Thursday, August 30, 2007

Menguji Seorang Ahli

Pada saat orang ramai membicarakan perlunya menyatukan bacaan Al-Quran, maka diputuskan untuk memberi tanda baca pada akhir huruf-huruf Al-Quran. Orang yang diminta untuk memberi tanda baca tersebut, tentulah orang yang benar-benar memahami tata bahasa Arab. Di antara orang itu, adalah Abul Aswad Ad-Dualy.

Namun, ketika orang memintanya untuk memberi tanda baca pada Al-Quran, Abu al-Aswad merasa keberatan. Orang-orang pun memaksanya, namun ia menolak.

Dicarilah akal untuk membuat Abul Aswad agar bersedia memberi tanda baca dalam Al-Quran. Siasat yang dilakukan, sekaligus dapat diangap sebagai suatu ujian untuk mengukur kehebatan ilmu bahasa Abul Aswad Ad-Dualy.

Maka disuruhlah seseorang untuk menemui Abul Aswad. Ketika berpapasan dengan Abu al-Aswad, seakan tidak sengaja, ia mengungkapkan firman Allah:

“…Annallaaha barii’un minal musyrikiina wa rasuulih…*)

Ayat tersebut seharusnya berbunyi:

“…annallaaha bariiun minal musyrikiina wa rasuuluh…”(QS.9:3)

(Perhatikan, perbedaan arti yang sedemikian jauh itu hanya disebabkan perbedaan membaca wa rasuuluh menjadi wa rasuulih).

Seketika Abul Aswad menjerit, “Hai, bagaimana bisa begitu. Mahasuci Allah dari berbuat begitu. Tidak mungkin Allah berlepas diri dari Rasul-Nya.”

Dan segera setelah itu, Abul Aswad menerima tugas untuk memberi tanda baca pada Al-Quran.

-------------------------------------

*) Dengan dibaca salah seperti itu, maka arti ayat di atas adalah: “Allah berlepas diri dari kaum musyrikin dan dari Rasul-Nya”.

Tuesday, August 28, 2007

Bila Ahli Matematika Memutuskan

Dua orang sehabat melakukan perjalanan bersama. Disuatu tempat, mereka berhenti untuk makan siang. Sambil duduk, mulailah masing-masing membuka bekalnya. Orang yang pertama membawa tiga potong roti, sedang orang yang kedua membawa lima potong roti.

Ketika keduanya telah siap untuk makan, tiba-tiba datang seorang musafir yang baru datang ini pun duduk bersama mereka.

“Mari, silakan, kita sedang bersiap-siap untuk makan siang,”kita salah seorang dari dua orang tadi.

“Aduh…saya tidak membawa bekal,” jawab musafir itu.

Maka mulailah mereka bertiga menyantap roti bersama-sama. Selesai makan, musafir tadi meletakkan uang delapan dirham di hadapan dua orang tersebut seraya berkata:

“Biarkan uang ini sebagai pengganti roti yang aku makan tadi.” Belum lagi mendapat jawaban dari pemilik roti itu, si musafir telah minta diri untuk melanjutkan perjalanannya lebih dahulu.

Sepeninggal si musafir, dua orang sahabat itu pun mulai akan membagi uang yang diberikan.

“Baiklah, uang ini kita bagi saja,” kata si empunya lima roti.

“Aku setuju,”jawab sahabatnya.

“Karena aku membawa lima roti, maka aku mendapat lima dirham, sedang bagianmu adalah tiga dirham.

“Ah, mana bisa begitu. Karena dia tidak meninggalkan pesan apa-apa, maka kita bagi sama, masing-masing empat dirham.”

“Itu tidak adil. Aku membawa roti lebih banyak, maka aku mendapat bagian lebih banyak”

“Jangan begitu dong…”

Alhasil, kedua orang itu saling berbantah. Mereka tidak berhasil mencapai kesepakatan tentang pembagian tersebut. Maka, mereka bermaksud menghadap Imam Ali bin Abi Thalib r.a. untuk meminta pendapat.

Di hadapan Imam Ali, keduanya bercerita tentang masalah yang mereka hadapi. Imam Ali mendengarkannya dengan seksama. Setelah orang itu selesai berbicara, Imam Ali kemudian berkata kepada orang yang mempunyai tiga roti:

“Terima sajalah pemberian sahabatmu yang tiga dirham itu!”

“Tidak! Aku tak mau menerimanya. Aku ingin mendapat penyelesaian yang seadil-adilnya, “Jawab orang itu.

“Kalau engkau bermaksud membaginya secara benar, maka bagianmu hanya satu dirham!” kata Imam Ali lagi.

“Hah…? Bagaimana engkau ini, kiranya.

Sahabatku ini akan memberikan tiga dirham dan aku menolaknya. Tetapi kini engkau berkata bahwa hak-ku hanya satu dirham?”

“Bukankah engkau menginginkan penyelesaian yang adil dan benar?”

“Ya”

“Kalau begitu, bagianmu adalah satu dirham!”

“Bagaimana bisa begitu?” Orang itu bertanya.

Imam Ali menggeser duduknya. Sejenak kemudian ia berkata:

”Mari kita lihat. Engkau membawa tiga potong roti dan sahabatmu ini membawa lima potong roti.”

“Benar.”jawab keduanya.

“Kalian makan roti bertiga, dengan si musafir.”

”Benar”

“Adakah kalian tahu, siapa yang makan lebih banyak?”

“Tidak.”

“Kalau begitu, kita anggap bahwa setiap orang makan dalam jumlah yang sama banyak.”

“Setuju, “jawab keduanya serempak.

“Roti kalian yang delapan potong itu, masing-masingnya kita bagi menjadi tiga bagian.

Dengan demikian, kita mempunyai dua puluh empat potong roti, bukan?” tanya Imam Ali.

“Benar,”jawab keduanya.

“Masing-masing dari kalian makan sama banyak, sehingga setiap orang berarti telah makan sebanyak delapan potong, karena kalian bertiga.”

“Benar.”

“Nah…orang yang membawa lima roti, telah dipotong menjadi tiga bagian mempunyai lima belas potong roti, sedang yang membawa tiga roti berarti mempunyai sembilan potong setelah dibagi menjadi tiga bagian, bukankah begitu?”

“Benar, jawab keduanya, lagi-lagi dengan serempak.

“Si empunya lima belas potong roti makan untuk dirinya delapan roti, sehingga ia mempunyai sisa tujuh potong lagi dan itu dimakan oleh musafir yang belakangan. Sedang si empunya sembilan potong roti, maka delapan potong untuk dirinya, sedang yang satu potong di makan oleh musafir tersebut. Dengan begitu, si musafir pun tepat makan delapan potong roti sebagaimana kalian berdua, bukan?”

Kedua orang yang dari tadi menyimak keterangan Imam Ali, tampak sedang mencerna ucapan Imam Ali tersebut.

Sejenak kemudian mereka berkata: ”Benar, kami mengerti.”

“Nah, uang yang diberikan oleh di musafir adalah delapan dirham, berarti tujuh dirham untuk si empunya lima roti sebab si musafir makan tujuh potong roti miliknya, dan satu dirham untuk si empunya tiga roti, sebab si musafir hanya makan satu potong roti dari milik orang itu”

“Alhamdulillah…Allahu Akbar,” kedua orang itu berucap hampir bersamaan. Mereka sangat mengagumi cara Imam Ali menyelesaikan masalah tersebut, sekaligus mengagumi dan mengakui keluasan ilmunya.

“Demi Allah, kini aku puas dan rela. Aku tidak akan mengambil lebih dari hak-ku, yakni satu dirham,” kata orang yang mengadukan hal tersebut, yakni si empunya tiga roti.

Kedua orang yang mengadu itu pun sama-sama merasa puas. Mereka berbahagia, karena mereka berhasil mendapatkan pemecahan secara benar, dan mendapat tambahan ilmu yang sangat berharga dari Imam Ali bin Abi Thalib ra.[undzurilaina]

Monday, August 27, 2007

Sabar at First Strike


Diriwayatkan pada suatu ketika Rasulullah SAW sedang berjalan dari suatu tempat. Di tengah perjalanan beliau SAW mendengar jeritan-jeritan yang berasal dari sebuah rumah. Ketika melewati rumah tersebut, beliau SAW mendapati ternyata suara tersebut berasal dari seorang Ibu yang tak kuasa menahan sedih karena ditinggal mati anaknya.

