Tuesday, July 27, 2010

Seputar Gelengan dan Anggukan

Anggukan dan gelengan merupakan sebuah gerakan kepala ke atas-bawah dan ke kanan-kiri. Pada umumnya gerakan tersebut merupakan ekspresi persetujuan dan penolakan terhadap sesuatu. Jika kita ditanya, kapan Anda akan menganggukkan kepala? Maka jawabannya adalah ketika kita setuju terhadap sesuatu yang disampaikan oleh lawan bicara kita. Dan akan menjawab ketika kita menolak terhadap sesuatu yang disampaikan oleh lawan bicara kita, jika kita ditanya kapan Anda akan menggelengkan kepala?

Setuju? (please dua pertanyaan diatas jangan dijawab dengan ketika kita senam pagi..hehe)

Tapi tahukah kita bahwa gerakan kita (anggukan/gelengan, senyuman manis/kecut, dll) itu dapat berpengaruh kepada pendapat kita mengenai apa yang kita dengarkan atau kita lihat dari sumber/penyampai informasi?

Ada sebuah penelitian menarik mengenai hal ini pernah dilakukan oleh sebuah perusahaan pembuat headphone berteknologi canggih. Penelitian dengan tajuk studi riset pasar ini dilakukan terhadap segmen mahasiswa yang diberi pengarahan bahwa tujuan riset ini adalah untuk menguji kinerja headphone ini ketika pemakai sedang bergerak seperti menari atau sekedar menggoyang-goyangkan kepalanya.

Semua mahasiswa tadi kemudian mendengarkan lagu-lagu dari Linda Rondstant dan The Eagles, namun setelah itu lagu-lagu tersebut digantikan oleh sebuah ulasan mengenai kenaikan biaya SPP kuliah mereka. Sepertiga diantara mereka diminta mengangguk-anggukan kepalanya ketika mendengarkan ulasan tersebut. Sepertiga lagi diminta menggeleng-gelengkan kepalanya, dan sepertiga sisanya diminta tidak menggerakkan kepalanya.

Setelah selesai, para mahasiswa tadi disodori semacam kuesioner pendek yang menanyakan tentang mutu lagu dan pengaruh gelengan/anggukan kepala terhadapnya. Dan yang paling menarik adalah pertanyaan terakhir dari kuesioner tersebut, yaitu: “Menurut Anda berapakah biaya SPP yang paling tepat untuk mahasiswa S1?”.
Kelompok mahasiswa yang tidak menggerakkan kepalanya, tidak begitu peduli dengan ulasan berita soal SPP. Menurut mereka, seharusnya SPP itu yaa kurang lebih seperti SPP yang sekarang ini.

Sementara kelompok mahasiswa yang diminta menggelengkan kepalanya selama mendengarkan ulasan, mereka menolak keras rencana kenaikan SPP yang disampaikan tersebut. Bahkan mereka minta penurunan biaya SPP tersebut, padahal sebenarnya mereka hanya diminta untuk menguji kualitas headset saja.

Sementara itu kelompok mahasiswa yang diminta mengangguk-anggukan kepalanya, berpendapat bahwa ulasan tersebut sangat persuasif dan logis. Mereka setuju dengan rencana kenaikan SPP walaupun tidak setinggi rencana yang disampaikan pada ulasan tersebut. Artinya mereka setuju terhadap kebijakan yang akan membuat kantong mereka (atau orang tua mereka) dikuras.

Penelitian diatas merupakan salah satu dari sekian penelitian yang menyimpulkan bahwa gerak tubuh dan ekspresi seseorang akan berpengaruh terhadap pendapat lawan bicara/lihatnya. Dalam kasus ini anggukan dan gelengan berpengaruh terhadap persetujuan/penolakan seseorang.

Saya ingat adanya penelitian diatas karena dalam beberapa waktu terakhir ini kebetulan beberapa teman saya sedang sering berurusan dengan beberapa konsultan expatriate asal India. Dimana di India berlaku konvensi yang berkebalikan soal anggukan dan gelengan kepala ini. Menggelengkan kepala di India itu justru merupakan isyarat persetujuan. Dan itu ternyata cukup membuat “benturan peradaban” yang cukup menghambat komunikasi dari beberapa personil lokal yang belum memahaminya di awal.

Salah seorang klien yang punya karakter lugas dan bergenre “suroboyoan” sempat emosi dibuatnya. Dia kesal karena apa yang dia sampaikan selalu ditanggapi dengan gelengan kepala, maka kemudian habislah stok kesabarannya.
Dengan suroboyan english nya dia bilang: “What do you mean with geleng-geleng (sambil memeragakan)?! Sampeyan tuh must understand!!!"

See?! Betapa dahsyatnya pengaruh hanya sekedar anggukan/gelengan kepala.[undzurilaina]

Kinerja dan Persepsi

You can not manage what you can not measure, kata yang dipopulerkan oleh Pak Norton dan Kaplan sang pencetus Balanced Scorecard (BSC). Kerangka kerja yang dirumuskannya itu kemudian begitu populer sehingga banyak pihak mengakui BSC sebagai standard de-facto framework untuk Sistem Manajemen Kinerja (SMK). Dalam tulisan ini, saya tidak akan membahas mengenai BSC sebagai sebuah kerangka kerja. Kali ini saya –mungkin karena kejadian yang baru saja saya temukan—akan menyorot pada definisi kinerja dan kemudian menghubungkannya dengan persepsi.

