Wednesday, October 31, 2007

DUHAI IBU

Oleh: Abdullah Ass.

DALAM al-Quran, Allah Swt menjelaskan soal kedudukan orang tua dan hak-hak yang harus diberikan kepada mereka.

Allah Swt berfirman: Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu.(Luqman: 14)

Dalam firmannya, Allah Swt menyebutkan tentang hak perlakuan bagi kedua orang tua. Namun, dalam memberikan contoh terhadap orang tua yang berhak memiliki penghormatan besar, Allah mewajibkan bersyukur kepada mereka dan disandingkan dengan syukur kepada Allah. Allah Swt hanya membawa contoh tentang jasa seorang ibu yang mengandung dan menyusui anaknya hingga dua tahun. Sehingga kita dapat memahami bahwa penekanan penghormatan kepada kaum ibu jauh lebih besar dibandingkan penghormatan terhadap kaum bapak. Banyak riwayat yang menceritakan tentang kedudukan ibu yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kedudukan seorang ayah.

Pernah seseorang datang kepada Rasulullah Saw dan bertanya tentang siapa yang harus dimuliakan setelah Allah dan rasul-Nya. Rasul Saw bersabda, “Ibumu! Kembali orang itu bertanya, “Setelah itu siapa, ya Rasulullah?” . Rasul menjawab, “Ibumu!” Sampai tiga kali Rasul tetap menjawab, “Ibumu.”. Setelah keempat kalinya, barulah Rasulullah Saw menjawab, “Ayahmu!”

Dalam riwayat lain, seseorang datang kepada Rasul Saw untuk ikut berjihad bersama Rasulullah Saw. Rasul bertanya, “Adakah ibumu masih hidup?” Orang itu menjawab, “masih.” Rasul Saw pun bersabda, “Pulanglah dan berbaktilah kepada ibumu.” Rasul Saw juga bersabda, “Bahwa surga ada di bawah telapak kaki para ibu.”

Alangkah tingginya Islam dalam memposisikan kaum ibu, sehingga (dalam kondisi tertentu) Rasul Saw menggantikan kewajiban berjihad dengan berbakti kepada seorang ibu. Bangsa Arab sebelum Islam amat merendahkan posisi kaum ibu. Dalam pernikahan, mereka hanya dijadikan alat kaum bapak untuk menjaga dan melanjutkan keturunan. Dan, setelah sang anak lahir, otomatis hilanglah hak-hak ibu atas diri anaknya itu.

Lebih buruk lagi, para ibu adakalanya dijadikan barang warisan seorang ayah bagi anak-anaknya. Sedemikian buruknya posisi kaum wanita, sehingga sering terjadi pembunuhan terhadap bayi wanita pada awal kelahirannya. Sayang, dewasa ini, sebagian pihak yang melakukan pembelaan terhadap kaum wanita yang dimanfaatkan kaum lelaki justru menuding Islam sebagai agama yang merendahkan derajat kaum wanita. Mereka menuduh Islam telah memposisikan kaum wanita sebagai makhluk kedua (secondary creation) setelah kaum pria.

Tidak! Tuduhan mereka sama sekali tidak berdasar. Apabila Islam menganjurkan kaum wanita untuk tinggal di rumah bukan lantaran Islam hendak membatasi kaum wanita. Tetapi Islam melihat persoalan tersebut dari sudut pandang universal. Bahwa wanita dan pria pada dasarnya sama dan setara sebagai bagian dari suatu kesatuan masyarakat. Islam melihat bahwa tugas kaum wanita, juga kaum pria, diarahkan semata-mata untuk mendukung kesempurnaan suatu masyarakat. Wanita dan pria harus berjalan bersama mengisi kekosongan masing-masing demi mewujudkan sebuah konstruk masyarakat yang sempurna.

Keharusan kaum ibu tinggal di rumah dimaksudkan untuk memenuhi hasrat setiap anak yang terlahir dalam rumah tersebut. Tugas kaum ibu adalah menjadikan rumah sebagai surga bagi orang-orang yang tinggal di dalamnya. Sehingga setiap anak yang lahir dalam rumah tersebut akan tumbuh menjadi manusia yang memiliki talenta dan sangat cenderung terhadap kesempurnaan.

Allah Swt berfirman:

Siapa yang membunuh seseorang dengan selain (bayaran) jiwa (atas orang lain) atau karena selain membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa memberikan (pemeliharaan) hidup seorang manusia, maka seolah-olah ia telah memberikan (pemeliharaab) hidup manusia seluruhnya.(al-Mâ’idah: 32)

Memberikan (pemeliharaan) hidup kepada seseorang, menurut Imam Ja’far al-Shadiq, adalah menghantarkan seluruh kehidupan seseorang menuju kesempurnaan eksistensinya. Karenanya, menurut al-Quran, itu sama belaka dengan menghantarkan seluruh kehidupan umat manusia kepada kesempurnaan. Lewat perhatian dan kasih sayang seorang ibu, serta pendidikan yang benar, niscaya akan terlahir dan tercipta para pemimpin umat yang ideal.

Islam memiliki alasan yang apik dan paripurna perihal setiap aturan yang diturunkannya. Dan manusia yang terpedaya hawa nafsunya akan berputus asa dalam menemukan kelemahan atas segenap alasan yang tercantum di dalamnya. Jadinya, mereka pun meracau dan dengan brutal menuduh Islam begini dan begitu, berdasarkan prasangka-prasangka buruk yang tidak masuk akal. Wallâhua’lam bi al- shawab.[]

Monday, October 29, 2007

Mengunjungi Negeri Sengketa Israel-Palestina Jelang Konferensi Damai (3-habis)

Terkepung Tembok, Jarak 30 Kilometer Ditempuh Dua Jam

Kondisi permukiman Yahudi dan Palestina ibarat bumi dengan langit. Saat warga Israel hidup makmur, warga Arab yang kota-kotanya kini dikepung tembok pemisah itu semakin terisolasi.

TOFAN MAHDI, Tel Aviv

TEMBOK yang memisahkan Jerman -termasuk yang membelah ibu kota Berlin- menjadi wilayah barat dan timur sudah hampir 20 tahun lalu dirobohkan. Tapi, tidak demikian halnya dengan Israel. Dengan alasan keamanan, Negeri Zionis itu justru getol membangun tembok pemisah antara wilayah Israel dan Palestina.

Hingga kini, tembok yang dibangun untuk membentengi permukiman Yahudi di kawasan Tepi Barat (juga di Jerusalem) sepanjang 850 kilometer. Dengan rentang yang hampir sepadan dengan jarak Surabaya-Jakarta itu, Israel membangun 500 security check point yang sehari-hari dijaga ketat oleh tentara.

Memang, sejak tembok-tembok mulai berdiri p ada pertengahan 2002, intensitas terjadinya serangan bom bunuh diri di wilayah yang diduduki Israel jauh berkurang. Dinilai efektif, pembangunan tembok-tembok berlanjut hingga membelah kota Jerusalem dan wilayah-wilayah Palestina yang lain. Misalnya, Ramallah, Hebron, Nablus, Jericho, dan Betlehem.

Selain dibangun menjorok di tanah Palestina, tembok itu tidak hanya memisahkan warga Palestina dengan Israel, tapi juga antara warga Palestina. "Tembok-tembok itu telah menghancurkan kehidupan sosial ekonomi rakyat Palestina," kata Rami Nasrallah, warga Arab-Palestina di Jerusalem Timur.

Rami yang juga peneliti di International Peace and Cooperation Center (IPCC), sebuah LSM Palestina di Jerusalem, menuturkan, tembok tersebut membatasi akses warga Palestina bepergian dari satu tempat ke tempat lain di dalam negeri sendiri. Sebelum ada tembok, banyak warga Hebron yang melaksanakan salat Jumat di Masjid Al Aqsa, Jerusalem.

Namun, setelah Hebron dikepung tembok, untuk datang ke Jerusalem dengan mobil, warga harus berputar-putar d an memakan waktu empat hingga lima jam.

"Padahal, ini kan wilayah kecil. Sebelum ada tembok, dua jam mungkin sudah sampai," kata Rami, yang menolak menjadi warga negara Israel.

Terbatasnya akses tersebut juga dirasakan Jawa Pos saat menyewa mobil dari kota Jerusalem (sekitar Al Aqsa) menuju Betlehem, Palestina. Melihat peta, jarak di antara kedua kota tersebut hanya sekitar 30 kilometer (karena berbatasan dengan Jerusalem Barat).

Saat itu kondisi lalu lintas tidak terlalu padat. Tapi, akibat adanya tembok pemisah tersebut, untuk sampai ke Betlehem, memakan waktu sekitar dua jam, plus 15 menit menjalani pemeriksaan.

"Kita akan melewati check point. Tolong, siapkan paspor dan jangan coba-coba mengambil gambar. Sebab, kamera, paspor, dan Anda sendiri bisa diambil," kata Mahmud, sopir van yang kami sewa mengingatkan.

Dua tentara Israel bersenjata laras panjang berbicara dengan Mahmud, meminta identitas, dan menanyakan siapa saja yang berada d i dalam van. Seorang tentara lain masuk ke van, memeriksa penumpang, dan barang-barang bawaan.

"Ada yang membawa senjata?" kata tentara yang di dalam van. Setelah mendapat jawaban "tidak", dia turun dan berlalu seraya mempersilakan mobil masuk ke Betlehem.

Di Betlehem kami melihat kehidupan yang sangat kontras dengan kehidupan di wilayah yang dikuasai Israel. Lalu lintas macet, jalanan sempit, dan bangunan-bangun rumah atau toko yang tak terawat. Hanya satu hal yang berbeda: tak ada tentara berkeliaran seperti di Jerusalem atau Tel Aviv.

"Tentara Israel masuk wilayah ini hanya ketika menangkap orang. Kemudian, mereka langsung pergi," kata Mahmud, yang tinggal Betlehem.

Di Bethlehem juga ada taksi. Tapi, taksi-taksi itu tak bisa melayani rute ke kota-kota Palestina lainnya. "Mereka hanya berputar-putar di Betlehem. Batasnya hingga check point tadi," jelas Mahmud. Padahal, kalau merasakan putar-putar Betlehem, luas wilayah tersebut tak sampai sepe rempat wilayah Surabaya.

Wakil Gubernur Betlehem Marwan Khadle r yang ditemui di kantornya mengakui, kehidupan ekonomi Palestina sangat sulit setelah Israel membangun tembok pemisah. "Banyak desa yang terisolasi karena warganya tidak bisa menjual barang dagangan lagi. Tentu, ini berpengaruh ke hal lain, seperti pendidikan," kata Marwan.

Gedung tiga lantai yang menjadi kantor Marwan tergolong sederhana. Di ruang kerjanya terpampang foto pendiri PLO (Front Pembebasan Palestina) Yassir Arafat dan Presiden Mahmud Abbas.