Melihat itu, Rasulullah SAW setelah mengucap salam kemudian berkata kepada ibu itu: ”Sabar..bersabarlah, Wahai Ibu.”. Mendengar ucapan itu, si Ibu yang sedang bersedih itu tanpa melihat lagi siapa yang menasehati langsung bilang: ”Enak saja kau bilang begitu! Kau bisa bilang begitu karena yang mati bukan anakmu!”.

Mendengar jawaban ibu itu Rasul mulia SAW tidak marah. Beliau kemudian melanjutkan perjalanannya lagi. Rupanya dialog antara ibu dengan Rasulullah SAW tadi disaksikan oleh seseorang lelaki. Beberapa hari setelah itu lelaki tersebut mendatangi si Ibu tadi dan kemudian berkata: ”Apa jawabanmu terhadap seruan untuk bersabar dari seseorang yang datang waktu hari kematian anakmu yang lalu”. Si ibu yang tahu maksud pertanyaan itu menjawab: ”Aku bilang, enak aja kau bilang begitu! Kau bisa bilang begitu karena yang mati bukan anakmu!”.

Lelaki tersebut kemudian berkata: ”Astaghfirullah! Sangat tidak sopan jawabanmu terhadap Rasul Allah!”. Bagaikan disambar geledek, bukan kepalang terkejutnya si Ibu tadi ketika mengetahui bahwa orang yang dia hardik itu adalah Rasulullah SAW. Seketika itu juga si Ibu datang ke rumah Rasulullah SAW untuk meminta maaf.

Sesampainya di rumah Rasulullah SAW, ia dipersilahkan masuk. Kemudian Rasulullah SAW berkata: ”Apa maksud kedatanganmu kemari, wahai Ibu?”. Ibu itu menjawab: ”Aku bermaksud meminta maaf kepadamu atas ucapanku kepadamu tempo hari yang tidak sopan. Benar sekali nasehatmu ya Rasul, bahwa sebaiknya aku bersabar. Dan kini aku telah mengikuti anjuranmu untuk bersabar. Sekarang aku sabar, wahai Rasul Allah”.

Rasul mulia kemudian menjawab: ”Sabar itu adalah pada pukulan pertama.”

Yang dimaksud Rasulullah SAW dengan perkataan tersebut adalah bahwa kita dianjurkan untuk bersabar pada saat kita pertama menerima sebuah cobaan. Itulah kondisi-kondisi kritikal yang sangat memerlukan kesabaran tersebut. Setelah lewat masanya, sabar hanya berguna sebagai pelajaran untuk masa berikutnya. Akibat buruk karena ketidaksabaran kita telah terjadi dan tidak dapat kita putar ulang. Begitulah sabar yang dimaksudkan oleh Islam, sabar at first strike. [undzurilaina]

Friday, August 24, 2007

ULAR

Seekor anak ular yang sedang berjalan di samping induknya bertanya,

"Bu, benarkah kita berbisa?"


"Oh tentu saja anakku, kita memang berbisa", jawab sang induk.


Si anak ular terdiam sesaat, kemudian bertanya lagi:"Bu, maaf, tapi benarkah kita berbisa?"

"Iya sayang, kita adalah ular berbisa!" jawab ibu ular agak jengkel.

Tampaknya si anak tetap gelisah, sambil merapatkan tubuhnya ke induknya, ia pun mengajukan pertanyaan yang sama:"Bu, tolong jawablah, apakah kita ini berbisa?"


"Anakku, kita adalah jenis ular yang sangat berbisa. Bila kita menggigit seekor kuda dewasa, pasti dalam waktu tak sampai sepuluh menit ia akan mati.”


Nah ibu gantian mau tanya: ”mengapa engkau menanyakan itu sampai berulang-ulang?"


"Bu, aku baru saja menggigit bibirku sendiri", jawab anak ular dengan sedih.[undzurilaina]

ONTA

Seekor onta kecil bertanya kepada induknya, "Ibu, kenapa sih telapak kakiku besar dan hanya terdiri dari tiga jari?"


Si induk menjawab, "Kita kan onta, kaki seperti itu bagus untuk melewati gurun agar kaki tidak tenggelam dalam pasir."


"Lalu kenapa bulu mataku panjang?" tanya anak onta lagi.


"Jika kita berjalan di gurun, pasir-pasir kan selalu beterbangan. Bulu mata yang panjang akan melindungi matamu dari kemasukan pasir," jawab induknya.

"Di punggungku ada punuk. Itu untuk apa?" tanya anak onta.


"Itu untuk menyimpan air. Jadi kalau kita berjalan melintasi gurun yang susah air, kita bisa bertahan walaupun tidak minum berhari-hari," jawab induknya.

Setelah sekian lama terdiam, si anak onta berkata,

"Jadi kita punya telapak kaki lebar, bulu mata panjang dan punuk di punggung adalah untuk hidup di gurun?"


"Benar sayang," jawab induknya.

"Lalu kenapa kita ada di Ragunan?" [undzurilaina]

Besi

oleh: Goenawan Muhammad

Tuhan, dalam bayangan mereka, adalah Tuhan yang menaklukkan. Ia adalah Tuhan dengan tangan besi.

Di Amerika mereka menyebut diri kelompok Rekonstruksionis. Ada juga yang lebih jauh, dan menyebut diri Christian Identity. Di Israel mereka adalah Gush Emunim dan bersama itu kaum "Kookis". Di pelbagai negeri mereka adalah Jihad Islam. Di Indonesia mungkin punya nama lain. Mereka tidak satu. Bahkan bisa bertentangan dengan sengit. Tapi sebenarnya mereka berdekatan. Mereka sama-sama menganut satu hal yang dengan pesat berkembang di- dalam tiga agama monoteis itu sampai dengan awal abad ke-21: teologi dengan militansi, iman dengan kebencian. Dengan itu mereka saling memperkuat, seakan-akan dalam pakta yang tak sadar.

Kaum Rekonstruksionis adalah contoh yang bagus. Bagi mereka, hidup terancam oleh kaum "humanis sekuler". Sebuah peradaban Kristen, kata mereka, harus didirikan untuk mengalahkan Setan. Juga untuk mempercepat Kerajaan yang dijanjikan. Jika nanti Kerajaan Allah itu datang, agama dan negara tidak lagi dipisahkan. Demokrasi, sebuah paham yang murtad, akan dihapuskan. Masyarakat akan diatur menurut yang digariskan Injil. Tiap hukum yang ada di sana harus dijalankan secara persis, dan sebab itu harfiah. Perbudakan akan dihidupkan lagi. Keluarga berencana akan ditumpas. Para pezinah, kaum homoseksual, dan ahli astrologi (juga nenek sihir) harus dihukum mati. Anak yang tak mau patuh akan dirajam.

Kaum pendukung Christian Identity di Amerika Serikat punya perspektif yang lebih seram. Negara Amerika bagi mereka telah dikuasai ZOG (Pemerintahan Pendudukan Zionis), dengan kendali Setan dan Yahudi. Sebab itu layak dihancurkan. Perang di Hari Penghabisan akan terjadi, dan orang kulit putih akan habis. Para penganut Christian Identity sebab itu mempersiapkan diri dengan menghimpun senjata dan mesiu. Mereka siap membunuh para pejabat dan petugas negara. Pada suatu hari di bulan April 1995, gedung pemerintah federal di Oklahoma City diledakkan, dan sejumlah orang dan anak-anak mati.

Hidup yang tegang di bawah bayang-bayang Tuhan yang serba curiga, hidup yang harus dibebaskan dengan kekerasan—dari mana gerangan persepsi ini datang? Aneh atau tak aneh, dua abad setelah Pencerahan, agama tak serapuh yang diduga semula. Dua abad setelah Pencerahan, kebudayaan modern menuntut sesuatu yang sangat berat. Ia memang menyumbang banyak hal bagi kelanjutan hidup. Tetapi Karin Armstrong, dalam bukunya yang baru, The Battle for God, menunjukkan juga segi lain dari modernitas: harga-diri yang terganggu. Mungkin juga kebingungan yang laten.

Di satu pihak Pencerahan dan humanisme menegaskan bahwa manusia adalah pengukur segala hal. Tapi di lain pihak ilmu pengetahuan menunjukkan bagaimana ia hanya penghuni sebuah pojok. Kopernikus memulai pemikiran bahwa bumi, tempat tinggal manusia, ternyata cuma satu noktah kecil dalam alam semesta. Kant berkata tentang keterbatasan yang lain: kita sebenarnya tak pernah bisa pasti benarkah pikiran kita cocok dengan realitas di luar kepala kita. Dan kita tahu apa kata Darwin dan Freud. Manusia tidak diciptakan menurut Wajah Tuhan, melainkan buah dari sebuah evolusi yang bermula dari bentuk yang lebih sederhana—dan sampai akhir ia tetap saja bukan makhluk yang rasional dan rapi. Di balik perilaku manusia yang tampak mulia, dalam sorotan Freud, ada bergerak segudang libido.

