Friday, June 29, 2007

Kisah Seorang Sipir

Suatu sore, ditahun 1525. Penjara tempat tahanan orang-orang di situ serasa hening mencengkam. Jendral Adolf Roberto, pemimpin penjara yang terkenal bengis, tengah memeriksa setiap kamar tahanan.


Setiap sipir penjara membungkukkan badannya rendah-rendah ketika 'algojo penjara' itu berlalu di hadapan mereka. Karena kalau tidak, sepatu 'jenggel' milik tuan Roberto yang fanatik Kristen itu akan mendarat di wajah mereka.

Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar seseorang mengumandangkan suara-suara yang amat ia benci. "Hai...hentikan suara jelekmu! Hentikan...!" Teriak Roberto sekeras-kerasnya sembari membelalakan mata. Namun, apa yang terjadi? Laki-laki di kamar tahanan tadi tetap saja bersenandung dengan khusyu'nya. Roberto bertambah berang.

'Algojo penjara' itu menghampiri kamar tahanan yang luasnya tak lebih sekadar cukup untuk satu orang. Dengan congkak ia menyemburkan ludahnya ke wajah renta sang tahanan yang keriput hanya tinggal tulang. Tak puas sampai di situ, ia lalu menyulut
wajah dan seluruh badan orang tua renta itu dengan rokoknya yang menyala.

Sungguh ajaib... Tak terdengar secuil pun keluh kesakitan. Bibir yang pucat kering milik sang tahanan amat gengsi untuk meneriakkan kata, "Rabbi, wa ana 'abduka..." (Pemeliharaku, dan aku adalah hamba Mu).
Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban itu serentak bertakbir sambil berkata, "Bersabarlah wahai ustadz...Insya Allah tempatmu di Syurga."

Melihat kegigihan orang tua yang dipanggil ustadz oleh sesama tahanan, 'algojo penjara' itu bertambah memuncak amarahnya. Ia memerintahkan pegawai penjara untuk membuka sel, dan ditariknya tubuh orang tua itu keras-keras hingga terjerembab di lantai.

"Hai orang tua busuk! Bukankah engkau tahu, aku tidak suka bahasa jelekmu itu?!
Aku tidak suka apa-apa yang berhubung dengan agamamu! Ketahuilah orang tua dungu, bumi Spanyol ini kini telah berada dalam kekuasaan bapak kami, Tuhan Yesus.
Anda telah membuat aku benci dan geram dengan 'suara-suara' yang seharusnya tak pernah terdengar lagi di sini. Sebagai balasannya engkau akan kubunuh. Kecuali, kalau engkau mau minta maaf dan masuk agama kami."

Mendengar "khutbah" itu orang tua itu mendongakkan kepala, menatap Roberto dengan tatapan tajam dan dingin. Ia lalu berucap, "Sungguh...aku sangat merindukan kematian, agar aku segera dapat menjumpai kekasihku yang amat kucintai, Allah. Bila kini aku berada di puncak kebahagiaan karena akan segera menemuiNya, patutkah aku berlutut kepadamu, hai manusia busuk? Jika aku turuti kemauanmu, tentu aku termasuk manusia yang amat bodoh."

Baru saja kata-kata itu terhenti, sepatu lars Roberto sudah mendarat di wajahnya. Laki-laki itu terhuyung. Kemudian jatuh terkapar di lantai penjara dengan wajah bersimbah darah. Ketika itulah dari saku baju penjaranya yang telah lusuh, meluncur sebuah 'buku kecil'. Adolf Roberto bermaksud memungutnya. Namun,tangan sang Ustadz telah terlebih dahulu mengambil dan menggenggamnya erat-erat. "Berikan buku itu, hai laki-laki dungu!" bentak Roberto. "Haram bagi tanganmu yang kafir dan berlumuran dosa untuk menyentuh barang suci ini!" ucap sang ustadz dengan tatapan menghina pada Roberto. Tak ada jalan lain, akhirnya Roberto, mengambil jalan paksa untuk mendapatkan buku itu.

Sepatu lars berbobot dua kilogram itu ia gunakan untuk menginjak jari-jari tangan sang ustadz yang telah lemah. Suara gemeretak tulang yang patah terdengar menggetarkan hati. Namun tidak demikian bagi Roberto. Laki-laki bengis itu malah merasa bangga mendengar gemeretak tulang yang terputus. Bahkan 'algojo penjara'itu merasa lebih puas lagi ketika melihat tetesan darah mengalir dari jari-jari musuhnya yang telah hancur.

Setelah tangan renta itu tak berdaya, Roberto memungut buku kecil yang membuatnya penasaran. Perlahan Roberto membuka sampul buku yang telah lusuh. Mendadak algojo itu termenung. "Ah...sepertinya aku pernah mengenal buku ini. Tapi kapan? Ya, aku pernah mengenal buku ini." suara hati Roberto bertanya-tanya.

Perlahan Roberto membuka lembaran pertama itu. Pemuda berumur tiga puluh tahun itu bertambah terkejut tatkala melihat tulisan-tulisan "aneh" dalam buku itu. Rasanya ia pernah mengenal tulisan seperti itu dahulu. Namun, sekarang tak pernah dilihatnya di bumi Spanyol. Akhirnya, Roberto duduk disamping sang ustadz yang telah melepas
nafas-nafas terakhirnya. Wajah bengis sang algojo kini diliputi tanda tanya yang dalam. Mata Roberto rapat terpejam. Ia berusaha keras mengingat peristiwa yang dialaminya sewaktu masih kanak-kanak.

Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan Roberto. Pemuda itu teringat ketika suatu sore di masa kanak-kanaknya terjadi kericuhan besar di negeri tempat kelahirannya ini.

******************************************************

Sore itu ia melihat peristiwa yang mengerikan di lapangan Inkuisisi (lapangan tempat pembantaian kaum muslimin di Andalusia). Di tempat itu tengah berlangsung pesta darah dan nyawa. Beribu-ribu jiwa tak berdosa berjatuhan di bumi Andalusia. Di hujung kiri lapangan, beberapa puluh wanita berhijab (jilbab)digantung pada tiang-tiang besi yang terpancang tinggi. Tubuh mereka bergelantungan tertiup angin sore yang kencang, membuat pakaian muslimah yang dikenakan berkibar-kibar di udara. Sementara, ditengah lapangan ratusan pemuda Islam dibakar hidup-hidup pada tiang-tiang salib, hanya karena tidak mau memasuki agama yang dibawa oleh para rahib.

Seorang bocah laki-laki mungil tampan, berumur tujuh tahunan, malam itu masih berdiri tegak di lapangan Inkuisisi yang telah senyap. Korban-korban kebiadaban itu telah syahid semua. Bocah mungil itu mencucurkan air matanya menatap sang ibu yang terkulai lemah ditiang gantungan. Perlahan-lahan bocah itu mendekati tubuh sang ummi yang sudah tak bernyawa, sembari menggayuti ibunya. Sang bocah berkata dengan suara parau, "Ummi, ummi, mari kita pulang. Hari telah malam, bukankah ummi telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta, tsa....? Ummi, cepat pulang ke rumah ummi..." Bocah kecil itu akhirnya menangis keras, ketika sang ummi tak jua menjawab ucapannya. Ia semakin bingung dan takut, tak tahu harus berbuat apa. Untuk pulang ke rumah pun ia tak tahu arah.

Akhirnya bocah itu berteriak memanggil bapaknya " Abi...Abi...Abi...". Namun, ia segera terhenti berteriak memanggil sang bapak ketika teringat kemarin sore bapaknya diseret dari rumah oleh beberapa orang berseragam.

"Hai...siapa kamu?!" teriak segerombolan orang yang tiba-tiba mendekati sang bocah. "Saya Ahmad Izzah, sedang menunggu Ummi..." jawab sang bocah memohon belas kasih. "Hah...siapa namamu bocah, coba ulangi!" bentak salah seorang dari mereka.
"Saya Ahmad Izzah..." sang bocah kembali menjawab dengan agak grogi. Tiba-tiba plak! sebuah tamparan mendarat dipipi sang bocah. "Hai bocah...! Wajahmu bagus tapi namamu jelek. Aku benci namamu. Sekarang kuganti namamu dengan nama yang bagus.


