Tuesday, July 31, 2007

Islam Rahmat bagi Seluruh Alam (3)

Dalam tulisan sebelumnya telah dijelaskan bahwa untuk mencapai kemaslahatan hakiki bagi manusia, hukum Islam melindungi lima hal esensial bagi kehidupannya, yakni agamanya, jiwanya, akalnya, hartanya dan keturunannya. Dalam tulisan lalu, telah diuraikan secara singkat tentang perlindungan terhadap (1) agama dan (2) jiwa. Dan di bawah ini adalah kelanjutannya:

  1. Melindungi akal manusia agar tetap sehat dan cerdas, sehingga bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan umat, terhindar dari segala penyakit atau kelainan yang dapat menjadikannya beban bagi masyarakat umum, atau sumber kejahatan bagi mereka. Karenanya, dalam upaya melindungi akal dari kerusakan, Islam melarang segala jenis minuman keras yang memabukkan dan segala jenis narkoba yang dapat merusak akal. Dan bagi mereka yang tetap melanggar, disediakan hukuman tetentu yang bertujuan mencegah atau membuatnya jera dari perbuatan seperti itu.

Agama Islam juga memerintahkan agar setiap orang berupaya mengembangkan akalnya secara positif, dengan senantiasa belajar dan menambah pengetahuan sepanjang hidupnya. ”Uthlub`l-`ilma `minal-mahdi ilal-lahdi`”. (Tuntutlah ilmu dari sejak dalam buaian sampai masuk kuburan). Begitulah perintah Nabi saw.

Demikian pula sabdanya, ”`Thalab`l-`ilmi faridhatun `ala kulli Muslim wa Muslimah.” (Menuntut ilmu adalah fardhu atas setiap Muslim dan Muslimah).

Jelas, yang dimaksud dengan ilmu bukan hanya terbatas pada apa yang oleh sebagian kita biasa disebut sebagai `ilmu agama` saja, tetapi mencakup semua ilmu (teknologi, kedokteran, kemiliteran, ekonomi, administrasi dsb) yang bermanfaat dan membawa kemajuan dan kekuatan bagi umat.

  1. Melindungi harta (milik perorangan maupun perusahaan dan negara) dari kejahatan terhadapnya, baik melalui pencurian, perampasan, korupsi dsb. maupun melalui perjudian, penipuan dalam perdagangan dsb.

    Untuk itu, hukum Islam mengatur agar setiap transaksi keuangan berlangsung dengan tertib dan adil, atas dasar saling ridha, tanpa paksaan maupun eksploitasi, atau kezaliman suatu pihak terhadap yang lainnya. Karenanya Islam melarang riba yang biasa dilakukan di masa jahiliyah (atau yang di masa sekarang dikenal melalui perbuatan kaum rentenir), dan sebaliknya, lebih mendorong berlangsungnya kerjasama dan tolong-menolong.


    Dalam istilah Al-Qur`an: ”La tazhlimuuna wa laa tuzhlamuun” (Janganlah kalian berbuat zalim terhadap orang lain dan jangan pula orang lain berbuat zalim terhadap kalian).

  1. Melindungi keturunan, dengan mengatur segala jenis hubungan antara laki-laki dan perempuan. Agar setiap anak yang lahir mempunyai orang tua yang sah dan bertanggung jawab atas kesehatan dan pendidikannya. Sehingga ia tumbuh sebagai anggota yang berguna bagi lingkungan dan umatnya.

    Untuk itu Islam mengatur pernikahan dengan segala persyaratannya sebagai satu-satunya hubungan yang dibenarkan, seraya melarang dengan keras segala hubungan di luar itu, seperti perzinaan, perselingkuhan, hidup bersama (samen leven) tanpa nikah dan pergundikan, termasuk pula yang di sebagian dunia Barat sekarang dikenal sebagai perkawinan antar jenis (antara laki-laki dan laki-laki dan antara perempuan dengan perempuan) yang disahkan oleh perundang-undangan mereka.


    ”Wa laa taqrabu`z-zina, innahu kaana faahisyatan wa saa`a sabiilaa
    ” (Jangan sekali-kali kalian mendekati zina, sungguh itu adalah perbuatan amat keji dan amat buruk akibatnya). Begitulah firman Allah swt.

    Karenanya pula, Islam sangat melindungi kehormatan dan kesucian diri setiap orang agar tidak ditujukan kejahatan terhadapnya, melalui tuduhan palsu (dalam istilah fiqh disebut qadhf) atau pelecehan seksual, apalagi dengan perkosaan.


    Karena yang demikian itu merupakan pelanggaran berat terhadap amanat kemanusiaan yang disimpankan Allah swt dalam tubuh setiap orang, laki-laki dan perempuan.[undzurilaina]

    (diringkas dari berbagai sumber)

Islam Rahmat bagi Seluruh Alam (2)

Seperti disebutkan dalam tulisan sebelumnya bahwa kemaslahatan yang dikehendaki Islam dalam penetapan hukum-hukumnya (sesuai dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah) adalah kemaslahatan hakiki yang berlaku bagi pribadi maupun umum. Kemaslahatan seperti itu menurut para ulama mencakup perlindungan dan pemeliharaan keselamatan lima hal esensiil bagi manusia, yaitu:

1. agamanya,

2. jiwanya,

3. hartanya,

4. akalnya,

5. dan keturunannya.

Berikut adalah penjelasan dari masing-masing poin tersebut di atas:

  1. Melindungi agama, guna menjaga manusia agar tetap sebagai makhluk yang dimuliakan di atas semua makhluk Allah yang lain, dan tidak turun martabatnya menjadi seperti binatang yang hidup liar, tanpa aturan dan akhlak. Untuk itu, hukum harus berupaya melindungi agama setiap manusia dari segala bentuk kejahatan yang ditujukan kepadanya.

Karenanya pula, Islam menjamin kebebasan siapa pun untuk memilih agama yang dikehendaki, dan sama sekali tidak memaksanya agar memeluk agama Islam. Allah swt. berfirman dalam Al-Qur`an, “Tak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sungguh telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.(QS Al-Baqarah [2]: 256).

Sejarah telah membuktikan bahwa pemerintah yang Islami (bukan hanya berlabel Islam) senantiasa memberikan perlindungan dan kebebasan untuk kaum Yahudi dan Nasrani hidup aman dan sejahtera di bawah pemerintahan-pemerintahan Islam, sepanjang mereka tidak melanggar hukum yang berlaku. Mereka juga tidak pernah dipaksa meninggalkan agama mereka dan berpindah menjadi Muslim. Bahkan kita dapat membaca dalam sejarah, betapa banyak tokoh beragama Nasrani dan Yahudi yang menduduki jabatan-jabatan penting dalam berbagai kementerian, seperti kesehatan, pembangunan, dsb.

  1. Melindungi jiwa, adalah hak setiap manusia untuk hidup bebas dan mulia, dan melindunginya dari segala kejahatan yang ditujukan kepadanya, baik membunuhnya atau melukainya secara fisik, maupun dengan perbuatan pencercaan, pelecehan maupun tuduhan palsu dsb. yang melanggar kehormatannya, ataupun menyinggung perasaannya.

Karenanya, hukum Islam menjamin kebebasannya untuk beraktivitas, bekerja, mengeluarkan pendapat, bermukim di mana saja yang dikehendaki dsb. yang dapat memberikan kepadanya kehidupan yang layak dan mulia, dalam lingkungan masyarakat yang terhormat, sepanjang ia sendiri tidak menimbulkan pelanggaran atau mudarat bagi warga lainnya. Sabda Rasulullah saw., Wahai manusia, janganlah kalian saling membenci, saling mendengki dan saling bermusuhan. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang saling bersaudara.

Sabda beliau pula, Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya, takkan pernah menzaliminya, takkan pernah meninggalkan dukungan untuknya ataupun menghinanya. Taqwa itu adalah di sini! (Beliau mengucapkannya tiga kali berturut-turut sambil menunjuk ke dadanya).

Alangkah besar kejahatan seorang Muslim seandainya ia menghina saudaranya yang Muslim. Darah seorang Muslim, hartanya dan kehormatannya, semua itu adalah suci, haram dilanggar oleh Muslim yang lain.[undzurilaina]

(diringkas dari berbagai sumber)

Islam Rahmat bagi Seluruh Alam (1)

Kita mungkin pernah baca firman Allah Swt dalam Al-Qur`an, yang ditujukan kepada Rasul mulia SAW. “Bahwa sesungguhnya Kami (Allah) tidak mengutusmu (wahai Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta (wa maa arsalnaaka illa rahmatan li`l-`alamiin). (QS Al-Anbiya` [21]: 107).

Dan firman-Nya yang lain, “Wahai manusia, telah datang kepadamu pelajaran (nasihat) dari Tuhanmu, yang juga sebagai penyembuh bagi (penyakit) yang bersemayam dalam qalbu-qalbumu, serta petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS Yunus [10]: 57).