Namun, kata Marwan, Betlehem masih lebih baik dibandingkan dengan wilayah lain, seperti Ramallah, apalagi Nablus atau Hebron. Sebab, Betlehem masih bisa meraup pendapatan dari kunjungan wisata ke Nativity Church yang cukup besar. Gereja itu adalah tempat kelahiran Jesus.

Setelah di Betlehem, Jawa Pos juga mengunjungi wilayah Palestina lain, yaitu Ramallah. Saat tiba di kota itu (setelah melewati check point tentara Israel), kondisi sangat kontras dengan wilayah Israel kembali terlihat. Jalanan macet, ka mpung kumuh, dan tak tertata. Itulah tantangan sebetulnya pemerintah Palestina. Yakni, membangun ekonomi wilayah mereka sekaligus mengupayakan proses perdamaian dengan Israel.

Sebab, jika ekonomi kacau, Israel bisa mengklaim bahwa mereka lebih baik daripada Palestina. Dengan begitu, mereka merasa lebih berhak menguasai wilayah yang disengketakan saat ini.

Berbeda dengan di Betlehem, nasionalisme bangsa Palestina lebih tampak di Ramallah. Sebab, kota ini menjadi markas PLO dan juga makam Yassir Arafat. Di berbagai sudut jalan banyak terpampang poster Arafat yang suka menutup kepala dengan kafiyeh, Mahmud Abbas, dan graffiti bertulisan hujatan kepada Israel dan Amerika.

Bocah-bocah Ramallah gemar bermain perang-perangan, tentu dengan senjata mainan. Kalau kita tanya kepada mereka, mengapa kok memilih main perang-perangan, mereka akan menjawab intifadah (rebut kembali). Kita tidak tahu apakah anak-anak itu paham dengan konflik yang terjadi. Hanya satu ha l yang selalu mereka dengar bahwa Israel dan Amerika adalah musuh mer eka.

Konflik Palestina-Israel memang sangat rumit. Rencana pembagian Jerusalem menjadi dua, misalnya, di internal kedua negara juga menuai kontroversi. Apalagi, tempat suci tiga agama di Jerusalem berada di sebuah areal yang sama. Masjid Al Aqsa milik umat Islam, Western Wall atau Mourning Wall (Tembok Ratapan), dan tempat-tempat suci umat kristiani.

"Kalau mau dibagi dua, caranya bagaimana? Masak mau dibangun tembok untuk memisahkan ketiga tempat suci itu," kata Issa Jaber, warga Arab muslim, yang tinggal di Abu Gosh -wilayah Israel.

Jaber mengakui, sebagai seorang Arab muslim, namun berkewarganegaraan Israel, dirinya menghadapi situasi yang rumit dengan konflik yang terjadi. Sebab, di satu sisi, tidak mungkin mendukung Israel yang berperang dengan bangsa Palestina. Di sisi lain, dia hidup dan menafkahi keluarganya di Israel. Saat ini ada sekitar 1,25 juta (hampir 25 persen) warga Arab yang hidup di Israel (di luar wilayah sengketa). Di antara mereka i tu 80 persen adalah muslim.

"Kalau ditanya apa ada diskriminasi, ya pasti ada. Sebab, ada kelompok radikal yang tidak menghendaki orang Arab hidup di tanah Israel. Demikian juga sebaliknya, ada kelompok radikal Arab yang menuntut agar Israel tidak hidup di Timur Tengah ini," ujar Jaber.

Sebagai muslim, tetapi berpaspor Israel, apakah Anda juga bisa pergi haji? "Dulu negara-negara Arab melarang (kecuali Mesir dan Jordania, Red). Itu antara 1968-1978. Tetapi, setelah Anwar Sadat (presiden Mesir saat itu, Red) melakukan lobi, akhirnya diizinkan. Teknisnya, kami lewat Jordania dan mengurus paspor sementara Jordania," tutur Jaber.

Setelah perjanjian Camp David, Konferensi Madrid, dan Perjanjian Dayton, konflik Arab (Palestina)-Israel yang sudah berlangsung 60 tahun dicoba untuk diselesaikan lagi lewat jalur diplomasi. "Kami berharap, kali ini berhasil," kata Jaber tentang konferensi di Annapolis, Maryland, Amerika, bulan depan.
(*) [undzurilaina]

Mengunjungi Negeri Sengketa Israel-Palestina Jelang Konferensi Damai (2)

Diskriminasi Warga Arab hingga Denda Tilang


Oleh:
Tofan Mahdi
Dari Tel Aviv, Israel

Mengunjungi Negeri Sengketa Israel-Palestina Jelang Konferensi Damai (2)
Salah satu isu paling berat pada perundingan Israel-Palestina menyangkut status kota Jerusalem. Apa harapan warga Palestina tentang kota yang menjadi tempat suci agama Islam, Kristen, dan Yahudi itu?

TOFAN MAHDI, Tel Aviv

"Come to Israel before Israel come to You."
(Datanglah ke Israel sebelum Israel mendatangi Anda). Ini joke yang juga sangat populer tentang Negeri Yahudi itu.

Karena menduduki sebidang tanah yang dulu milik warga Arab-Palestina, Israel oleh negara-negara Arab tetangganya lebih dianggap sebagai penjajah. Sebab, di beberapa wilayah pendudukan seperti Jerusalem dan Tepi Barat, aparat keamanan Israel menerapkan sejumlah aturan ketat dan diskriminatif.

Status Kota Jerusalem dan kawasan Tepi Barat itulah yang akan dibahas secara detail dala m konferensi di Annapolis, Maryland, Amerika, bulan depan. Jika disepakati, perjanjian damai Israel-Palestina yang disponsori AS kembali diteken.

Secara geografis, Jerusalem dibagi dua wilayah: barat dan timur. Warga Yahudi tinggal di Jerusalem barat, sedangkan warga Arab-Palestina (Islam dan Kristen) di Jerusalem timur. Namun, setelah Perang Arab-Israel pada 1967, administrasi dan kontrol keamanan seluruh wilayah kota itu dikendalikan Israel. Jumlah permukiman dan warga Yahudi di Jerusalem timur pun terus bertambah.

"Meski tinggal dalam satu wilayah, warga Yahudi dan Arab-Palestina hidup saling curiga. Masing-masing hidup eksklusif, menjaga jarak, dan selalu khawatir penyerangan secara fisik," kata Hasan Nasralah, warga Arab-Palestina yang tinggal di Jerusalem timur.

Seperti halnya Tel Aviv, Haifa, dan kota-kota besar lain di Israel, pengamanan di Jerusalem sangat ketat. Aparat keamanan yang bersenjata bertugas di berbagai sudut kota. Mereka ada di hotel, supermarket, mal, dan tempat-tempat publik lain.

Setel ah maraknya aksi intifadah dan bom bunuh diri melawan pendudukan Israel, setiap mobil yang masuk halaman hotel harus melalui pemeriksaan ketat. Bahkan, ruang-ruang konferensi di hotel berbintang pun dibangun di lantai bawah tanah (underground level).

"Tidak seluruh hotel. Tetapi, banyak yang seperti itu. Alasan sesungguhnya menyangkut lahan yang terbatas. Tetapi, aspek keamanan juga menjadi pertimbangan," ujar Roley Horowitz, warga Yahudi yang bermigrasi dari India.

Meski sekarang Kota Jerusalem diklaim sebagai ibu kota negara Yahudi itu, warga Palestina terus berjuang agar kelak kota ini menjadi ibu kota negaranya. Di kota ini berdiri salah satu tempat suci umat Islam, yaitu Masjid Al Aqsa.
Di areal, Al Aqsa juga berdiri Qubah al Sahra (Dome of The Rock). Dari tempat ini, Nabi Muhammad mengawali perjalanan ke langit (dalam peristiwa Isra Mikraj) untuk menerima perintah salat lima waktu.

Dengan dalih keamanan pula, akses warga muslim untuk beribadah di Al Aqsa, Jerusalem, makin terbatas. Ada sejumlah check point (pos pemeriksaan) untuk masuk ke sana.

"Yang diberi akses masuk ke Al Aqsa, umumnya, warga Arab Palestina berusia di bawah 18 tahun dan di atas 45 tahun," kata Syekh Bukhari, salah seorang pemuka agama Islam di Jerusalem timur.

Saya beruntung bisa melaksanakan ibadah salat Jumat pada 18 Oktober pekan lalu. Saat itu, saya melihat tindakan tentara Israel yang memeriksa warga Arab-Palestina yang akan masuk ke masjid tersebut. Semua harus menunjukkan identitas. Mobil juga diperiksa. Lantas, tentara Israel itulah yang berhak menentukan siapa yang bisa masuk dan siapa yang tidak.

Warga Palestina yang tinggal di Tepi Barat (Hebron, Nablus, Ramallah, dan sejumlah kota lain) jelas dilarang masuk ke Al Aqsa. Tak ada toleransi sama sekali. Selain itu, sejak ada ratusan kilometer tembok pembatas yang dibangun Israel, akses warga Tepi Barat menuju ke Jerusalem menjadi sangat terbatas. Jadi, Al Aqsa h anya bisa diakses oleh muslim di Jerusalem setelah lolos pemeriksaan tentara Israel.

"Wisatawan asing seperti Anda lebih mudah (masuk ke Al Aqsa) daripada kami," kata Bukhari.

Hidup di Jerusalem bagi warga Arab-Palestina juga sarat dengan diskriminasi. Memang, mereka memiliki opsi jika mau menjadi warga negara Israel. Namun, sebagian besar warga Arab-Palestina menolak.

"Kami tetap warga Palestina. Namun, karena tinggal di Jerusalem yang dikuasai Israel, kami harus memegang kartu identitas penduduk Israel," kata Shuha, warga Jerusalem timur yang mengantarkan saya ke Ramallah.

Shuha menceritakan sejumlah perlakuan yang menyinggung perasaan warga Arab-Palestina. Suatu hari, pencuri masuk ke rumah Shuha. Dia lalu melaporkan kejadian tersebut kepada polisi Israel.

Tahu korbannya adalah warga Arab-Palestina, kata dia, tidak ada seorang polisi pun yang datang.

"Juga kalau ditilang akibat pelanggaran lalu-lintas. Denda untuk warga Arab-Palestina pasti lebih mahal daripada denda bagi orang Yahudi. Terus tera ng, kami sangat berat hidup seperti ini," kata wanita berwajah cantik itu.

Jika Israel tetap menguasai Jerusalem, Shuha yakin selamanya orang-orang Arab-Palestina menjadi warga negara kelas dua. Mereka tidak bisa bekerja di pemerintahan dan sektor-sektor strategis lain. "Sebagian besar kami di sini bekerja di sektor informal. Misalnya, menjadi pedagang dan sopir taksi," ujarnya.

Sejumlah upaya dilakukan kedua pihak (Arab-Yahudi) agar bisa berintegrasi. Salah caranya, mendirikan sekolah multicultural. Harapannya, sekolah itu dapat memberikan pemahaman lebih baik tentang tiga agama yang sama-sama menjadikan Jerusalem sebagai tempat suci mereka: Islam, Kristen, dan Yahudi.