Namamu sekarang 'Adolf Roberto' ..Awas! Jangan kau sebut lagi namamu yang jelek itu. Kalau kau sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh!" ancam laki-laki itu.
Sang bocah meringis ketakutan, sembari tetap meneteskan air mata. Anak laki-laki mungil itu hanya menurut ketika gerombolan itu membawanya keluar lapangan Inkuisisi. Akhirnya bocah tampan itu hidup bersama mereka.
*******************************************************

Roberto sedar dari renungannya yang panjang. Pemuda itu melompat ke arah sang tahanan. Secepat kilat dirobeknya baju penjara yang melekat pada tubuh sang ustadz. Ia mencari-cari sesuatu di pusar laki-laki itu. Ketika ia menemukan sebuah 'tanda hitam' ia berteriak histeris, "Abi...Abi...Abi..." Ia pun menangis keras, tak ubahnya seperti Ahmad Izzah dulu.

Fikirannya terus bergelut dengan masa lalunya. Ia masih ingat betul, bahwa buku kecil yang ada di dalam menggamannya adalah Kitab Suci milik bapanya, yang dulu sering dibawa dan dibaca ayahnya ketika hendak menidurkannya.

Ia jua ingat betul ayahnya mempunyai'tanda hitam' pada bahagian pusar. Pemuda beringas itu terus meraung dan memeluk erat tubuh renta nan lemah. Tampak sekali ada penyesalan yang amat dalam atas ulahnya selama ini. Lidahnya yang sudah berpuluh-puluh tahun alpa akan Islam, saat itu dengan spontan menyebut, "Abi.. aku masih ingat alif, ba, ta, tsa..." Hanya sebatas kata itu yang masih terekam dalam benaknya.

Sang ustadz segera membuka mata ketika merasakan ada tetesan hangat yang membasahi wajahnya. Dengan tatapan samar dia masih dapat melihat seseorang yang tadi menyiksanya habis-habisan kini tengah memeluknya.

"Tunjuki aku pada jalan yang telah engkau tempuhi Abi, tunjukkan aku pada jalan itu..." Terdengar suara Roberto memelas. Sang ustadz tengah mengatur nafas untuk berkata-kata, ia lalu memejamkan matanya. Air matanya pun turut berlinang. Betapa tidak, jika sekian puluh tahun kemudian, ternyata ia masih sempat berjumpa dengan buah hatinya, di tempat ini. Sungguh tak masuk akal. Ini semata-mata bukti kebesaran Allah.

Sang Abi dengan susah payah masih bisa berucap." Anakku, pergilah engkau ke Mesir. Disana banyak saudaramu. Katakan saja bahwa engkau kenal dengan Syaikh Abdullah Fattah Ismail Al-Andalusy. Belajarlah engkau di negeri itu."

Setelah selesai berpesan sang ustadz menghembuskan nafas terakhir dengan berbekal kalimat indah "Asyahadu an la Illaaha ilallah,wa asyhadu anna Muhammad Rasullullah.." Beliau pergi menemui Rabbnya dengan tersenyum, setelah sekian lama berjuang dibumi yang fana ini.

Kini Ahmad Izzah telah menjadi seorang alim di Mesir. Seluruh hidupnya dibaktikan untuk agamanya, 'Islam', sebagai ganti kekafiran yang di masa muda sempat disandangnya. Banyak pemuda Islam dari berbagai penjuru berguru dengannya... " Al-Ustadz Ahmad Izzah Al-Andalusy.

Benarlah firman Allah...

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah. Itulah agama yang lurus,tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS 30:30)

[undzurilaina]

Antara yang Fardhu dengan yang Sunnah

Antara yang Fardhu dengan yang Sunnah[1]

Di antara gejala meremehkan berbagai perbuatan yang termasuk fardhu kifayah, sementara lebih menekankan ibadah yang hukumnya sunnah, adalah seperti ditunjukkan oleh seorang teman yang berkeinginan melakukan haji sunnah (mungkin untuk ketiga kalinya), ketika saya bertanya kepadanya: “Berapa biaya haji-mu ini?! Hampir seribu junaih (mata uang Mesir, semacam pound sterling)?!”

“Ya, mungkin lebih,” jawabnya.

Lalu saya berkata kepadanya: “Saya ingin menunjukkan kepada Anda sebuah amalan yang lebih afdhal. Si Fulan baru saja menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Farmasi. Ia seorang pemuda miskin, sangat membutuhkan bantuan, seperti juga halnya masyarakat Muslim pada umumnya dalam keadaan miskin, dan sangat membutuhkan lebih banyak apotik2 yg bisa menolong mereka. Berikan uang yang sedianya akan Anda gunakan untuk haji, kepada pemuda lulusan Farmasi itu (sebagai modal-kerja dalam suatu perseroan) agar ia membuka sebuah apotik yang akan sangat berguna bagi masa depannya sendiri dan juga sangat bermanfaat bagi umat. Saya yakin, Allah swt akan memberimu pahala lebih besar daripada pahala hajimu ini!!!”

Temanku itu berteriak keheranan: “Omongan apa ini?”

“Jika Anda mengikuti saranku,” kataku lagi, “Anda telah menegakkan sebuah faridhah (yakni perbuatan fardhu) dan sekaligus menutup sebuah celah kelemahan masyarakat, di samping ikut serta dalam jihad yang amat sangat besar manfaatnya …, sebagai ganti ibadah sunnah yang akan Anda kerjakan!”

Masih dalam keheranannya, temanku itu berkata lagi: “Aku harus meninggalkan haji, demi membantu seseorang membuka sebuah apotik? Apa-apaan ini?!”

“Benar,” kataku lagi. “Mayoritas umat Muslim masa sekarang tidak menyadari betapa terpuruknya mereka dalam kenistaan dan keterbelakangan yang mereka sedang alami sekarang maupun yang akan mereka hadapi di masa mendatang. Dan karenanya, mereka melaksanakan agama mereka laksana seekor unta buta yang menabrak sana sini tanpa mengetahui hasil dan akibat apa yang akan dihadapinya!!!”

Sejumlah amat besar kaum Muslim masa kini tidak (atau belum) menyadari betapa

besarnya tragedi yang sedang menimpa umat mereka. Tidak juga seberapa besar keterbelakangan amat mengerikan yang mengancam masa kini dan masa depannya. Dan oleh karenanya, mereka terus-menerus menggapai-gapai dalam kegelapan yang tak ada akhirnya.

Dalam beberapa buku karangan saya pernah saya kutip pernyataan sebagian para fuqaha, bahwasanya Allah swt takkan menerima suatu ibadah yang sunnah sebelum telah dilaksanakannya yang fardhu. Fardhu di sini, mencakup fardhu `ain maupun fardhu kifayah.

Oleh sebab itu, jika pelaksanaan sesuatu yang bersifat sunnah dapat menghalangi pelaksanaan yang fardhu, maka tak ada tempat bagi yang sunnah. Contohnya:

Jika puasa sunnah (atau mungkin juga bertahajjud semalam suntuk—pent.) mengakibatkan seorang guru kelelahan (di siang hari) sehingga tidak mampu melaksanakan kewajibannya mengoreksi hasil kerja murid2nya dengan cukup teliti, maka tak seyogianya ia berpuasa sunnah. Demikian pula jika hal itu membuat seorang dokter kurang teliti dalam memeriksa seorang pasien, atau dalam mendiagnosis jenis penyakitnya, atau dalam menulis resep obat yang tepat untuknya ..!

Bukankah Allah swt telah memaafkan (atau memberikan keringanan) bagi mayoritas kaum beriman dari “kewajiban” bertahajjud di malam hari atau memperpanjangkan bacaan ayat2 Al-Qur’an di dalamnya, sepanjang mereka sudah dilelahkan oleh jihad fi sabilillah, atau oleh perjalanan berniaga guna mencari rizki dari kota yang ini ke kota yang itu?! (Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu (wahai Nabi) berdiri (bershalat) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya, demikian pula segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu. Maka Allah memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Qur’an. Dia mengetahui (pula) bahwa akan ada di antara kamu orang2 yang sakit dan orang2 yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang2 lain lagi yang berperang di jalan Allah. Maka bacalah sekadar apa yang mudah bagimu dari Al-Qur’an …. (QS Al-Muzzammil: 20).

Pada hakikatnya, semua jenis ibadah, baik yang fardhu `ain atau kifayah, adalah sarana pensucian diri individual (tazkiyat an-nafs), juga demi penguatan keimanan masyarakat. Dan seorang Muslim yang bijak akan memilih melaksanakan jenis ibadahnya sesuai

yang lebih cocok bagi dirinya sendiri, tanpa berupaya melarikan diri dari kewajiban yang dibebankan kepadanya.