Begitulah, agar benar-benar menjadi rahmatan lil-'alamiin seperti itu, dalam menetapkan berbagai hukum-hukumnya, agama Islam menekankan tiga hal penting:

Pertama, pendidikan jiwa manusia agar menjadi sumber kebaikan bagi masyarakatnya, dan mencegah timbulnya kejahatan apa pun dari dirinya terhadap siapa pun. Di antara cara-caranya, dengan menetapkan berbagai jenis ibadah (ritual) yang tujuannya adalah meningkatkan keimanan serta akhlak mulianya dan menajamkan keprihatinannya (atau concern dan komitmennya) terhadap sesama makhluk Allah swt. Misalnya, ibadah shalat yang (apabila dilakukan dengan khusyu` sambil menghayati makna-makna yang terkandung dalam bacaan-bacaannya) dapat mencegah si pelaku dari perbuatan keji dan kemungkaran (inna`sh-shalata tanha `an`l-fahsyaai wa`l-munkar). Dan apabila dilakukan secara berjamaah, dapat mempererat persudaraan antar umat. Demikian pula puasa dan haji, sepanjang dilaksanakan dengan menghayati tujuan-tujuan mulianya. Sedangkan zakat merupakan sarana pensucian jiwa dari penyakit kebakhilan dan sekaligus sebagai sarana hubungan kasih sayang antara para hartawan dan kaum fakir miskin.

Kedua, menegakkan keadilan antar manusia, baik di antara sesama umat maupun di antara umat-umat yang lain. Firman Allah:

”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia agar kamu menetapkannya dengan adil . . . ”(QS An-Nisa` [4]: 58).

Keadilan yang dimaksud, bukan saja yang ditujukan terhadap terhadap sesama kaum Muslim saja, atau mereka yang kita sukai saja, tetapi bahkan terhadap mereka yang kita benci atau kita musuhi.

”Hai orang-orang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, dan menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah! Karena adil itu lebih dekat kepada ketakwaan. . . .” (QS Al-Maidah [5]: 8).

Keadilan seperti yang diperintahkan Allah tersebut, mencakup segala bentuk hukum, kesaksian, mu`amalah (transaksi antar manusia) dsb; sebagaimana Rasulullah saw. pernah bersabda, ”Perlakukanlah manusia sebagaimana engkau ingin diperlakukan oleh mereka.”

Demikian pula mencakup keadilan soial. Semua manusia adalah sama di hadapan hukum. Yang kaya maupun yang miskin, yang kuat maupun yang lemah, yang berkuasa maupun yang tidak berkuasa, dan yang berkulit putih maupun yang hitam. Sabda Nabi saw., Semua kalian berasal dari Adam, sedangkan Adam diciptakan dari tanah. Tak ada keutamaan seorang Arab atas yang non-Arab, kecuali berdasarkan ketakwaan.

Ketiga, mengutamakan kemaslahatan -bagi pribadi maupun masyarakat umum- dalam segala aturan dan perundang-undangan yang disyariatkan. Walaupun kadang-kadang ada juga yang tertutup hikmah dan pemahamannya bagi sebagian orang, terutama yang qalbunya telah dikuasai oleh hawa nafsunya sendiri. Sebab, yang dikehendaki agama dalam hal ini adalah kemaslahatan yang hakiki, yang berlaku bagi pribadi maupun umum, bukan yang berdasarkan hawa nafsu atau ego seseorang. (Tentang kemaslahatan ini, penjelasan lebih detailnya pada bagian berikutnya).

Kesimpulan dari ketiga prinsip dasar ini, adalah bahwa kita dapat menyatakan dengan tegas bahwa seandainya ada fatwa hukum dari siapa pun, yang bertentangan dengan akhlak karimah, atau menyalahi keadilan atau mengabaikan kemaslahatan bagi umat, maka fatwa seperti itu perlu ditinjau kembali dan disempurnakan (bahkan jika perlu ditolak) sampai menjadi sejalan dengan ketiga prinsip dasar tersebut. Wallahu a`lamu bi`s-shawab. [undzurilaina]

(diringkas dari beberapa sumber)

Monday, July 30, 2007

“Konsisten” Sejati

Alkisah, ada 2 orang pejalan yang sedang mengarungi padang pasir yang begitu luas. Kedua lelaki tersebut dari kejauhan mengami sebuah benda berwarna hitam yang bergerak-gerak di ujung pandangannya. Dan mulailah mereka berdua berdebat...

A: ”Hai, Lihatlah kawan, itu burung sahara sedang mengintai kita!”.

Dengan cepat sang teman membantah:

B: ”Bagaimana mungkin itu burung?! Jelas sekali itu adalah kambing, saya melihat dengan jelas kibasan ekornya!”.

A: ”Yaa ampuun kamu itu ya, itu adalah kibasan sayapnya, mataku ini mata sahara...Aku pastikan itu adalah burung elang atau burung nasar pemakan bangkai”

B: ”Kamu itu sok tahu!...begini aja, bagaimana kalau kita dekati saja benda itu...sehingga jelas siapa yang benar di antara kita!

Ajakan itu segera disambut...

A: ”Okkeee, bagus, setuju!”

Berjalanlah keduanya mendekati benda itu...

Sampai pada kedekatan tertentu, benda itu melesat terbang ke angkasa.....

A: ”Naaaah, apa kubilang...dari tadi aku udah bilang ituuuu buruung...Eh kok nggak percaya! Sekarang kamu lihat sendiri kan...dia terbang!”

Langsung saja dijawab oleh temannya dengan suara keras:

B: ”Itu kambing terbang!!!”

Karena dua laki-laki itu masih ingat teman, maka perdebatan itu berhenti sampai disitu dan mereka pulang bersama-sama.

Kisah ini ditujukan kepada orang yang memegang teguh terhadap prinsipnya: ”Pokoknya saya mesti benar”, ”Lha wong saya kok salah...” Begitulah kira-kira sikap orang yang ”Konsisten” Sejati. [undzurilaina]

Thursday, July 26, 2007

Wahai Muslimin: Palestina…Palestina



Oleh: Azwar Anas

Bukan hanya hari ini, tapi juga kemarin dan tahun yang berlalu…

Bukan hanya hari ini tapi juga esok dan tidak tahu hingga kapan….

Wahai Muslimin,

Tidak cukupkah ketertindasan sebagai alasan…

Tidak cukupkah penderitaan sebagai sebab…

Tidak cukupkah rasa dan perasaan kemanusiaan…

Tidak cukupkah Islam memotivasi…

Tidak cukupkah Islam untuk mewajibkan membantu sesama Muslimin

Tidak cukupkah Islam untuk menjadi agama pemersatu …

Tidak cukupkah kita sebagai kekuatan…

Muslimin wajib menyelamatkan muslimin…

Tapi kini..

Palestina masih Palestina yang lalu

Palestina masih lagi menangis dengan darah..

Palastina masih meneriakkan dengan kematian

Palestina masih meminta dengan hancurnya kebun dan rumah

Palestina masih memohon dengan kematian putra-putranya

Darah, derita dan kematian masih tulisan hidup

Suaranya lirih tapi gaung kematian semakin keras

Wahai Muslimin

Wahai saya dan anda

Wahai kita…..

Tidak bisakah kita menghilangkan penindasan

Tidak bisakah kita memikirkan penyelesaian.

Tidak dapatkah kita bersama mereka

Tidak kuatkah kita untuk membantu yang lemah

Tidak kuatkah iman kita untuk melawan

Wahai Muslimin;

Palestina ….Palestina

Dari sana hanya terdengar gema darah dan kematian

Terdengar hanyalah tangis kelaparan

Yang tertinggal hanyalah harapan….

Wahai muslimin…

Kalau saja setiap muslimin dimanapun berada menyatakan penentangan pada Israel dan amerika maka akan sudah cukup besar untuk Palestina

Tidak perlu kesana,

Semua sudah dipenjara

Yang ada puing kemanusiaan dan demokrasi

Yang tegak megah adalah kekejaman

Pencakar langit propaganda

Taburan hinaan pada manusia

Kalau saja setiap muslimin memikirkan untuk merasakan apa yang terjadi di Palestina maka itu sudah cukup besar artinya bagi Palestina…

Wahai Muslimin…

Palestina masih menanti

Menanti kita semua

Semua kita bersama untuk Palestina.

Percayalah

Palestina akan tetap hidup

Tapi kita perlu bersamanya

Menghidupkan manusianya

Menghidupkan kemanusiaannya

Memperjuangkannya….

Wednesday, July 25, 2007

Kisah Perkawinan Terheboh Dalam Al-Quran

Allah Swt dalam al-Quran, menyebutkan sebuah kisah yang layak diamati dan dianalisa dari pelbagai segi. Kisah ini perlu dihayati karena selain nama surah terpanjang al-Quran diambil dari kisah tersebut (Baqarah: sapi betina), kisah ini –sama dengan kisah-kisah al-Quran yang lain- menyimpan pelajaran-pelajaran untuk umat manusia.

Kisah yang bisa dikatakan paling detail yang terdapat dalam surah Al-Baqarah atau bahkan dalam al-Quran ini, terjadi di masa nabi Musa a.s.

Saat itu, hidup seorang anak muda yang berprofesi sebagai pedagang bahan makanan. Dia pemuda santun yang menghiasi dirinya dengan budi pekerti yang luhur. Satu hari, sebagaimana hari-hari biasa, datang seorang pembeli yang bermaksud membeli Gandum dalam skala besar dan tentunya akan mendatangkan keuntungan yang besar baginya. Setelah transaksi terjadi dan bermaksud mengambil barang ke gudang, sang pemuda melihat gudang lagi tertutup dan kuncinya berada di kantong ayahnya yang lagi tertidur.

