Thursday, January 27, 2011

Lima Rezim Arab Terancam Runtuh Menyusul Tunisia

Majalah Foreign Policy dalam laporannya (26/1) membahas kondisi lima negara Arab yang diperkirakan akan menghadapi gelombang protes massif pasca tumbangya rezim diktator Tunisia pimpinan Zine Al-Abidine Ben Ali.
Mesir, Aljazair, Libya, dan Jordania merupakan lima negara yang dinilai sangat rentan terhadap protes rakyatnya dan terancam runtuh.

Rezim Bouteflika, AlJazair

Menurut Foreign Policy, Abdul Aziz Bouteflika, telah menjabat sebagai Presiden Aljazair sejak tahun 1999 dan pada tahun 2009, ia mengubah konstitusi sehingga ia dapat mempertahankan jabatannya untuk periode ketiga. Partai-partai oposisi Aljazair memboikot pemilu tersebut.

Saat ini Bouteflika yang telah menginjak usia 73 tahun dikabarkan sudah sakit-sakitan dan saudaranya menyatakan siap untuk menggantikan posisinya.

Bouteflika mampu mengakhiri perang saudara di Aljazair yang berlangsung selama 10 tahun dan mampu meningkatkan hubungan negaranya dengan kekuatan di Afrika dan Eropa. Namun ia gagal dalam memberantas kelompok separatis yang berafiliasi dengan AlQaeda. Ia juga tidak berhasil mencegah pengeroposan lembaga-lembaga demokratis di negaranya.

Pada bulan Januari, Aljazair menyaksikan aksi demonstrasi luas sama dengan yang terjadi di Tunisia. Warga memprotes meningkatnya harga komoditi dan juga krisis pengangguran. Demo warga makin meningkat setelah pemerintah menetapkan kenaikan harga susu, gula, dan tepung. Selain itu, sudah lama rakyat Aljazair mengeluhkan ketidakadilan distribusi kekayaan negara.

Tak ayal ribuan pemuda Aljazair turun ke jalan-jalan dan bentrok dengan aparat polisi. Bahkan sebuah pos polisi dibakar massa.

Menurut Foreign Policy, meski rezim Bouteflika tidak demokratis, namun kondisinya tidak separah rezim Ben Ali di Tunisia. Oleh karena itu, kondisi saat ini masih sulit bagi kelompok oposisi untuk menggulingakan rezim berkuasa. Selain itu, serikat-serikat buruh dan kelompok-kelompok oposisi Aljazair tampak sungkan mendukung demonstrasi warga.

Rezim Mubarak, Mesir

Foreign Policy menganalisa kondisi saat ini akan menggiring Mesir menuju jurang sama yang dihadapi rezim Ben Ali di Tunisia. Sudah selama tiga dekade rezim Hosni Mubarak, berkuasa di Mesir. Karena seluruh undang-undang terkait kondisi darurat negara ini memberikan keleluasaan kepada Mubarak untuk mengotak-atik pelaksanaan pemilu secara arbitrer.

Namun saat ini, rezim Mubarak tengah tergelincir. Firaun berusia 82 tahun itu menghadapi berbagai masalah kesehatan. Di sisi lain, persaingan antara Gamal Mubarak, putra Presiden Mesir, dan Omar Sulaiman, Ketua Dinas Rahasia Mesir, juga semakin menguat.

Akan tetapi kondisi saat ini sangat tidak menguntungkan bagi rezim berkuasa. Masalah keadilan sosial, pengangguran, dan kenaikan harga komoditi, lagi-lagi menjadi pemicu gelombang unjuk rasa di Mesir. Terinspirasi dari aksi bunuh diri yang di Tunisia yang memantik revolusi, hingga kini tiga warga Mesir tewas dengan cara membakar diri.

Protes yang digelar secara nasional di Mesir yang dijuluki "Hari Kemarahan" itu telah menjadi momok bagi rezim Mubarak. Betapa tidak, meski telah dilarang dan diaman hukuman, masyarakat enggan menghentikan aksi protes dan menuntut lengsernya rezim ala-Firaun Mubarak.