Tapi penjelasan seperti itu tetap saja tidak menjawab mengapa orang Gush Emunim di kalangan Yahudi bukan saja hendak menghalau orang Palestina, tapi juga kaum Zionis sekuler. Kebingungan modernitas tak menerangkan kenapa para pengikut Shukri Mustofa menganjurkan mufsalah kamilah (perpisahan total) dari negeri Mesir yang didirikan Nasser, dan akhirnya membunuh Presiden Sadat—sebagaimana Rabbi Meir Kahane menyerukan agar orang Yahudi mengisolir diri hingga sesedikit mungkin punya kontak dengan "apa yang asing", dan akhirnya ada yang membunuh Perdana Menteri Rabin.

Barangkali pada akhirnya memang bukan modernitas itu sendiri yang jadi perkara. Karin Armstrong sendiri dengan tepat menunjukkan bahwa fundamentalisme bukanlah sebuah gerakan kuno. Justru sesuatu yang modern. Kaum fundamentalis Protestan membaca Injil secara harfiah dan rasional, sangat berbeda dengan spiritualitas pra-modern yang membacanya dengan semangat mistis dan alegoris. Kaum fundamentalis Islam juga lebih melihat iman sebagai bagian ilmu pasti. Dengan itu dunia di luar diri—yang "bukan-aku"—dipisahkan, ditaklukkan. Dunia bukan sesuatu yang indah. Ia sesuatu yang harus kalah. [undzurilaina]


Thursday, August 23, 2007

Kendalikan Naluri, Jangan Matikan

Allah menciptakan naluri dalam diri setiap manusia. Oleh karenanya, ia tidak boleh dimusnahkan. Yang harus dilakukan adalah mengendalikannya. Adanya naluri pada manusia merupakan sebuah keharusan untuk menjaga kelanjutan dan kesempurnaan generasi manusia.

Kita bisa membayangkan bagaimana jika tidak ada rasa lapar, maka manusia akan mati karena kekurangan nutrisi. Bagaimana jika tidak ada marah? Tanpa adanya ”marah” maka manusia mungkin tidak akan membela dirinya. Jika tidak ada kebutuhan biologis maka kita akan menyaksikan banyak generasi manusia akan terputus.

Tetapi untuk menyalurkannya harus melalui jalan yang benar. Naluri manusia dapat diibaratkan seperti tabung gas elpiji di rumah. Bila ia disalurkan ke kompor gas secara benar, maka akan hasilnya adalah pembakaran dan masaknya makanan. Namun, apabila disalurkan secara tidak benar, maka hasilnya adalah peledakan dan bahaya.

Menghias diri untuk menarik kaum pria bagi seorang wanita merupakan sebuah naluri. Bila naluri ini diterapkan di dalam rumah, maka akan memperindah dan meningkatkan kasih sayang. Namun, bila naluri ini diterapkan di jalan-jalan dan tempat umum, maka bisa-bisa akan menggoyahkan rumah tangga lainnya.

Selain itu, pemandangan-pemandangan jalanan semacam ini mungkin juga akan menerpa jiwa-jiwa para bujangan. Bagaikan api yang membakar dan melelehkan lilin, dan membisiki pikiran mereka untuk memerkosa. Akibatnya adalah banyaknya pelarian dari rumah, pengancaman, bunuh diri, perzinaan, depresi dan munculnya anak-anak haram.

Jadi tugas kita adalah mengendalikan naluri, bukan mematikannya. Menyalurkannya pada tempatnya akan memberikan manfaat. Sedang salah menggunakannya akan berakibat fatal, baik untuk diri kita sendiri ataupun orang lain. [undzurilaina]

Doa Keselamatan


" Ya Allah! Anugerahkanlah kami taufik untuk berbuat ketaatan,

dan menjauhi kemaksiatan

serta niat yang baik,

dan pengetahuan tentang hal yang haram.

Muliakanlah kami dengan petunjuk dan istiqamah.

Serta bimbinglah lidah kami untuk berkata benar dan bijaksana.

Dan penuhilah hati kami dengan ilmu pengetahuan.

Serta sucikanlah perut kami dari yang haram dan syubhah.

Tahanlah tangan kami dari perbuatan zalim dan mencuri.

Serta pejamkanlah mata kami dari

perbuatan jahat dan khianat.

Dan selamatkanlah pendengaran kami dari

mendengarkan hal-hal yang jelek dan ghibah.

Dan berikanlah ulama' kami sikap zuhud dan keikhlasan.

Dan kepada golongan pelajar kami sikap kesungguhan,

Dan semangat dan kepada pendengar-pendengar

agar mengikuti dan mendapatkan peringatan,

serta berilah kesehatan dan kelapangan

kepada Musliminin yang sakit

dan kepada kaum Muslimin yang meninggal dunia dengan

kelemah-lembutan dan rahmat(Mu),

Dan kepada orang-orang tua kami ketenangan dan ketenteraman,

dan kepada para pemuda dengan sikap kesabaran dan taubat,

dan kepada wanita-wanita kami sikap malu dan harga diri,

dan kepada orang-orang kaya sikap rendah diri dan dermawan,

dan kepada para faqir dan miskin sikap kesabaran dan rasa cukup.

Limpahkanlah sholawat kepada junjungan kami Rasulullah SAW beserta keluarganya, salam terbaik kami buat mereka semua.

Segala puji hanya kepada Mu, Ya Allah, Tuhan Pemelihara Seluruh Sekalian Alam

Wednesday, August 22, 2007

Harga Diri

Dalam sebuah khutbah Jumat di masjid dekat kantorku (Bandung), ada kisah menarik yang khatib sampaikan. Cerita tersebut bermula ketika guru sang khatib yang tinggal di Jakarta mendapat undangan syukuran dari seseorang. Pengundang syukuran itu adalah seorang nenek tua yang sering ia jumpai lewat depan rumahnya membawa barang rongsokan untuk coba ia tukar dengan biaya hidupnya sehari-hari.

Sang guru pun penasaran bertanya kepada nenek tua tersebut: "Maaf, Nek. Kalau boleh tahu dalam rangka apa syukuran ini?". Nenek tua itu pun menjawab: "Pokoknya ditunggu sekali kedatangannya ya pak, saya nggak ngundang banyak orang". "Oh, Baik nek. Insya Allah saya akan hadir".


Nenek tua itu tinggal di sebuah gubug kecil yang sudah reyot dan menempel di tembok sebuah rumah mewah yang ada di sebelahnya.


Singkat cerita, ketika sudah waktunya tiba, beberapa tamu undangan pun mulai berdatangan. Memang tak banyak yang diundang, hanya 6 orang (termasuk dengan sang nenek dan pemilik rumah mewah di sebelah gubug nenek itu, sebut saja namanya Pak Amir). Semua tamu masih memendam rasa penasaran karena nggak tau dalam rangka syukuran ini diselenggarakan.


Tibalah saatnya, sang nenek bicara.....
"Bapak-bapak sekalian yang saya hormati, terima kasih sekali sudah memenuhi panggilan saya. Saya hanya mengundang sedikit orang, karena memang rumah yang saya tempati ini hanya cukup menampung segini. Mungkin bapak2 penasaran kenapa bapak saya undang ke sini."


"Iya, betul Nek. Kami belum tahu dalam rangka apa kami diundang ke sini", sahut salah seorang tamu yang hadir.

"Begini, Pak. Saya mengundang bapak2 ini dalam rangka syukuran. Saya bersyukur sekali karena mulai tahun ini saya dibolehkan mengkontrak rumah yang saya tempatin ini oleh
Pak Amir. Sebelum2nya Pak Amir selalu menolak ketika saya mau membayar ongkos sewa tinggal di gubug yang menempel di rumahnya Pak Amir ini. Saya benar2 berterima kasih kepada Pak Amir, dan bersyukur kepada Allah SWT karena saya diijinkan untuk tinggal di gubug ini dengan tidak cuma2".

Para tamu yang hadir mendengarkan ucapan2 Nenek itu dengan seksama. Perasaan kagum, haru, bangga, sedih berbaur menjadi satu. Termasuk aku yang mendengarkan cerita itu dari sang khatib jumat waktu itu.

