Kontroversi Kebrutalan Kaum Padri
Gerakan Padri selama ini diidentikkan dengan
kepahlawanan Imam Bonjol dan kelompoknya melawan
Belanda. Tapi belakangan sebuah buku lama yang
kontroversial dan me sisi gelap Padri,
Tuanku Rao, diterbitkan kembali. Lalu muncul buku baru
dengan judul Greget Tuanku Rao sebagai reaksi.
Kedua buku ini memperlihatkan bahwa gerakan Padri
sesungguhnya adalah gerakan Wahabi—gerakan pemurnian
Islam yang dilakukan secara keras terhadap Islam
kultural di Minang dan Batak. Dan itulah gerakan yang
membuat puluhan ribu nyawa jadi korban. Imam Bonjol
dianggap dengan sadar melakukan itu, sehingga ada usul
gelar pahlawan nasional dicabut darinya. Betulkah
demikian? Ikuti pembahasan Tempo.
… Petisi ini mendesak Pemerintah
membatalkan pengangkatan Tuanku Imam Bonjol sebagai
Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan…. Imam Bonjol adalah
pimpinan Gerakan Wahabi Paderi…. Gerakan ini memiliki
aliran yang sama dengan Taliban dan Al Qaeda…. Invasi
Paderi ke Tanah Batak menewaskan jutaan orang….
Petisi online itu tersebar di banyak mailing list
seminggu lalu. Seorang anak muda, Mudy
Situmorang—lulusan Teknik Elektro Institut Teknologi
Sepuluh Nopember, kelahiran Simanindo, Pulau
Samosir—telah mengirimnya. Dalam petisi itu, ia
membeberkan dosa-dosa gerakan Padri, antara lain
pembantaian massal keluarga Kerajaan Minangkabau
Pagaruyung dan penyerbuan Padri ke Batak yang
menewaskan Sisingamangaraja X.
Ia mengatakan petisi itu atas nama pribadi, bukan
organisasi, dan semata-semata untuk pelurusan sejarah.
"Kita tunggu sampai 500 pendukung. Hasilnya dikirim ke
pemerintah," katanya saat dihubungi Tempo. Sampai
sekarang, petisi itu memang belum "berbunyi".
Namun petisi ini mengingatkan orang akan dua buah buku
bertema sama yang baru-baru ini terbit. Yang satu
adalah buku lama karya Mangaradja Onggang Parlindungan
berjudul Tuanku Rao. Buku itu pertama kali dicetak
penerbit Tanjung Pengharapan, 1964, dan diluncurkan
kembali oleh penerbit LKiS Yogya, Juni lalu, tanpa
suntingan apa pun, bahkan tetap dalam ejaan lama.
Itulah buku yang pada 1964 menghebohkan. Buku itu
tidak bercerita langsung tentang Imam Bonjol, tapi
berisi kronologi penyerangan komandan-komandan Padri.
Parlindungan sendiri menyusun buku itu berdasarkan
data sejarah Batak yang dimiliki ayahnya, Sutan Martua
Radja. Pada 1918, ayahnya adalah guru sejarah di
Normaalschool Pematangsiantar. Ayahnya memiliki
warisan dokumen sejarah Batak turun-temurun dari tiga
generasi sepanjang 1851-1955.
Di samping itu, Parlindungan memakai bahan-bahan milik
Residen Poortman. Posisi Poortman sama dengan Snouck
Hurgronje. Snouck adalah seorang ahli Aceh, yang
informasinya diminta oleh pemerintah Belanda.
Sedangkan Poortman adalah seorang ahli Batak. Poortman
pensiun pada 1930 dan kembali ke Belanda. Di Leiden,
Belanda, Poortman lalu menemukan laporan-laporan para
perwira Padri sepanjang 1816-1820 untuk Tuanku Imam
Bonjol. Parlindungan mengenal Poortman secara pribadi
dan pernah bertemu di Belanda. Poortman mengirimkan
bahan-bahan laporan itu saat Parlindungan menulis
bukunya.
Parlindungan bukan sejarawan profesional. Caranya
menulis pun serampangan. Data yang diramunya itu
sering ditampilkan cut and glue atau dinarasikan
kembali dengan bahasa campuran: bahasa Indonesia
lisan, kadang disisipi kalimat-kalimat Inggris yang
panjang. Di sana-sini, ia memberikan komentar yang
cara penulisannya seperti seorang ayah yang
menerangkan kisah kepada anaknya. Kata ganti yang
dipakai untuk dirinya adalah "Daddy". Sedangkan anak
laki-lakinya di situ disebut "Sonny Boy". Ketika
polemik menghangat, buku itu ditarik dari peredaran.
Buku itu pun jadi buku langka. Di sebuah pameran buku
di Jakarta, buku itu beberapa tahun lalu bahkan sempat
dihargai Rp 1,5 juta.