"Namun, kami akui respons atas sekolah multikultural seperti ini sangat kecil. Bahkan, di sekolah kami yang sudah berdiri 10 tahun, hanya ada 40 siswa," kata Adena Levine, direktur Peace Preschool International YMC, satu-satunya sekolah antaragama di Jerusalem.

Meski banyak yang pesimistis, warga Arab Palestina berharap agar akan ada kesepakatan t entang pembagian wilayah Israel-Palestina, termasuk tentang status Kota Jerusalem, pada konferensi di Annapolis bulan depan. Kalaupun diberikan kepada Palestina, opsi lain yang diharapkan adalah yurisdiksi Jerusalem dikendalikan dunia internasional (PBB).
Tidak lagi di bawah kekuasaan negeri Zionis Israel. (bersambung)

Mengunjungi Negeri Sengketa Israel-Palestina Jelang Konferensi Damai (1)

"Interogasi" hingga Menit Terakhir sebelum Boarding

Israel didukung Amerika Serikat siap berdamai dan berbagi wilayah yang dicaploknya dengan Palestina. Namun, melihat kenyataan geografis dan sosiologis di Jerusalem maupun Tepi Barat, komitmen itu bisa jadi hanya angan-angan belaka.

TOFAN MAHDI, Tel Aviv

"I’m a member of Israeli intelligence. I’m working for very secret thing, even I don’t know what I’m doing." (Saya anggota intelijen Israel. Saya bekerja untuk sesuatu yang sangat rahasia, sampai-sampai saya

sendiri tidak tahu apa yang saya kerjakan). Joke tersebut tertulis di sebuah t-shirt yang dijual di emperan toko di Old Jerusalem.

Jika kita pernah menonton film The Man Who Captured Eichmann atau Munich, kita bisa melihat betapa canggih dan mengerikan teknik operasi Mossad, badan intelijen Israel untuk urusan luar negeri.

Adolf Eichmann, mantan perwira menengah Nazi yang mengubah identitas dan melarikan diri ke Argentina, ditangkap lewat operasi intelijen yang rapi oleh Mossad. Eichmann yang didakwa bertanggung jawab atas tewasnya orang-orang Yahudi di kamp konsentrasi Auswich, Polandia, akhirnya diterbangkan, diadili, dan digantung di Israel.

Di film Munich, kita melihat kekejaman dan darah dingin Mossad membunuh tokoh-tokoh PLO (Front Pembebasan Palestina) yang dituduh menjadi otak pembunuhan atlet-atlet Israel dalam Olimpiade Munich, Jerman, pada 1972.

Mossad bukan satu-satunya badan intelijen Israel. Ada intelijen untuk urusan dalam negeri yang disebut Shin Bet, intelijen militer Irgun, hingga intel-intel "swasta" seperti Haganah, Lehi, Palmach, dan lain-lain. Sebagai negara Yahudi yang didirikan di tengah-tengah negara Arab, Israel merasa selalu terancam.
Dengan alasan itu, mereka membangun sebuah sistem dan organisasi militer serta intelijen yang sangat kuat.

Saya beruntung bisa berkunjung ke wilayah Israel. Mes ki berangkat atas undangan sebuah LSM Yahudi, yaitu Australia/Israel and Jewish Affairs Council (AIJAC), perjalanan ini sudah sepengetahuan Duta Besar Palestina di Jakarta Fariz N. Mahdawi. Dubes Palestina tidak keberatan, apalagi wilayah-wilayah Palestina juga dikunjungi.

Tidak ada penerbangan langsung dari Jakarta ke Tel Aviv, karena memang Indonesia tidak mengakui eksistensi negeri Zionis itu. Jika mau ke Jerusalem, bisa terbang ke Amman, ibu kota Jordania (negara Arab terdekat yang punya hubungan diplomatik dengan Israel), lalu dilanjutkan melalui jalur darat. Jalur ini banyak dilalui biro perjalanan wisata rohani di Indonesia.

Namun, untuk ke Tel Aviv, pilihannya tinggal lewat Singapura atau Bangkok. Jawa Pos sendiri terbang lewat Bangkok sekaligus untuk mengurus visa. Hanya ada satu maskapai yang melayani penerbangan Bangkok-Tel Aviv, yaitu maskapai penerbangan nasional Israel, El Al. Frekuensinya juga cukup tinggi: dua hari sekali.

El Al adalah maskapai dengan prosedur pengamanan paling ketat di dunia.
Proses chec k in hingga boarding memakan waktu tiga jam. Ada empat kali security check sebelum kita menginjakkan kaki ke kabin El Al. Penumpang dari negara-negara Arab atau muslim seperti Indonesia diperiksa lebih ketat. Bahkan, terkesan rasis, terlalu curiga, dan mengada-ada.

Teringat seorang teman (wartawan Jawa Pos Rukin) yang mau ke Sarajevo, Bosnia-Herzegovina, ditolak naik ke pesawat Austrian Airlines saat boarding di Bandara Shuvarnabumi, Bangkok, beberapa pekan lalu, saya sempat khawatir mengalami nasib yang sama.
Belum sempat melamun panjang, seorang wanita memanggil untuk giliran diperiksa. Setelah memeriksa paspor, visa, dan tiket, sebuah pertanyaan pertama yang sangat mengagetkan diajukan petugas tadi.

"Apakah Anda membawa bom di dalam tas?"
"Maaf, bom? Absolutely not," jawab saya campur kaget dan menahan tawa.

"Kalau begitu, jawab pertanyaan saya lainnya," katanya. "Bagasi Anda dikirim dari mana dan siapa yang mengepak?"

"Saya sendiri, karena kebetulan pas tidak ada orang di rumah," jawab saya dengan sedikit g urau. Namun, tak ada balasan senyum sedikit pun dari dia.

"Apakah ada orang yang menitipkan sesuatu seperti paket, surat, atau apa pun kepada Anda?" Saya jawab, "Tidak."

"Apakah tas yang Anda bawa ke kabin pesawat, selama seharian tadi atau sejak Anda terakhir memeriksa, tetap Anda bawa?" katanya. Kali ini saya langsung menjawab, "Ya."

"Oke, Anda tunggu dulu," kata petugas tersebut seraya menelepon seseorang yang ternyata atasannya.

Petugas yang tampak berpangkat lebih tinggi datang. Setelah membolak-balik paspor, visa, tiket, dan membaca surat rekomendasi dari Duta Besar Israel di Bangkok bahwa kami memang diundang khusus untuk ke Israel, baru petugas tadi mempersilakan untuk ke konter check in El Al.

Berbeda dengan konter check in maskapai lain, di konter El Al, petugas pemeriksa penumpang bukan staf lokal. Mereka adalah aparat keamanan Israel sendiri dan -ini yang juga berbeda- mereka bersenjata. Seorang teman, wartawan senior, yang juga berangkat ke Tel Aviv diperiksa lebih ketat. Ini karena di paspor tertempel visa negara-negara Arab seperti Turki, Mesir, dan Arab Saudi.

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pun lebih detail. Misalnya, adakah yang mengetahui rencana penerbangan ke Israel selain yang bersangkutan, mengapa berkunjung ke negara-negara Arab, dan siapa saja yang ditemui di negara-negara Arab.

Pemeriksaan tak hanya sebelum check in. Setelah menunggu di business lounge dan siap boarding, kami harus kembali antre untuk diperiksa. Bahkan, aktivitas lima menit (di business lounge) terakhir pun ditanyakan. Prosedur biasa: paspor, visa, dan tiket ditunjukkan. Tak ketinggalan, harus melalui detektor yang sangat sensitif.

Prosedur yang tidak biasa, ini hanya diberlakukan kepada penumpang warga non-Israel, sejumlah pertanyaan kembali diajukan petugas. "Apakah selama di business lounge tadi, Anda sempat meninggalkan tas yang akan Anda bawa ke kabin, untuk beberapa menit?". Juga pert anyaan-pertanyaan lain yang tak jauh berbeda seperti yang diajukan sa at akan check in.

Tak wajar memang. Namun, jika melihat catatan sejarah, El Al adalah maskapai yang paling aman di dunia, tapi juga sering menjadi sasaran teror, baik di darat maupun saat terbang. Misalnya, pada 4 Juli 2002, enam warga Israel ditembak mati saat akan check in di konter El Al di Los Angeles International Airport AS. Kemudian pada 23 Oktober 2003, penerbangan El Al dari Tel Aviv ke Los Angeles terpaksa dialihkan karena diancam akan diledakkan di udara.

Negara Israel yang diproklamasikan sejak 1948 memang berdiri karena tank, meriam, dan jutaan tentara. Semua warga Israel dikenai wajib militer (wamil) setelah lulus dari SMA. Untuk pria, wamil minimal tiga tahun. Wanita minimal dua tahun. Jika tidak meneruskan karir di militer, mereka tetap menjadi tentara cadangan. Semua pilot di Israel adalah anggota Angkatan Udara (IAF), apalagi pilot-pilot El Al. Dalam setiap penerbangan El Al, selalu ada tentara berpakaian preman yang duduk di antara para penum pang.

Setelah hampir 11 jam terbang dari Bangkok, pesawat Boeing 747-400 El Al yang membawa kami mendarat di Ben Gurion International Airport, Tel Aviv. Welcome to Israel. Inilah negeri Yahudi yang eksistensinya di Timur Tengah masih dipersoalkan oleh negara-negara Arab dan Islam.
(bersambung)

Friday, October 26, 2007

Semangkuk Mie Ayam

Hardi, seorang pedagang kelontong yang cukup berhasil di kotanya. Namun jangan lihat keberhasilannya sekarang sebelum tahu faktor apa yang menjadi penyebab usahanya maju dan lancar.Setahun yang lalu, Hardi mengadukan nasibnya kepada guru ngajinya. Ia mengaku sudah lebih sebelas tahun mencoba berbagai usaha namun selalu kandas di tengah jalan. Usaha pertamanya sudah dimulai saat ia baru memasuki kuliah tingkat dua, sekitar tahun 1994. Saat itu, ia mendapat pembagian warisan dari orangtuanya yang belum lama meninggal dunia.


Jiwa bisnisnya memang sudah terlihat semenjak kecil, jadi wajar jika kemudian ia mendapatkan uang warisan dalam jumlah yang cukup banyak, maka yang terbersit di kepalanya adalah bisnis.Maka, beberapa bulan kemudian ia membuka sebuah warung makan. Mulanya, warung makannya berjalan normal, bahkan bisa dibilang sangat laku keras. Mungkin karena ia melakukan promosi sangat gencar, selain karena ia termasuk anak muda yang memiliki cukup banyak relasi meski pun usianya masih sangat muda. Jadi sangat mudah baginya untuk mengundang sahabat, kerabat dan relasinya untuk sekadar mencicipi warung makan miliknya.Entah kenapa, selang tiga bulan kemudian satu persatu pelanggan meninggalkannya. Tak banyak lagi yang makan di warungnya, sehingga dalam waktu tak berapa lama ia terpaksa menutup usahanya dan gulung tikar.