Betapa tidak, ketika kita melihat banyaknya para pengemis dan pengamen yang gagah2 di simpang2 jalan menengadahkan tangannya kepada orang2 yang lalu-lalang. Betapa tidak, ketika pemerintah kita sangat bangga berkata bahwa negara kita mendapat kepercayaan untuk mendapat tambahan hutang dari negara2 donatur.


Kita sering melihat pemandangan2 yang kontras di alam realita ini. Kita melihat di sejumlah persimpangan ramai di kota2 besar seperti Bandung atau Jakarta, para pengamen, pengemis, "pengelap" mobil, dll sangat antusias menyambut kendaraan2 yang berhenti di persimpangan tsb dengan tangan menengadah. Kita mungkin juga sering mendengar bahwa pendapatan mereka cukup besar dari situ. Ketika masa "reses" mengemis itu biasanya mereka pulang kampung dengan membawa "oleh2" perhiasan, pakaian dll yang sangat memadai. Sementara tidak jauh dari simpang situ, ada penjual roti bakar, gorengan, sapu lidi yang dengan susah payah mencucurkan keringatnya seharian menjual dagangannya. Mereka dengan bangga mengatakan walau hanya dapat 10 ribu sehari, saya sangat puas. Saya sangat puas bisa memberi makan anak istri saya dengan hasil kerja keras, bukan meminta-minta, walaupun hasilnya mungkin jauh lebih besar.

Harga diri rupanya sebuah barang langka di negeri kita tercinta ini, walau usianya telah mencapai 62 tahun. Senang aku bisa mendengar cerita tentang "barang langka" tersebut. Hmmm....[undzurilaina]

Tuesday, August 21, 2007

Kenapa Manusia Diciptakan Berbeda-beda? Adilkah Allah?

Kita sering melihat seorang ilmuwan ketika menulis sebuah buku atau artikel, huruf-huruf yang ditulisnya berbeda-beda. Ada huruf A sampai dengan Z, ada angka, ada yang dibuat besar, ada yang ditebalkan, ada yang dibuat miring, ada yang dibuat kecil, ada yang diletakkan di atas, ada yang di bawah, dst. Mengapa ia berbuat demikian? Antara lain sebabnya adalah karena apabila dalam buku atau artikelnya tersebut hanya berisikan huruf yang sama, maka tulisannya tersebut menjadi susah dibaca bahkan bisa jadi tidak dapat digolongkan sebagai sebuah artikel dan buku.

Perbedaan huruf, ukuran, bentuk, dll bukanlah sebuah bentuk kezaliman. Bila kita menuliskan kata ALI, maka harus terdapat huruf A yang seperti pasak memiliki dua kaki, ada huruf L yang membentuk sudut 90 derajat dan huruf I yang tegak lurus. Gabungan ketiganya ini menciptakan sebuah makna.

Setiap huruf yang ada tidak punya hak untuk mengkritik penulis. Huruf A misalnya, tidak akan mempertanyakan mengapa bentuk saya seperti pasak yang memiliki dua kaki. Atau L mempertanyakan mengapa bentuknya seperti sudut 90 derajat dan begitu juga I. Kezaliman itu muncul ketika huruf A sebelumnya tidak berbentuk demikian tapi seperti D dan kemudian kita memaksanya mengangkang sehingga seperti huruf A. Sejak awal huruf A diciptakan demikian dan ini bukan kezaliman.

Begitu juga dengan sebuah permadani yang kita gunting menjadi beberapa bagian. Ini sebuah kezaliman karena bentuknya yang besar itu kita ambil. Namun, bila kita mendapatkan permadani itu sejak awal kecil, di sini tidak terdapat kezaliman.

Tidak ada orang yang mengatakan kepada seorang pemilik pabrik keramik sebagai orang yang zalim, karena membuat keramik dalam bentuk yang beragam. Karena sejak awal tidak ada keramik sehingga kemudian kita dapat dikatakan mengambil kesempurnaannya dan menzaliminya.

Perbedaan manusia dalam penciptaan juga berdasarkan kearifan Ilahi. Dengan demikian, Allah tidak menzalimi seseorang. Karena setiap orang akan menemukan dirinya sesuai dengan potensinya, tidak kurang dan tidak lebih. Dan Allah akan menilainya pula berdasarkan itu. WaLLahu A’lam bi as-Shawab. [undzurilaina]

Negeriku Surga Expatriate

Oleh : Vima Tista Putriana

Kabar Indonesia Tiga setengah abad berada di bawah penjajahan Belanda yang sangat tidak beradab telah membuat bangsa Indonesia tumbuh menjadi bangsa yang "rendah diri". Meskipun sudah lebih dari 60 tahun merdeka, tetapi sindrom "mental bangsa terjajah" ini tetap belum hilang. Masih saja merasa diri belum sejajar dengan bangsa lain.

Satu contoh sederhana keminderan ini terlihat dari diskriminasi tingkat gaji yang sangat tinggi antara expatriate dan anak negeri sendiri. Para expatriate di Indonesia digaji 10 kali lipat dari orang Indonesia meskipun dengan tingkat pendidikan, kemampuan, tanggung jawab dan kinerja yang sama.

Seorang foreign engineer di Jakarta misalnya, menurut standar Bappenas, mendapatkan gaji sekitar US $5.000,00 per tahun.
Sebaliknya orang Indonesia , dengan kualifikasi sama hanya menerima sebesar $500,00 saja. Tidak jarang dalam suatu proyek, meskipun dengan kualifikasi pendidikan lebih tinggi semisal MSc atau PHd, orang Indonesia digaji tetap lebih rendah dari expatriate yang cuma BSc (Rahardjo,2006).

Di samping gaji tinggi, biasanya expatrite juga mendapat berbagai fasilitas berlimpah seperti berkantor di kawasan segitiga mas (Sudirman, Thamrin dan Kuningan), tempat tinggal di apartemen mewah, keanggotan di club-club olah raga dan hiburan elite dan lain-lain.

Intinya mereka sangat dimanjakan, sehingga tidak salah kalau dikatakan Indonesia adalah syurga bagi para expatriate.
Sebenarnya tidak masalah jika expatriate digaji sedemikian tinggi jika memang memiliki kemampuan unik yang tidak dimiliki oleh orang Indonesia dan betul-betul dibutuhkan. Tetapi jika kemampuan dan kinerja sama, lalu digaji lebih tinggi hanya karena statusnya bule, sungguh tidak logis menurut cara fakir orang yang berjiwa "merdeka".

Jika pemerintah atau perusahaan harus membayar mahal hanya untuk status ke-bule-an saja, bukankah ini standar yang sangat stupid.
Ketika jasa seseorang dihargai cuma 1/10 dari koleganya, hanya karena dia orang INDONESIA , berarti sungguh malang menjadi orang Indonesia .

Mirisnya lagi, yang mengeluarkan standar gaji yang sangat diskriminatif ini adalah Bappenas-Pemerintah Indonesia sendiri.
Berarti pemerintah Indonsia melecehkan rakyatnya sendiri, menganggap bodoh bangsanya sendiri. Ini sungguh bertolak belakang dari peran yang seharusnya dimainkan oleh pemerintah.

Bukankah pemerintah suatu negara seharusnya menyokong rakyatnya, mendorong mereka supaya bisa maju, jika belum mampu difasilitasi supaya mencapai kualifikasi sama dengan expatriate. Singkatnya memberi kesempatan seluas-luasnya kepada anak bangsa untuk bisa berkembang dan mengekspolasi potensinya.

Kenyataan di lapangan menunjukkan tidak selalu yang bernama bule lebih pintar dari orang Indonesia . Banyak diantara mereka memiliki kemampuan biasa-biasa saja. Malah mungkin di negaranya berada pada lapis ke-3 atau 4, tapi di Indonesia mereka disanjung sedemikian rupa, mendapatkan posisi yang sangat bagus dan hidup mewah.

Keadaan ini tidak hanya berlaku di dunia bisnis, tetapi juga pada proyek-proyek pemerintah. Suatu kali tim peneliti dari UGM mendapat tugas membuat perencanaan daerah wisata pulau Jemur, di Kabupaten Rokan Hulu Riau. Sebagai arsitek dan perencana local, tim ini hanya mendapat dana sebesar 500 juta rupiah untuk jangka waktu 6 (enam) bulan. Sementara ada satu kabupaten lain yang lebih percaya pada konsultan dari Singapura harus mengeluarkan anggaran sebesar 3 milyar rupiah.