Pemuda yang terdidik ini sangat hormat dan patuh kepada orang tuanya, akhirnya meminta maaf dari pembelinya dengan berkata:” Maaf, saya tidak dapat memberikan gandum yang Anda inginkan karena kunci gudang berada di tangan yang sekarang lagi tidur, dan aku tidak rela beliau terbangun dan terganggu waktu istirahatnya. Oleh karena itu, jika anda mau bersabar hingga ayahku bangun, aku akan memberikan diskon untukmu, jika tidak, silahkan beli dari tempat lain!”

“Aku akan membelinya lebih mahal lagi, bawa barangnya kemari dan jangan tunggu apa-apa lagi! Cepat bangunkan ayahmu!” Sergah sang pembeli. Sang pemuda menjawab:”tidak, aku tidak akan mau melakukannya, tolong jangan minta itu lagi dariku, aku lebih senang ayahku tenang beristirahat daripada aku mendapatkan untung besar.”

Akhirnya setelah tarik-ulur tersebut sang pemuda tetap tidak mau membangunkan ayahnya dan sang pembeli tidak mau menunggu lalu pergi ke tempat lain.

Selang beberapa jam kemudian, sang ayah terbangun dari tidurnya; melihat anaknya sedang mondar-mandir di halaman rumah. “Anakku, kenapa jam sekian engkau menutup toko dan pulang ke rumah”! sergah sang ayah. Peristiwa tadi akhirnya diceritakan oleh sang pemuda. Setelah mendengar kisah tersebut, sang ayah merasa sangat gembira dan berbunga-bunga hatinya. Dia bersyukur kepada Allah seraya berkata:” Ya Allah terima kasih, Engkau telah menganugerahkan diriku seorang anak yang penuh kasih sayang.” Lalu dia berkata kepada anaknya:” sebenarnya aku rela, engkau bangunkan diriku sehingga engkau tidak kehilangan keuntungan besar seperti itu, akan tetapi karena engkau telah menghormati ayahmu, maka untuk menebus keuntungan yang lenyap itu aku akan memberikan anak sapiku kepadamu dan semoga Allah memberikan keuntungan yang lebih besar lagi melalui anak sapi tersebut.”

Tiga tahun berlalu, anak sapi tersebut hari demi hari semakin besar dan sekarang telah menjelma seekor sapi sempurna.

Di tempat lain, di salah satu keluarga Bany Israel, hidup seorang anak perawan cantik nan rupawan serta beradab. Begitu banyak para pemuda yang datang untuk melamarnya. Di antara mereka dua sepupunya sendiri; salah satunya adalah pemuda bertakwa dan berpendidikan tapi kere alias miskin, sedangkan sepupu satunya kaya raya namun kosong dari spiritualitas dan agama. Di benak sang gadis hanya dua pemuda ini yang terlintas. Akhirnya dia meminta waktu satu Minggu untuk menentukan pilihannya.

Dalam kurun waktu itu, dia selalu berpikir demikian:” Jika sepupuku yang beragama itu yang ku pilih, maka aku harus siap hidup melarat, namun aku akan ditemani oleh orang yang baik dan cinta tuhan. Jika aku memilih sepupuku yang kaya, bisa jadi dalam beberapa waktu, aku akan hidup dalam kesejahteraan, akan tetapi aku akan menjauh dari keutamaan moral dan terjerembab dalam kesengsaraan abadi.”

Setelah berpikir dan berembuk dengan kedua orang tuanya, akhirnya si gadis mengambil keputusan untuk kawin dengan sepupunya yang beragama. Sepupu yang kaya raya, saat menyadari bahwa pujaan hatinya memilih orang lain, dirinya merasa hancur, perasaan iri dan dengki merebak. Kemudian dia berencana untuk membinasakan rivalnya tersebut.

Diundanglah saingannya yang tak lain sepupunya sendiri tersebut ke rumahnya, setelah acara jamuan makan selesai, dia memohon tamunya untuk menginap. Akhirnya pada penghujung malam dia melaksanakan rencana busuknya untuk membunuh sepupunya tersebut. Hal itupun terjadi, dan untuk menghilangkan jejak, mayatnya diletakkan di kawasan elite Bani Israel. Dengan ini dia merasa seperti orang yang memanah dan mengenai dua bidikian dengan satu anak panah; pertama, sang gadis terpaksa akan jatuh ke pelukannya, kedua uang diyah akan mengalir kepada dirinya karena korban tidak memiliki Ahli waris selain dirinya dan dengan itu dia dapat mengadakan acara resepsi perkawinan.

Saat orang-orang pada pagi hari keluar dari rumahnya, mereka melihat sebuah jasad yang berlumuran darah. Upaya apapun yang mereka lakukan tetap tidak mampu mengidentifikasi mayat tersebut, sehingga mereka melaporkan hal ini kepada Nabi Musa a.s. Untuk itu, beliau melarang Bani Israel untuk pergi pergi ke tempat kerja mereka dan hendaknya mengidentifikasi pembunuh dan korban. Hal ini disebabkan pembunuhan saat itu di kalangan bani Israel sangat penting. Mereka berupaya semaksimal mungkin untuk menjalankan perintah Nabi Musa a.s., akan tetapi usaha mereka tidak membuahkan hasil.

Mendekati waktu zuhur, si pembunuh keluar dari rumahnya dan melihat kondisi kota dalam keadaan kacau balau, masyarakat akhirnya menyerah tak mampu melakukan apa-apa lagi. Dengan berpura-pura tidak mengetahui peristiwa yang terjadi, anak muda itu bertanya yang kemudian dijawab bahwa tadi malam ada seseorang yang telah dibunuh dan di temukan di salah satu perkampungan . Nabi Musa memerintahkan untuk mencari pembunuh tersebut sehingga keluarga korban dapat mengqishasnya. Si pemuda mulai mendekati jenazah itu dan membuka kain penutup jenazah sambil melihat wajahnya. spontan dia berteriak seperti orang yang tertimpa musibah, dia memukuli kepala dan wajahnya sendiri seraya berkata: Ohoii… Ohoii.. ini adalah sepupuku, carilah pembunuhnya, aku sendiri yang akan mengqishasnya atau diyahnya yang aku ambil.

Ketika jasad dihadirkan dihadapkan nabi Musa dan setelah beliau mengetahui bahwa pemuda ini ada hubungan kekeluargaan dengan korban, beliau berkata: “Penduduk tempat itu harus menemukan pembunuh aslinya atau 50 orang dari mereka bersumpah bahwa mereka tidak mengetahui pembunuhnya dan membayar diyah.”

Bani Israel berkata: “Wahai Nabi, kenapa kita yang tidak bersalah harus membayar diyah, tanyakanlah kepada tuhanmu supaya kita mengetahui siapa pembunuh sebenarnya dan kita akan bebas dari tuduhan ini.” Nabi Musa menjawab: “Untuk saat ini, inilah hukum Allah dan aku tidak mau melanggar hukum-Nya.” Saat itu juga, wahyu datang kepada nabi Musa: “Wahai Musa! sekarang mereka tidak setuju dengan hukum zahirmu maka sekarang perintahkan mereka untuk menyembelih seekor sapi lalu pukulkanlah sebagian dari anggota badan sapi pada jasad tersebut, niscaya Aku akan menghidupkannya kembali dan dia sendiri yang akan menentukan pembunuhnya.” Allah Swt menuturkan kisah ini dalam al-Quran seraya berkata:

وَ اِذْ قالَ مُوْسى لِقَوْمِهِ اِنَّ اللّهَ يَاءْمُرُكُمْ اَنْ تَذْبَحُوا بَقَرَهً قالُوا اَتتّخذنا هُزُواً قالَ اَعُوذُ بِاللّهِ اَنْ اَكُونَ مِنَ الْجاهِلينَ

“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Sesungguhnya Allah menyuruh kalian untuk menyembelih seekor sapi betina (lalu pukulkanlah bagian dari sapi itu ke tubuh jenazah yang tidak diketahui pembunuhnya itu sehingga ia bangun dari kematiannya dan memberitahukan siapa pembunuhnya yang sebenarnya)”. Mereka berkata, “Apakah engkau memperolokkan kami?” Ia menjawab, “Aku berlindung kepada Allah agar tidak termasuk golongan orang-orang yang bodoh”

قالُوا ادْعُ لَنا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنا ماهِىَ، قالَ اِنَّهُ يقول اِنَّها بَقَرَةً لا فارِضٌ وَ لا بِكْرٌ عَوانٌ بَيْنَ ذلِكَ فَافْعَلُوا ما تُؤْمَرُونَ

“Mereka berkata, “Mohonlah kepada Tuhanmu agar Ia menerangkan kepada kami sapi betina apakah itu!” Musa menjawab, “Sesungguhnya Allah berfirman bahwa ia adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan di antara itu. Maka kerjakanlah apa yang telah diperintahkan kepada kalian.”

قَالُوْا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّن لَّنَا مَا لَوْنُهَا قَالَ إِنَّهُ يَقُوْلُ إِنّهَا بَقَرَةٌ صَفْرَاءُ فَاقِعٌ لَّوْنُهَا تَسُرُّ النَّاظِرِيْنَ

Mereka berkata, “Mohonlah kepada Tuhanmu agar Ia menerangkan kepada kami apa warnanya”. Musa menjawab, “Sesungguhnya Allah berfirman bahwa (warna) sapi betina itu adalah kuning tua (yang merata) nan menyenangkan orang-orang yang memandangnya.”