Ia pun berganti usaha yang lain dengan sisa modal yang ada.Usaha barunya, tak jauh berbeda dengan sebelumnya. Masih seputar makanan. Kali ini ia membuka usaha catering yang melayani makan untuk kantor-kantor di kota tinggalnya. Alhamdulillah ia dipercaya seorang rekannya yang bekerja di sebuah perusahaan untuk memasukkan catering untuk makan siang beberapa karyawan. Untuk sebuah awalan, catering untuk sekitar 20 karyawan dianggapnya bagus. “Mulanya 20, insya Allah menjadi 200, 2000 dan seterusnya…” semangat Hardi berapi-api.Alih-alih bertambah pelanggan, rupanya Allah berkehendak lain. Yang 20 pun menyetop langganan catering kepada Hardi, sementara selama satu bulan penuh itu ia belum mendapatkan pelanggan baru. Akhirnya, ia pun kembali mengalami kebangkrutan. Demikian seterusnya hingga lebih sepuluh tahun kemudian ia berganti jenis usaha selalu menemui kegagalan.Pada satu kesempatan ia mengadukan perihal kegagalan demi kegagalan usahanya kepaada guru mengajinya. Ia menceritakan secara detil semua jenis usaha yang pernah dicobanya dan bagaimana sampai akhirnya semua usahanya gagal. “Saya harus usaha apalagi guru, saya sudah kehabisan modal. Bahkan saat ini saya memiliki hutang yang tidak sedikit…” keluhnya.Guru tersebut tak lantas memberikan jawaban dengan menyebut satu bentuk usaha baru yang patut dicoba Hardi, melainkan meminta Hardi mengingat-ingat sesuatu di masa lalu. “Coba ingat, pernah punya hutang atau tidak di masa lalu? Atau pernah punya sangkutan berkenaan dengan rezeki orang lain atau tidak di masa lalu…?” tanya sang guru.Dahi Hardi mengerenyit, mencoba mengingat-ingat masa lampaunya. Rasa-rasanya ia tak pernah punya hutang kepada siapa pun, justru sebaliknya ia malah mengingat kembali daftar nama-nama yang pernah berhutang kepadanya. “Coba lebih keras mengingat, mungkin nilainya kecil, tapi boleh jadi itu yang menjadi penyumbat rezekimu…”“Astaghfirullah…. “ Hardi teringat sesuatu. Ia pun segera menyalami sang guru dan mohon pamit seraya berucap terima kasih.

Pria itu segera memacu kencang kendaraannya menuju suatu tempat. Dalam hati ia berharap cemas, “Semoga masih ada warung itu…”Tidak kurang dari tiga belas jam waktu yang ditempuh Hardi menuju Semarang, mencari satu tempat yang pernah ia singgahi hampir dua belas tahun yang lalu. Tiba di tempat yang dituju, ia tidak menemukan lagi warung mie ayam tempatnya makan dahulu. Kemudian ia mencoba bertanya kepada orang-orang di sekitar perihal tukang mie yang pernah berjualan di situ.“Ya, tukang mie itu bapak saya. Sekarang sudah tidak berjualan lagi. Sekarang bapak sedang sakit parah…” seorang anak menceritakan ciri-ciri fisik penjual mie ayam itu, dan Hardi yakin sekali itu orang yang dicarinya. Tanpa pikir panjang, ia minta diantarkan ke rumah penjual mie untuk bertemu langsung.Ketika melihat kondisi penjual mie, Hardi menitikkan air mata. Ia langsung meminta beberapa anggota keluarga membopong penjual mie itu ke mobilnya dan segera membawanya ke rumah sakit. Alhamdulillah, jika tidak segera dibawa ke rumah sakit, mungkin penjual mie itu tidak akan tertolong.

Seluruh biaya rumah sakit tercatat mencapai lima belas juta rupiah, dan semuanya ditanggung oleh Hardi.Beberapa hari kemudian, setelah kembali ke rumah, bapak penjual mie itu mengucapkan terima kasih kepada Hardi. “Bapak tidak tahu harus bagaimana mengembalikan uang biaya berobat itu kepada nak Hardi. Usaha dagang bapak sedang susah…” Hardi berkali-kali mencium tangan Pak Atmo, penjual mie itu. Matanya tak henti menitikkan air mata, ia sedang berusaha menyatakan sesuatu, namun bibirnya terasa sangat berat.Akhirnya, “… semua sudah terbayar lunas pak. Saya hanya minta bapak mengikhlaskan semangkuk mie ayam yang pernah saya makan tanpa membayar dua belas tahun silam”, Hardi terus menangis berharap keikhlasan itu didapatnya. Saat itu, sehabis makan ia langsung kabur memacu sepeda motornya dan tak membayar semangkuk mie seharga 1.500 rupiah.Pak Atmo memeluk erat tubuh Hardi dan mengusap-usap kepala pria muda itu seraya berucap, “Allah Maha Pemaaf, begitu pun semestinya kita…”.***Perlancar dulu rezeki orang lain, agar tidak menyumbat rezeki kita.Wallaahu ‘a’lam bishshowaab (Dari artikel Bayu Gawtama). [undzurilaina]

Thursday, October 25, 2007

Saudi Secret Nuclear Project

(Sumber: Press TV)

Sebuah website menyatakan bahwa Kerajaan Saudi Arabia sedang mengembangkan program nuklir rahasia dengan bantuan sejumlah ilmuwan Pakistan.

Sawt Al-Salam melaporkan sebuah tim yang terdiri dari ilmuwan nuklir Pakistan yang memasuki Saudi Arabia pada upacara Haji dalam kurun 2003-2005 telah dipindahkan dari Mekkah ke Riyadh dan Jeddah untuk berpartisipasi dan membuat perencanaan yang ekstensif berkenaan dengan program nuklir Saudi.

Berdasarkan Kantor Berita Fars, website berita tersebut mengutip seorang pejabat keamanan Jerman yang mengatakan, “Saudi Arabia telah memulai program nuklirnya pada tahun 1990an, dan terutama setelah Pakistan bergabung dengan ‘klub nuklir’ pada 1998”.

Selain itu juga dikutip pernyataan John Pike, analis militer AS, yang mengatakan bahwa Saudi Arabia telah membeli peralatan-peralatan canggih yang digunakan dalam program nuklir dari Pakistan dan membayar keseluruhan biaya yang dibutuhkannya.

Website tersebut juga melaporkan bahwa sejumlah oposan Saudi yang berbasis di London dan Washington juga mengkonfirmasi berita ini. “The Saudi government had gathered a great number of Iraqi nuclear scientists in southern Riyadh and built for them special residential complexes to conduct nuclear studies there.

Ilmuwan-ilmuwan Iraq menasehati Saudi Arabia untuk tidak membeberkan program nuklirnya ini walaupun kepada sekutu utamanya nya, USA.

Website tersebut juga melaporkan bahwa mereka juga menyarankan pihak kerajaan untuk membangun laboratorium nuklirnya di bawah penjara yang baru dibangun.

Masih dari website tersebut, dilaporkan bahwa Saudi Arabia menggelontorkan sejumlah sangat besar dana dalam pembangunan penjara-penjara baru sebagai salah satu indikasi bukti kebenaran klaim di atas. Dilaporkan bahwa Riyadh telah mengeluarkan USD1.6 billion untuk proyek tersebut. Penjara seperti apa yang memakan dana sebesar itu? [undzurilaina]

Wednesday, October 10, 2007

Reaksi Dunia Bila Titanic Tenggelam Saat Ini

Presiden Bush – Amerika Serikat: "Sebuah kapal yang sedang berlayar menuju kepada kebebasan telah diserang oleh teroris. Kita tidak akan duduk diam. Kita akan memberi pelajaran kepada mereka! Bin Laden, anda dapat berlari tapi anda tak akan dapat sembunyi! Kami akan menemukanmu dan menghancurkan jaringan AL Qaedamu!"


PM Tony Blair – Inggris: "Saya telah berbicara dengan Presiden Bush, dan kami berdua telah sepakat bahwa tenggelamnya kapal Titanic adalah bukti-bukti tak terbantahkan bahwa pengikut pengikut Saddam Hussein ada dibelakang serangan itu. Irak, nyata-nyata telah menjadi ancaman bagi dunia dan kita harus menyelesaikannya. "


PM John Howard – Australia: "Kami mendapatkan bukti bahwa di dalam kapal tersebut terdapat penumpang bernama Ahmad dan Abu Umar. Ini menunjukkan bahwa JI bertanggungjawab atas tenggelamnya kapal itu. Kami meminta Pemerintah Indonesia bertindak lebih tegas kepada aktivis-aktivis JI, atau kami sendiri yang akan menindak mereka!"


PM Ehud Olmert - Israel: "Ini merupakan pekerjaan Hamas! Telah cukup bukti bahwa tenggelamnya Titanic bukanlah kecelakaan, namun merupakan serangan bunuh diri Hamas. Kami akan memblokade Palestina!, menahan mereka!, membuang mereka!
membunuh mereka!, membuat mereka kelaparan, menghancurkan rumah-rumah mereka dan kamp-kamp pengungsi mereka!"


PM Vajpayee – India: "Telah ditemukan paspor Pakistan dalam sisa-sisa Titanic. Jelas bahwa Pakistan harus membayar aksi teror tersebut dan kita telah mengirimkan lebih banyak lagi tentara ke perbatasan."


PM Surayud Chulanont – Thailand: "Kapal itu sebelumnya milik keluarga Thaksin Shinawatra yang kemudian dijual ke perusahaan Singapore. Kita akan mengambil kembali kapal itu untuk rakyat Thailand."


Presiden Castro – Cuba: "Titanic adalah lambang kapitalisme. Tenggelamnya Titanic memperlihatkan kepada dunia bahwa kapitalisme mulai hancur dan tenggelam. Cuba akan terus setia kepada cita-cita sosialisme dan akan berjaya bersamanya!"


Anggota DPR - Indonesia: "Titanic? Apaan sih itu? Oh Ya, Titanic.. kita sedang mengajukan RUU tentang Pemberantasan Titanic. Untuk itu kami akan mengadakan studi banding ke Hawaii. Mohon masyarakat dapat memahami pentingnya RUU ini sehingga pembahasannya memerlukan konsentrasi yang tinggi. Untuk itu kami akan membahasnya di Bali. Agar kami dapat bekerja lebih baik, kami akan membawa serta istri-istri, anak, cucu, mertua, keponakan, mantu dll-dll. Tentu dengan biaya negara. Harap maklum, gaji kami sebagai anggota DPR hanya 30 juta. Kami meminta pemerintah untuk menaikkan tunjangan rapat 400% atau kami akan mengajukan interpelasi masalah Titanic."