Saat hasil penelitian dan perencanaan sama sama dipresentasikan, ternyata perencanaan yang dibuat tim peneliti UGM tidak kalah bagus dari konsultan Singapura yang dibayar enam kali lipat lebih tinggi.
Malahan perencaanan UGM terlihat lebih menyentuh apa yang dibutuhkan masyarakat karena mereka memadukan dengan metode Partisipatory Planning sehinga mereka tahu betul apa keinginan masyarakat.

Sebenarnya kita sendiri yang menempatkan para expatriate pada posisi yang sangat tinggi, menyanjung mereka sedemikian rupa, begitu percaya dan yakin mereka lebih baik, dan lebih berkualitas.
Sebaliknya tidak memberi perlakuan sama kepada bangsa sendiri.
Secara umum di seluruh dunia, expatriate memang digaji lebih tinggi dari pekerja lokal, namun perbedaannya tidak separah di Indonesia .
Di Silicon Valley misalnya, gaji seorang software engineer
(expatriate) dua kali pekerja lokal, termasuk jika expatriate-nya orang Indonesia (Patriawan, 2006).

Pemerintah Indonesia sepertinya tidak yakin dengan kemampuan sendiri. Inilah warisan mental Inlander (sindrom minder, rasa rendah diri, dan inferior) dari Belanda (Yulianto, 2007). Padahal fakta membuktikan banyak anak-anak Indonesia yang brilliant malah dimanfaatkan oleh orang luar negeri. Bukankah banyak jebolan ITB yang menjadi enginer-nya perusahan-perusahan minyak dunia di Houston misalnya, yang dikenal sebagai kota minyak dunia. Itu membuktikan kalau kualifikasi anak Indonesia , sama sekali tidak kalah dengan yang bernama bule.

Mereka adalah aset bangsa yang sangat berharga, dimana potensi mereka seharusnya dimaksimalkan untuk membangun bangsa. Yang terjadi malah mereka "disia-siakan", dan dimanfaatkan negara lain.
Bukankah lebih baik memanggil mereka pulang dan memberi penghargaan yang sama sebagaimana layaknya expatriate, ketimbang menggaji orang asing. Ibarat memberikan sumbangan, lebih baik kepada saudara sendiri dahulu baru kepada yang lebih jauh.

Disamping perlunya memberikan kesempatan yang sama kepada putra- putri dalan negeri sendiri, seharusnya pemerintah sangat berhati- hati dalam pemakaian expatriate , terutama untuk bidang perencanaan.
Persoalannya bukan hanya sekedar pembayaran yang jauh lebih tinggi, tetapi menyangkut aspek lain yang lebih luas. Perlu digarisbawahi, pada proyek-proyek pemerintah, masuknya para expatriate ke Indonesia bukan karena sebuah rekruitment terbuka.

Mereka adalah "AGEN-AGEN" yang dipekerjakan oleh pemerintah dari negara mereka, lalu ditempatkan pada lembaga lembaga strategis di Indonesia , khususnya dalam bidang-bidang perencanaan.

Sebagaimana diketahui, fondasi dari sebuah pembangunan baik fisik maupun mental adalah pada aspek perencanaan. Ketika para expatriate berada pada posisi perencanaan, maka dengn mudah mereka menyuntikkan virus virus kapitalis didalamnya. Mereka memang sengaja dihadirkan melalui proyek- proyek besar yang didanai oleh negara-negara asing.
Ini adalah dampak negatif bagi bangsa Indonesia yang perlu diwaspadai oleh pemerintah.

Karena itu, perlu adanya perubahan paradigma yang menganggap bangsa asing (bangsa berkulit putih) lebih baik dari orang Indonesia .
Pemerintah juga sebaiknya segera melakukan pemetaan SDM yang dimiliki Indonesia , baik menyangkut kuantitas maupun kualitas.
Dengan adanya statistik lengkap dan peta yang jelas tentang penyebaran SDM Indonesia di berbagai disiplin ilmu, maka akan didapatkan gambaran jelas tentang kekuatan SDM Indonesia.

Dengan kedua hal ini, diharapkan Bappenas-pemerintah- dapat merevisi standarnya yang tidak rasional tersebut. dan menggantinya dengan standar yang lebih mencerminkan jiwa merdeka sebuah bangsa. Lebih jauh, pemerintah bisa mendapatkan keyakinan bahwa sebenarnya tersedia cukup SDM dengan jumlah dan kualifikasi yang memadai, sehingga tidak selalu harus bergantung pada expatriate. Pada akhirnya diharapkan ibu pertiwi dapat menjadi syurga bagi anak negeri sendiri.[undzurilaina]

Sumber:
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&dn=20070710204429

Monday, August 20, 2007

Indonesia yang ke-Indo-Indoan

Sebuah resensi buku “Pesona Barat”
Oleh: Asti Musman

BENARKAH definisi cantik adalah wanita berkulit putih, badan tinggi semampai, dan berwajah indo? Setidaknya, itu bisa benar. Coba lihat pemain-pemain sinetron dan bintang-bintang iklan di layar kaca televisi, itulah gambarannya.

Kondisi ini didukung oleh kosmetika buatan Indonesia hingga yang berlisensi asing menawarkan krim atau bentuk lainnya yang menjanjikan kulit putih jika dioleskan pada kulit. “Hanya dalam enam minggu kulit Anda akan putih merona,” begitu salah satu jargon produk pemutih. Ada pula gambaran seorang gadis yang berteriak kegirangan, “Untung sudah tidak black and white lagi!” saat ia telah memakai pemutih dan akan bertemu dengan lelaki berwajah indo yang menjadi cocok idolanya.

Jika di era 1980-an sebagian besar wanita tersihir dengan kosmetika lokal (baca: tradisional) yang menjanjikan kulit kuning langsat bak putri keraton, saat ini keadaan sudah berubah. Kosmetika lokal pun berevolusi dengan memproduksi “whitening” yang dianggap mengikuti perkembangan zaman. Ya, bagaimana lagi, secara garis besar, makna putih adalah simbol dari kebersihan, kecantikan, kesucian, dan derajat tinggi. Sebaliknya, warna hitam identik dengan kotor, jelek, dosa, malam, gelap, dan sedih.

Telaah yang lebih mendalam mengenai “putih” ini ditulis oleh Vissia Ita Yulianto dalam buku “Pesona Barat” terbitan Jalasutra, Yogyakarta. Dalam buku ini, pengarang menuliskan bahwa warna kulit bangsa barat yang putih, tanpa disadari telah dijadikan sebagai simbol yang diiyakan sebagai salah satu syarat kecantikan perempuan Indonesia yang memiliki ras coklat. Padahal, bisa dibayangkan berapa karung pemutih yang harus digunakan jika kita sendiri (baca: bangsa Indonesia) ditakdirkan dari ras kulit hitam.

Lalu, apakah kita bisa berubah menjadi putih? Gejala ini sudah lama diidap bangsa Indonesia sejak zaman kolonialisme Belanda, politik diskriminasi dan pemaksaan budaya mengakibatkan berakarnya mentalitas inlander atau konsep rendah diri dalam masyarakat pribumi.

Hingga kini orang masih tergila-gila dengan kulit putih. Banyak wanita yang mengejar-ngejar bule agar memiliki keturunan yang putih dan berwajah indo. Dua penampakan ini akan menjadi modal untuk terjun di dunia entertainment. Selain itu, ada image yang berkembang di masyarakat bahwa jika orang berhasil mendapatkan pasangan bule berarti akan memperbaiki keturunan.

Lebih lanjut, tengoklah layar kaca televisi yang dipadati wajah-wajah indo. Gejala ini menunjukkan betapa dahsyatnya ketidak-percayaan diri kita pada ras bangsa sendiri. Walaupun begitu, bangsa kita tidak sendiri mengalami angan-angan “putih” itu. Jepang pun yang berkulit putih tetap memiliki keinginan berkulit putih seperti bangsa barat. Mereka bahkan telah memproduksi berbagai pemutih sejak tahun 1960-an. Produk ini masuk Indonesia di era 1990-an.

Demikian pula yang terjadi di Singapura, India, Bangladesh, Srilanka dan Filipina. Para generasi muda di daerah itu memandang bahwa idealisme warna kulit juga beralih dari warna kayu manggik — warna kuning langsat di Indonesia — menjadi putih seperti orang barat. Ironisnya, bangsa Barat yang menjadi sihir keterpesonaan dengan kulit putihnya, kini justru beramai-ramai “mencoklatkan” warna kulitnya.