قَالُوْا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّن لَّنَا مَا هِيَ إِنَّ البَقَرَ تَشَابَهَ عَلَيْنَا وَإِنَّآ إِنْ شَاءَ اللَّهُ لَمُهْتَدُوْنَ

Mereka berkata, “Mohonlah kepada Tuhanmu agar Ia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami dan jika Allah menghendaki (dengan keterangan yang telah kau berikan) kami akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu).”

قَالَ إِنَّهُ يَقُوْلُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ لاَّ ذَلُوْلٌ تُثِيْرُ الْأَرْضَ وَ لاَ تَسْقِي الْحَرْثَ مُسَلَّمَةٌ لاَّ شِيَةَ فِيْهَا قَالُوْا الْآنَ جِئْتَ بِالْحَقِّ

Musa berkata, “Sesungguhnya Allah berfirman bahwa ia adalah sapi betina yang belum pernah digunakan untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat (dan) tidak ada belangnya.” Mereka berkata, “Sekarang barulah engkau menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya”…

Setelah mendengar ciri-ciri sapi tersebut, Bani Israel mencari sapi yang memiliki ciri-ciri ini, usaha apapun yang mereka lakukan tetap tidak membuahkan hasil hingga pada akhirnya mereka mendapatkannya di rumah seorang pemuda. Ia, pemuda itu adalah penjual gandum yang kami ceritakan di awal tadi.

Bani Israel datang ke rumah sang pemuda dan bermaksud untuk membeli sapi tersebut. Pemuda ini merasa senang ketika mendengar apa yang terjadi, dia berkata: “kalau begitu aku harus meminta izin dari ibuku.” Diapun datang ke ibunya dan bermusyawarah dengannya. “juallah dengan harga dua kali lipat” ujar sang ibu. Bani Israel ketika mengetahui harga sapi tersebut berkata: “Apa-apaan ini mana mungkin sapi biasa dijual dua kali lipat dari harga pasaran?!” Kemudian mereka mengadu kepada Nabi Musa seraya melaporkan hal tersebut.

“Kalian harus membelinya karena ini adalah perintah Allah.”, Kata beliau. Mereka kembali lagi dan berkata kepada pemuda tersebut:” tak ada jalan lain, kita harus membelinya walaupun harganya dua kali lipat, pergi dan ambillah sapi itu!” Lagi-lagi pemuda itu meminta izin kepada ibunya. Ibunya menjawab:” Wahai anakku juallah sapimu dengan dua kali lipat dari harga sebelumnya. Ketika mendengar ungkapan itu mereka terheran-heran dan marah seraya berkata: “kita tidak akan membeli seekor sapi dengan 4 kali lipat dari harga pasaran.”

Akhirnya mereka kembali lagi kepada nabi Musa dan menceritakan apa yang mereka hadapi. Beliau berkata: “kalian harus membelinya, karena ini adalah perintah Allah.” Kemudian mereka kembali lagi. Untuk kesekian kalinya, ibu itu berkata:” Anakku sayang! Katakan kepada mereka, karena kalian pergi dan tidak membeli sapiku kemarin, maka sekarang aku mau menjualnya dengan dua kali lipat dari harga sebelumnya (8 kali lipat dari harga asli). Bani Israel kembali lagi dan tidak mau membelinya. Dan setiap kali mereka kembali untuk membelinya, harga sapi tersebut bertambah dua kali lipat. Mungkin hal inilah yang membuat Allah berfirman di penghujung ayat terakhir: وَ مَا كَادُوْا يَفْعَلُوْنَ “… dan hampir saja mereka tidak dapat melaksanakan perintah itu.

Sehingga akhirnya sapi itu dibeli juga dengan harga yang mahal yaitu sejumlah emas yang cukup untuk ditempel di badan sapi. Setelah membelinya, mereka menyembelih sapi tersebut, menguliti kulitnya dan memenuhinya dengan emas dan kemudian diserahkan kepada pemiliknya (pemuda). Nabi Musa datang kemudian shalat seraya mengangkat tangannya ke langit lalu berdoa:” Ya Allah aku bersumpah demi kehormatan Muhammad dan keluarganya hidupkanlah kembali jasad ini.!” Kemudian sebagian dari ekor sapi itu diambil dan dipukulkannya ke jenazah tersebut, pada akhirnya jasad tersebut hidup kembali dan menunjuk pembunuhnya dan menjelaskan kronologi pembunuhan.

Setelah mukjizat terjadi, Bani Israel saling berkata satu sama lain: “kita tidak tahu mana yang penting sebenarnya, mukjizat dihidupkannya orang mati ini atau proses memilyalderkan kampung itu.

Nabi Musa a.s. memerintahkan untuk mengqishas pembunuh tersebut. Dan pemuda yang tidak berdosa itu hidup kembali, dia meminta kepada nabi Musa untuk diberikan umur kembali. Allah Swt memberi khabar gembira kepada nabi Musa bahwa dia akan hidup selama 70 tahun. Kemudian nabi Musa mengawinkannya dengan gadis suci dan terhormat itu. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Allah Swt pada hari kiamat tidak akan memisahkan dua pasangan ini dan status mereka di surga tetap sebagai suami istri.

Ibrah dan poin-poin penting dari kisah ini

Dalam kisah ini, terdapat beberapa pelajaran penting yang dapat diambil:

  1. Kisah ini menceritakan pentingnya menghormati ayah dan ibu, di mana Allah Swt sangat memperhatikan orang yang menghormati kedua orang tuanya dan Allah memberi pahala khusus kepada mereka yang menghormati kedua orang tuanya baik dunia maupun di akhirat.
  2. Dari kisah ini kita juga memahami bahwa wanita salihah akan diperuinting oleh pemuda-pemuda salih. Sebagaimana al-Quran menyebutkan: (وَالطَّيِّباتُ لِلطَّيِّبينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّباتِ)
  3. Khianat kepada sesama, berakibat fatal di dunia dan di akhirat.
  4. Dalam kisah ini Kita bisa melihat salah satu dari mukjizat Allah Swt.
  5. Kehendak Ilahi lebih didahulukan dari pada keinginan manusia.
  6. Kerelaan Tuhan lebih penting dari semua pekerjaan, bahkan perdagangan atau perniagaan yang banyak menghasilkan laba.
  7. Dalam memilih suami, wanita hendaknya berpikir jernih, jangan sampai terjerumus ke dalam lembah syahwat dan tidak silau terhadap kemilau harta benda.
  8. Orang-orang yang salih dan cinta tuhan pada akhirnya akan menang dan berhasil, walaupun kemenangan tersebut tertunda dan diliputi oleh masalah, karena Allah Swt bwesabda:

(اِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً)sesungguhnya setiap kesulitan akan diakhiri dengan kemudahan.”Semoga kita semua dapat mencerna poin-poin di atas.

Menurut sebagian mufasir, motif pembunuhan yang terjadi dalam kisah tersebut adalah seorang anak muda yang “sebel” menunggu pamannya yang tidak mati-mati. Keselnya sang pemuda cukup beralasan, karena pamannya yang kaya raya itu tidak memiliki ahli waris lain selain dirinya. Oleh Karena itu untuk mempercepat proses perpindahan harta benda tersebut, dia membunuh sang paman.

Beberapa Ulama mengatakan dalam hal membawa dua kemungkinan di atas; motif pembunuhan karena wanita atau harta. Ditambahkan pula bahwa pada dasarnya hal ini ingin mengabarkan kepada umat manusia bahwa dua hal ini; harta dan wanita sama-sama berbahaya dan sanggup menyeret manusia kepada tindakan apapun termasuk pembunuhan sanak keluarga.

(sumber: Era Alquran)


Tuesday, July 24, 2007

Profesor dan Pelaut

Alkisah, ada seorang profesor kenamaan sedang meneliti sebuah objek penelitian terbaru. Dalam upayanya mencari inspirasi bagi penelitiannya tersebut dia pergi ke sebuah pantai. Dia memandang lautan yang begitu luas, dia tertarik untuk mencicipi berperahu di atas lautan luas tersebut. Akhirnya dia menemui salah satu pelaut yang memang kerjaannya menyewakan perahu bagi orang-orang seperti profesor tersebut.

Akhirnya, setelah bersepakat mengenai harga jasa pakai perahu tersebut, sang profesor pun naik ke atas perahu itu. Sambil menunggu si pelaut menyiapkan kapalnya dan untuk mengakrabkan diri, sang profesor bertanya kepada si pelaut:

Profesor: ”Sudah berapa lama bapak bekerja seperti ini?”

Pelaut: ”Wah...udah lama sekali pak, dari kecil saya sudah ikut bantu ayah saya bekerja seperti ini”

Profesor: ”Loh, berarti bapak nggak sekolah?”

Pelaut: ”Wah, ya nggak pak..

Profesor: “Berarti bapak ini sudah menyia-nyiakan SEPARUH dari usia bapak, karena Bapak tidak menuntut ilmu”

Pelaut: ”(sambil pasrah) iya kali pak...”