Seorang hartawan misalnya, ibadahnya yang paling utama adalah dengan menginfakkan hartanya dalam amal kebajikan dan memberikan bantuan kepada yang memerlukan. Tidak cocok baginya berpuasa sunnah atau bertahajjud di malam hari sebagai pelarian dari kewajibannya berinfak fi sabilillah. Demikian pula seorang ulama yang luas ilmunya, ibadahnya yang utama ialah memberi nasihat untuk semua orang; yang khusus maupun yang awam. Tidak cocok baginya terus-menerus ber-i`tikaf , atau berdiam diri dan mengelak dari keharusan ber-amr ma`ruf dan nahi munkar, terutama saat merajalelanya demoralisasi dan kekacauan! [undzurilaina]


[1] Diterjemahkan oleh ustadz Muhammad Baqir dari buku Musykilat fi al-Thariq al-Hayah al-Islamiyyah karya Syaikh Muhammad al-Ghazali

Hakikat Ibadah dalam Islam

Hakikat Ibadah dalam Islam[1]
Di saat memperhatikan berbagai ibadah ritual yang diperintahkan lewat wahyu, kita mendapati pelaksanaannya dalam sehari semalam tidak memakan waktu lebih daripada setengah jam. Begitu juga pelajaran-pelajaran yang berkaitan dengan itu tak lebih daripada satu atau dua halaman buku. Waktu selebihnya begitu banyak sehingga memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk memahami kehidupan ini, menemukan potensi-potensi dalam diri kita maupun yang terpendam di alam sekitar, yang seharusnya dapat digunakan secara sebagian atau keseluruhan demi melayani kepentingan agama (dan umatnya).

Harus dipahami bahwa semua upaya dan energi yang ditujukan untuk semua itu, dalam syariat disebut: amal shaleh, atau jihad yang direstui, atau penambah keimanan yang menghasilkan keridhaan Allah swt., seperti dalam firman-Nya Barang siapa berbuat amal shaleh, sedangkan ia beriman, maka takkan disia-siakan upayanya itu, dan Kami pasti akan mencatatnya …(S.Al-Anbiayaa: 94).

Sungguh mustahil membangun sebuah masyarakat yang sukses dalam melaksanakan misinya, sepanjang pribadi-pribadi mereka tidak berilmu-pengetahuan ttg dunia, bahkan dalam keadaan lemah dalam hidupnya. Amal-amal shaleh yang dituntut dari mereka pada hakikatnya termasuk yang dihasilkan oleh cangkul si petani, jarum si penjahit, pena si penulis dan botol-botol si ahli farmasi. Amal2 shaleh itu juga yang dilakukan oleh si penyelam di dalam lautan, si penerbang dalam pesawat terbangnya, si peneliti dalam laboratoriumnya dan si akuntan dalam pembukuannya. Setiap Muslim, yang bertanggungjawab atas risalah yang diembannya, melakukan apa saja sambil menjadikannya sebagai pembelaan terhadap (Agama) Tuhannya dan penegakan kalimat-Nya.

Kegagalan terbesar yang menimpa kita dan harus kita bayar dengan harga amat mahal adalah ketika kita kalah dalam berbagai segi kehidupan, sementara kita, di saat yang sama, mengira bahwa pahala-pahala Allah telah kita raih dengan beberapa kata (zikir) yang kita ucapkan dan berbagai ritual tambahan yang kita ada-adakan.

Bayangkan seorang tokoh berhasil meraih kedudukan sebagai pemimpin di suatu negeri, lalu ia berkata kepada orang-orang di sekitarnya: “Di hadapan kalian ada berbagai lembaga kenegaraan yang harus kalian kelola dengan baik, demi membuktikan kemampuan kalian dan pencapaian sasaran kalian!” Namun orang-orang itu menelantarkan lembaga-lembaga tersebut, dan sebagai gantinya, mereka berkumpul pada waktu-waktu tertentu di depan istana, untuk mengelu-elukan Sang Pemimpin dan meneriakkan namanya secara berulang-ulang!

Sungguh, sekiranya Sang Pemimpin mengusir mereka dari halaman istananya, ia tidak bisa disebut telah menzalimi mereka. Bahkan sekiranya ia memerintahkan para pengawal agar memukuli mereka, ia tidak bisa disebut telah menzalimi mereka. Sebab mereka adalah para perusak, bukan pengikut yang setia!

Sejak waktu cukup lama, terdapat kelompok-kelompok ahli ibadah yang membatasi ibadah mereka hanya dalam bentuk salawat-salawat dan zikir semata-mata. Mereka mengulang-ulang kebiasaan seperti itu secara terus-menerus, sambil mengira bahwa bangsa-bangsa dapat ditegakkan dengan berbagai gumam dan komat-kamit, tanpa kerja keras dan nyata dalam membangun umat. Kalau begitu, siapa gerangan yang akan membela Allah dan Rasul-Nya? Mereka itu sepertinya itu tidak mengetahui sedikit pun tentang besi, tungku-tungkunya dan pabrik-pabrik yang berkaitan dengan besi. Sedangkan Allah swt berfirman dalam Kitab-Nya: Telah Kami turunkan (logam) besi yang mengandung kekuatan sangat besar dan di dalamnya terdapat amat banyak manfaat bagi manusia. Dan agar Allah mengetahui siapa gerangan yang benar-benar membela Allah dan rasul-rasul-Nya … (QS Al-Hadiid: 25).

Ada puluhan jenis industri, untuk sipil dan militer, yang berkaitan dengan minyak dan cara-cara mengeksploitasinya serta pemanfaatan industri-industri sampingannya. Kita (kaum Muslim) tidak cukup mengetahui tentangnya. Dapatkah akidah tauhid kita dilayani secara baik dengan kelemahan dan kebodohan yang hina seperti ini?? (Ingat Aramco, perusahaan minyak Amerika, di Saudi Arabia; atau Freeport, Blok Cepu dll di Indonesia—pent.)

Seandainya dikatakan kepada segala suatu di negeri-negeri Muslim: “Kembalilah ke negeri asalmu!” sungguh saya khawatir rakyat di negeri-negeri ini akan berjalan dalam keadaan tubuh dan kaki telanjang. Karena mereka takkan menjumpai lagi sesuatu, buatan tangan mereka sendiri, yang dapat mereka pakai sebagai penutup tubuh atau kaki-kaki mereka, atau sesuatu yang dapat mereka kendarai atau menerangi rumah-rumah mereka! Bahkan saya khawatir mereka akan ditimpa kelaparan, mengingat negeri-negeri mereka tidak mampu berswasembada di bidang pangan mereka!

Allah swt sungguh takkan menerima cara melaksanakan agama yang mirip dengan kelumpuhan aneh seperti ini. Sungguh saya tidak tahu, bagaimana kita mengklaim diri kita beriman dan berjihad, sementara kita masih menderita penyakit kekanak-kanakan yang menyebabkan orang-orang lain memberi kita makanan dan obat2an. Dan kadang-kadang senjata, di saat-saat mereka mau???

Ini adalah sikap kekanak-kanakan yang mengundang para pengasuh yang berkuasa penuh atas mereka. Bicara tentang penyuksesan misi kita, sementara kita masih dalam keadaan seperti ini, benar-benar adalah omong kosong dan mendatangkan ejekan dan cemoohan. Mana mungkin kanak-kanak mampu memikul tugas-tugas para pejuang besar?

Sering kali saya memerhatikan sikap banyak pemuda yang bersemangat untuk melayani agama mereka. Akan tetapi betapa dalam kekecewaan saya ketika melihat kekeliruan besar yang menghinggapi pikiran mereka seperti yang mereka warisi dari generasi-generasi sebelum mereka. 

Mereka tidak menganggap keringat yang mengucur akibat penelitian tentang minyak, atau kotornya wajah akibat bekerja di belakang mesin-mesin sebagai bagian dari jihad. Sebab jihad, dalam bayangan mereka, hanyalah dalam bentuk membaca wirid-wirid dan sebagainya, seraya mengulang-ulangnya sepanjang ada waktu untuknya.