Buku “Pesona Barat” ini memang menarik karena mengajak kita merenungkan akan mental bangsa terjajah yang masih menghinggapi kita hingga kini. Jelas penjajahan yang berevolusi, bukan invasi penjajah di zaman nenek moyang. Dengan membaca buku ini, orang pelan-pelan diajak mendekonstruksikan kondisi “harus putih” agar terlihat cantik. Harus diakui, kesadaran untuk lepas dari keterjajahan itu tidak bisa seketika terjadi. Dalam buku ini dibahas, betapa sang proklamator RI, Bung Karno, tergila-gila dengan gadis-gadis Belanda.

Walaupun begitu, banyak renungan tentang keterpesonaan putih. Menurut pelopor dekonstruksi ras, Franzt Fanon, putih bukan hanya dari fisik belaka, ia menyebut putih sebagai norma-norma yang tidak terlihat, bukan sebagai hal mengenai warna kulit. Kalau yang ini, pasti banyak orang mengangguk setuju.[undzurilaina]

Bunuh diri tentara AS tertinggi

Jadi tiap 3 hari minimal ada 1 orang yang bunuh diri, di luar yang terbunuh dalam perang/konflik lapangan.[undzurilaina]
---

Setidaknya 99 tentara Amerika Serikat melakukan bunuh diri tahun lalu, tingkat tertinggi dalam 26 tahun ini, kata satu laporan baru.

Tingkat bunuh diri itu adalah 17.3 per 100,000 tentara dibandingkan 12.8 di tahun 2005, kata para pejabat.

Dua-puluh-delapan di antara tentara yang bunuh diri tahun lalu dikatakan menempuh jalan nekad itu semasa mereka bertugas di Irak dan Afghanistan.

Militer Amerika mencatat kegagalan hubungan, masalah legal dan keuangan serta tekanan dalam pekerjaan sebagai faktor-faktor di balik bunuh diri itu.

Kematian dua prajurit tahun lalu masih diselidiki. Jika dipastikan bunuh diri, angka untuk 2006 meningkat menjadi 101.

Jumlah tertinggi yang tercatat adalah 102 di tahun 1991, tahun perang Teluk --tetapi waktu itu lebih banyak tentara yang bertugas, yang berarti tingkat bunuh diri per 100,000 prajurit lebih rendah dari tahun 2006.

Sejauh ini, 44 tentara melakukan bunuh diri dalam tahun 2007, 17 di antara mereka ditempatkan di Irak atau Afghanistan.

Perawatan mental

Laporan itu mengatakan "tidak banyak bukti" yang mendukung kecurigaan bahwa penempatan berulang ke Irak dan Afghanistan membuat tentara bisa nekad melakukan bunuh diri.

Para penyusun laporan ini mendapati adanya hubungan yang signifikan antara percobaan bunuh diri dan panjangnya penugasan tentara di Irak, Afghanistan, maupun di negara-negara berdekatan dalam operasi untuk mendukung kedua perang itu.

Satu penelitian yang diterbitkan Maret tahun ini menemukan 25 persen veteran perang AS dirawat di pusat-pusat kesehatan veteran setelah pulang dari Irak dan Afghanistan karena mengalami gangguan mental.

sumber: http://www.bbc.co.uk/indonesian/news/story/2007/08/070816_usarmysuicideau.shtml


Duh, Betapa Sering Aku Bohong

Karena tak mampu bayar gaji sopir, anak-anak masih kecil-kecil, sekolah mereka jauh dari tempat tinggal, terpaksa aku sendiri yang jadi tukang antar jemput.

Siang itu, karena kesibukan kantor aku terlambat menjemput mereka. Di sepanjang perjalanan, yang ada hanyalah kegelisahan.

Betapa kuatirnya aku, sekolah sudah sepi, anakku –Fatimah—tak tampak. Sedangkan anakku yang lain –Hanifah dan Ali—menunggu di luar pagar sekolah ditemani penjaga sekolah.Usahaku mencari informasi lewat penjaga sekolah NIHIL.

What must I do?! Akhirnya kuputuskan untuk mengontak beberapa temannya yang tinggal dekat sekolah. Sedikit mengobati kekuatiranku, ada dua anak yang memang belum pulang, namun orang tuanya pun tak tahu kemana mereka pergi?

Kurang lebih setengah jam keadaan mencekam tersebut meliputiku, tiba-tiba Fatimah dan rombongan kawan-kawannya muncul. Aku mencoba menahan emosi marahku dengan menyalahkan diriku sendiri: Mengapa menjemput terlambat? Namun sebagai bentuk kepedulian tetap aku tanya:

"Fatimah dari mana?"

"Dari besuk kawan yang sakit, Bi", dengan nada pucat.

"Bagus, tapi lain kali ngomong dulu sama abi!", aku menatapnya dengan kagum atas rasa kesetia-kawanannya.

"Habis, Bu guru nyuruh”. ”Perginya juga sama Bu guru", salah satu kawannya menimpali yang diamini kawannya yang lain.

" Yaa sudah", sambil memimpinnya memasuki mobil, dimana Hanifah dan Ali telah menunggu.

Di dalam mobil, di sepanjang jalan menuju rumah, aku mencoba mencairkan suasana dengan guyonan saling 'ejek'. Hanifah dan Ali terlibat.Tak seperti biasanya Fatimah diam seribu bahasa, walau kupancing.

Yang mengagetkanku, sesampainya di rumah, persis memasuki ruang tamu, Fatimah memelukku dengan diiringi tangisan terisak, dan dengan nada terputus-putus menahan emosi rasa 'bersalah' ia berkata:

"Bi, maafkan Fatimah Bi. Fatimah tadi bohong sama Abi. Fatimah tidak besuk sama Bu guru, Bu guru tidak ikut", Air matanya membasahi bajuku.

Aku pun tak kuat menahan tangis, sambil mengenang puluhan kebohongan yang pernah ku sampaikan padanya. [undzurilaina]

(diambil dengan penyuntingan seperlunya dari kisah nyata seorang teman di Palembang ketika berdialog dengan anaknya)

Apa Tuhan nggak Capek?

Hidup di kota kecil, Palembang, ada enaknya. Walau uang cekak, kesempatan kumpul keluarga –mungkin—lebih banyak dari yang dinikmati saudara-saudaraku yang hidup di kota metropolis seperti Jakarta. Berangkat harus pagi-pagi sekali, dan pulang pun malam sekali.

Tradisi sholat Maghrib dan Isya' jama'ah sekeluarga, dilanjutkan dengan membaca wiridnya Habib Abubakr Sakran seperti yang ditradisikan ayahku alhamdulillah dapat kupelihara.

Selepas sholat maghrib, suatu hari, aku mencoba menerjemahkan doa kemenangan dari kumpulan wirid itu. Belum habis terjemahannya kubaca, Hanifah (anak keduaku yang waktu itu berumur 7 tahun), nyeletuk:

"Bi, apa Tuhan nggak capek dengar doa kita?"

Hampir saja, karena kesal menahan rasa kantuk, aku menjawab: "Hus, diam Hanifa!".

Untung pikiran jernihku masih tersisa. Maka meluncurlah jawaban dari mulutku:

"Ya enggak, Hanifa. Tuhan itu kan baik sekali sama kita. Dia selalu sabar mendengarkan doa-doa kita, permintaan-permintaan kita kepadanya."


"Tapi, kan lama-lama Tuhan capek juga kalau harus mendengarkan doa kita terus-menerus!" protes anakku.

"Tidak, Hanifa. Tuhan itu tidak seperti kita. Tuhan nggak pernah capek dan nggak pernah ngantuk seperti kita. Tuhan juga nggak pernah tidur ..."

"Wah, hebat ya Tuhan itu, Bi!" sahutnya dengan mata berbinar-binar.

"Memang, Tuhan itu hebat. Tidak mengantuk, tidak tidur, selalu mendengarkan permintaan kita, dan selalu sibuk memberikan apa-apa yang kita minta. Asal kita juga menjalankan perintah-perintahnya."

"Apa bisa, Bi, Tuhan memberikan semua permintaan kita?" tanyanya lagi.

"Ya bisa. Tuhan bisa berbuat apa saja. Asal permintaan kita itu baik. Kalau tidak baik buat kita, Tuhan tidak akan memberikan. 'Kan Tuhan sayang sama kita"

"Wah, kalau begitu, Hanifa mau minta juga sama Tuhan. Hanifa mau minta Tuhan memberi Hanifa mainan rumah-rumahan yang pernah Hanifa tunjukkan sama Abi waktu kita ke toko itu", Pandangan matanya makin berbinar-binar.