Tak terasa, perahu sudah siap dan mulai berjalan menjauhi pantai. Sang profesor pun mulai menikmati angin laut dan percikan air laut yang asin. Sampai akhirnya pantai pun sudah hampir tak terlihat lagi. Wow, sang profesor kemudian mulai bercerita ke si pelaut yang mengemudikan kapal sambil menghubung-hubungkan pemandangan yang sedang dilihatnya tsb dengan ilmu pengetahuan yang dia miliki. Sang profesor waktu itu seperti mendemonstrasikan kepintarannya kepada si pelaut yang hanya bisa manggut-manggut. Lagi, sang profesor mengatakan pada si pelaut bahwa ia telah membuang SEPARUH nyawanya akibat ia tidak sekolah.

Ketika sedang asyik berdemonstrasi kepintaran tsb, tiba-tiba ombak membesar dan angin laut seperti tidak lagi bersahabat. Dan perahu kecil yang dinaiki si profesor pun mulai terombang-ambing mengikuti angin dan ombak yang tak menentu. Si pelaut kemudian bertanya kepada sang Profesor:

Pelaut: ”Pak, bapak bisa berenang kan?”

Profesor: ”Wah, saya nggak bisa mas!! (dengan wajah yang sangat panik)”

Pelaut: ”Waduh, kalau gitu berarti bapak sudah membuang SELURUH umur Bapak!!” [undzurilaina]

Mengapa Shalat Sebaik-baik Amal? (2)

Oleh: Dr.Haidar Bagir

Selanjutnya, khusyuk mengharuskan pemahaman yang benar tentang makna seluruh gerakan dan bacaan shalat serta menghunjamkannya ke dalam hati. Bukan! Bahkan – pada puncaknya – bukanlah ucapan dan gerakan yang terhunjam ke hati melainkan – sebaliknya – hati, yang telah menghayati makna shalat, mendiktekan kepada lidah agar mengucapkan apa yang harus diucapkan dan menggerakkan anggota tubuh yang harus digerakkan. Inilah yang disebut sebagai tafahhum, sebagaimana dimaksud oleh hadis :

“Jadikanlah hatimu sebagai kiblat lidahmu; jangan engkau gerakkan lidahmu kecuali dengan aba-aba dari hatimu.”

Dan khusyuk bukanlah suatu hal yang mudah, seperti diingatkan Allah dalam firmannya, yang telah dikutip di atas :

“Dan mintalah tolong dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya keduanya amat sulit kecuali bagi orang-orang yang khusyuk” Memang, jika sebesar itu imbalan yang dapat kita peroleh dari melakukan shalat, tentu ia tak akan sedemikian mudah diraih. Diperlukan azam (tekad) yang teguh, disiplin yang ketat, dan latihan-latihan tak henti-hentinya serta – di atas semua itu – niat ikhlas hanya untuk mencari keridhaannya agar seseorang benar-benar dapat melakukan shalat secara khusyuk

Keharusan menyantuni orang miskin

Ternyata, khusyuk dan kehadiran hati belumlah semua syarat bagi diterimanya shalat seseorang. Rasulullah mengajarkan : “Shalat tidak sempurna melainkan dengan zakat.” Inilah kiranya hikmah dibalik penjajaran ibadah shalat dengan membayar zakat di banyak ayat-ayat al-Qur’an, antara lain :

“Dan dirikanlah shalat dan tunaikan zakat …” (QS. 2 : 110)

“Dan (Isma’il as.) menyuruh keluarganya untuk mendirikan shalat dan membayar zakat, dan ia adalah orang yang diridhai oleh Tuhannya.” (QS. 19 : 55)

Al-Qur’an juga mengutip pernyataan Nabi Isa :

“Dan dia menjadikanku orang yang diberkati di mana pun aku berada dan Dia memerintahkan kepadaku untuk mendirikan shalat dan membayar zakat selama hidupku (QS. 19 : 31)

Namun, peringatan Allah yang paling tegas mengenai hal ini adalah ketika Dia mengancam :

“(Neraka) Wayl bagi orang-orang yang shalat. Yaitu orang-orang yang lalai dalam shalatnya. Yang riya’ (tidak ikhlas karena Allah dan pamer). Dan menolak memenuhi keperluan dasar orang. “ (QS. 107 : 4-7)

Kiranya sejalan belaka dengan itu, Imam Ja’far diriwayatkan berulangkali menegaskan :

“Tidak diterima shalat orang yang tak memiliki kepedulian terhadap orang-orang yang lapar dan telantar.”

Bahkan, dapat disimpulkan dari keseluruhan kandungan Surat Al-Ma’un yang merupakan sumber cuplikan ayat-ayat di atas, bahwa orang-orang seperti ini tak lebih dari orang-orang yang berpura-pura beragama (yukadzi-dzibu bid-din), atau hanya dalam hal lahiriahnya saja tampak beragama, karena – meski mereka termasuk orang-orang yang menegakkan shalat (al-mushallin) – mereka menolak anak yatim dan tak berupaya menyantuni orang miskin. (QS. 107 : 1-3)

Dapat disimpulkan bahwa shalat yang benar memiliki, baik dimensi individual maupun sosial. Banyak orang menunjuk kenyataan bahwa shalat dimulai dengan takbir dan ditutup dengan salam menyimbolkan kedua dimensi ini. Takbir – yang dihayati -- merupakan perwujudan khusyuk, yakni kesadaran penuh bahwa Allah Maha Agung dan bahwa kita adalah hambanya yang rendah dan kecil. Sedangkan salam – khususnya salam kepada manusia -- adalah simbol bagi keharusan kita menjalankan fungsi kekhalifahan manusia untuk menyebarkan rahmat bagi seluruh bagian alam semesta.

Akhirnya, mudah-mudahan kini sudah tak akan merasa aneh lagi jika melihat banyak orang yang shalat, tapi tak banyak orang yang tercegah dari perbuatan keji dan mungkar. Marilah, seraya meminta ‘inayah (pertolongan) dari Allah, kita perbaiki kualitas shalat kita sehingga dapat benar-benar menjadi shalat yang diterima oleh Allah, dan dapat memberikan berbagai manfaatnya bagi kita, sesuai janji-Nya :

Dan jika mereka berupaya habis-habisan untuk mencari Kami, sungguh akan kami tunjukkan jalan-jalan Kami.” [undzurilaina]

Mengapa Sholat Sebaik-baik Amal? (1)

oleh: Dr. Haidar Bagir

Meski semua ibadah kepada Allah adalah baik, tapi shalat adalah ibadah yang terbaik. Demikian dinyatakan oleh Al-Qur’an. Hadis, dan ungkapan para ulama dan sufi. Rasulullah bersabda : “Sebaik-baiknya amal adalah shalat pada waktunya.” Sayidina Ali bin Abi Thalib menyatakan : “Sesungguhnya amal perbuatan yang paling disukai Allah adalah shalat. Bahkan, ia diriwayatkan melafazkan kata : “Shalat …shalat …” pada detik-detik terakhir sebelum kematiannya. Sedangkan Imam Ja’far al-Shadiq – seorang pemimpin umat, sufi, dan filosof, guru Imam Abu Hanifah dan Imam Malik -- juga menyeru : “Sesungguhnya sebaik-baik amal di sisi Allah pada hari kiamat adalah shalat.

Namun, kita bertanya-tanya, kalau sedemikian penting nilai shalat dalam keseluruhan ajaran Islam, mengapa kita seolah tak banyak melihat manfaat shalat bagi orang-orang yang melakukannya? Mengapa negara-negara Muslim, yang di dalamnya banyak orang melakukan shalat, justru tertinggal dalam hal-hal yang baik dari negara-negara non-Muslim, dan menjadi “juara” dalam hal-hal yang buruk, seperti korupsi, misalnya? Mengapa tak jarang kita lihat orang yang tampak rajin menjalankan shalat, bahkan shalat jama’ah di masjid-masjid, tak memiliki akhlak yang dapat dicontoh? Apakah Allah Swt., telah melakukan kekeliruan ketika menyatakan bahwa “Innash-shalata tanhaa ‘anil fakhsyaa’I wal-munkar (Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar”? Apakah salah Rasul-Nya ketika menyatakan bahwa “jika shalat seseorang baik maka baiklah semua amalnya?” Shadaqa Allah al-‘Azhim wa shadaqa Rasul Allah (Sungguh benar Allah Yang Maha Agung dan Rasul-Nya).

Jika ada kekeliruan dan kesalahan, maka itu tentu terletak pada pemahaman kita tentang firman Allah Swt., dan tentang shalat yang benar. Mari, untuk itu, kita simak ayat lain dalam Kitab-Suci-Nya :

(Lukman menasihati putranya :) Hai Anakku, dirikanlah shalat dan perintahkanlah (kepada manusia) untuk mengerjakan yang makruf dan cegahlah (mereka) dari berbuat mungkar. Dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya itu termasuk urusan-urusan yang tegas (diwajibkan oleh Allah) (QS. 31 : 17). Tampak dalam ayat yang barusan dikutip bahwa perintah mendirikan shalat dipisahkan dari perintah mengerjakan yang makruf dan mencegah yang mungkar. Dengan kata lain, keduanya terpisah. Maknanya akan menjadi jelas ketika kita simak sabda Rasulullah, yang tampaknya dimaksudkan untuk menafsirkan ayat tersebut, sebagai berikut :

Laa shalaata li man la tanhaahu shalatahu ‘anil fakhsyaa’i wal munkar (Tak melakukan shalat orang-orang yang shalatnya tak menghindarkanya dari kekejian dan kemungkaran)” . Jadi, alih-alih sebagai jaminan bahwa orang yang shalat pasti tercegah dari perbuatan keji dan mungkar, maka ayat tersebut mesti difahami sebagi definisi shalat yang sesungguhnya. Bahwa shalat yang benar akan termanifestasikan dalam kebaikan akhlak.