Pernah saya menyaksikan seorang ahli farmasi sangat menyibukkan diri dalam membahas dan meneliti tentang hukum shalat Tahiyyat al-Masjid di tengah-tengah berlangsungnya khutbah Jum`at (apakah hal itu sunnah atau tidak?) dengan mentarjihkan suatu mazhab di atas mazhab lainnya. Saya berkata kepanya, “Mengapa Anda tidak berupaya memenangkan Islam justru di bidang yang Anda kuasai dan meninggalkan masalah ini untuk para ahlinya?”
Islam jauh ketinggalan di bidang industri obat-obatan. Dan sekiranya musuh-musuh berencana meracuni umat Islam, niscaya mereka akan berhasil, sementara kalian tidak akan mampu melawan mereka! Tidakkah lebih baik bagi Anda dan teman-teman Anda untuk melakukan sesuatu di bidang seperti ini, ketimbang memperbandingkan antara pendapat Syafi`i dan Malik??

Seorang mahasiswa di jurusan kimia menanyakan kepada saya tentang suatu masalah berbelit-belit di bidang ilmu’l-kalam. Saya berkata kepada diri sendiri, “Hadiah Nobel tahun ini dibagikan kepada beberapa ahli kimia, tak seorang Muslim pun ada di antara mereka. Padahal kebutuhan kaum Muslim untuk mendalami bidang ini amat mendesak! Seperti yang pernah saya kisahkan dalam salah satu buku saya, bagaimana tentara Rusia meluluhlantakkan sekelompok pejuang Afghanistan dengan cara menghantam mereka dengan senjata-senjata kimia. Para korban hilang dalam kesunyian, sementara kaum Muslimin lainnya di negara-negara mereka masing-masing mendengar berita tersebut, tapi semua tak tahu apa yang harus mereka lakukan untuk menolong saudara-saudara mereka.[undzurilaina]



[1] Diterjemahkan oleh ust. Muhammad Baqir dari buku Musykilat fi at-Thariq al-Hayah al-Islamiyah karya Syaikh Muhammad Al-Ghazali

Thursday, June 28, 2007

Kupotongkan Seekor Kambing

Alkisah, Dalam sebuah perjalanan, seorang badui[1] berpapasan dengan iring-iringan jenazah.

"Aku akan ikut menyalatkan jenazah ini agar kelak kalau aku meninggal orang tak akan segan-segan menyalatkan aku," katanya dalam hati.

Masuklah ia ke mesjid bersama para pelayat untuk menyalatkan orang yang sama sekali tidak dikenalnya. Selesai salat, badui itu melanjutkan perjalanannya.

Pada malam harinya imam masjid mimpi bertemu mayat yang belum lama ia salatkan.

"Bagaimana keadaanmu," tanya sang imam.

"Alhamdulillah, Allah mengampuni dosa-dosaku berkat doa si badui itu."

Keesokan harinya, sang imam mencari si badui. Setelah bertemu, ia bertanya, "Apa yang kau ucapkan ketika salat jenazah kemarin, sebab aku mimpi bahwa almarhum telah diampuni dosa-dosanya berkat doamu."

"Aku tidak berdoa apa-apa, kata si Badui. "Aku hanya berkata, ‘Ya Allah sekarang dia adalah tamu-Mu, kalau ia tamuku, akan kupotongkan seekor kambing."


[1] (Badui sering di asosiasikan dengan orang yang pengetahuannya pas-pasan, hidup sangat sederhana, polos, dan jujur. Apa yang ada di hatinya, itu pula yang tampak pada raut mukanya dan terdengar lewat suaranya)

Dari Allah, Baik Semata

Dalam keseharian kita seringkali merasa bahwa kalau kita berhasil atau senang maka itu adalah hasil dari usaha kita semata, sedangkan kalau kita gagal kemudian kita melemparkannya sebagai bahwa ini sudah ketentuan dari Allah SWT. Padahal sesungguhnya apa yang diberikan oleh Allah kepada manusia itu hanyalah kebaikan semata. Allah SWT berfirman:

“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja keburukan yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri” (QS. An-Nisa’: 79).

Kita mengetahui bahwa bumi berputar mengelilingi matahari setiap hari. Bumi sendiri melakukan rotasi di porosnya. Oleh karena hal tersebut maka adakalanya sebagian dari bumi terang dan sebagian lainnya gelap.

Mengapa sebagian daerah di bumi itu terang?

Karena terkena sinar matahari.

Mengapa sebagian daerah di bumi itu gelap?

Ini bukan karena matahari, tapi hal ini disebabkan karena pergerakan bumi sendiri lah yang menyebabkan ia tidak terkena cahaya matahari dan gelap.

Contoh lain misalnya, Allah menciptakan pohon Anggur yang menghasilkan buah anggur. Manusia darinya membuat minuman keras dari anggur. Akhirnya, timbul banyak sekali kejahatan karenanya.

Allah SWT memberikan kekuatan kepada manusia, tapi sebagian orang memanfaatkannya untuk berlaku aniaya terhadap orang-orang lemah.

Allah menganugerahkan akal kepada manusia, namun sebagian orang menyalahgunakannya. Sebagian orang dengan akal yang diberikan melakukan penipuan, korupsi dan lain-lain.

Dengan demikian, adalah benar bahwa apa yang diberikan Allah kepada manusia adalah baik semata-mata. Bila ada keburukan, maka itu dari diri kita semuanya. [undzurilaina]

Tuesday, June 26, 2007

MEMANIPULASI PALESTINA

Oleh: IRMAN ABDURRAHMAN (dimuat di Republika, Sabtu 23 Juni 2007)

Selamat datang di Timur Tengah, wilayah yang berkisah tentang banyak hal. Di sana, ribuan tahun lalu, tiga agama besar dunia lahir dan peradaban moral ditinggikan. Namun, di sana pula, kedegilan, kebohongan, dan kezaliman, dari yang sederhana hingga yang paling kompleks sekalipun, ditebar hingga kini.

Dan tanah Kanaan, Palestina, menyajikan contoh yang paling lengkap serta aktual. Di sana, publik dunia dibuai dengan ilusi adanya dua negara yang sama-sama berdaulat, Palestina dan Israel. Tidak ada pendudukan, penindasan, dan kolonisasi Israel, seperti yang disuarakan rakyat Palestina. Lihatlah, kini yang terjadi adalah 'konflik sipil' antara sesama orang Palestina, Hamas dengan Fatah. Kalaupun 'orang-orang bijak' di Barat memboikot bantuan finansial dan Israel tidak mencairkan pajak, itu hanya karena rakyat Palestina telah salah memilih Hamas sebagai pemimpin mereka. Pilihlah figur-figur 'independen', seperti Salam Fayyad, sang 'perdana menteri' baru. Maka, dijamin semua itu tidak akan terjadi.

Mari kita urai jalinan benang dusta yang secara canggih dirajut sehingga tampak bak sebuah 'kebenaran'.

Solusi "Dua-Negara"?

Pada pertengahan 1970-an, mayoritas negara anggota PBB mengakui eksistensi bangsa Palestina. Pada 1993, PLO, dimana Fatah adalah faksi terbesar di dalamnya, mengakui kedaulatan Israel di luar Tepi Barat dan Jalur Gaza, dua wilayah yang hanya 22 persen dari tanah historis Palestina. Dan, inilah solusi "dua-negara" yang didengung-dengungkan itu. Namun, adakah Israel mengakui kedaulatan Palestina dan adakah Otorita Nasional Palestina diakui wewenangnya di dua wilayah yang tinggal sekerat itu?

Jawabannya, kolonisasi terus berlangsung. Tepi Barat difragmentasi menjadi ribuan teritori yang beralih fungsi menjadi komune-komune Yahudi. Tembok pemisah yang sedang dibangun pun inci demi inci masuk ke dalam wilayah Palestina.

Sementara itu, Otorita Nasional Palestina tidak lebih daripada sekedar pemerintahan kota praja, yang hanya memiliki wewenang dalam urusan-urusan administrasi di Gaza dan sebagian distrik di Tepi Barat. Para pejabat Palestina pun tidak dapat bergerak bebas di teritori mereka sendiri tanpa izin dari pasukan keamanan Israel. Belum lagi berbagai penculikan dan penahanan para pejabat eksekutif dan legislatif Palestina. Adakah ini yang dinamakan negara yang berdaulat?

Moderat vs Ekstrimis?

Media-media Barat punya persepsi sendiri mengenai konflik Fatah-Hamas. Koresponden BBC, Paul Reynolds, menyebutnya sebagai, "Pertarungan yang lebih luas antara moderasi (Fatah) dan ekstrimisme (Hamas) di dunia Arab dan Islam". Tiba-tiba saja, dunia lupa sejarah kelam Fatah yang berlumuran darah, bukan saja warga Yahudi, tetapi juga saudara sebangsa mereka sendiri, rakyat Palestina. Tiba-tiba saja dunia abai mengenai tokoh Fatah seperti Mohammad Dahlan, yang Maret 2007 lalu diangkat Mahmoud Abbas sebagai Kepala Dewan Keamanan Nasional. Human Right Wacth menyebut Dahlan berada di balik aksi-aksi kekerasan berupa penangkapan tanpa proses peradilan, penyiksaan, dan pembunuhan para aktivis, jurnalis, dan tokoh-tokoh penentang Fatah ("Human Right under The Palestinian Authority", 1997).