Rezim Renta Ghadafi, Libya

Setelah membahas Aljazair dan Mesir, Foreign Policy menyinggung kondisi di Libya. Era pemerintahan Moammar Ghadafi dinilai telah melebihi usia kekuasaan seluruh pemerintahan di dunia saat ini. Ia berkuasa di Libya pada tahun 1969, melalui sebuah kudeta militer.

Di bawah kekuasaannya, Libya menjadi salah satu negara terbesar pelanggar hak asasi manusia dan negara paling tidak demokratis. Di negara ini tidak ada kebebasan media dan dari kelompok oposisi, yang tertinggal hanyalah nama dan kenangan belaka.

Lebih lanjut Foreign Policy menambahkan, meski untuk mendapatkan informasi detail tentang kondisi di Libya sangat sulit, namun sejumlah laporan dan rekaman video menunjukkan bahwa demonstrasi warga di ibukota cukup menjadi bukti tingginya tingkat ketidakpuasan rakyat Libya atas rezim berkuasa. Padahal sebelumnya, protes merupakan kata yang hampir tidak pernah didengar dari Libya.

Untuk mengantisipasi seperti apa yang terjadi di Tunisia, Mesir, dan Aljazair, pemerintah Libya langsung melakukan impor komoditi secara massif dan bahkan mencabut sejumlah batasan.

15 Januari lalu, Ghadafi dalam pidatonya mengecam revolusi di Tunisia. Dalam beberapa pidato, Ghadafi menyebut mantan diktator Tunisia, Zine Al Abidine Ben Ali sebagai saudara dekat.

Kemungkinan Revolusi Sudan

Sudan menjadi negara keempat yang dinilai Foreign Policy berpotensi menghadapi kebangkitan masyarakat. Presiden Sudan, Omar al-Bashir dalam dua dekade pemerintahannya, menjadi "guru besar dalam menebar perpecahan dan berkuasa". Dengan lihai al-Bashir mengadu kelompok-kelompok yang menentangnya dan dalam membasmi segala bentuk ancaman.

15 tahun pertama pemerintahan al Bashir, berlalu dengan perang saudara antara kawasan utara dan selatan negara ini. Memasuki milenium, muncul pemberontakan dari Darfur, dan al-Bashir mempersenjatai sebuah kelompok milisi untuk memerangi para separatisan Darfur.

Wilayah Sudan Selatan saat ini tengah menanti hasil referendum soal pemisahan kawasan itu dari Sudan Utara. Al-Bashir berjanji akan menerima hasi referendum.

Al-ashir yang mampu mengendalikan kondisi di wilayah selatan, tampaknya kini menghadapi kendala baru yaitu kehilangan pendukung secara bertahap. Hasan al-Turabi, ketua partai oposisi pada pidatonya dalam aksi unjuk rasa tanggal 17 Januari lalu menyampaikan pesan kepada al-Bashir dan mengatakan, "Apa yang yang terjadi di Tunisia adalah peringatan. Ini dapat terjadi di Sudan. Jika tidak, maka akan terjadi pertumpahan darah besar-besaran di Sudan."

Al-Bashir dihimpit dua krisis besar saat ini. Pertama jika Sudan Selatan memisahkan diri, maka kondisi negaranya akan semakin sulit mengingat sebagian besar sumber minyak terletak di wilayah selatan. Kedua, di wilayah selatan pun, al-Bashir mulai kehilangan pendukung. Upayanya untuk mengurangi defisit bujet negara dilaukan dengan memotong subsidi bahan bakar dan komoditi utama. Kenaikan harga tersebut yang akhirnya menyeret para mahasiswa berdemonstrasi.

Ratu Jordania Siap-Siap Mengungsi ke Jeddah

Negara kelima yang menurut Foreign Policy diperkirakan akan menghadapi gelombang protes hingga runtuhnya pemerintahan adalah Jordania. Raja Jordania, Abdullah II, merupakan salah satu sekutu utama Amerika Serikat di kawasan dan menjadi "makelar perdamaian" antara Otorita Ramallah di Palestina dan rezim Zionis Israel. Abdullah yang merupakan jebolan Amerika Serikat itu berkuasa di Jordania pasca Perang Dunia II.

