindahan, beruntunglah orang yang menemukan talentanya!

Sungguh beruntunglah orang yang memupuk potensi-potensi baiknya, Qad aflaha man zakkaaha.

So, apa bakat kita? Apa bakat anak-anak kita? Oh God, guide me please.