Itukah yang dimaksud dengan moderat? Adakah moderasi bermakna tokoh seperti Dahlan, yang secara reguler bertemu pejabat-pejabat tinggi Israel dan menerima pasokan senjata dari AS melalui Israel untuk mempersenjatai milisinya demi memerangi bangsanya sendiri? Adakah seorang yang moderat berarti tokoh seperti Salam Fayyad, yang mengabdi selama 8 tahun di Bank Dunia dan 6 tahun di IMF serta berteman baik dengan Condoleezza Rice? Dan, adakah pula moderasi itu juga merujuk kepada figur seperti Mahmoud Abbas, yang menulis buku 600 halaman tentang Kesepakatan Oslo tanpa menuliskan secuil kata pun tentang "pendudukan" Israel?

Jika itu yang dimaksud Barat dan Israel sebagai moderat, tampaknya rakyat Palestina lebih menyukai para 'ekstrimis' ketimbang para moderat itu. Rakyat Palestina memilih Hamas bukan karena mereka menginginkan sebuah negara Islam. Mereka memilih Hamas karena lelah dengan Fatah yang korup dan lemah di hadapan Israel. Mereka memilih Hamas karena fitrah setiap bangsa terjajah di mana pun untuk tidak mendukung para kolaborator imperialis.

Kudeta Siapa?

Jika sebuah pemerintahan terpilih diboikot, diculik menteri-menterinya, dan rivalnya dipersenjatai kekuatan-kekuatan asing, lalu akan kita sebut apa ketika ia membela diri? Barat sekali lagi punya jawabannya yang 'khas': Hamas telah melakukan kudeta dengan 'menguasai' Gaza.

Mungkin benar bahwa Hamas bertindak di luar koridor hukum, tetapi apakah lantas tindakan Abbas membentuk 'pemerintahan darurat' dapat dibenarkan? Menurut Konstitusi Palestina, tindakan Abbas menunjuk perdana menteri baru, dan juga pembentukan 'pemerintahan darurat', adalah ilegal.

Pasal 45 dari konstitusi itu menyatakan bahwa presiden tidak berhak menunjuk seorang perdana menteri yang tidak merepresentasikan partai pemenang pemilu (Hamas). Pasal 67 dan 79 menyatakan bahwa perdana menteri dan kabinet yang baru hanya dapat diambil sumpahnya oleh Dewan Legislatif sedangkan Fayyad beserta kabinetnya disumpah oleh Abbas. Jika demikian, akan kita sebut apa kabinet Fayyad sementara konstitusi Palestina tidak memberi wewenang kepada presiden untuk menyatakan 'kedaruratan' tanpa penetapan Dewan Legislatif? Dan, atas dasar apa nantinya negara-negara lain berhubungan dengan 'pemerintahan darurat' ini? Sebuah problem besar ketika, pada saat yang sama, Ismail Haniyah tetap mengklaim haknya sebagai perdana menteri yang sah.

Sejatinya, ini bukanlah konflik sipil tetapi perlawanan bangsa terjajah menghadapi segelintir elit Fatah yang menggadaikan kedaulatan ke tangan kekuatan-kekuatan neo-imperialis.

Laporan pribadi terakhir mantan utusan PBB untuk Timur Tengah (End of Mission Report), Alvaro de Soto, secara eksplisit menyebutkan bahwa penyebab kekacauan di Palestina adalah 'kegagalan' AS mendorong Israel ke arah diplomasi. Bagi de Soto, prasyarat-prasyarat yang diajukan Israel, yang kemudian diamini AS, mustahil dipenuhi Palestina, dan ini menyebabkan jalan menuju negosiasi menjadi buntu. De Soto juga mengecam AS dan Uni Eropa yang menerapkan boikot finansial tanpa memikirkan lebih jauh nasib rakyat Palestina.

Sikap dan pendekatan negatif Israel terhadap Palestina, bahkan saat Fatah yang pragmatis itu berkuasa, semestinya menjelaskan kepada semua pihak bahwa solusi "dua-negara" hanyalah delusi yang diciptakan rezim Zionis untuk sekedar mengulur-ulur waktu (buying time) agar program ilegal kolonisasi dapat terus berlangsung demi mewujudkan nubuat-nubuat fasistik mereka. [undzurilaina]

Sapi Betina dan Gajah

Seorang Badui yang tidak banyak mengerti Al-Qur’an shalat subuh di masjid dan kebetulan saat itu si imam sedang membaca surat Al-Baqarah.


Badui itu tergesa-gesa karena punya banyak keperluan, ia jengkel karena panjang dan lamanya berdiri sehingga isi surat itu tidak begitu dimengerti.

Besoknya si badui itu masih ingin shalat subuh di masjid tersebut, tapi kali ini si imam membaca surat Al-Fiil.

Seketika itu si badui menghentikan shalatnya, dan pergi seraya berkata, “Kemarin kamu membaca surat Al-Baqarah dan kamu selesai dari padanya hingga hampir terbit matahari. Hari ini kamu membaca Al-Fiil dimana gajah lebih besar daripada sapi, saya rasa bacaanmu akan selesai pada waktu dhuhur”. [undzurilaina]

Monday, June 25, 2007

Mengingat Allah di dalam Hati

Perhatikanlah baik-baik segala gerak-gerik hatimu. Jangan sekali-kali mengabaikannya walau hanya sekejap saja. Siapa tahu, pada kejapan itulah hidupmu berakhir dan nyawamu tercabut!

Lakukanlah seperti itu sepanjang engkau dalam keadaan terjaga. Sedangkan jika engkau tidur, jangan sekali-kali tertidur kecuali dalam keadaan bersuci secara lahir dan batin.

Jangan pula engkau tertidur kecuali setelah dikuasainya hatimu oleh zikir kepada Allâh swt. Ingat, aku tidak mengatakan dikuasainya lidahmu, mengingat bahwa gerakan lidah itu (tanpa disertai dengan zikirnya hati) sebetulnya amat lemah pengaruhnya.

(Al-Ghazali)

Tegar

Sebenarnya kita semua mengetahui bahwa semua yang ada di dunia ini adalah milik Allah SWT. Hanya saja kita sering tidak menyadari itu, sehingga kita merasa apa yang kita kuasai sekarang adalah milik kita sepenuhnya. Kesadaran seperti ini yang sering membuat kita mudah goyah akibat sesuatu yang terjadi terhadap milik kita tersebut.

Al-Quran menyebutkan:

“(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan bersedih terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu” (QS. Al-Hadid: 23)

Mungkinkah manusia dapat menjadi sedemikian teguhnya, sehingga diberi atau diambil tidak ada pengaruh baginya?

Seorang karyawan bank sehari-harinya adalah menerima dan mengembalikan uang nasabah. Ketika ia menerima uang dari nasabah dan menghitungnya, ia tidak gembira. Dan ketika mengembalikan uang nasabah karena mereka menginginkannya ia pun tidak sedih. Karena ia tahu betul, ia hanya seorang yang diamanatkan memegang uang nasabah. Uang yang diterima dan dikembalikan bukan miliknya.

Mesin traktor memiliki ban yang didesain sedemikian rupa sehingga tidak masalah berjalan di daerah yang rata ataupun tidak. Namun, tidak demikian halnya dengan ban sepeda.

Sebuah burung pipit yang hinggap di dahan yang kecil membuat dahan itu bergoyang, namun bila ia hinggap di batang pohon yang besar, tidak ada pengaruh apapun padanya.

Manusia besar karena kebesaran hati yang dimilikinya tidak akan terpengaruh dengan hal-hal parsial yang terjadi dalam kehidupannya.

Pada dzuhur di hari Asyura, Sayyidina Husayn ra (cucu Rasulullah SAW yang dibantai di karbala oleh pasukan Yazid bin Muawiyyah) dapat melakukan sholat dengan khusyu’ walaupun anak panah berhamburan ke arahnya pada saat itu. Sementara kita dengan sedikit gerak, konsentrasi kita terpecah.

Mungkinkah kita menjadi sosok manusia yang begitu tegar seperti para Nabi dan Sholihiin? Jawabannya pasti IYA.