Kondisi saat ini di Jordania hampir sama dengan yang dialami di Tunisia dan Mesir. Parlemen baru Jordania hingga kini masih menghadapi krisis pengangguran yang persentasenya mencapai angka dua digit. Selain itu banyak pengamat yang meragukan kelanggengan kekuasaan Abdullah II.

Pada tanggal 16 Januari lalu, sekitar 3.000 warga berdemonstrasi di depan gedung parlemen negara ini dalam rangka memprotes kebijakan ekonomi. Mereka meneriakkan slogan "Jordania bukan hanya untuk orang-orang kaya saja", "Roti adalah garis merah kami, kalian harus memperhatikan kemarahan dan kelaparan kami."

Ratu Jordania menyampaikan pesan melalui internet yang mengimbau warga untuk menjaga ketenangan. Sikap itu direaksi keras oleh warga Jordania, bahkan di antaranya mengimbau keluarga kerajaan untuk menyiapkan rumah di Jeddah, Arab Saudi. Jeddah, adalah kota tujuan mantan diktator Tunisia, Zine al Abidine Ben Ali, setelah tersungkur dari jabatannya. (IRIB/MZ/MF)

Antara SBY dan Arnold Schwarzenenger

Ribut-ribut soal Pak SBY yang curhat tentang gaji presiden yang tidak pernah naik
mengingatkan saya pada sosok Arnold_Schwarzenegger, mantan gubernur California.
Arnold mulai menjabat sebagai gubernur pada bulan November 2003, terpilih kembali di tahun
2006 dan baru saja pensiun bulan Januari ini. Apa yang mengingatkan saya pada bintang film yang film-filmnya selalu laris manis di pasaran ini?
Sama dengan Pak SBY, soal gaji.
Bedanya, Arnold menolak digaji selama dia menjabat sebagai gubernur yang jumlahnya sebesar 175
ribu dollar per tahun.

Bukan hanya tidak digaji, dia juga harus merelakan kehilangan penghasilan dari
bermain film selama dia menjadi gubernur. Dalam wawancara dengan harian Krone
di Vienna, Austria, negara asal Terminator ini minggu lalu, Arnold menyebutkan
bahwa selama menjabat sebagai gubernur dia merugi secara finansial, minimal 200 juta dollar, baik dari gaji gubernur yang tidak pernah dia ambil apalagi dari bayaran bermain film
yang selama ini dia tidak bisa lakoni. Tetapi menurutnya, mengabdi sebagai
gubernur lebih berharga dari jumlah uang sebesar itu.

Mengapa Arnold mau tidak digaji? Mungkin karena dia sudah memiliki kekayaan yang
ditaksir sebesar 200 juta dollar ketika dia meninggalkan Hollywood
tujuh tahun lalu untuk menjadi gubernur negara bagian yang sudah bangkrut ini.
Dengan kekayaan sebesar itu, Arnold merasa yakin bisa hidup tanpa digaji dan menyerahkan gajinya kembali ke kas negara bagian untuk dipakai untuk kepentingan lain. Dia ingin benar-benar mengabdi kepada rumah barunya ini.

California mengalami krisis ekonomi di awal tahun 2000-an. Dimulai dengan jatuhnya harga saham perusahaan-perusahaan internet atau perusahaan dot.com. Setelah mengalami
kejayaan dari tahun 1995, gelembung saham pecah, California terkena imbas yang parah karena lembah silikon atau silicon valley, markas perusahaan-perusahaan ini terletak di California bagian utara. Banyak perusahaan yang bangkrut membuat banyak orang yang
menganggur, bisnis lokal mati dan pemerintah tidak mendapat pemasukan.