Menjelaskan lebih jauh pengertian ini, Imam Ja’far al-Shadiq menyatakan :

“Ketahuilah bahwa sesungguhnya shalat itu merupakan anugerah Allah untuk manusia sebagai penghalang dan pemisah (dari keburukan). Oleh karena itu, sesiapa yang ingin mengetahui sejauh mana manfaat shalatnya, hendaklah ia memperhatikan apakah shalatnya mampu menjadi penghalang dan pemisah dirinya dari perbuatan keji dan mungkar. Shalat yang diterima (oleh Allah) adalah hanya sejauh yang mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar”

Shalat yang tak memiliki sifat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar tak memiliki nilai sebagai shalat yang benar, sehingga ia tertolak, sebagaimana dinyatakan dalam hadis yang lain : “Adakalanya seseorang shalat terus-menerus selama 50 tahun namun Allah tak menerima satu pun dari shalatnya.”

Nah, pertanyaan yang tidak-bisa-tidak akan muncul adalah : seperti apakah shalat yang benar, yang diterima oleh Allah, itu?

Shalat dan Keharusan Khusyuk

Allah berfirman : “Sesungguhnya shalat itu amat berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk” (QS. : 45). Jika ayat ini dibaca dengan teliti, akan kita dapati bahwa ia memiliki “pemahaman terbalik” (inverse logics atau mafhum mukhalafah) bahwa shalat hanya memiliki nilai jika dilakukan dengan khusyuk.

Khusyuk bermakna kesadaran penuh akan kerendahan kehambaan (‘ubudiyah) diri kita sebagai manusia di hadapan keagungan Rububiyyah (Ketuhanan). Sikap khusyuk ini timbul sebagai konsekuensi kecintaan sekaligus ketakutan kita kepada Zat Yang Maha Kasih dan Maha Dahsyat ini. Sebagai implikasinya, orang yang memiliki sikap seperti ini akan berupaya memusatkan seluruh pikiran – seluruh keberadaannya – kepada Kehadiran-Nya dan membersihkannya dari apa saja yang selain Allah. Tidak bisa tidak ini berarti hadirnya hati. Tanpa kehadiran hati, shalat kehilangan nilainya. Rasulullah bersabda : “Shalat yang diterima adalah sekadar hadirnya hati.”

Diriwayatkan pula darinya saaw. bahwa “dua rakaat shalat orang yang khusyuk lebih bernilai ketimbang 1000 rakaat shalat orang yang tak peduli.” Kepada Abu Dzar Rasul saaw. mengajarkan : “Dua rakaat shalat pendek yang disertai dengan tafakur adalah lebih baik dari shalat sepanjang malam dengan hati yang lalai.”

Di kesempatan lain Rasul saaw. menamsilkan :

“Tak akan diterima shalat seseorang yang dilakukan bagai seekor burung yang mematuk-matuk makanannya.” Mudah dipahami bahwa seekor burung -- sebagai hewan, yang tak memiliki hati atu perasan sebagimana manusia - yang sedang mematuk-matuk makanannya melakukan hal itu secara instinktif, sebagai bagian dari keharusannya untuk bertahan hidup Berbeda halnya dengan manusia. Bahkan ketika sedang kelaparan, manusia menikmati makanannya itu. Bukan hanya melahapnya, atau bahkan sekadar menikmati rasanya, melainkan juga menghayati cara penyajian dan suasana yang melingkupi waktu makan itu. Apatah pula ketika ia sedang menghadap kepada suatu Zat yang Maha Agung sekaligus Maha Lambut (Lathif) sebagaimana Allah Subhana-Hu wa Ta’ala. Jika hati tiada hadir, maka apa makna shalat, yang dikatakan sebagai sarana pertemuan kita dengan-Nya? [undzurilaina]

Monday, July 23, 2007

Supranatural, Riwayatmu Kini

Kisah 1

Saat Rabi'ah Al Adawiyah (RA) sedang mudzakarah dengan puluhan
muridnya, datanglah Imam Hasan Basri (HB)-keduanya dikenal sufi besar
pada masa Abbasiyah-. Dialog kedua soko guru sufi pun berlangsung.

HB : " Yaa RA, naiklah ke atas permadaniku. Kita membicarakan
masalah-masalah spritual sambil menikmati pemandangan dari atas".

RA : " Yaa Syaikh, tidakkah lebih baik jika aku ajak engkau berjalan
di atas air.
Tidakkah air merupakan sumber kehidupan?".

Yang menarik adalah perkataan RA selanjutnya .

" Perlu kita ingat yaa Syaikh, kemampuan anda bisa 'terbang', itu
dimiliki oleh seokor burung.
Sedang kemampuanku berjalan di atas air,
itu dimiliki seekor ikan. Kemampuan-kemampuan 'supranatural' kita,
sama sekali tidak menunjukkkan perkembangan spritual kita"



Kisah 2

Pagi itu, saat Sunan Kali Jogo (SKJ) bersama murid-muridnya akan
menyeberangi sungai kecil, ia melihat ada petapa yang sedang menguji
kemampuannya berjalan di atas air. Persis di tengah sungai sang
petapa 'kehilangan' kemampuannya, byuur!!

SKJ meminta muridnya untuk segera menebangi beberapa pohon pisang
yang berada di seputaran rumah penduduk. Mengerti maksud si
guru, dengan sigap murid-murid SKJ segera menebang dan membuat rakit.
Sebelum matahari berada di tengah kepala, rakit telah siap, untuk
menghantarkan SKJ dan murid-muridnya menyeberangi sungai.

" Berapa lama engkau ngelmu ?", tanya SKJ pada petapa.
" Kurang dari dua tahun", jawab si petapa dengan rasa bangga.
" Tahukah engkau, aku tadi menyiapkan rakit hanya dalam tempo tak
lebih dari setengah hari. Aku dan SELURUH muridku dapat menyeberang
sungai tanpa susah payah.

---

Dari kedua kisah itu paling tidak kita bisa menangkap hikmah :

  1. Bahwa kemampuan supranatural tersebut memang ada
  2. Bahwa kemampuan supranatural sama sekali tidak ada hubungannya dengan perkembangan spiritual seseorang.

Orang bisa terbang, burung pun bisa terbang. Orang bisa berjalan di atas air, ikan dan sejenisnya malah hidup di dalam air. Bahkan ada makhluk yg dapat hidup di 2 alam, dst..dst.

  1. Mempelajari kemampuan supranatural tsb sering kali tidak efektif, malah bisa-bisa cuma buang waktu saja. Bayangkan, seseorang harus bersemedi bertahun-tahun hanya untuk punya kemampuan berjalan di atas air. Kok repot-repot, bikin saja kapal, maka ia -bahkan beserta rombongan- dapat "berjalan di atas air". Bisa terbang ? Weleh-weleh, pesawat terbang bisa angkut ratusan orang dengan rute perjalanan kemana saja dan kecepatan yang luar biasa.

Walhasil, sekarang jamannya berfikir bukan mengumbar "mimpi" yang tidak jelas. Daripada pelihara jin, lebih baik pelihara anak yatim, atau sekalian bodyguard..heheh..gitu aja kok repot.[undzurilaina]

Kisah Tragis

Ada seorang teman saya, suatu hari terpanggil untuk memakai jilbab. Karena hatinya sudah tetap, dia pergi ke toko muslim untuk membeli jilbab. Setelah membeli beberapa pakaian muslim lengkap bersama jilbab dengan berbagai model maklum teman saya itu stylish sekali), dia pun pulang ke rumah dengan hati suka cita.

Sesampainya di rumah, dengan bangga dia mengenakan jilbabnya. Ketika dia ke luar dari kamarnya, bapak dan ibunya langsung menjerit. Mereka murka bukan main dan meminta agar anaknya segera melepaskan jilbabnya. Anak itu tentu merasa terpukul sekali…bayangkan :

Ayah ibunya sendiri menentangnya untuk mengenakan jilbab.


Si anak mencoba berpegang teguh pada keputusannya akan tetapi ayah ibunya mengancam akan memutuskan hubungan orang-tua dan anak bila ia berkeras.

Dia tidak akan diakui sebagai anak selamanya bila tetap mau menggunakan jilbab. Anak itu menggerung-gerung sejadi-jadinya. Dia merasa menjadi anak yang malang sekali nasibnya.


Tidak berputus asa, dia meminta guru tempatnya bersekolah untuk berbicara dengan orang tuanya. Apa lacur sang guru pun menolak.


Dia mencoba lagi berbicara dengan ustad dekat rumahnya untuk membujuk orang tuanya agar diizinkan memakai jilbab… hasilnya ? Nol besar ! Sang ustad juga menolak mentah-mentah.


Belum pernah rasanya anak ini dirundung duka seperti itu. Dia merasa betul2 sendirian di dunia ini. Tak ada seorang pun yang mau mendukung keputusannya untuk memakai jilbab. Akhirnya dia memutuskan untuk menggunakan truf terakhir.