"Iya, tapi Hanifah mesti jadi anak yang baik dulu. Jangan lupa shalat, jangan berbohong, senang membantu Umi, dan juga senang belajar. Biar Tuhan senang sama Hanifa.", kataku sambil agak ragu mengenai kebenaran kalimat-kalimat yang kupakai.

"Iya, Bi. Habis baca doa ini Hanifa mau belajar, terus mau bantu Umi merapikan rumah. Boleh ya, Mi?

Dalam hati, aku mengingatkan diriku, agar suatu saat tak lupa mampir ke toko itu, untuk melaksanakan keinginan Allah mengabulkan doa anakku.[undzurilaina]

(diambil dengan penyuntingan seperlunya dari kisah nyata seorang teman di Palembang ketika berdialog dengan anaknya)

Siapa sih yang bikin Matahari?

Siang itu, hari Ahad ...Februari ...., matahari tepat di atas kepala. Teriknya tak tertahankan. Selesai belanja bulanan ala kadarnya kami sekeluarga naik angkot pulang ke rumah. Di dalam sempitnya angkot dan di bawah kap mobil yang hampir menempel di kepala kami, kami terasa masuk dalam oven.

Segera saja, seluruh tubuh bermandikan keringat. Untuk sekedar mengusir kegelisahan isteri dan anak-anakku, aku coba bercanda. Namun rasa gerah tampaknya membuat mereka malas bereaksi. Malah anak tertuaku , Fatimah -- yang waktu itu berumur 8 tahun -- dengan nada protes bertanya ketus:

"Bi, siapa sih yang membuat matahari?"

Aku sempat terhenyak sebentar, lalu mencoba menjawab :

”Tuhan, Fatimah.Tuhanlah yang membuat matahari."

"Kenapa Tuhan membuat matahari? 'Kan sekarang kita jadi kepanasan”, kata Fatimah masih protes.

"Habis, kalau Tuhan nggak membuat matahari, nanti gelap terus, dong? 'Kan matahari itu seperti lampu", jawabku lagi.

Fatimah terdiam, seperti sedang memikirkan jawabanku. Aku pun melanjutkan :

"Kalau sore, matahari 'kan tenggelam. Jadinya gelap semua. Nah, kalau nggak ada matahari, setiap waktu dunia kita gelap."

"Wah, iya, ya? Kalau gelap terus, kapan Fatimah bisa main, ya? Fatimah harus di rumah terus jadinya," katanya sambil terus berfikir.

Belum lagi aku merasa "terselamatkan", anakku ini sudah nerocos lagi.

"Tapi, kenapa Tuhan mesti membuat matahari yang panas sekali?"

Lagi-lagi pertanyaannya membuatku harus berfikir.

"Lampu 'kan memang panas. Coba Fatimah perhatikan, kalau malam hari 'kan lampu-lampu di rumah kita nyalakan. Nah, lampu yang nyala mesti panas. Kalau nggak panas nggak bisa nyala".

”Iya, ya, Bi? Tapi Fatimah nggak berani pegang lampu yang nyala. Soalnya panas!"

"Iya, jangan!" Aku melanjutkan: "Sama seperti lampu di rumah kita, kalau matahari nggak panas, nanti nggak bisa nyala, dong. Atau, kalau nyala, nyalanya nggak terang. Makin panas, nyalanya matahari juga makin terang. Kalau lagi mendung, memang mataharinya nggak panas. Tapi 'kan nyalanya juga nggak terang?"

"Iya, ya, Bi. Kalau gitu kita mesti terima kasih sama Tuhan. Kalau Tuhan nggak bikin matahari yang panas, kita semua jadi susah, ya? Fatimah juga nggak bisa main-main sama temen-temen sepulang sekolaah. Sedih, deh, Fatimah."

Mendengar jawaban anakku, terasa segala ketidaknyamanan rasa panas dan gerah, serta keringat yang bercucuran itu seperti sirna seketika. [undzurilaina]

(diambil dengan penyuntingan seperlunya dari kisah nyata dialog seorang teman di Palembang dengan anaknya)

Thursday, August 16, 2007

Si Ayam dan Si Ucok

Pada suatu hari ada seorang pedagang kaya yang ingin mengadakan hajatan untuk putranya. Untuk keperluan itu ia datang ke seorang bandar ayam dan memesan 100 ekor ayam.

Pedagang kaya : "Saya ingin memesan 100 ekor ayam untukbesok, ini alamat saya (seraya memberikan kartu namanya)."

Bandar ayam : "Baik tuan, akan saya suruh anak buah saya untuk mengantarkan ke rumah tuan."

Sepulangnya si pedagang kaya, bandar ayam tersebut langsung memanggil seorang anak buahnya yang bernama Ucok dan memberikan instruksi...

Bandar ayam : "Ucok, tolong antarkan 100 ekor ayam ini besok ke alamat ini (sambil memberikan kartu nama si pedagang kaya)."

Ucok : "Nganterin ayam-ayam? Beres Tuan !"

Besoknya dengan mengendarai sepeda motor si Ucok pergi mengantarkan 100 ekor ayam tersebut. 50 ekor diletakkan di sebelah kanan dan sisanya 50 ekor lagi diletakkan di sebelah kiri.

Akan tetapi malangnya, di tengah perjalanan dia terjatuh dari sepeda motornya..., ayam-ayam yang dia bawa langsung lepas dan pada lari berhamburan. Orang-orang ramai berdatangan untuk mengetahui keadaan si Ucok.

Tetapi anehnya, si Ucok malah tertawa terbahak-bahak.

Seseorang diantara orang-orang yang datang bertanya, mungkin ia merasa khawatir karena melihat si Ucok yang tertawa-tawa...

Orang yg datang : "Mas, mas nggak apa-apa kan... Kepalanya enggak sakit kan?"

Ucok : "Ha... ha... ha... !"

Orang yang datang : "Mas, kenapa mas ?"

Ucok : "Ha... ha...ha..., dasar ayam-ayam goblok, mau kemana elu pada?!" (sambil menunjuk ke arah ayam-ayam yang berlari)....

"Alamatnya kan ada di gue... Hua.. ha.. ha.. ha....." [undzurilaina]

Cinta dan Gravitasi

Pagi tadi aku bertanya kepada istriku tercinta:

”Tahukah engkau apa yang menarikku padamu, mengikat kita semua, menciptakan stabilitas pada dunia, tak pernah menjijikkan, dan menerangi bintang-bintang di langit?”

”Cinta!”, seru istriku.

”Gravitasi,”, kataku.

”Oh, kalau begitu mari berharap Gravitasi dapat memberikan kepadamu sekotak cokelat hari ini”, jawab istriku lagi.

Melihat sedikit kekecewaan padanya, aku kemudian menjelaskan, ”Cinta itu hanya bersifat personal, gravitasi bersifat objektif dan universal.”

”Cinta itu membuat kita terbang dan berarti, bahagia dan penuh warna, memberi harapan dan manusiawi, dan cinta itu untuk hati. Gravitasi itu impersonal dan matematis, eksak dan tak pernah menyimpang, real, dan Gravitasi itu untuk akal pikiran.”, kata istriku

”Engkau telah meringkas perbedaan antara sains dan agama lebih ringkas dibanding semua penulis yang pernah aku baca”, kataku.

Kami saling berpelukan berulang-ulang, untuk kebahagiaan kami atas cinta kami sebagaimana juga atas gravitasi ketika ia tidak pernah terkonsentrasi secara ekstrim seperti reaksi nuklir yang menerangkan inti bintang, menjaga planet tetap dalam orbit dan kehidupan di dalam planet, dan membuat semuanya menjadi mungkin.


Ada sebuah kekuatan yang membuat buah apel jatuh,
Menjaga planet-planet tetap dalam orbit di atas sana,


Kekuatan yang lain membuat kami saling berpelukan,
Menghadirkan kegembiraan dan kedamaian: kami menyebutnya itu Cinta.[undzurilaina]

(
Diterjemahkan dari cerita yang ditulis oleh V. V. Raman, fisikawan India yang aktif menulis tentang sains dan agama)

Peranan Iman

Bila kita memasuki sebuah rumah yang tidak ada pemiliknya, tidak memiliki pula infrastruktur pengawas yang dapat merekam perbuatan kita di rumah tersebut, maka tidak ada alasan buat kita untuk bersikap santun dan menjaga tata krama. Di rumah yang tidak ada aturannya, kita bebas. Apa saja yang kita lakukan tidak ada hubungannya dengan orang lain. Bila untung, maka kembali pada diri kita sendiri. Dan, bila rugi, maka kita sendirilah yang merugi.