Krisis ini disusul dengan krisis listrik tahun 2001. Walaupun warga California harus membayar rekening listrik tiga kali lebih besar dari sebelumnya tetapi tidak ada jaminan pasokan listrik
akan stabil. Setiap hari terjadi pemadaman listrik. Gubernur Gray Davis dianggap lamban dalam menyelesaikan masalah ini. Setelah krisis listrik dapat diatasi, timbul lagi krisis baru, yaitu krisis moral di lingkungan kantor gubernur. Beberapa orang dekat gubernur terbukti menerima dana kampanye (Davis berencana maju lagi dalam pemilu 2002) dari perusahaan yang sebelumnya diberi kontrak dengan nilai yang sudah di-mark-up. Mereka dipecat, tetapi Gubernur Davis selamat, bahkan terpilih lagi menjadi gubernur.

Tetapi hal ini tidak berlangsung lama. Davis harus menghadapi defisit anggaran yang besarnya 38,2 milyar dollar, lebih besar dari gabungan jumlah defisit seluruh negara bagian lain.
Karena defisit, pajak dan tarif pelayanan umum dinaikkan berlipat-lipat membuat rakyat marah. Rakyat tidak mau lagi dipimpin oleh Davis, mereka meminta Davis dilengserkan melalui pemungutan suara yang dikenal dengan nama recall election.
Setelah melalui perjuangan yang panjang, California untuk pertama kalinya mengadakan recall election yang diadakan pada tanggal 7 Oktober 2003. Ada dua pertanyaan yang diajukan, pertama, setuju atau tidak setuju kalau Davis di-recall. Kalau setuju, masuk ke pertanyaan kedua, yaitu siapakah dari empat calon pengganti (salah satunya Arnold) yang dipilih untuk menggantikan Davis.
Hasil election, Davis di-recall oleh rakyat dan Arnold terpilih sebagai gubernur baru.

Beberapa saat setelah dilantik sebagai gubernur, 17 November 2003, Arnold
mengumumkan pembatalan beberapa kebijakan yang diambil oleh Davis yang dirasa memberatkan rakyat. Dia juga mengumumkan tekadnya untuk memotong pengeluaran negara bagian dimulai dari dirinya sendiri dengan cara tidak mau menerima gajinya sebagai gubernur. Janji yang dipegangnya teguh sampai dia pensiun bulan Januari ini.

Saat ini California dipimpin oleh gubernur baru (muka lama) yaitu Jerry Brown, yang pernah menjabat sebagai gubernur negara bagian yang sama dari tahun 1975-1983. Brown menghadapi
masalah yang sama, defisit anggaran, yang besarnya 25,4 milyar dollar.
Siapapun yang menjadi gubernur di Amerika saat ini memang harus menghadapi
masalah defisit anggaran.

Sikap Arnold yang menolak untuk menerima gaji sebagai gubernur menjadi inspirasi
gubernur atau calon gubernur lain. Meg_Whitman, lawan Brown di pemilihan lalu dalam kampanyenya menyatakan akan bekerja tanpa bayaran bila terpilih sebagai gubernur. Jon_Corzine, sewaktu menjadi gubernur New Jersey dari tahun 2006 – 2010 hanya mau digaji sebesar 1 dollar setahun. Phil_Bredesen, gubernur Tennesse periode 2003 – 2011, sama seperti Arnold, bekerja tanpa dibayar. Di tingkat walikota, Michael_Bloomberg di kota New York hanya mau digaji sebesar 1 dollar setahun.

Janet Napolitano (hlswatch.org)

Kalau kesemua nama di atas tidak mau menerima gaji karena mereka adalah
milyuner yang tidak butuh uang tambahan, ada yang menerima gaji
seperti biasa tetapi menolak kenaikan gaji. Janet_Napolitano
ketika menjadi gubernur Arizona dari tahun 2003 – 2008 menolak kenaikan gaji,
sampai sekarang gaji gubernur Arizona (yang dijabat oleh Jan Brewer) hanya
sebesar 95 ribu dollar per tahun, jauh di bawah rata-rata gaji
gubernur Amerika yang besarnya 130 ribu dollar per tahun. Sedangkan rekor gaji
gubernur terrendah dipegang oleh gubernur negara bagian Maine yang dijabat oleh Paul_LePage. Negara bagian ini terakhir menaikkan gaji gubernurnya pada tahun 1987, dari
35 ribu dollar menjadi 70 ribu dollar per tahun. Sampai sekarang, setelah 23
tahun, jumlah itu tidak bertambah.