Dia berkata pada orang tuanya,”Ayah dan ibu yang saya cintai. Saya tetap akan memakai jilbab ini. Kalau tidak diizinkan juga saya akan bunuh diri.”


Sejenak suasana menjadi hening. Ketegangan dalam keluarga itu mencapai puncaknya. Akhirnya sambil menghela napas panjang, si ayah berkata dengan lirih:


“Bambang! Anakku, Yen wong wedok sak karepe ngono nggawe jilbab. Elingo yen Kowe iku lanang le ………… .. lha’ kok arepe nganggo jilbab?????? ???

Friday, July 20, 2007

Ada Pigi…

Ini kisah nyata seorang temen yang namanya Shodiq. Keluarga shodiq adalah keluarga aseli gorontalo. Logat bicaranya pun (terutama ayahnya) masih sangat kentara dan khas gorontalo. Fyi, cara bicara orang gorontalo itu ketika mencoba berbicara bahasa Indonesia itu agak terputus-putus dengan jeda antar kata yang kadang agak lama.

Singkat cerita, waktu itu temen2 datang ke rumah Shodiq untuk mengajak Shodiq untuk main. Masuk ke rumah shodiq, terlihat sang ayah sedang duduk santai di teras rumah.

Temen2: ”Assalamu’alaikum.....”

Ayah: ”Wa alaikum salam...”

Temen2: “Bah, shodiq ada nggak?”

Ayah: ”Ada...”

Temen2: ”Oh, kalau gitu kita tunggu disini ya bah”

Ayah: ”Ada pigi...”

Temen2: ”Oh, kalau gitu nanti kita ke sini lagi aja bah”

Ayah: ”pigi mandi..”

Temen2: ”Hmm, kita tunggu aja deh..”

Ayah: ”mandi ka kolam renang...”

Temen2: ”Oh gitu, kita pamit dulu bah..”

Ayah: ”kolam renang di belakang..”

Temen2: ”Hmmm, jadi ada ya shodig nya ???”

Ayah: ”di belakang Sriwedari (nama tempat hiburan di kota Solo)”

Temen2: ”#????$%# (langsung kabur keluar tanpa pamit lagi)” [undzurilaina]


Thursday, July 19, 2007

Dagelan Abadi Bernama "Al-Qaida"


oleh: Jemala Gembala

"Kami memberi waktu dua bulan kepada orang-orang Persia, dan terutama penguasa Iran, untuk menghentikan segala bentuk bantuan bagi pemerintah Syiah Irak dan untuk tidak melakukan intervensi, baik langsung maupun tidak langsung...jika tidak, maka sebuah perang yang brutal sedang menanti anda..."

(Abu Omar al-Baghdadi, pemimpin al-Qaida di Irak) [ [1]]

Jika anda pernah membaca berita di atas, berhenti dulu membuat kesimpulan. Anda disarankan membaca berita-berita berikut ini.

Pertama, pernyataan kebencian terhadap Syiah yang dinisbatkan kepada al-Qaida, seperti di atas, bukanlah satu-satunya. Sebagai contoh, CNN pernah merilis rekaman dimana Osama bin Laden, pemimpin tertinggi al-Qaida, menyerukan kepada kaum Sunni di Irak untuk menyerang Syiah, yang disebutnya sebagai "pengkhianat", "rejeksionis", "agen AS".[ [2] ]

Kedua, Komisi 9/11 yang dibentuk Washington untuk "menyembunyikan kebenaran"—alih-alih mengungkapkannya—menyimpulkan bahwa jaringan teroris al-Qaida sejak lama telah menjalin hubungan dengan Iran. Komisi itu juga mengatakan, "Laporan intelijen menunjukkan adanya potensi sangat besar tentang kolaborasi antara al-Qaida dengan Hizbullah daripada yang pernah dibayangkan sebelumnya." Karena Hizbullah adalah kelompok yang didukung Iran, maka komisi itu menempatkan al-Qaida, Hizbullah, dan Iran dalam satu jaringan gerombolan teroris.[ [3]]

Ketiga, newsroomamerica, mengutip pernyataan para pejabat Barat yang anonim, menulis bahwa al-Qaida menggunakan Iran untuk mengorganisasi dan melancarkan operasi melawan AS dan pasukan koalisi di Irak serta di manapun. Sementara The Financial Times melaporkan bahwa operasi al-Qaida dilakukan dengan persetujuan langsung pemerintahan Islam garis keras di Iran.[ [4] ]

Keempat, Brigadir Jenderal Kevin Bergner, jurubicara "Camp Victory" di Irak, menuduh Brigade al-Quds Iran terlibat dalam mendukung milisi anti-AS di Irak. Lebih spesifik lagi Bergner menyebutkan bahwa Brigade al-Quds bertanggung jawab atas tewasnya 5 serdadu AS di Karbala, yang digambarkannya diserang dengan persenjataan canggih itu.[ [5] ]

Mari kita petakan: al-Qaida menuduh Iran mengintervensi Irak, dan menuduh Syiah sebagai kolaborator AS; Amerika menuduh Iran mendukung milisi anti-AS di Irak, dan menjadi basis perencanaan dan operasi al-Qaida.

Luar biasa, sepertinya kita harus menyanyikan lagu lawas milik Vina Panduwinata, 'Logika', "Di mana logika...?"

Namun, kita tidak tahu kebenaran dan keakuratan berita-berita itu karena kita setiap harinya terbiasa menjadi keranjang sampah berita-berita semacam itu.

Bisa jadi akan hadir dalam pikiran kita dua kemungkinan: [1] jika berita itu benar, maka al-Qaida tampaknya lebih kompeten dalam berperan sebagai biro humas Gedung Putih ketimbang "pahlawan" Islam, sebagaimana yang diyakini para pendukungnya: melontarkan ancaman kepada sesama Muslim; menyerang orang-orang tidak berdosa; dan memberi citra negatif bagi Islam dan para pejuang Muslim sejati. [2] Dan, jika berita itu tidak benar, maka hantu bernama "al-Qaida" ini benar-benar menjadi epidemi global para neokon AS untuk menggelar perangnya di seantero dunia.

Namun bagaimanapun, dua kemungkinan tersebut menyajikan kepada kita satu kesimpulan: bahwa yang namanya AS dan al-Qaida (apa dan siapa pun ia) tampaknya sama-sama membenci Iran, dan Syiah pada umumnya. Jika begitu, apa yang disebut jurnalis kampiun Seymour Myron Hersh (The New Yorker, 25/02/07) sebagai "perubahan arah" (redirection) kebijakan strategis AS untuk menempatkan Iran dan Syiah sebagai "musuh nomor wahid"—di antaranya dengan mempersenjatai kelompok-kelompok anti-Syiah—benar adanya [ [6]].

Tapi nanti dulu! Al-Qaida tidak hanya meracau soal Syiah. Ayman az-Zawahiri, deputi Osama yang digadang-gadangkan sebagai 'inkarnasi' Nabi Harun itu (dan tentu saja Osama adalah Nabi Musa-nya), pernah menyebut Hamas yang Sunni itu sebagai pengkhianat Allah, karena memilih ikut dalam proses demokrasi, yang dipandang az-Zawahiri sebagai tindakan berdamai dengan Israel [ [7]].

Jadi, ini bukan soal Syiah. Ini soal para nihilis, seperti neokon di AS dan al-Qaida, yang membenci kekuatan anti-imperialisme di mana pun, siapa pun, dan kapan pun. Apa bedanya jika "pan-Amerikanisme" neokon dan "pan-Wahabisme" gaya al-Qaida sama-sama hendak menghadirkan 'peradaban' baru dengan menghancurkan peradaban lama tanpa reserve. Bukankah keduanya sama-sama imperialis-nihilistik?

Iran vs AS plus Al-Qaida di Irak

Sebagian pengamat Barat, seperti Robert Dreyfuss, kerap keliru ketika menyimpulkan bahwa Iran dan AS sama-sama 'mendukung' pemerintahan al-Maliki, yang Syiah itu, di Irak. Kesalahan yang sama terjadi ketika mereka menganggap bahwa Iran dan kaum Syiah di Irak sama-sama berkepentingan terhadap keberadaan pasukan koalisi pimpinan AS di Irak.

Sejatinya, AS, sebagaimana pernah diungkapkan mantan menlu Collin Powell, tidak menginginkan Syiah tampil ke pentas politik Irak pasca-Saddam. Mereka telah menyiapkan figur sekuler seperti Achmad Halabi, yang mereka pelihara selama ini—sebagaimana juga mereka memelihara orang-orang Iran anti-pemerintahan Islam. AS terpaksa menerima konfigurasi politik Irak seperti saat ini, di mana mayoritas Syiah berkuasa, karena tuntutan keras Ayatullah Ali Sistani, figur terpopuler di kalangan Syiah Irak, agar segera dilaksanakan pemilu yang langsung dan bebas di Irak pasca-Saddam. Dengan kata lain, AS tidak mempunyai pilihan lain kecuali menempatkan mayoritas Syiah di pusat kekuasaan melalui pemilu.[ [8]]

Maka, berbagai upaya pun dilakukan AS untuk memperlemah, bahkan mengkudeta pemerintahan al-Maliki[ [9] ], dan sekaligus menjustifikasi keberadaan lebih lama pasukannya di Irak. Upaya-upaya memicu konflik sektarian, baik melalui militernya maupun para kontraktor keamanan partikelirnya, terus dilakukan. Sebagai contoh, banyak laporan dan analisis mengindikasikan keterlibatan unsur-unsur AS dan pasukan koalisi dalam pemboman pertama dan kedua terhadap Haram Imam Hasan Asykari di Samara [ [10] ].