Buku kedua, Greget Tuanku Rao, ditulis Basyral Hamidy
Harahap, terbit September lalu. Basyral adalah Ketua
Jurusan Perpustakaan Universitas Indonesia 1965-1967
dan pensiunan pustakawan Koninklijk Instituut voor
Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV). Ia ingin
mengoreksi beberapa info tentang Tuanku Rao yang
dianggapnya kurang tepat. Tapi, pada garis besarnya,
ia sepakat dan bahkan menambahkan data kekerasan yang
dilakukan Padri. "Buku Parlindungan banyak salahnya,
tapi buku itu ada di jalan yang benar."
l l l
Siapakah Parlindungan? Tak banyak yang tahu sosok
pengarang ini. Basyral sendiri pada 1974 pernah
bertemu dengannya di dekat rumah Hamka di Jakarta. Ia
langsung menanyakan kabar polemik antara Parlindungan
dan Buya Hamka. Agaknya Parlindungan tak suka. "Saat
itu ia langsung mengarahkan tongkatnya yang berkepala
gading ke arah dahi saya. Saya kaget, mengelak,"
kenang Basyral.
Hal ini sedikit terkuak ketika anaknya, Dorpi
Parlindungan Siregar, kini 59 tahun, mau bercerita
kepada Tempo—dialah anak yang dipanggil Sonny Boy
dalam bukunya.
"Ayah saya seorang perwira KNIL. Perjalanan karier
ayah saya dimulai ketika pada 1 Oktober 1945, Jenderal
Mayor Oerip Soemohardjo mendirikan Tentara Keamanan
Rakyat (TKR). Beliau mengumpulkan 17 anak muda di
Yogyakarta, di antaranya Soeharto, Ibnu Sutowo, dan
ayah saya."
Pada usia 27 tahun, menurut Dorpi, ayahnya memperoleh
pangkat letnan kolonel. Sebagai insinyur kimia lulusan
Jerman dan Belanda, ayahnya menjadi bawahan dr Willer
Hutagalung, dulu dokter pribadi Jenderal Soedirman.
Mereka kemudian mengambil bekas pabrik mesiu dan
peralatan senjata Belanda, yang lalu menjadi Pindad.
Pada 1960, ayahnya ditahan rezim Soekarno karena
dianggap pro-Masyumi. Tempat tahanan ayahnya
berpindah-pindah, dan akhirnya menjalani tahanan
rumah. Di sanalah, dengan data milik kakeknya dan
Residen Poortman, ayahnya menulis buku Tuanku Rao.
Dan yang mengejutkan, bagian terbesar halaman buku
ayahnya menceritakan kisah kejahatan algojo Padri
bernama Tuanku Lelo, sosok yang tak lain menurut
Parlindungan adalah kakek dari kakeknya sendiri. "Jadi
ia seperti menceritakan aib keluarga sendiri. Tak
banyak penulis yang berani seperti itu," kata Ahmad
Fikri dari LKiS. Buku itu awalnya, menurut Dorpi,
tidak diperuntukkan bagi umum, tapi bagi anak-anaknya
saja. "Sehabis membaca Al-Quran setiap hari, Ayah
membacakan cerita ini untuk saya dan adik," kenang
Dorpi akan ayahnya yang meninggal pada 1975 itu. Atas
desakan teman-temannya, buku itu akhirnya diterbitkan.
Buku itu intinya berisi informasi bagaimana gerakan
Wahabi masuk Minang. Waktu itu, tahun 1803, Haji
Piobang, Haji Sumanik, dan Haji Miskin kembali ke
Minang setelah bermukim di Mekkah lebih dari 12 tahun.
Mereka adalah bekas perwira tentara Turki. Mereka
mencoba menanamkan mazhab Hambali di Sumatera,
menekankan pemurnian Islam.
Gerakan pembersihan agama Islam ini menarik hati
seorang mubalig besar bernama Tuanku Nan Rentjeh, yang
tengah gundah lantaran di Minang berkembang Islam
Syiah. Mereka bersama-sama kemudian mencita-citakan
suatu Darul Islam. Piobang membentuk pasukan Padri
yang sangat profesional. Pakaian mereka serba putih.
Persenjataannya cukup kuat. Mereka, misalnya, menurut
Parlindungan, memiliki meriam 88 milimeter bekas milik
tentara Napoleon yang dibeli "second hand" di Penang.
Dua belas perwira Padri dikirim belajar di Turki.
Tuanku Rao, yang aslinya seorang Batak bernama
Pongkinangolngolan Sinambela, dikirim untuk belajar
taktik kavaleri; Tuanku Tambusai, aslinya bernama
Hamonangan Harahap, belajar soal perbentengan. Pasukan
Padri juga memiliki pendidikan kemiliteran di
Batusangkar.
Sasaran pertama "gerakan kaum putih" ini adalah Istana
Pagaruyung, karena istana itu dianggap sebagai boneka
Belanda yang merintangi Darul Islam. Pada 1804, ribuan
rumah dibakar dan keluarga Istana Pagaruyung dibantai.