Dan barang siapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik. (QS. 17: 19)

Yang diwajibkan atas kita adalah usaha ke arah itu secara sungguh-sungguh seraya berdoa semoga kita menjadi manusia yang tegar. Menjadi manusia yang tidak mudah goyah oleh terpaan angin-angin dunia baik yang membuat kita merana ataupun terlena. Semoga. [undzurilaina]

Monday, June 18, 2007

Dinamika Pendapat Ulama Seputar Transaksi Perbankan

oleh: ust. Muhammad Baqir (dengan sedikit penyuntingan oleh undzurilaina)

Beberapa waktu yang lalu saya menyaksikan di TV berita tentang seorang perempuan dan anak2nya menangis tersedu-sedu karena rumah mereka yang mereka jadikan jaminan akan disita sebagai ganti utang kepada seorang rentenir. Utangnya pertama kali sebanyak 40 juta rupiah, kemudian karena lama menunggak, utang tsb terus-menerus bertambah sampai akhirnya mencapai 120 juta. Mereka masih beruntung karena akibat pembelaan habis-habisan dibantu para tetangga, para juru sita menunda penyitaan. Tetapi, ini hanya “penundaan” penyitaan, bukan “pembatalan”. Beberapa hari lagi pasti mereka akan kembali dengan membawa lebih banyak “teman eksekutor”.

Beberapa waktu lalu, saya juga mendengar tentang seorang petani yang menggadaikan sawahnya kepada seseorang dengan syarat si pemberi pinjaman diberi hak untuk menggarap sawah tsb selama si peminjam belum melunasi utangnya. Dan karena si petani tidak mampu melunasi utangnya, maka penggarapan tsb terus berlangsung bertahun-tahun, dan makin lama si petani makin tidak mampu membayar utangnya tsb karena terus bertambah dan ia tidak punya pekerjaan lain atau sawah lainnya untuk digarap. Akhirnya, si rentenir yang mempekerjakan beberapa orang preman, menyita sawah tsb dengan paksa, menjadikan si petani makin miskin dan putus asa, dan tak lama kemudian bunuh diri.

Akibat-akibat buruk seperti inilah yang antara lain membuat para ulama tidak membenarkan peminjaman uang dengan jaminan barang-barang yang boleh dimanfaatkan oleh si pemberi utang. Barang jaminan (seperti rumah atau sawah) harus tetap dikuasai oleh si pemilik, sampai saat pinjaman tsb jatuh tempo.

Walaupun demikian, persoalan pinjam-meminjamkan uang melalui Bank di masa sekarang sangat membingungkan masyarakat Muslim. Antara ancaman keras Al-Qur’an terhadap pemakan riba khususnya (bahkan mencakup juga si pembayar riba menurut hadis Nabi saw) di satu pihak, dan kebutuhan pembangunan perdagangan dan industri umat di lain pihak, membuat para ulama harus berpikir keras mencari solusi yang terbaik. Berpuluh-puluh tahun masalah ini menjadi perbincangan dan dengan sendirinya menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan mereka.

Bagaimana jika seseorang meminjam uang dari Bank yang dikuasai pemerintah (bukan dari orang per orang), lalu di haruskan membayar bunga ringan yang dianggap menguntungkan kedua fihak, seperti yang berlaku sekarang? Kebanyakan ulama tetap menganggap yang demikian itu termasuk riba yang haram. Tetapi ada juga (sebagian kecil) yang membolehkannya dengan alasan (1) bahwa lembaga-lembaga perbankan seperti sekarang ini adalah hal baru dan belum ada di zaman Nabi saw dan karenanya para ulama yang kompeten dibolehkan berijtihad dengan penghalalannya, dan (2) karena dianggap darurat, yakni sangat diperlukan umat demi kemajuan perdagangan dan industri mereka.

Di antara yang sedikit yang membolehkannya karena dianggap salah satu darurat umat adalah Syaikh Mahmud Syaltut (mantan Syaikh Al-Azhar di Mesir) seperti dapat dibaca dalam kumpulan fatwanya berjudul Al-Fatawa. Katanya, antara lain:

“… (tentang apa saja yang dianggap riba) para fuqaha mempunyai berbagai kesimpulan yang saling bertentangan. Banyak di antara mereka yang menyimpulkan bahwa dosa riba meliputi si peminjam dan yang meminjamkan. Saya sendiri (Syaltut) berpendapat bahwa kebutuhan (darurat) si peminjam serta keperluannya yang memaksa untuk meminjam, menjauhkan darinya dosa transaksi tsb. Sebab Allah swt berfirman: “ … sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atas kamu, kecuali apa yang kamu terpaksa melakukannya.” (QS Al-An`am: 119).”

“Atas dasar itu,” lanjut Syaikh Syaltut, “sebagian fuqaha telah menegaskan bahwa orang yang sangat memerlukan, dibolehkan meminjam uang dengan membayar keuntungan (laba).”

Ia melanjutkan lagi, “Walaupun demikian, saya berpendapat bahwa perkiraan apa yang dinamakan “kebutuhan (darurat) dan kemaslahatan” itu harus diputuskan oleh para pemikir yang ahli, di antara orang-orang beriman yang ahli hukum umum, ahli ekonomi dan ahli hukum syariat. Keputusan tsb harus juga meliputi tiga hal: (1) seberapa besar kebutuhan tsb (2) seberapa besar perkiraan keuntungan (yakni bunga) yang dibolehkan, dan (3) lembaga manakah yang dibolehkan memberikan pinjaman seperti itu. Karenanya, tidak boleh ada pinjaman seperti itu kecuali dengan adanya kebutuhan yang hakiki. Dan tidak boleh ada pinjaman kecuali sebatas yang benar-benar dibutuhkan. Dan tidak boleh ada pinjaman kecuali melalui lembaga-lembaga yang tidak dikhawatirkan akan melakukan pemerasan atau eksploitasi atau penjajahan.”

Fatwa Syaikh Mahmud Syaltut (tahun 1950) yang menghalalkan pinjaman dari bank dengan tambahan bunga tertentu, dengan alasan keterpaksaan atau darurat ternyata menimbulkan kontroversi di kalangan fuqaha di Mesir maupun di negara-negara Muslim lainnya. Banyak yang pro dan banyak pula yang kontra. Perdebatan demi perdebatan dan konperensi demi konperensi tentang bunga dalam pinjaman terus saja berlangsung, tanpa membuahkan kesepakatan. Bahkan diberitakan, setelah berlangsungnya perdebatan sengit antara fuqaha yang pro dan kontra, Syaikh Syaltut bersedia menarik kembali fatwanya itu. Namun dalam kenyataannya, sampai beliau wafat, penarikan kembali tsb tidak terwujud.

Sementara itu, sekitar tahun 80-an, bank-bank yang berupaya menerapkan ekonomi syariah mulai bermunculan di Pakistan, Mesir, Kuwait, Siprus, Bahrain, Uni Emirat Arab, Malaysia, Iran dan Turki. Indonesia sendiri baru mulai mendirikan Bank Muamalat Indonesia pada akhir tahun 1991, kemudian diikuti oleh bank-bank lain seperti Syariah Mandiri dll. Bank-bank ini menerapkan berbagai jenis transaksi yang non-ribawi seperti mudharabah (bagi hasil), musyarakah (penyertaan modal), muzara`ah (bagi hasil dalam pertanian), ijarah (sewa-menyewa termasuk sewa-beli), wadi`ah (simpanan) dan sebagainya.

Akan tetapi, mengingat bahwa bank-bank seperti itu, terutama di Indonesia masih tergolong baru, maka sudah barang tentu masih mengalami berbagai kendala dalam perkembangannya. Antara lain, kurang gencarnya informasi dari bank-bank itu sendiri sehingga pemahaman masyarakat pun belum merata yang sering menimbulkan keragu-raguan. Kurangnya jaringan kantor bank-bank syari`ah, termasuk loket-loket ATM-nya juga masih dirasakan sebagai hambatan. Dan masih ada beberapa lagi kendala teknis dan ekonomis yang belum berhasil disingkirkan, yang tentunya kita harapkan agar dapat diatasi secepatnya.

Kendala-kendala seperti itu (yang juga dialami di berbagai negeri Muslim) dan sudah barang tentu adanya perlawanan dari bank-bank konvensional internasional (yang kebanyakannya dikuasi modal Yahudi) menyebabkan banyak kalangan ilmuwan dan fuqaha tetap saja memperdebatkan soal halal-haramnya pinjaman dan penitipan uang yang berbentuk deposito berbunga tetap, seperti yang berlangsung sekarang. Banyak pula para pelajar dan pedagang yang menulis surat ke Lembaga Fatwa Al-Azhar tentang boleh atau tidaknya deposito dengan bunga tetap.

