Friday, November 19, 2010

Fokus pada Kekuatan

Eksekutif yang efektif tidak pernah bertanya, “Apakah dia cocok dengan saya?”. Mereka tidak pula pernah bertanya, “Apa yang TIDAK dapat dilakukannya?”. Pertanyaan mereka selalu “Apa yang DAPAT dia lakukan dengan luar biasa baik?”. Demikian Peter Drucker mendefinisikan salah satu karakteristik eksekutif yang efektif.

Fokus pada kekuatan, bukan pada kelemahannya, merupakan prinsip yang sangat logis karena kita tidak bisa berharap manusia bisa hebat dalam segala bidang. Tentunya dengan mengecualikan beberapa gelintir Superman. Realitas menunjukkan bahwa seseorang hanya dapat unggul pada bidang-bidang yang sangat sedikit saja. Walaupun tentunya kita mungkin sering berjumpa dengan orang-orang yang punya banyak minat. Einstein, Da Vinci, Goethe, Napoleon, dan banyak tokoh lain yang berhasil memajang namanya di berbagai Ensiklopedia orang hebat itu hanya gilang-gemilang di bidang-bidang tertentu saja yang mereka memiliki kekuatan disana. Walaupun kalau kita baca-baca, ternyata mereka juga punya berlimpah minat di bidang-bidang yang lain. So you better don’t cross your finger on it!

Tuntutan terhadap kinerja mestinya juga bersandar pada kekuatan. Karena jika tidak itu sama saja kita sejak awal telah memberi alasan bagi seseorang untuk tidak bekerja dengan baik. Sebelum memberikan tuntutan kinerja tertentu, semestinya seorang pimpinan sudah terlebih dahulu memastikan bahwa orang yang diberi tugas tersebut memang memiliki kekuatan yang mendukung untuk melakukannya.

Setiap orang memiliki kekuatan dan kelemahan. Kita tentu tidak dapat hanya mengambil kekuatan kaki seorang sprinter, ketajaman mata seorang sniper, atau kecerdikan strategi si grand master saja. Melainkan kita juga harus menerima keseluruhan anggota badan dari mereka secara lengkap. Lengkap dengan kekuatan dan kelemahannya. Adanya organisasi seharusnya ditujukan untuk meramu dan mengorkestrasikan kekuatan-kekuatan yang dimiliki oleh para personilnya, sembari berusaha menetralisir kelemahan-kelemahannya dan menjadikannya tidak berbahaya. Organisasi dan penempatan personil yang baik dirancang sedemikian sehingga hanya kekuatan-kekuatanlah yang relevan.

Seorang programmer kelas wahid –misalnya— yang banyak menghasilkan software-software hebat sendirian, mungkin akan sangat terhambat oleh ketidak-mampuannya untuk bekerja sama dengan orang lain. Tetapi dalam sebuah organisasi, orang seperti itu yang biasanya lebih langka dapat ditempatkan–misalnya— di sebuah pos sendiri yang terlindung dari “kontak langsung” dengan orang lain. Seorang pimpinan yang baik seharusnya mengerti betul bahwa tugasnya lah untuk membuat programmer hebat tadi dapat membuat software-software terbaik untuk organisasinya dan tidak berangan-angan tentang kemampuannya untuk bekerja-sama dengan orang-orang lain. Dia tidak akan menunjuk programmer tadi sebagai manajer. Karena disisi lainnya ada personil-personil yang memiiliki kekuatan dalam –misalnya—komunikasi dan leadership yang dibutuhkan oleh seorang manajer. Intinya, organisasi semestinya dapat membuat kekuatannya efektif dan kelemahannya menjadi tidak relevan.

Oleh karena itu apa yang bisa dilakukan oleh programmer tadi – dan “orang-orang kuat” lainya dalam organisasi— itulah yang penting bagi sebuah organisasi. Apa yang tidak dapat dia lakukan adalah sebuah keterbatasan dan tidak lebih dari itu. Bahkan umumnya jika kita mencari orang yang “paling sedikit kekurangannya”, maka biasanya yang kita akan dapatkan adalah orang yang biasa-biasa saja. Setuju? [undzurilaina/www.ivitc.com]

Wednesday, November 3, 2010

Demi Waktu

Demi Waktu; Sesungguhnya manusia benar-benar di dalam kerugian.

Sebagian mufassir berpendapat bahwa jika sesuatu itu dijadikan sebagai obyek sumpah oleh Allah, maka pastilah sesuatu itu adalah sesuatu yang agung nan dahsyat nilainya. Dalam ayat yang dikutip di atas, Allah bersumpah dengan waktu. Sehingga dengan demikian berarti waktu adalah sesuatu yang besar nilainya dan perlu dengan sungguh-sungguh diperhatikan, kalau tidak maka pastilah manusia akan berada di dalam kerugian.