Yang sebenarnya terjadi: Juru Radio Titanic: "SOS..SOS.. Mohon bantuan … kapal kami menabrak gunung es …".[undzurilaina]

Mengenang Sanggahan Hamka

(Sumber Tempo Edisi. 34/XXXVI/15 - 21 Oktober 2007 Rubrik Iqra)

Mengenang Sanggahan Hamka

Hamka pernah menjadi sahabat Parlindungan. Namun,
suatu ketika, mereka berselisih tentang Tuanku Rao.
Hamka menuliskan pendapatnya dalam Antara Fakta dan
Khayal Tuanku Rao.

Di tahanan, Buya Hamka banyak membaca dan menulis.
Waktu itu, tahun 1964, Hamka berada di rumah tahanan
kepolisian Mega Mendung. Sebagai salah satu
fungsionaris Partai Masyumi, oleh rezim Soekarno ia
dianggap anti-Nasakom. Kemudian ia dipindahkan ke
Rumah Sakit Persahabatan, Rawamangun, Jakarta, karena
sakit—selama 17 bulan, sampai 1966, Hamka menghasilkan
karya monumentalnya, Tafsir Al-Azhar.

Salah seorang muridnya, Sofjan Tanjung, mengirimi
ulama itu buku tebal berjudul Tuanku Rao, dua
eksemplar—kiriman yang diiringi permintaan agar Hamka
memberikan komentar serta kritik atas buku tersebut.

Dan ketika Hamka keluar dari tahanan, ia berkenalan
dengan Parlindungan. Mereka bersahabat. Parlindungan
biasa menjemput Hamka ke rumahnya sebelum salat Jumat.
Parlindungan selalu mengenakan kopiah sampir buatan
Gorontalo, bersarung, dan bertongkat kecil.

Hamka mulanya mengagumi buku Tuanku Rao. Polemik
terjadi saat Hamka mulai meragukan isi Tuanku Rao.
Salah satu peristiwa penting dalam polemik mereka
terjadi dalam seminar di Padang pada Juli 1969. Baik
Hamka maupun Parlindungan hadir sebagai pembicara.
Pada acara tersebut, Hamka mempertanyakan informasi
Parlindungan mengenai Haji Piobang, pendiri Padri yang
disebut Parlindungan pernah menjadi salah satu kolonel
tentara Turki di bawah pimpinan Jenderal Muhammad Ali
Pasya. "Sampai seminar habis, Parlindungan tidak dapat
memberi jawaban tegas," tulis Hamka.

Hamka meluncurkan kritik-kritik cukup pedas menanggapi
Tuanku Rao. Kritik ini ia tulis dalam beberapa artikel
yang dimuat di harian Haluan, Padang, 1969-1970. Ia
menyebut Parlindungan bodoh. Parlindungan menganggap
Hamka childish dan kampungan.

Sebuah buku khusus pun diluncurkan oleh Hamka bertajuk
Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao. Dalam buku setebal
364 halaman yang diterbitkan oleh Penerbit Bulan
Bintang pada 1974 itu, Hamka menuding isi Tuanku Rao
80 persen bohong, sedangkan sisanya diragukan
kebenarannya. Pasalnya, setiap kali Hamka menanyakan
data dan fakta buku itu, Parlindungan selalu menjawab,
"Sudah dibakar."

Selain itu, Hamka mempertanyakan kebenaran berbagai
isu yang dilontarkan Parlindungan. Isu yang cukup
sensitif adalah pernyataan bahwa selama 300 tahun
daerah Minangkabau menganut mazhab Syiah Qaramithah.
Hal ini menurut Hamka dusta belaka.

Hamka juga menolak menanggapi isu tentang adanya
pemerkosaan massal dan orgy tawanan perempuan oleh
sebagian pasukan Padri. Cerita tentang bagaimana
anggota Padri melampiaskan nafsu syahwatnya secara
terbuka terhadap tawanan-tawanan cantik dituding Hamka
sebagai khayalan Parlindungan belaka. Hamka juga
menuduh cerita-cerita seks itu sengaja dipasang
Parlindungan untuk menarik hati para pemuda ketimbang
mencari data ilmiah.

Hamka membandingkan kisah Parlindungan—

tentang
pembunuhan keluarga Kerajaan Pagaruyung yang disertai
pemerkosaan para putri kerajaan dalam Tuanku
Rao—dengan data sumber Belanda. Versi Belanda, menurut
Hamka, menuliskan pembunuhan oleh Tuanku Lintau
terhadap keluarga kerajaan pada 1804. "Tapi tidak ada
disebut-sebut seorang Mandailing bernama Idris
Nasution dan pasukannya yang menawan puluhan gadis,
lalu memperkosa di hadapan umum, di udara terbuka,"
tulis Hamka.

"Cerita tentang Tuanku Lelo mengumbar nafsu syahwatnya
itu bumbu cerita porno yang dibuat Parlindungan yang
tidak kalah dengan cerita-cerita film cowboy tahun
1972," demikian Hamka mengejek Parlindungan. Di mata
Hamka, Tuanku Lelo yang menurut Parlindungan bernama
asli Idris Nasution itu tokoh karangan Parlindungan
belaka.

Toh, meski tak mengupas secara spesifik soal kekerasan
kaum Padri terhadap masyarakat Mandailing, khususnya
perempuan, Hamka mengutip keterangan Faqih Shagir dari
Hikayat Syaikh Jalaluddin, yang juga banyak berkisah
mengenai kaum Padri:

"…. Adapun yang jahat daripada Padri yaitu membunuh
segala ulama-ulama dan membunuh orang yang cerdik
cendekia, mengambil perempuan yang bersuami,
menikahkan perempuan yang tidak sekufu dengan tidak
ridhanya, bepergundik tawanan dan menghinakan orang
yang mulia-mulia dan mengatakan kafir orang yang
beriman…."

Sita Planasari Aquadini

Dari Catatan Harian Bonjol

(Sumber: Tempo Edisi. 34/XXXVI/15 - 21 Oktober 2007 Rubrik Iqra)
Dari Catatan Harian Bonjol

Imam Bonjol meninggalkan sejumlah catatan hidupnya
saat diasingkan. Ada catatan tentang jalannya
pertempuran dan negosiasi dengan Belanda. Tak ada
tentang kebrutalan.

"Ini ada surat kumpeni menyuruh saya datang kepada
kumpeni sekarang. Bagaimana kiranya segala datuk-datuk
atau baik saya pai (pergi—Red.) atau tidak?"

Imam Bonjol wafat di Manado. Selama di Manado, ia
ternyata menulis semacam otobiografi dalam huruf Arab
Melayu. Oleh anaknya, Naali Sutan Chaniago dan Haji
Muhammad Amin, yang ikut dibuang ke Manado, naskah itu
diselamatkan.

Dalam catatan itu, kita temukan kesaksian Imam Bonjol
menyerang daerah-daerah yang belum menjalankan
syariah, juga kisah bagaimana ia mengirim Tuanku
Tambusai ke Mekkah, yang kemudian membuat Tambusai
bergelar Haji Muhammad Saleh.

Atau bagaimana di sebuah salat Jumat, ia menyerukan
hukum adat basandi syarak. Ia melukiskan dengan agak
rinci betapa ganasnya perang mempertahankan benteng
Bonjol. Tapi bagian paling panjang adalah pengakuannya
bernegosiasi dengan Belanda.

Diceritakan, utusan Belanda, Kroner (Kolonel) Elout,
memintanya menyerah. Ia menolak, lalu terjadi
pertempuran sengit. Dikisahkannya ia memasang meriam
sendiri untuk menggempur Belanda. Tapi benteng Bonjol
jatuh, dan utusan datang lagi. Di Padang, ia bertemu
dengan Residen Francis.

Resident Francis: Dulu saya minta Tuanku, Tuanku tidak
mau datang bertemu kami….

Tuanku Imam Bonjol: Tempo tuan kirim surat yang dahulu
tuan minta saya. Saya kasih lihat surat itu kepada
raja-raja dan penghulu. Hampir saya dibunuh orang
tempo itu dan dicabik-cabiknyo dek surat itu. Surat
kemudian tidak kasih lihat pada penghulu. Maka itulah
sekarang mencari tuan….

Imam Bonjol akhirnya mau dibawa kapal ke Betawi,
Surabaya, Buton, Ambon, sampai Manado. Di sanalah, di
Lotak Pineleng, ia tinggal sampai wafatnya. Keberadaan
naskah Tuanku Imam Bonjol pertama kali dilaporkan oleh
Ph.S. van Ronkel dalam artikel Inlandsche
getuigenissen aangaande de Padri-oorlog (Kesaksian
Pribumi mengenai Perang Padri) dalam jurnal De
Indische Gids, 1915.

Ronkel menyebutkan bahwa dia telah menyalin satu
naskah berjudul Tambo Anak Tuanku Imam Bonjol setebal
318 halaman. Pada 2004, Sjafnir Aboe Nain dari Pusat
Pengkajian Islam dan Minangkabau, Padang, menerbitkan
transliterasi naskah Tuanku Imam Bonjol.

Kata pengantar yang ditulis Sjafnir menyebutkan bahwa
salinan Ronkel itu sesungguhnya gabungan antara
catatan Imam Bonjol yang berjumlah 191 halaman dan
catatan anaknya, Naali dan Amin. Naskah itu sendiri,
menurut dia, dikenal dengan nama Tambo Naali Sulthan
Chaniago.

Transliterasi dilakukan Sjafnir ke dalam bahasa
Minang-Melayu, membuat naskah ini agak sulit dipahami
dalam waktu singkat. "Saya butuh waktu lama untuk
memahami naskah ini," kata peneliti sejarah Tapanuli
Selatan, Basyral Hamidy Harahap.

Tak ada bagian dari naskah ini yang menampilkan sikap
Imam Bonjol akan kekerasan yang dilakukan Padri. "Tapi
saya yakin Imam Bonjol mengetahui kekejaman kaum
Padri, baik penculikan maupun pemerkosaan. Tapi ia
diam saja," kata Basyral.

Ia merujuk, ada halaman yang menampilkan masalah
penculikan dan jual-beli perempuan ternyata
dibicarakan secara terbuka dalam suatu pertemuan yang
dihadiri tokoh-tokoh umat, yakni Sultan Chaniago, Nan
Pahit, Datuk Kayo, Datuk Limo Koto, Rajo Minang,
Punjuak Batuah, dan Pado Alim.

"Pailah (pergilah—Red.

) ke rumah Malin Kecil, basua
(bertemu) perempuan. Ditanyalah dek (oleh) Datuk Limo
Koto perempuan itu. 'Siapo nan manangkap di lading
Batang Silasung?' kata Datuk Limo Koto. Alah
(kemudian) menjawab perempuan, 'Nan manangkap saya
dicari (si Cari) orang Durian Tinggi. Dijualnya dek si
Cari itu saya kepada Rajo Manang. Dek Rajo Manang
dijual pula ke Bamban.'"