Maka pada tahun 1976, di Mesir diadakan diskusi tentang bunga bank yang dihadiri oleh 15 orang pakar fiqh yang mewakili keempat mazhab. Hasilnya, 4 ulama mengharamkan, sembilan menghalalkan dan yang seorang lagi belum memberikan keputusan. Selanjutnya, pada tanggal 28 Nopember 2002 Majma` Al-Buhuts Al-Islamiyah yang diketuai oleh Syaikh Al-Azhar yang sekarang, yaitu Sayyid Muhammad Thanthawi mengeluarkan fatwa yang isinya antara lain sbb:

“Mereka yang bertransaksi dengan bank-bank konvensional dengan menyerahkan uang atau simpanan-simpanan mereka kepada bank agar mewakili mereka dalam menginvestasikannya dalam berbagai kegiatan yang dibenarkan, dengan imbalan keuntungan yang besarnya telah ditentukan terlebih dahulu dan dalam waktu-waktu yang telah disepakati, maka transaksi seperti ini adalah halal tanpa syubhat. Karena tidak ada teks keagamaan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw yang melarang transaksi di mana telah ditetapkan terlebih dahulu mengenai besarnya keuntungan, sepanjang kedua belah pihak telah menyetujuinya dengan sukarela.”

Sekali lagi, fatwa tersebut menimbulkan kecaman keras dari banyak pakar fiqh, antara lain DR Yusuf Al-Qardhawi, yang untuk membantahnya telah menulis sebuah buku berjudul Fawaid Al-Bunuk Hiya’r-Riba Al-Haram. Buku ini telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Setiawan Budiono dengan judul Bunga Bank Haram

Berdasarkan keterangan di atas, jika transaksi2 keuangan dan perdagangan masih bisa dilaksanakan di Bank-bank Syari`ah yang ada sekarang, maka untuk amannya, sebaiknya dilakukan di sana. Akan tetapi seandainya telah ditempuh cukup usaha untuk itu namun tetap saja mengalami kesulitan, sehingga dapat dikatakan telah timbul situasi keterpaksaan (atau darurat), lalu seseorang pedagang mengikuti fatwa Syaikh Al-Azhar seperti di atas, mudah-mudahan Allah swt akan mengampuni, mengingat bahwa Allah SWT takkan membebani seseorang lebih dari kemampuannya. Wallahu a`lam.

Prawacana Menanggapi Seminar Holocaust di Bali (2/2)

Peta Mandat Inggris atas Palestina tahun 1920 dan benderanya.

Untuk itu, isu Palestina bukan suatu persoalan yang dibuat-buat alias direkayasa oleh Palestina, tetapi ia merupakan kasus internasional yang harus dicari jalan keluarnya. Yaitu, Israel harus minggat dari negara itu.

Tidak Semua Bangsa Israel Di Dunia Menyetujui Pembentukan Negara Israel

Salah satu persoalan lain yang kurang dipahami oleh Gus Dur adalah persoalan pembentukan negara Irael itu, sendiri yang terkait dengan konsep teologi Yudaisme. Secara ideologi, ajaran Yahudi dan mayoritas bangsa Israel di luar negeri tidak menyetujui terhadap pembentukan negara Israel itu sendiri. Menurut mereka, Zionisme telah menyalahi konsep dasar ideologi Yudaisme yang mana pada dasarnya, mereka tidak diperbolehkan untuk balik kesana kecuali bila Tuhan menghendaki hal tersebut.

Untuk itu, menurut mereka pembentukan negara Israel oleh kelompok Zionisme adalah penyimpangan akidah Taurat dan pelecehan terhadap ideologi dasar umat Yahudi. Inilah beberapa pandangan Rabbi Yahudi sendiri yang menolak terjadinya pembentukan negara Israel yang bukan berasal dari Tuhan secara langsung. Sebab sebelum masa itu, bangsa Israel dilarang untuk membentuk suatu negara apapun, karena hal itu melanggar sumpah kesetiaan kepada Tuhan dan yang akan datang nantinya bukan keselamatan Tuhan, tetapi justru bencana dari-Nya.

Para Rabbi yang menolak sebarang pembentukan Negara Israel sebelum era PD I:

  • Maimonides
  • Rabbi Yitzchok Aramah
  • The Maharal of Prague
  • Rabbi Avraham Galanti
  • Rabbi Bechaye
  • Rabbi Aryeh Leib Alter
  • Rabbi Nachman
  • Rabbi Yechezkel Halberstam
  • Rabbi Tazdok Hakohen of Lublin
  • Rabbi Yehoshua Leib Diskin
  • Rabbi Samson Raphael Hirsch
  • Rabbi Yosef Chaim Sonnenfeld
  • Rabbi Yehoshea Dzikover

Para Rabbi yang menolak sebarang pembentukan Negara Israel sebelum era PD II:

  • Rabbi David Friedman of Karlin
  • Rabbi Meir Simcha of Dvinsk
  • Rabbi Yosef Rozen
  • Rabbi Avraham Freund
  • Rabbi Elchonon Wasserman
  • Rabbi Chaim Soloveichik of Brisk
  • Rabbi Chofetz Chaim
  • Rabbi Sholem Schneersohn
  • Rabbi Shaul Brach
  • Rabbi Yissachar Dov Belze Rabbe
  • Rabbi Chaim Oizer Grodzinski
  • Rabbi Chaim Elazar Shapiro

Para Rabbi yang menolak sebarang pembentukan Negara Israel setelah PD II:

  • Satmar Grand Rebbe Joel Teitelbaum
  • Rabbi Yosef Tzvi Dushinsky
  • Rabbi Yitzchock Zev Soloveitchik
  • Rabbi Avraham Yeshayau Karelitz
  • Rabbi Yitzchok Dov Koppelman
  • Rabbi Michael Dov Weissmandl

  • Rabbi Aharon Kotler
  • Rabbi Mordechai Gifter
  • Rabbi Elya Svei
  • Rabbi Baruch Kaplan
  • Rabbi Amram Blau
  • Rabbi Avigdor Miller, zt'l
  • Rabbi Yitchok Hutner Z"L



  • Pernyataan oleh 77 Rabbi terkemuka di AS dan Kanada
  • Pernyataan 30 September 1982 oleh 13 Rabbi terkemuka di Europa dan Kanada

  • Pernyataan 2 Juni 1920 oleh 12 Rabbi Agung di Hungaria menolak Zionisme

  • Pernyataan 14 Desember, 1925 di Kaszica, Hungaria

Protes dan Demonstrasi Terhadap Zionisme Oleh Bangsa Israel Sendiri


2005 Protes atas kekerasan terhadap Yahudi di Holy Land, Montreal, Kanada
2005 10,000 Protes atas kekerasan terhadap Yahudi di Holy Land, New York City, NY
2004 Protes atas penodaan makam kuno Acco, Holy Land
2003 Ortodox Yahudi memprotes Pemilu Israel 28 Jan 2003 Yerusalem, Holy Land
2002 Protes sewaktu kunjungan Ariel Sharon kepada Presiden Bush Washington, DC
2002 Protes massa Yahudi atas Israel, 12 Februari 2002 Manhattan, NY
1980 Protest massa Yahudi atas kebrutalan polisi negara Zionis di Manhattan, NY
1980 Protes atas PM Begin, Washington, DC
1979 Protes di Madison Square Garden (dihadiri oleh Satmar Grand Rebbe Teitelbaum) New York City, NY

1973 Penduduk Mea She'arim memprotes peringatan ke 25th atas Pendirian negara Zionis

Melalui sedikit uraian yang ringkas ini, semoga Gus Dur bisa memahami persoalan sesungguhnya yang ingin disampaikan pada saat konferensi Holocaust di Iran yang diselenggrakan oleh Presiden Iran Ahmedinejad. Artinya, acara itu bukan ingin memojokan bangsa Israel, tetapi justru ingin menyadarkan masyarakat dunia bahwa pembentukan sebuah negara yang bernama Israel pada tahun 1948 oleh Zionisme bukanlah keinginan seluruh bangsa Israel di dunia, tetapi hanya segilintir kelompok bangsa Israel saja.