Hal ini akan sangat berbeda bila kita masuk ke sebuah rumah yang ada pemiliknya. Pemilik yang senantiasa mengawasi gerak langkah kita. Pada kondisi semacam ini, cara hidup kita akan berbeda dengan sebelumnya.

Bila kita beriman bahwa dunia ini ada yang punya. Sang Pemilik tersebut Allah Yang Maha Bijaksana. Ada hari akhir untuk mengevaluasi segala tingkah laku kita. Setiap pikiran, ucapan dan perbuatan kita telah disiapkan pahala atau siksa. Maka hidup dalam kondisi seperti ini menuntut perhitungan lain.

Kita mestinya akan menghitung dan mengawasi perbuatan kita sendiri. Hawa nafsu yang senantiasa bergejolak akan lebih baik dikendalikan. Perbuatan-perbuatan yang tidak diinginkan oleh Sang Pemilik dunia ini sebaiknya juga tidak kita lakukan. Karena kita tahu, seluruh perbuatan; baik atau buruk, akan diperiksa oleh-Nya. Allah senantiasa bersama kita. [undzurilaina]

Tuesday, August 14, 2007

Breaking News: Bulan Jadi 2

Ini bukan berita tentang sekuel film "Naga Bonar Jadi 2". Bukan juga balasan lagu "Jadikan aku yang ke-2". Tapi ini berita tentang kemungkinan fenomena alam yang langka bakalan terjadi bulan ini.

Planet Mars akan terlihat sebesar bulan planet Bumi kita dengan mata telanjang saja.

Dan puncaknya akan terlihat seperti bulan purnama (full moon) pada tanggal 27 Agustus jam 00.30 malam senin pagi dini hari, saat jarak Mars dengan Bumi kita hanya sekitar 34.65M miles. Jangan sampai terlewatkan untuk ‘menatap’ langit yang akan seperti memiliki 2 buah bulan, karena jarak terdekat seperti itu hanya akan terjadi lagi di tahun 2287 yang akan datang.


Selamat menyaksikan Ayat-Ayat Ilahi...

Friday, August 10, 2007

Kisah Ibu yang Mengingkari Anaknya

Dikisahkan pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, terdengar teriakan seorang anak muda di kota Madinah. Ia berkata: “Adakah orang yang paling adil di sini? Orang yang dapat memutuskan perkaraku dengan ibuku”.

Umar bin Khatthab menghampirinya dan berkata: “Wahai pemuda! Mengapa engkau ingin mengajukan perkara melawan ibumu?

Ia menjawab: “Sebelumnya aku berada di dalam tubuh ibuku selama sembilan bulan. Ia juga yang menyusui aku selama dua tahun. Ketika aku mulai beranjak dewasa; dapat membedakan kebaikan dari keburukan dan mana yang benar dan salah, ia mencampakkan aku. Ia mengaku tidak mengenal diriku”.

Umar kemudian bertanya kepada wanita itu: “Wahai wanita! Benarkah apa yang diucapkan oleh pemuda ini?”

Wanita itu menjawab: “Demi Zat yang bertirai cahaya. Tidak ada mata yang dapat melihat-Nya. Demi kebenaran yang dibawa oleh Muhammad saw! Aku tidak punya anak dan aku tidak mengenalnya. Aku tidak tahu dia dari kabilah mana. Ia hanya seorang pemuda yang ingin merusak kehormatanku di tengah-tengah keluarga dan familiku. Aku seorang wanita Quraish. Aku belum pernah kawin”.

Umar bertanya kepadanya: “Apakah engkau memiliki saksi?”

Ia menjawab: “Iya, mereka ini adalah saudara-saudaraku”. Datang sekitar empat puluh orang dari keluarganya yang siap untuk bersumpah. Di hadapan umar mereka kemudian bersumpah bahwa si pemuda hanya berniat untuk merusak kehormatan wanita ini. Wanita ini dari keturunan Quraish dan belum menikah sekalipun.

Umar bin Khatthab memerintahkan pengawalnya untuk membawa si pemuda ke penjara. Dan selama ia dipenjara para saksi yang telah bersumpah tadi harus diperiksa lebih lanjut. Bila kesaksian mereka benar, maka si pemuda harus dihukum sebagai orang yang telah melakukan kebohongan yang mencemarkan nama baik orang lain.

Ketika mereka bergerak membawa si pemuda, mereka berpapasan dengan Imam Ali bin Abi Thalib. Si pemuda langsung berteriak lantang memohon kepada Imam Ali:

“Wahai anak paman Rasulullah! Aku seorang pemuda yang teraniaya”. Ia kemudian mengulangi ucapan yang telah disampaikan di hadapan Umar. Kemudian ia melanjutkan: “Umar memerintahkan pengawal agar menjebloskan aku ke penjara”.

Imam Ali menjawab: “Balikkan ia ke Umar!”

Ketika si pemuda dibawa ke hadapan Umar, Khalifah Umar kemudian bertanya kepada mereka: “Aku memerintahkan kalian untuk menjebloskannya ke penjara, mengapa sekarang kalian membawanya kembali ke hadapanku?”

Mereka menjawab: “Ali bin Abi Thalib yang memerintahkan kepada kami untuk membawanya ke hadapanmu. Mengapa kami mengikuti perintahnya? Karena engkau pernah berkata bahwa ikuti apa saja yang diperintahkan oleh Ali dan jangan menentangnya”.

Ketika mereka masih bercakap-cakap, Imam Ali datang menghampiri mereka.

Ia berkata: “Hadapkan ibu si pemuda ini!”

Mereka lantas menghadirkan kembali ibu si pemuda.

Imam Ali berkata: “Wahai pemuda! Sampaikan apa yang hendak engkau ucapkan!”

Si pemuda mengulangi apa yang telah disampaikannya sebelumnya.

Imam Ali kemudian berkata kepada Umar: “Apakah engkau memberi aku izin untuk mengadili mereka?”

Umar menjawab: “Subhanallah, mengapa tidak. Aku pernah mendengar dari Rasulullah saw bahwa “Yang paling alim dan mengetahui di antara kalian adalah Ali bin Abi Thalib”.

Imam Ali kemudian berpaling kepada wanita dan bertanya: “Apakah mereka ini adalah saksi-saksimu?”

Wanita itu menjawab: “Iya, mereka adalah saudara-saudaraku”.

Imam Ali bertanya kepada saudara-saudaranya: “Apakah kalian menerima aku menghukumi urusan kalian antara kalian dan wanita ini?”

Mereka serempak menjawab: “Iya, wahai anak paman Rasulullah. Engkau menjadi wakil yang menghukumi antara kami dan saudari kami”.

Imam Ali kemudian berkata: “Aku bersaksi di hadapan Allah dan aku bersaksi di hadapan orang-orang yang hadir saat ini. Aku telah menikahkan pemuda ini dengan wanita ini dengan mas kawin sebesar empat ratus dirham dari uangku sendiri. Wahai Qanbar (pelayan Imam Ali), Ambilkan uangku!” Qanbar membawa uang Imam Ali dan meletakkannya di tangan si pemuda.

Imam Ali melanjutkan: “Ambillah uang itu wahai pemuda! Berikan uang ini kepada wanita itu. Jangan engkau menghadapku kecuali telah mandi junub”.

Si pemuda bangkit dan memberikan uang mas kawinnya kepada wanita itu. Kemudian ia mengajak wanita itu untuk meninggalkan tempat tersebut. Ia berkata: “Wanita ini telah menjadi keluargaku”.

Si wanita tiba-tiba berteriak: “Neraka, neraka, wahai anak paman Muhammad! Apakah engkau ingin aku mengawini anakku sendiri? Pemuda ini adalah anak dari suamiku. Saudara-saudaraku memaksaku untuk kawin dengan seseorang. Setelah aku melahirkan anakku dan setelah ia menjadi dewasa, mereka mengancamku agar mengusirnya dan tidak mengakuinya sebagai anak. Demi Allah! dia adalah anak dan jantung hatiku”.

Ibu itu kemudian menarik tangan anaknya dan pergi dari tempat itu.

Setelah peristiwa itu Imam Ali hanya berucap: ”Allahu Akbar! Shadaqa Khalilii Muhammad”, yang artinya: Allah Maha Besar! Sungguh benar kekasihku Muhammad SAW”. Beliau sering mengucapkan perkataan seperti ini setelah memecahkan sebuah masalah. Perkataan yang menyiratkan bahwa sebenarnya beliau telah diberi tahu mengenai berbagai hal oleh Rasulullah SAW semasa hidupnya, yaitu sebagai pintu kota ilmu Rasulullah SAW. [undzurilaina]