Sejarawan dari Universitas Andalas, Padang, Dr Gusti
Asnan, melihat, untuk sebuah catatan harian, Tuanku
Imam Bonjol sangat tidak mungkin menuliskan
fakta-fakta kebrutalan Padri. "Bila dibandingkan
dengan sumber sejarah Belanda, Tuanku Imam Bonjol
tidak memasukkan peristiwa pembakaran, perampokan,
serta penculikan dan pemerkosaan perempuan. Tapi saya
pikir dia tahu mengenai kejadian itu," ungkap Gusti.

Baik Basyral maupun Gusti melihat proses negosiasi
Tuanku yang diwakili anaknya, Sutan Chaniago, dengan
pemimpin Belanda sama sekali tidak menunjukkan
ketegangan. Mengherankan, Imam Bonjol yang dikenal
sebagai sosok penentang Belanda yang gigih kemudian
seperti melemah. Bahkan Gusti melihat keakraban Tuanku
dengan Residen Elout dan Residen Francis aneh.

"Sekarang Tuanku pergi ke negri Menado, karena negri
Menado baik, tempat baik, makanan murah…."

"Sebagai seorang pahlawan nasional, apa iya Tuanku
tidak merasa curiga terhadap niat Belanda?" tanya
Gusti.

Sita Planasari Aquadini, Seno Joko Suyono

Tambusai dan Pasukan Putih-putih (lanjutan kontroversi Padri)

(Dari Tempo Edisi. 34/XXXVI/15 - 21 Oktober 2007 RubrikIqra)

Tambusai dan Pasukan Putih-putih


Seorang pustakawan mendapatkan data-data Belanda yang
melaporkan kekejaman Tuanku Tambusai di daerah Padang
Lawas.

Ro Bonjol… Ro Bonjol (Bonjol datang… Bonjol datang).

Basyral Hamidy Harahap, 67 tahun, peneliti sejarah
Mandailing, masih ingat cerita-cerita lisan
turun-temurun di kampungnya di Simanabun, Padang
Lawas. Kisah tentang bagaimana takutnya penduduk
ketika pasukan Padri pimpinan Tuanku Tambusai datang
menyerbu. Masyarakat Simanabun memukul kentungan
sembari berteriak, "Bonjol datang, Bonjol datang."
Lalu mereka naik perbukitan Dolok menyelamatkan diri.

Basyral Hamidy Harahap adalah turunan dari Raja Datu
Bange yang bermarga Babiat di Simanabun, Distrik
Dolok. Datu Bange adalah raja yang paling gigih
melawan Padri di kawasan Padang Lawas. Basyral
mewarisi banyak kisah lisan dari marga Babiat mengenai
perjuangan Datu Bange.

Pada 1836, kawasan Padang Lawas dianggap sebagai
daerah paling biddah oleh serdadu Padri. "Mereka
datang pakai kuda, mengenakan kostum dan serban
putih-putih,

" katanya. Dari data dokumen lokal, ia
mengetahui bagaimana Datu Bange habis-habisan
mempertahankan Padang Lawas.

Sewaktu pertama kali menyerang, Tambusai dapat dipukul
mundur. Raja Portibi, Kadhi Sulaiman, pengikut setia
Tuanku Tambusai, tewas dalam perang ini. Tambusai
balik ke Mandailing. Dan dalam perjalanannya,
pasukannya membabi-buta menangkapi anak gadis dan
perempuan dewasa di lembah timur Bukit Barisan. "Para
perempuan itu ditukar dengan mesiu," kata Basyral.

Untuk mengamankan diri, Datu Bange bersama keluarga
dan pasukan intinya mengungsi. Mereka memanjat tebing
menuju ke puncak perbukitan Dolok. Bukit itu sendiri
begitu licin, hampir tegak lurus, dan sesungguhnya
sukar didaki. Datu Bange mengetahui jalan aman untuk
ke puncak bukit. Selama setahun Datu Bange berada di
atas bukit.

Setahun kemudian, Tambusai menyerang Datu Bange lagi.
Datu Bange tetap bertahan di atas bukit. Celakanya,
adik kandung Datu Bange, Ja Sobob, berkhianat
menunjukkan jalan menuju ke puncak Dolok,
memberitahukan persembunyian abangnya. Segera Tuanku
Tambusai merangsek, menyerbu ke atas bukit. Datu Bange
lolos—ia terluka—dan bersama pasukannya lari melewati
pegunungan Bukit Barisan.

"Datu Bange meninggal dengan infeksi pada
luka-lukanya," kata Basyral. Sesungguhnya, menurut
Basyral, Datu Bange mau menyerah, tapi dengan syarat
Tuanku Tambusai membiarkan pengikut Datu Bange
selamat. Kenyataannya, pasukan Tambusai kemudian
memutilasi ratusan penduduk Padang Lawas.

Sebagai Ketua Jurusan Perpustakaan Universitas
Indonesia 1965-1967 dan pensiunan pustakawan
Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde
(KITLV), Basyral tidak menerima mentah-mentah cerita
khazanah lokal kampungnya itu. Ketika beberapa kali
mendapat kesempatan ke Belanda, ia mencari-cari
dokumen yang berkenaan dengan serbuan Padri ke Padang
Lawas. Dan ia menemukan data dari pihak Belanda yang
membenarkan semua kisah tentang pembantaian yang
dilakukan Tuanku Tambusai.

Data itu ia dapat dari catatan-catatan J.B. Neumann,
Jughuhn, Ypes, Schnitger, dan terutama T.J. Willer.
Willerlah yang banyak mencatat brutalisme gerakan
Padri di daerah Padang Lawas. Dua bukunya menjadi
referensi utama Basyral. Siapakah T.J. Willer? Dalam
Almanak van Nederlandsch Indie, Willer disebut
menjabat Ketua Komite untuk Wilayah Padang Lawas,
Tambusai, Pane, dan daerah Bila pada 1838-1843.
Jabatan berikutnya adalah Asisten Residen Mandailing
Angkola yang berkedudukan di Panyabungan pada 1843.

Laporan T.J. Willer, misalnya, sampai memetakan luas
wilayah yang menjadi kekuasaan Datu Bange. Seluruh
kawasan Simanabun dalam catatan Willer saat itu dihuni
606 rumah tangga. Dalam buku Willer itu juga
ditampilkan silsilah Marga Babiat—mulai leluhur sampai
Datu Bange—sampai generasi XII. Dari situlah Basyral
tahu bahwa dirinya termasuk generasi cicit Datu Bange.

Willer, sebagaimana dikutip Basyral, menuliskan
demikian: "…. Padri yang dipimpin oleh Tambusai
membakar kampung demi kampung…. Mereka memaksakan
ajaran Islam (Wahabi) di mana-mana. Jika penduduk
tidak serta-merta mau masuk Islam akan segera
dibunuh…."

Sebagaimana Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Tambusai di
zaman Orde Baru diangkat sebagai pahlawan negara.
"Mengapa ia dianggap pahlawan?" tanya Basyral. Menurut
Basyral, dia sama sekali tidak punya dendam dengan
tragedi yang menimpa pendahulunya itu. Tapi sebuah
revisi sejarah harus digelar.

Berdasarkan catatan panitia yang mengusulkan gelar
pahlawan nasional untuk Tuanku Tambusai, Datu Bange
dianggap sebagai perampok yang sering membuat
kekacauan. Tuanku Tambusai ingin mengakhiri perlawanan
kelompok parbegu yang dipimpin Datu Bange, sehingga
serangan pun dilakukan sampai dua kali.

"Itu sama sekali tak benar. Datu Bange merupakan raja
paling karismatik di Padang Lawas. Sebelum kaum Padri
masuk pun, warganya telah memeluk Islam," ungkap
Basyral kesal. Masyarakat daerah Padang Lawas sebelum
kedatangan Tuanku Tambusai, menurut dia, sudah sekian
lama memeluk mazhab Syafii yang egaliter.

Di wilayah Padang Lawas memang banyak peninggalan
candi Hindu—Bhairawa. Sebagaimana halnya penganut
Islam di pedalaman, warga Simanabun masih
mempertahankan tradisi kultural. Tradisi ziarah kubur,
misalnya, waktu itu masih sehari-hari dilakoni
penduduk. Mereka memasang lampu, lalu membuat
cungkup-cungkup di kuburan. "Mereka masih berdoa
kepada Tuhan di kuburan."

Tapi gejala itu, menurut Basyral, ada di bagian mama
pun di Sumatera. Bahkan, dalam catatan Basyral, di
wilayah pesisir seperti pantai Natal, tradisi mistik
pun masih kuat. Dokumen perjanjian Bagindo Martia
Lelo, Raja Natal, dengan Moschel, penguasa VOC,
bertarikh 7 Maret 1760, misalnya, menyebutkan bahwa ia
bersumpah atas Al-Quran dan asap pedupaan.

Islam demikianlah, menurut gerakan Tuanku Tambusai,
yang menyeleweng dan perlu dimurnikan akidahnya.
"Upacara pemakaman yang menggunakan berbagai usungan
jenazah di Padang Lawas adalah salah satu hal yang
dibenci Tambusai," kata Basyral. Pasukan Putih-putih
Padri lalu melakukan pembersihan total.
"Cungkup-cungkup makam dipapras sedemikian. Juga
manusianya disembelih," kata Basyral—berdasarkan data
milik pemerintah Belanda yang dibacanya.

Seno Joko Suyono, Sita Planasari Aquadini

Kontroversi Kebrutalan Kaum Padri

(diambil dari Tempo Edisi. 34/XXXVI/15 - 21 Oktober 2007. Rubrik Iqra)

Kontroversi Kebrutalan Kaum Padri
Gerakan Padri selama ini diidentikkan dengan
kepahlawanan Imam Bonjol dan kelompoknya melawan
Belanda. Tapi belakangan sebuah buku lama yang
kontroversial dan me sisi gelap Padri,
Tuanku Rao, diterbitkan kembali. Lalu muncul buku baru
dengan judul Greget Tuanku Rao sebagai reaksi.

Kedua buku ini memperlihatkan bahwa gerakan Padri
sesungguhnya adalah gerakan Wahabi—gerakan pemurnian
Islam yang dilakukan secara keras terhadap Islam
kultural di Minang dan Batak. Dan itulah gerakan yang
membuat puluhan ribu nyawa jadi korban. Imam Bonjol
dianggap dengan sadar melakukan itu, sehingga ada usul
gelar pahlawan nasional dicabut darinya. Betulkah
demikian? Ikuti pembahasan Tempo.

… Petisi ini mendesak Pemerintah Indonesia untuk
membatalkan pengangkatan Tuanku Imam Bonjol sebagai
Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan…. Imam Bonjol adalah
pimpinan Gerakan Wahabi Paderi…. Gerakan ini memiliki
aliran yang sama dengan Taliban dan Al Qaeda…. Invasi
Paderi ke Tanah Batak menewaskan jutaan orang….