Terminologi ”kinerja” sebenarnya merupakan terminologi yang umum digunakan pada berbagai bidang. Pada dasarnya kinerja adalah kesesuaian realisasi sesuatu dibandingkan dengan ukuran dan target yang disepakati dan ditetapkan sebelumnya. Dengan demikian tinggi rendahnya kinerja bergantung kepada ukuran dan target yang telah ditetapkan dan disepakati sebelumnya. Ukuran dan target ditentukan berdasarkan obyektif yang ingin dicapai oleh suatu atau sekelompok inisiatif. Oleh karena itu kinerja seorang pelajar akan berbeda dengan kinerja seorang pegawai, kinerja seorang ilmuwan berbeda dengan kinerja seorang politisi, dan seterusnya. Dalam konteks sebuah organisasi atau perusahaan, maka kinerja organisasi/perusahaan merupakan tingkat keberhasilan dari organisasi/perusahaan tersebut dalam mencapai obyektif yang dicita-citakannya.

Salah satu poin penting dari definisi kinerja tersebut yang ingin saya angkat disini adalah tentang penentuan ukuran dan target yang disepakati sebelumnya.

Lantas, apa hubungannya dengan “Persepsi”?

Secara sederhana para ahli mendefinisikan persepsi sebagai sebuah proses internal yang kita lakukan untuk memilih, mengevaluasi dan mengorganisasikan rangsangan dari lingkungan eksternal.
Jadi dengan demikian persepsi konsumen terhadap sebuah produk merupakan hasil dari proses interpretasi internalnya terhadap produk tersebut berdasarkan masukan-masukan yang dia terima dari pengalamannya, kenalan-kenalannya, iklan, berita, Internet, dsb. Sehingga persepsi seorang konsumen bisa saja berbeda-beda terhadap sebuah produk yang sama diakibatkan karena masukan yang diterimanya yang juga berbeda-beda, dan proses pemilihan, evaluasi serta pengorganisasiannya pun berbeda-beda.

Persepsi seseorang manajer terhadap para stafnya juga berarti hasil interpretasi sang manajer terhadap stimulan masukan-masukan yang dia terima. Hasil interpretasi ini seringkali tidak adil karena sering tercampur dengan masukan-masukan dan parameter yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan tugas dan hubungan manajer-staf yang semestinya. Karena sang manajer baru dimarahi oleh atasannya maka kemudian dia mem-forward kemarahan berikut persepsi atasannya tersebut ke staf dibawahnya.

Itulah bedanya antara persepsi dengan kinerja. Kinerja seorang karyawan berhubungan dengan sejauhmana karyawan itu melakukan tugas-tugasnya dalam mencapai suatu obyektif tertentu. Kinerja mesti punya ukuran yang jelas. Sedangkan persepsi adalah “hak prerogatif” sang perseptor.

Sebuah organisasi modern dijalankan berdasarkan pengukuran kinerja. Sehingga Sistem Manajemen Kinerja didefinisikan sebagai sebuah sistem yang mengelola eksekusi strategi menjadi aksi-aksi yang dibutuhkan untuk mencapainya. Roda aktifitas perusahaan digerakkan oleh sistem yang mengelola kinerja dari setiap komponen perusahaan.
Sementara organisasi jenis lawannya (organisasi tradisional feodalistik, menggunakan istilah Dahlan Iskan) dijalankan berdasarkan persepsi atasan terhadap bawahannya. Apapun persepsi atasan terhadap bawahan maka itulah realitas kebenaran.

Kasus yang sama dapat juga terjadi pada konteks hubungan antara klien dengan vendor. Hubungan yang terjadi seringkali adalah hubungan persepsional, hubungan tuan dan hamba. Bukanlah hubungan kemitraan modern yang berbasis kinerja, duduk sama rendah berdiri sama tinggi.

Alhasil hubungan yang berbasis persepsi ini berisiko tinggi menyebabkan “kekacauan”, ketidak-harmonisan, dan menurunnya produktifitas hubungan secara keseluruhan. Walaupun tentunya mungkin saja hubungan semacam ini berhasil mencapai tujuannya, tapi kemungkinan keberhasilannya jelas jauh lebih kecil dibandingkan hubungan yang berbasis pada ukuran kinerja yang baik dan jelas.

Lantas mungkin kita akan bertanya, apa iya semua itu bisa diukur? Kalau itu sih kembali ke quote pembuka tulisan ini, you can not manage what you can not measure. Jadi, fokus saja kepada apa yang dapat diukur. Tapi bagaimana menentukan ukuran yang tepat dari sekian banyak yang dapat diukur? Kita akan bahas pada tulisan yang lain, Insya Allah. Tapi yang jelas bukan berdasarkan persepsi, apalagi sepihak. Hmmm…[dikutip dari www.ivitc.com]