Kembali ke soal curhat Pak SBY soal gaji yang tidak pernah naik. Tulisan ini tidak
untuk menganjurkan Pak SBY untuk tidak menerima gaji seperti yang pernah
dilakukan oleh Arnold Schwarzenneger. Juga tidak untuk meniru Michael Bloomberg
yang hanya mau digaji 1 dollar saja per tahun. Maksud dari tulisan ini adalah
memberikan gambaran kalau ada pejabat seperti gubernur Janet Napolitano yang
tidak pernah curhat soal gaji bahkan menolak ketika gajinya akan dinaikkan. Ada juga orang seperti LePage yang mau menjadi gubernur dengan gaji yang sangat kecil kalau
dibandingkan dengan gaji seluruh gubernur lain.

Napolitano pastilah sudah tahu jumlah gaji yang akan diterima sebelum dia maju dalam
pemilihan gubernur. Karena itu selama menjabat dia tidak pernah mengeluh,
bahkan membuktikan kalau dengan gaji sebesar itu dia bisa hidup nyaman jadi
tidak perlu mendapat tambahan gaji. Demikian juga LePage, pasti dia sudah tahu
berapa gaji seorang gubernur negara bagian Maine. Saya percaya LePage nantinya tidak
akan mengeluh soal gaji yang kecil itu karena kalau dia menganggap gaji
gubernur tidak akan cukup menghidupi keluarganya tentulah dia tidak akan maju
dalam pemilihan gubernur lalu.

Saya yakin Pak SBY dulu waktu maju dalam pemilu presiden sudah tahu berapa gaji dan
tunjangan seorang presiden RI. Kalau memang merasa gaji dan fasilitas yang
didapat dirasa tidak cukup sebaiknya tahun 2009 lalu tidak lagi mencalonkan
diri sebagai presiden. Tetapi tidak apalah, walaupun sudah terlanjur menjabat
di periode kedua ini, masih belum terlambat sebenarnya. Masih bisa mengundurkan
diri untuk mencari pekerjaan lain yang dapat memberikan penghasilan yang lebih
memuaskan. Sebenarnya merupakan suatu kehormatan bagi rakyat Indonesia
seandainya bisa memberikan yang terbaik bagi presiden mereka termasuk menaikkan
gaji dan tunjangan, tetapi sayang sampai saat ini rakyat masih belum mampu
melakukan itu.

Maafkan kami, Pak SBY, semoga lekas mendapat pekerjaan baru…[]
sumber:
http://politik.kompasiana.com/2011/01/22/antara-sby-dan-arnold-schwarzenneger/

Keluarga Mubarak Lari ke Inggris

Menyusul aksi protes dan kegeraman masyarakat yang semakin meluas terhadap pemerintahan Presiden Mesir Hosni Mubarak, berbagai laporan menyebutkan bahwa para anggota keluarga Mubarak memutuskan untuk segera melarikan diri.
INN mengutip keterangan International Bussiness Times (26/1) melaporkan, sejumlah laporan menyebutkan bahwa Susan Mubarak, istri Presiden Mesir, telah meninggalkan negaranya menuju London.

Berdasarkan laporan tersebut, para pegawai bandara internasional Heathrow , London, asal Mesir, langsung mengenali istri Mubarak. Pada saat yang sama, koran Times terbitan New Delhi dalam edisi terbarunya (26/1), juga menurunkan laporan bahwa Gamal Mubarak, putra Presiden Mesir, yang menurut rencana akan menggantikan jabatan ayahnya itu, telah meninggalkan Kairo menuju London.

Dalam beberapa bulan terakhir, warga Mesir menggelar aksi protes terhadap rezim Mubarak.
Pekan lalu, seorang warga Mesir nekat membakar dirinya di depan gedung parlemen negara ini dalam rangka memprotes kondisi saat ini. Aksi bakar diri itu terinspirasi dari aksi serupa di Tunisia yang akhirnya mampu menyulut revolusi yang berhasil menumbangkan rezim berkuasa di negeri itu. (IRIB/MZ/SL)