Petisi online itu tersebar di banyak mailing list
seminggu lalu. Seorang anak muda, Mudy
Situmorang—lulusan Teknik Elektro Institut Teknologi
Sepuluh Nopember, kelahiran Simanindo, Pulau
Samosir—telah mengirimnya. Dalam petisi itu, ia
membeberkan dosa-dosa gerakan Padri, antara lain
pembantaian massal keluarga Kerajaan Minangkabau
Pagaruyung dan penyerbuan Padri ke Batak yang
menewaskan Sisingamangaraja X.

Ia mengatakan petisi itu atas nama pribadi, bukan
organisasi, dan semata-semata untuk pelurusan sejarah.
"Kita tunggu sampai 500 pendukung. Hasilnya dikirim ke
pemerintah," katanya saat dihubungi Tempo. Sampai
sekarang, petisi itu memang belum "berbunyi".

Namun petisi ini mengingatkan orang akan dua buah buku
bertema sama yang baru-baru ini terbit. Yang satu
adalah buku lama karya Mangaradja Onggang Parlindungan
berjudul Tuanku Rao. Buku itu pertama kali dicetak
penerbit Tanjung Pengharapan, 1964, dan diluncurkan
kembali oleh penerbit LKiS Yogya, Juni lalu, tanpa
suntingan apa pun, bahkan tetap dalam ejaan lama.

Itulah buku yang pada 1964 menghebohkan. Buku itu
tidak bercerita langsung tentang Imam Bonjol, tapi
berisi kronologi penyerangan komandan-komandan Padri.
Parlindungan sendiri menyusun buku itu berdasarkan
data sejarah Batak yang dimiliki ayahnya, Sutan Martua
Radja. Pada 1918, ayahnya adalah guru sejarah di
Normaalschool Pematangsiantar. Ayahnya memiliki
warisan dokumen sejarah Batak turun-temurun dari tiga
generasi sepanjang 1851-1955.

Di samping itu, Parlindungan memakai bahan-bahan milik
Residen Poortman. Posisi Poortman sama dengan Snouck
Hurgronje. Snouck adalah seorang ahli Aceh, yang
informasinya diminta oleh pemerintah Belanda.
Sedangkan Poortman adalah seorang ahli Batak. Poortman
pensiun pada 1930 dan kembali ke Belanda. Di Leiden,
Belanda, Poortman lalu menemukan laporan-laporan para
perwira Padri sepanjang 1816-1820 untuk Tuanku Imam
Bonjol. Parlindungan mengenal Poortman secara pribadi
dan pernah bertemu di Belanda. Poortman mengirimkan
bahan-bahan laporan itu saat Parlindungan menulis
bukunya.

Parlindungan bukan sejarawan profesional. Caranya
menulis pun serampangan. Data yang diramunya itu
sering ditampilkan cut and glue atau dinarasikan
kembali dengan bahasa campuran: bahasa Indonesia
lisan, kadang disisipi kalimat-kalimat Inggris yang
panjang. Di sana-sini, ia memberikan komentar yang
cara penulisannya seperti seorang ayah yang
menerangkan kisah kepada anaknya. Kata ganti yang
dipakai untuk dirinya adalah "Daddy". Sedangkan anak
laki-lakinya di situ disebut "Sonny Boy". Ketika
polemik menghangat, buku itu ditarik dari peredaran.
Buku itu pun jadi buku langka. Di sebuah pameran buku
di Jakarta, buku itu beberapa tahun lalu bahkan sempat
dihargai Rp 1,5 juta.

Buku kedua, Greget Tuanku Rao, ditulis Basyral Hamidy
Harahap, terbit September lalu. Basyral adalah Ketua
Jurusan Perpustakaan Universitas Indonesia 1965-1967
dan pensiunan pustakawan Koninklijk Instituut voor
Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV). Ia ingin
mengoreksi beberapa info tentang Tuanku Rao yang
dianggapnya kurang tepat. Tapi, pada garis besarnya,
ia sepakat dan bahkan menambahkan data kekerasan yang
dilakukan Padri. "Buku Parlindungan banyak salahnya,
tapi buku itu ada di jalan yang benar."

l l l

Siapakah Parlindungan? Tak banyak yang tahu sosok
pengarang ini. Basyral sendiri pada 1974 pernah
bertemu dengannya di dekat rumah Hamka di Jakarta. Ia
langsung menanyakan kabar polemik antara Parlindungan
dan Buya Hamka. Agaknya Parlindungan tak suka. "Saat
itu ia langsung mengarahkan tongkatnya yang berkepala
gading ke arah dahi saya. Saya kaget, mengelak,"
kenang Basyral.

Hal ini sedikit terkuak ketika anaknya, Dorpi
Parlindungan Siregar, kini 59 tahun, mau bercerita
kepada Tempo—dialah anak yang dipanggil Sonny Boy
dalam bukunya.

"Ayah saya seorang perwira KNIL. Perjalanan karier
ayah saya dimulai ketika pada 1 Oktober 1945, Jenderal
Mayor Oerip Soemohardjo mendirikan Tentara Keamanan
Rakyat (TKR). Beliau mengumpulkan 17 anak muda di
Yogyakarta, di antaranya Soeharto, Ibnu Sutowo, dan
ayah saya."

Pada usia 27 tahun, menurut Dorpi, ayahnya memperoleh
pangkat letnan kolonel. Sebagai insinyur kimia lulusan
Jerman dan Belanda, ayahnya menjadi bawahan dr Willer
Hutagalung, dulu dokter pribadi Jenderal Soedirman.
Mereka kemudian mengambil bekas pabrik mesiu dan
peralatan senjata Belanda, yang lalu menjadi Pindad.

Pada 1960, ayahnya ditahan rezim Soekarno karena
dianggap pro-Masyumi. Tempat tahanan ayahnya
berpindah-pindah, dan akhirnya menjalani tahanan
rumah. Di sanalah, dengan data milik kakeknya dan
Residen Poortman, ayahnya menulis buku Tuanku Rao.

Dan yang mengejutkan, bagian terbesar halaman buku
ayahnya menceritakan kisah kejahatan algojo Padri
bernama Tuanku Lelo, sosok yang tak lain menurut
Parlindungan adalah kakek dari kakeknya sendiri. "Jadi
ia seperti menceritakan aib keluarga sendiri. Tak
banyak penulis yang berani seperti itu," kata Ahmad
Fikri dari LKiS. Buku itu awalnya, menurut Dorpi,
tidak diperuntukkan bagi umum, tapi bagi anak-anaknya
saja. "Sehabis membaca Al-Quran setiap hari, Ayah
membacakan cerita ini untuk saya dan adik," kenang
Dorpi akan ayahnya yang meninggal pada 1975 itu. Atas
desakan teman-temannya, buku itu akhirnya diterbitkan.

Buku itu intinya berisi informasi bagaimana gerakan
Wahabi masuk Minang. Waktu itu, tahun 1803, Haji
Piobang, Haji Sumanik, dan Haji Miskin kembali ke
Minang setelah bermukim di Mekkah lebih dari 12 tahun.
Mereka adalah bekas perwira tentara Turki. Mereka
mencoba menanamkan mazhab Hambali di Sumatera,
menekankan pemurnian Islam.

Gerakan pembersihan agama Islam ini menarik hati
seorang mubalig besar bernama Tuanku Nan Rentjeh, yang
tengah gundah lantaran di Minang berkembang Islam
Syiah. Mereka bersama-sama kemudian mencita-citakan
suatu Darul Islam. Piobang membentuk pasukan Padri
yang sangat profesional. Pakaian mereka serba putih.
Persenjataannya cukup kuat. Mereka, misalnya, menurut
Parlindungan, memiliki meriam 88 milimeter bekas milik
tentara Napoleon yang dibeli "second hand" di Penang.
Dua belas perwira Padri dikirim belajar di Turki.
Tuanku Rao, yang aslinya seorang Batak bernama
Pongkinangolngolan Sinambela, dikirim untuk belajar
taktik kavaleri; Tuanku Tambusai, aslinya bernama
Hamonangan Harahap, belajar soal perbentengan. Pasukan
Padri juga memiliki pendidikan kemiliteran di
Batusangkar.

Sasaran pertama "gerakan kaum putih" ini adalah Istana
Pagaruyung, karena istana itu dianggap sebagai boneka
Belanda yang merintangi Darul Islam. Pada 1804, ribuan
rumah dibakar dan keluarga Istana Pagaruyung dibantai.
Untuk cita-cita Darul Islam, pasukan Padri ingin
meluaskan agresinya ke luar alam Minangkabau—ke tanah
Batak.

Salah satu tamatan pendidikan militer Batusangkar,
bernama Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin, oleh
Tuanku Nan Rentjeh diperintah mencari lokasi yang
bakal digunakan sebagai benteng—basis tentara Padri
menyerang Tanah Batak. Peto menemukan bekas sarang
perampok di rute Minangkabau-Batak bernama Bonjol. Ia
mengislamkan kawasan Bonjol, membangun benteng di
sana, serta melatih kekuatan 10 ribu tentara. Sejak
itu, ia dijuluki Imam Bonjol.

Buku Tuanku Rao ini menjelaskan cukup detail bagaimana
persiapan dan kronologi invasi Padri ke Batak Selatan
(1816) dan Toba (1818- 1820). Dari etape-etape dan
serangan kilat (blitzkrieg), siasat-siasat, sampai
notula rapat-rapat para panglima dideskripsikan.
Pendiri Padri, Haji Piobang dan Tuanku Imam Bonjol,
mengkoordinasi penyebaran pasukan di bawah pimpinan
Tuanku Rao, Tuanku Tambusai, Tuanku Lelo, Tuanku
Asahan, Tuanku Maga, dan Tuanku Kotapinang.

Toba dikepung dari empat penjuru. Tuanku Asahan dengan
kavaleri berkekuatan 11 ribu tentara menyerang dari
samping kanan; Kolonel Djagorga Harahap dengan
kekuatan 4.000 anggota pasukan dari sayap kiri; Tuanku
Maga menusuk dari sisi tengah atas dengan 5.000
anggota pasukan; Tuanku Lelo bersama 9.000 tentaranya
merangsek dari sisi tengah bawah. Pada 1820,
Sisingamangaraja X, yang bertahan di Benteng Bakkara,
akhirnya tewas. Kepala Sisingamangaraja X ditusuk di
atas tombak, dipancang di tanah.

Penyerbuan yang paling bengis dilakukan oleh Tuanku
Lelo. Parlindungan sendiri menganggap "eyangnya" itu
"kriminal perang". Tuanku Lelo bernama asli Idris
Nasution. Sosoknya besar, berjanggut hitam, berambut
panjang, berombak-ombak. Ia mengenakan baju jubah dan
serban yang seluruhnya putih serta suka memakai
selempang dan ikat pinggang berwarna merah bertaburan
emas—yang dirampasnya di Pagaruyung. Ia dikenal
sebagai algojo pembantai, juga maniak seks.