Dengan demikian, kasus penolakan Holocaust tidak selayaknya di konfrontasikan dengan Presiden Iran, Ahmadinejad seorang, tetapi ia mewakili suara-suara sumbang bangsa Israel yang mengharapkan perhatian dan keinginan mereka untuk menjalankan ajaran mereka secara damai dan tentram di dunia ini.

Di samping itu, persoalan Palestina bukan persoalan fiktif yang telah direkayasa oleh segelintir kelompok dari kalangan bangsa Palestina, tapi ia justru persoalan real dan nyata serta membutuhkan perhatian dari kita semua.

Untuk itu, kalau ingin membantu menghidupkan toleransi beragama, LIHAT-lah setiap persoalan secara arif dan bijaksana, sehingga keputusan kita sebagai sebuah bangsa yang besar dan ingin berperan di dunia tidak sekedar membeo apalagi memBUTA. Bukankah begitu Gus?

[undzurilaina]

Prawacana Menanggapi Seminar Holocaust di Bali (1/2)


Prawacana Menanggapi Seminar Holocaust di Bali:

“Ketika Yang Mewancarai Tidak Tahu Persoalan, Sama Seperti Yang Diwawancarai

oleh: M. Musadiq Marhaban (pakar Kristologi)

Inilah sikap mengecewakan yang mana ketika sebagian pemimpin bangsa kita bisanya hanya “manutan” dengan tawaran bangsa asing. Sikap Gus Dur untuk melakukan konferensi Toleransi Agama di Bali yang diselenggarakan pada Selasa (12 Juni 2007) sungguh sangat disesalkan.

Di sini persoalannya bukan pada masalah toleransi, tetapi pernyataan keliru Gus Dur yang mengatakan bahwa Presiden Iran, Ahmedinejad telah menolak keberadaan peristiwa Holocaust. Inilah Gus Dur, seorang mantan Presiden Indonesia yang terlalu tergesa-gesa untuk menerima masukan dari seorang warga AS, Colin Tail yang juga menjadi penyelenggara seminar di Bali untuk membela peristiwa Holocaust.

Pertama-tama, persoalan kebenaran peristiwa Holocaust bukanlah perselisihan pendapat yang terjadi antara Presiden Ahmedinejad dan kaum Yahudi, karena penolakan atau denial atas peristiwa Holocaust untuk pertama kalinya justru berasal dari mayoritas bangsa Israel sendiri.

Mungkin Gus Dur perhatian dengan persoalan keagamaan di Indonesia dan berupaya agar tidak muncul sikap ekstrim. Tetapi sayangnya, Gus Dur sendiri terjebak dengan sikapnya yang ekstrim untuk memaksakan kebenaran peristiwa Holocaust yang sebenarnya masih menjadi perdebatan hangat dikalangan umat Yahudi, jauh sebelum Presiden Ahmedinejad menyelenggarakan seminar Holocaust di Iran.

Sebagai seorang mantan Presiden, Gus Dur seharusnya bisa melihat persoalan ini secara proporsional dengan tidak melakukan tirani-intelektual, serta memaksakan pendapatnya bahwa bangsa Indonesia harus percaya kepada peristiwa Holocoust. Sebab, bagi orang-orang yang cermat di dalam mengamati perkembangan Yudaisme di dunia, maka mereka jelas akan menertawakan seminar non-akademis yang dilakukan Gus Dur di Bali bersama pemimpin spiritual Hindu, Sri Sri Ravi Shankar, dan Direktur the Pardes Institute of Jewish studies, Rabbi Daniel Lande.

Gus Dur seharusnya tahu bahwa tidak semua bangsa Israel membenarkan peristiwa Holocaust, bahkan buku The Holocaust Industry yang ditulis oleh seorang Yahudi, Norman G. Finkelstein jelas menunjukkan bahwa yang menolak kebenaran Holocaust bukanlah Presiden Ahmedinejad, tapi justru sebagian besar umat Yahudi sendiri.

Finkelstein mengatakan:

Since the late 1960s, there has developed a kind of Holocaust industry which has made a cult of the Nazi Holocaust. And the purpose of this industry is, in my view, ethnic aggrandisement - in particular, to deflect criticism of the State of Israel and to deflect criticism of Jews generally.” (Dari BBC News, Europe, 26 Januari, 2000 Is there a Holocaust 'Industry'?)

Demikian pula, Gus Dur seharusnya tidak semata-mata membangun hubungan toleransi beragama dengan rezim Tel Aviv di Israel, tetapi bila Gus Dur memang ingin menyuarakan kebenaran dan toleransi, maka dia seharusnya membangun hubungan dan kerjasama toleransi beragama dengan semua Rabbi di dunia, termasuk dengan mereka yang anti terhadap Zionisme, dan bukan hanya dengan mereka yang mendukungnya.

Dalam sebuah artikel yang berjudul The Role Of Zionism In The Holocaust—oleh Rabbi Gedalya Liebermann, di Australiasecara jelas dinyatakan bahwa penanggung jawab terbunuhnya umat Yahudi di Eropa adalah akibat gerakan Zionisme yang dimotori oleh sebagian kecil bangsa Israel sendiri. Dia mengatakan:

All of the leading Jewish religious authorities of that era predicted great hardship to befall humanity generally and the Jewish People particularly, as a result of Zionism.” (http://www.jewsagainstzionism.com/antisemitism/holocaust/gedalyaliebermann.cfm)

Selain itu, dia juga mengatakan bahwa di era PD II, kelompok Zionis lah yang justru berkolaborasi dengan pihak Nazi dengan memberikan bantuan militer kepada mereka. Ingat, hal ini terjadi pada masa—menurut konferensi Gus Dur di Bali—terjadinya pembantaian umat Yahudi secara masal oleh pihak Nazi di Eropa:

In early January 1941 a small but important Zionist organization submitted a formal proposal to German diplomats in Beirut for a military-political alliance with wartime Germany. The offer was made by the radical underground "Fighters for the Freedom of Israel", better known as the Lehi or Stern Gang. Its leader, Avraham Stern, had recently broken with the radical nationalist "National Military Organization" (Irgun Zvai Leumi - Etzel) over the group's attitude toward Britain, which had effectively banned further Jewish settlement of Palestine. Stern regarded Britain as the main enemy of Zionism.”

(http://www.jewsagainstzionism.com/antisemitism/holocaust/gedalyaliebermann.cfm)

Soal Pendudukan Atas Palestina, Benar Atau Tidak Gus?

Salah satu persoalan lucu lainnya yang dinyatakan adalah tidak adanya pendudukan atas tanah Palestina oleh Israel. Mungkin, ini satu persoalan lainnya yang kurang dipahami oleh Gus Dur. Sebab, kasus pendudukan Palestina bukanlah isu yang dibuat oleh bangsa Palestina sendiri, tetapi persoalan ini sudah muncul sejak Deklarasi Balfour pada 2 November 1917. Deklarasi Balfour dibuat akibat kekalahan Kerajaan Ottoman setelah PD I. Sejak itu, wilayah Palestina diserahkan kepada pihak kolonial Inggris.

Pertemuan Kabinet Pemerintah Inggris pada 31 Oktober, 1917 menyatakan bahwa Inggris mendukung rencana Zionis untuk membuat sebuah “tanah air nasional” bagi warga Yahudi di tanah Palestina. Artinya, kaum Zionis memang akan menduduki wilayah Palestina dan membangun sebuah negara dan inilah yang disebut pendudukan.

Jadi , pernyataan Gus Dur yang mengatakan “Pendudukan Israel itu di mana ada pendudukan? Saya tanya. Ramallah dan lainnya tetap mereka di situ. Daerah-daerah suci tetap. Saya mau tanya pendudukan yang mana. Anda aja yang percaya, sendirian itu. Diomongin bohong-bohong kok mau aja.” (Sumber: rnw/hidayatullah.com), jelas tidak benar. Alasannya, persoalan Palestina bukan baru beberapa tahun silam, tapi persoalan ini telah muncul sejak tahun 1920 hingga 1948, saat disepakatinya Mandat Inggris atas Palestina. Artinya, tuntutan bangsa Palestina itu memang ada dasarnya, dan secara hukum internasional kasus pendudukan Palestina itu secara faktual ada, bahkan jauh sebelum Gus Dur sendiri dilahirkan.

Sebelum Israel mendeklarasikan Israel pada tahun 1948 di tanah Palestina, maka bangsa Palestina sudah diakui memiliki negara dengan batas-batas teritorial yang diakui oleh Eropa dan bangsa-bangsa lain.

-bersambung- [undzurilaina]