Pernyataan terakhir George W. Bush bahwa pasukan koalisi masih akan berada di Irak karena pemerintahan al-Maliki tidak mampu menjamin keamanan di sana adalah indikasi lain, bagaimana Gedung Putih berupaya untuk terus mendelegitimasi pemerintahan terpilih di Irak. Padahal, bukankah 'kegagalan' al-Maliki juga merupakan bukti kegagalan Bush di Irak? Pemerintahan al-Maliki sebenarnya nyaris mirip dengan pemerintahan Hamas di Palestina yang tidak mempunyai wewenang untuk mengorganisasikan keamanan wilayahnya secara independen karena keberadaan pasukan pendudukan di wilayah mereka masing-masing.

Sementara itu, Iran, dalam hal ini, mendukung pemerintahan al-Maliki sekaligus menginginkan AS segera hengkang dari Irak. Dukungan Iran terhadap al-Maliki tidak bisa secara absolut ditafsirkan sebagai dukungan terhadap kolega Syiah-nya. Iran mendukung pemerintahan Irak karena memang pemerintahan inilah yang dipilih mayoritas rakyat Irak dalam pemilu, dan karena memang demikianlah pergaulan dan hubungan internasional semestinya dilakukan.

Pada saat yang sama, Iran berkepentingan dengan stabilitas kawasan. Sebab, instabilitas di sana telah banyak menimbulkan kerugian bagi Iran, terutama di wilayah perbatasan: maraknya perdagangan narkoba, penyelundupan senjata, dan aksi-aksi terorisme dari kelompok-kelompok anti-Iran. Bagi Iran, hengkanya AS beserta para pasukan swastanya dari Irak, secara damai, akan memberikan otoritas lebih kepada pemerintahan al-Maliki, atau siapa pun, untuk menghadirkan keadaan yang relatif lebih aman. Bagi Iran, preseden Vietnam yang lebih aman setelah ditinggal AS adalah sebuah pelajaran bahwa perginya AS tidak lantas berkorelasi dengan jatuhnya Irak ke dalam konflik saudara yang berdarah-darah (justru sekarang terbukti bahwa keberadaan AS justru memicu konflik sektarian yang tak pernah terjadi sebelumnya).

Karena alasan-alasan tersebut dan didukung dengan ketiadaan bukti, sebuah lembaga think tank transatlantik terkemuka, British American Security Information Council (BASIC), dalam laporannya, menyimpulkan bahwa Iran hanyalah "kambing hitam" bagi kegagalan AS di Irak[ [11]].

Dan, tampaknya tidak hanya AS yang menjadikan Iran sebagai "kambing hitam" di Irak. Al-Qaida di Irak juga punya gawe yang nyaris sama. Pernyataan kebencian terhadap Iran yang dilontarkan petinggi-petinggi al-Qaida, seperti dikutip pada awal tulisan, tidak bisa dipisahkan dari kenyataan bahwa al-Qaida tidak mendapatkan sambutan dan popularitas dari publik Irak, bahkan dari milisi-milisi Sunni sekalipun.

Karakter al-Qaida yang nihilistik, misterius, dan berperang menghadapi musuh yang sumir jelas telah membuat banyak orang Irak "jijik" mendengar nama ini. Beberapa waktu lalu, para syekh Sunni di Propinsi Anbar mendeklarasikan perang melawan al-Qaida [ [12] ]. Tak lama kemudian, teror bom pun terjadi di Anbar, yang sebagian menewaskan para syekh itu. Ditambah lagi, sebagian besar operator al-Qaida adalah orang-orang non-Irak, yang ujug-ujug datang ke Irak dan mengklaim ingin membebaskan Irak dari AS, sementara justru sebagian besar korban mereka adalah Muslim Irak sendiri[ [13] ].

Eureka! AS membutuhkan instabilitas, untuk menjustifikasi keberadaan mereka di Irak, sementara al-Qaida menyajikan berbagai menu instabilitas: kekerasan, konflik, dan perpecahan, dalam petualangan keji mereka. Bukankah kedua hal ini terlihat naif jika dipandang sebagai sebuah kebetulan belaka?

Hamas vs AS plus Al-Qaida di Palestina

Seperti ditulis sebelumnya, az-Zawahiri, pernah menyebut Hamas sebagai "pengkhianat Tuhan" karena memilih ikut dalam pemilu Palestina 2006. Selain itu, petinggi nomor dua al-Qaida itu juga menasehati Brigade al-Qassam, sayap militer Hamas, untuk kembali angkat senjata. Namun, Khaled Mishaal, Ketua Biro Politik Hamas, menegaskan bahwa Hamas tidak membutuhkan nasehat siapa pun, terutama al-Qaida, dalam menentukan jalan perjuangannya[ [14]].

Jelaslah sudah, bahwa Hamas bukan al-Qaida, dan al-Qaida tak seujung kuku pun mirip dengan Hamas.

Namun, seperti halnya gaya propaganda AS dan sekutunya terhadap Iran, beberapa waktu lalu pemimpin Fatah, Mahmoud Abbas, tiba-tiba saja menuduh Hamas melindungi al-Qaida di Jalur Gaza. Para Abbastan pun kerap meracau bahwa Gaza kini adalah sarang para teroris al-Qaida.

Keberhasilan Hamas membebaskan Alan Johsnton, reporter BBC, dari tangan kelompok franchise al-Qaida, "Jays al-Islam" (tuntutan para penculik adalah pembebasan para tahanan al-Qaida di Inggris), hanyalah salah satu bukti bahwa Hamas menentang praktik-praktik ilegal gaya kaum "jihadis-nihilis". Hamas tidak melakukan deal dengan para penculik Johnston. Sebaliknya, personil keamanan Hamas mengepung tempat dimana Johnston ditawan, membebaskannya, dan menahan beberapa pengikut Momtaz Deghmesh, pemimpin "Jays al-Islam"[ [15]].

Lalu apa yang diinginkan Abbas dengan tuduhan terhadap Hamas tersebut? Tidak terlalu sulit untuk mengatakan bahwa Abbas sedang menjalankan perannya sebagai proksi AS dan Israel guna "meng-iblis-isasi" Hamas dan Jalur Gaza lewat, sekali lagi, dagelan bernama al-Qaida. Dengan propaganda tersebut, AS berharap dunia bisa menerima jika Gaza diisolasi dari segala arah dan pasukan Zionis melumat wilayah kecil itu beserta para penghuninya. Bukankah mereka semua teroris?

Dan, al-Qaida—entah disadari atau tidak—sekali lagi punya peran sentral dalam rencana tersebut.

Al-Qaida memainkan peran kunci dalam kepentingan strategis kaum neokon AS, sebagian besarnya, karena al-Qaida berbeda dengan Hizbullah dan Hamas [ [16] ]. Pertama, al-Qaida dilahirkan dari rahim imperialisme. Pembentukan embrio al-Qaida terjadi melalui kolaborasi antara CIA (intelijen AS) dan ISI (Intelijen Pakistan) [ [17] ], saat AS berupaya mengusir mendiang Soviet dari Afghanistan. Sedangkan Hizbullah lahir dari rahim perjuangan rakyat Lebanon mengusir Israel ketika invasi pasukan Zionis menyerang negeri itu pada 1982. Dan, Hamas pun lahir dari rahim intifada jilid II pada sekitar 1980-an. Kedua, Hizbullah dan Hamas sama-sama menghadapi musuh yang jelas, imperium Judea-Amerika, sementara al-Qaida, bak seekor banteng aduan yang gelap mata, menghantam dan menyerang siapa pun: memenggal para turis dalam rekaman video; memicu konflik sektarian; membom tempat-tempat ibadah dan membantai para peziarah. Ketiga, al-Qaida adalah hantu (atau mungkin lebih tepatnya sekumpulan pengecut) yang tak pernah nyata di hadapan umat, sementara Hamas dan Hizbullah hadir riil di tengah-tengah umat dengan serenteng aktivitas sosial-keumatan. Bagi Hamas dan Hizbullah, persatuan dan pembedayaan rakyat di negeri masing-masing adalah senjata paling ampuh dalam menghadapi imperialisme, sementara al-Qaida hanya peduli pada tiga kata: hancurkan, hancurkan, dan hancurkan.

Jika demikian, tampaknya al-Qaida layak menerima cinta dan kekaguman sejati (dan tentu saja rahasia) dari Bush dan para "bushes". "Bravo" al-Qaida!


[13] Lihat laporan Human Rights Watch edisi Oktober 2005, Volume17, No. 9 (E)

[16] Analisis lebih lengkap tentang bagaimana al-Qaida memainkan peran kunci dalam rencana "perang global" AS, silakan rujuk makalah presentasi Profesor Michel Chossudovsky pada The International Citizens Inquiry into 9/11, di Toronto, pada 25-30 Mei 2004. [http://www.globalresearch.ca/index.php?context=va&aid=6307]