Parlindungan bahkan sampai menyebut eyangnya itu
seorang big scoundrel yang memiliki kelakuan binatang.
Di tiap kawasan, sang eyang mengumpulkan ratusan
wanita, lalu memerkosanya. Di Toba, 14 malam
berturut-berturut pasukannya dibiarkan melakukan pesta
seks besar-besaran.

Ketika pasukan bergerak meninggalkan Toba, Tuanku Lelo
memerintahkan ribuan wanita dikumpulkan di Red Light
District di Sigumpar Toba. Dari Sigumpar, mereka
digiring berjalan kaki melalui Siborong-borong,
Pangaribuan, Silantom, Simangambat, Sipirok, menuju
Natal Mandailing. Sesampai di Mandailing, hanya 300
wanita selamat; 900 mati. Yang capek dipenggal.

Kemudian Belanda memutuskan menyerang Padri.
Pertempuran pada 1820, menurut Parlindungan, meletus
di Benteng Air Bengis. Imam Bonjol turun sendiri.
Tuanku Rao tewas di situ. Nah, di pertempuran Air
Bengis ini, secara licik Tuanku Lelo melakukan
desersi. Melihat Imam Bonjol terdesak, ia lalu
memimpin kavalerinya sendiri menuju Angkola dan
Sipirok. Ia melanjutkan petualangannya, menjarah,
membunuh, melampiaskan nafsu seksualnya. Ia lalu
menjadi warlord di Angkola dan Sipirok selama
1822-1833. Ia di sana mendirikan sebuah harem di
bentengnya di Padang Sidempuan.

Buku Tuanku Rao hanya sedikit menyinggung peran Tuanku
Tambusai. Namun, menurut Basyral, Tuanku Tambusai tak
kalah kejam dibanding Tuanku Lelo. "Kebrutalan Tuanku
Tambusai terjadi di daerah Padang Lawas, Dolok, dan
Barumun. Salah satu kawasan yang paling parah terkena
adalah daerah nenek moyang saya, Simanabun," tutur
Basyral (lihat "Tambusai dan Pasukan Putih-putih").

l l l

Para sejarawan berbeda pendapat soal kebrutalan ini.
"Sebetulnya masuknya Padri ke Batak bukan ekspansi.
Kelompok-kelompok musuh Padri saat itu dapat dipukul
mundur hingga ke Tapanuli Selatan. Karena itu, mereka
bertempur sampai ke daerah tersebut," tutur Dr Mestika
Zed, sejarawan dari Universitas Negeri Padang.

"Sebagai sebuah buku sejarah, buku Parlindungan
sumbernya sangat lemah. Dokumen Poortman sendiri
diragukan. Banyak yang tidak faktual," kata Dr Asvi
Warman Adam dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Hamka bahkan pernah menganggap Tuanku Lelo hanyalah
karangan Parlindungan belaka (lihat "Mengenang
Sanggahan Hamka"). Memang, sekarang mustahil untuk
mengecek semua sumber yang digunakan Parlindungan,
karena semua data itu dimusnahkan oleh Parlindungan
sendiri.

Dalam bukunya itu, Parlindungan menyebutkan data yang
diwariskan ayahnya kepadanya hanya meliputi 20 persen
dari yang dimiliki ayahnya. Ia menyaksikan sendiri,
pada 1941, ayahnya membakar sisanya sambil bercucuran
air mata di tepi Sungai Bah Bolon.

"Daddy tidak mau risiko," katanya kepada anaknya. "Our
family secrets yang ketahuan pada outsiders cukup yang
terbatas dalam buku ini. No more." "Saya menduga, itu
adalah alibi dia, yang sebenarnya tak cukup memiliki
data otentik, atau bisa juga ia tak mau sejarawan lain
menelitinya," kata J.J. Rizal dari Yayasan Bambu, yang
menerbitkan Greget Tuanku Rao.

Akan halnya Dr Gusti Asnan, pengajar Jurusan Sejarah
Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang,
menganggap tidak semua sumber Belanda yang digunakan
Parlindungan mengandung bias. Dari 100 laporan, ada
20-50 persen data yang benar. Menurut dia,
historiografi Perang Padri sendiri dimulai pada
1950-an. "Saat itu terjadi dekolonialisasi
historiografi Indonesia, termasuk Perang Padri. Demi
persatuan dan kesatuan, bagian-bagian miring dari data
yang ada, seperti kebrutalan Perang Padri, sengaja
tidak disiarkan."

Ia juga melihat gerakan pasukan Padri tak semata-mata
bermotif agama, tapi juga ekonomi. Sejak akhir abad
ke-18 hingga awal abad ke-19, perkembangan ekonomi di
Sumatera Barat memang luar biasa karena booming kopi.

Dr Gusti pernah membaca sebuah kisah tentang saudagar
bernama Peto Magik di Pasaman. Ia dikenal sebagai
saudagar Padri—bisa dianggap konglomerat. Seorang
Belanda bernama Bulhawer yang melakukan kerja sama
dengan Peto mengaku tidak melihat sedikit pun gambaran
islami padanya. "Kesan yang dilihat Bulhawer, Peto
Magik adalah seorang kapitalis. Dan gambaran ini saya
rasa juga menggambarkan sebagian besar kaum Padri,"
ujar Gusti.

Maka, menurut Gusti, ketika daerah kekuasaan di Tanah
Datar dan Agam mulai direbut Belanda, kaum Padri pun
meluaskan ekspansi ke utara: Bonjol, Pasaman, dan
Tapanuli Selatan. Mengapa ke utara? Karena daerah
utara memiliki basis kekayaan yang sangat tinggi.
Apalagi, dengan menguasai area tersebut, Padri masih
dapat melakukan hubungan dengan kaum lain, seperti
Aceh, melalui jalur sungai.

Sekalipun mengakui kekerasan yang dilakukan Padri,
sebagian orang memandang dari sudut berbeda. "Soalnya
saat itu kan tidak ada HAM," kata sejarawan Taufik
Abdullah.

Basyral sendiri melihat Imam Bonjol mengetahui segala
perampokan, pemerkosaan, dan mutilasi yang dilakukan
perwira-perwiranya. "Mustahil Imam Bonjol tak tahu. Ia
kan komandan," kata Basyral.

Tapi Taufik Abdullah tak sependapat. Menurut dia,
kekerasan di awal gerakan Padri bukan tanggung jawab
Tuanku Imam Bonjol. Saat gerakan Padri masih radikal
di awal, Tuanku Imam Bonjol masih muda dan baru
menjabat sebagai asisten Tuanku Bandaro, salah satu
pemimpin gerakan Padri saat itu.

"Buat saya, pencabutan gelar pahlawan itu nonsens.
Justru di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol pasukan
Padri lebih menitikberatkan serangan pada pihak
Belanda," kata Taufik.

Menurut Taufik, keliru jika melihat sosok Imam Bonjol
dalam Padri disamakan dengan Diponegoro. "Diponegoro
merupakan pemimpin tunggal, sementara gerakan Padri
merupakan gerakan sosial kolektif, dengan banyak
pemimpin," katanya.

Taufik mengatakan, bahkan, Tuanku Imam Bonjol sempat
mengirim empat anak buahnya ke Mekkah untuk naik haji,
termasuk Tuanku Tambusai. Tujuannya untuk melihat
kondisi Islam di Mekkah. Ternyata Islam saat itu jauh
lebih moderat. Sehingga, ketika kembali ke Minang,
Tuanku Tambusai pun menjadi lebih moderat. Sekembali
dari Mekkah, seperti disebut dalam Tuanku Rao, ia pun
menyesal melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana
wanita-wanita ditawan oleh pasukan Tuanku Lelo.

Menurut Taufik, adat basandi syarak justru mengemuka
di bawah kepemimpinan Tuanku Imam Bonjol. Imam Bonjol
wafat pada usia 93 tahun di Manado, pada 1864. Tak
banyak orang yang tahu, ia meninggalkan sebuah
"catatan harian" (lihat "Dari Catatan Harian Bonjol", berikutnya di undzurilaina).

Seno Joko Suyono, Sita Planasari

Monday, October 1, 2007

Matuk Tulga


“Bi, Abi..mau matuk tulga nak?”, tanya Akmal anak bungsuku yg masih pelat itu ke saya tiba-tiba sore kemarin. Setelah melewati “akmal decoder” yang ada di otakku, hasilnya menjadi: “Bi, Abi mau masuk surga nggak?”.

Kemudian aku jawab: “ya mau dong, sayang”.

Akmal melanjutkan lagi: ”di Surga itu ada banyak mainan ya?”

Aku: ”Iya...”

Belum sempat aku menjawab lebih lanjut, dia sudah melanjutkan lagi apa yang ada di benaknya tentang surga...

Akmal: ”ada banyak permen juga ya? Terus eskrim juga ya? Ada kebun binatang juga......” dst aku biarkan dia menjelaskan apa yg ada di benaknya tentang surga.

Setelah akmal selesai menyampaikan semua yang ada benaknya, aku bilang: ”Iya, betul sayang. Semua yang akmal mau, semuanya ada di surga..”. Aku terus balik bertanya: ”Akmal pengen nggak masuk surga nggak?”.

Dengan cekatan dia menjawab: ”Mauuuu....dong”.

”Hmmm, kalau mau akmal mesti punya kuncinya dulu..”, kataku memancing dia sedikit berfikir.

Tapi di luar dugaanku, dia kemudian malah berlari sambil memanggil istriku: ”Mamah, tolong ambilin kunci surga dong...Akmal mau masuk...”

Aku dan istriku yg baru keluar dari kamar karena dipanggil oleh anakku itu, langsung tersenyum menahan tawa. Istriku kemudian melanjutkan jawaban yang sudah kumulai tadi: ”Akmal, kalau mau masuk surga, kuncinya kita mesti disayang sama Allah. Akmal mau disayang Allah nggak?”.

”Mau...”, jawab akmal.

”Kalau mau disayang Allah, akmal mesti jadi orang yang baik. Rajin sholat, terus nggak nakal, nurut sama abi mamah, sayang sama kak fauzan.....”, terang istriku mencoba memberi penjelasan..

Akmal ndengerin penjelasan istriku dengan seksama, sambil kadang-kadang mengernyitkan dahinya. Dan lagi-lagi, tanggapan akmal diluar dugaan:

”Mah, akmal mau di rumah aja lah...”, jawab dia dengan tenang sambil loncat-loncat dan main nemenin (atau lebih tepatnya nggangguin) kakaknya yang lagi asyik main puzzle.

Barangkali karena kelihatannya kok berat banget kunci disayang Allah itu. Mungkin lain kesempatan, kami mesti memberi penjelasan yang lebih baik lagi. Walaupun aku sendiri juga masih belajar gimana caranya agar disayang Allah. Bantu kami, Ya Allah.[undzurilaina]