Batas pencapaian maksimal dari sebuah pekerjaan ditentukan oleh sumber daya (resources) yang paling terbatas. Untuk melakukan suatu pekerjaan kita bisa butuh orang yang mengerjakan, butuh biaya untuk mendanainya, mungkin juga butuh material2 tertentu, dan tentunya membutuhkan waktu untuk mengerjakannya. Diantara sumber daya tersebut, WAKTU adalah sumber daya yang paling terbatas.

Loh?! Memangnya mendapatkan orang itu mudah? Terus, uang? Kata orang tidak ada uang tidak ada bisnis. Malah ada pepatah barat yang menyejajarkan uang dengan waktu, time is money. Nah loh?!

Ya, memang tidak dapat dipungkiri faktor manusia adalah sumber daya penting yang seringkali langka dan susah dicari. Uang itu gizi, kurang uang maka hasilnya (kalau berhasil) juga jadi kurang gizi. Ya, memang semua sumber daya itu seringkali tidak mudah didapatkan. Tapi bukan berarti tidak dapat diusahakan. Orang bisa dicari dan uang masih bisa diusahakan. Tapi tidak dengan WAKTU.

WAKTU bersifat tetap, saklek, tidak elastis, tidak bisa ditambah atau dikurangi. Orang sibuk dan pengangguran sama2 punya modal waktu 24 jam sehari. Presiden Bank Dunia atau Donald Trumph –misalnya—tidak bisa memiliki privilege untuk membeli waktu tambahan. Pak Surip yang pekerjaannya ambil sampah hanya di pagi hari juga punya waktu 24 jam sehari, tidak ada discount. Tidak ada injury time. Pada waktu tidak berlaku hukum supply and demand. Waktu terus melaju, tidak bisa disimpan untuk digunakan lagi nanti. Waktu kemarin telah sirna untuk selamanya dan tak akan pernah kembali. Waktu itu ibarat pedang. Jika kita tidak memotongnya, maka dia yang akan memotongmu.

Segala sesuatu butuh waktu. Semua pekerjaan berlangsung di dalam waktu dan menyita waktu. Namun, kebanyakan orang (termasuk saya) seringkali tidak mempersoalkan sumber daya yang unik, tak tergantikan dan penting ini. Orang juga mudah kehilangan kepekaan terhadap waktu.

Ada sebuah eksperimen psikologi yang menarik. Bahwa orang yang tersekap dalam ruangan tanpa bisa melihat terang gelapnya hari di luar akan dengan segera kehilangan kepekaannya terhadap waktu. Dalam gelap gulita sekalipun, kebanyakan orang masih dapat mempertahankan kepekaan ruang. Namun sekalipun dengan lampu tetap benderang, beberapa jam di dalam ruangan tertutup membuat kebanyakan orang tak mampu memperkirakan berapa banyak waktu yang telah berlalu. Mereka hanya bisa merasakan bahwa waktu yang sudah dilewatkan dalam ruangan itu terlalu lama atau terlalu sebentar. Oleh karenanya, jika hanya bersandar pada ingatan, kita tidak tahu seberapa banyak waktu yang sudah dilalui.

Sewaktu menulis catatan ini, tiba-tiba meluncur pertanyaan di kepala saya, kemana perginya waktu-waktu saya? Kemana? Kemana? Fa aina tadzhabuun?
Duh..Benar, saya sudah lupa sebagian besar perginya waktu-waktu saya. Aktifitas-aktifitas yang saya ingat ternyata jika dihitung hanya menyedot sebagian kecil dari waktu-waktu saya. Sisanya tersebar menjadi fragmen-fragmen tak penting yang jika dikumpulkan saya yakin akan berada di peringkat teratas penyedot waktu-waktu saya.

Duh Gusti..aku bahkan tidak kenal waktuku sendiri.
Kalau aku tak ingat waktuku,
bagaimana mungkin aku ingat “Bala Syahidna” terhadap “alastu bi rabbikum”?
Kalau aku tak kenal waktuku,
bagaimana mungkin aku dapat mengenal diriku?
Kalau aku tak kenal diriku,
bagaimana mungkin aku mengenal Engkau?
Oh..Maha Benar Qaul-Mu, sungguh aku benar-benar dalam kerugian.
Oh..Pemeliharaku, bimbinglah aku dalam menjalani waktuku.
Oh..Sandaranku, jangan biarkan aku sendiri walau sesaatpun.

La ilaaha illa Anta, subhanaKa, inni kuntu mina adz-dzalimiin.