Untuk cita-cita Darul Islam, pasukan Padri ingin
meluaskan agresinya ke luar alam Minangkabau—ke tanah
Batak.
Salah satu tamatan pendidikan militer Batusangkar,
bernama Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin, oleh
Tuanku Nan Rentjeh diperintah mencari lokasi yang
bakal digunakan sebagai benteng—basis tentara Padri
menyerang Tanah Batak. Peto menemukan bekas sarang
perampok di rute Minangkabau-Batak bernama Bonjol. Ia
mengislamkan kawasan Bonjol, membangun benteng di
sana, serta melatih kekuatan 10 ribu tentara. Sejak
itu, ia dijuluki Imam Bonjol.
Buku Tuanku Rao ini menjelaskan cukup detail bagaimana
persiapan dan kronologi invasi Padri ke Batak Selatan
(1816) dan Toba (1818- 1820). Dari etape-etape dan
serangan kilat (blitzkrieg), siasat-siasat, sampai
notula rapat-rapat para panglima dideskripsikan.
Pendiri Padri, Haji Piobang dan Tuanku Imam Bonjol,
mengkoordinasi penyebaran pasukan di bawah pimpinan
Tuanku Rao, Tuanku Tambusai, Tuanku Lelo, Tuanku
Asahan, Tuanku Maga, dan Tuanku Kotapinang.
Toba dikepung dari empat penjuru. Tuanku Asahan dengan
kavaleri berkekuatan 11 ribu tentara menyerang dari
samping kanan; Kolonel Djagorga Harahap dengan
kekuatan 4.000 anggota pasukan dari sayap kiri; Tuanku
Maga menusuk dari sisi tengah atas dengan 5.000
anggota pasukan; Tuanku Lelo bersama 9.000 tentaranya
merangsek dari sisi tengah bawah. Pada 1820,
Sisingamangaraja X, yang bertahan di Benteng Bakkara,
akhirnya tewas. Kepala Sisingamangaraja X ditusuk di
atas tombak, dipancang di tanah.
Penyerbuan yang paling bengis dilakukan oleh Tuanku
Lelo. Parlindungan sendiri menganggap "eyangnya" itu
"kriminal perang". Tuanku Lelo bernama asli Idris
Nasution. Sosoknya besar, berjanggut hitam, berambut
panjang, berombak-ombak. Ia mengenakan baju jubah dan
serban yang seluruhnya putih serta suka memakai
selempang dan ikat pinggang berwarna merah bertaburan
emas—yang dirampasnya di Pagaruyung. Ia dikenal
sebagai algojo pembantai, juga maniak seks.
Parlindungan bahkan sampai menyebut eyangnya itu
seorang big scoundrel yang memiliki kelakuan binatang.
Di tiap kawasan, sang eyang mengumpulkan ratusan
wanita, lalu memerkosanya. Di Toba, 14 malam
berturut-berturut pasukannya dibiarkan melakukan pesta
seks besar-besaran.
Ketika pasukan bergerak meninggalkan Toba, Tuanku Lelo
memerintahkan ribuan wanita dikumpulkan di Red Light
District di Sigumpar Toba. Dari Sigumpar, mereka
digiring berjalan kaki melalui Siborong-borong,
Pangaribuan, Silantom, Simangambat, Sipirok, menuju
Natal Mandailing. Sesampai di Mandailing, hanya 300
wanita selamat; 900 mati. Yang capek dipenggal.
Kemudian Belanda memutuskan menyerang Padri.
Pertempuran pada 1820, menurut Parlindungan, meletus
di Benteng Air Bengis. Imam Bonjol turun sendiri.
Tuanku Rao tewas di situ. Nah, di pertempuran Air
Bengis ini, secara licik Tuanku Lelo melakukan
desersi. Melihat Imam Bonjol terdesak, ia lalu
memimpin kavalerinya sendiri menuju Angkola dan
Sipirok. Ia melanjutkan petualangannya, menjarah,
membunuh, melampiaskan nafsu seksualnya. Ia lalu
menjadi warlord di Angkola dan Sipirok selama
1822-1833. Ia di sana mendirikan sebuah harem di
bentengnya di Padang Sidempuan.
Buku Tuanku Rao hanya sedikit menyinggung peran Tuanku
Tambusai. Namun, menurut Basyral, Tuanku Tambusai tak
kalah kejam dibanding Tuanku Lelo. "Kebrutalan Tuanku
Tambusai terjadi di daerah Padang Lawas, Dolok, dan
Barumun. Salah satu kawasan yang paling parah terkena
adalah daerah nenek moyang saya, Simanabun," tutur
Basyral (lihat "Tambusai dan Pasukan Putih-putih").
l l l
Para sejarawan berbeda pendapat soal kebrutalan ini.
"Sebetulnya masuknya Padri ke Batak bukan ekspansi.
Kelompok-kelompok musuh Padri saat itu dapat dipukul
mundur hingga ke Tapanuli Selatan. Karena itu, mereka
bertempur sampai ke daerah tersebut," tutur Dr Mestika
Zed, sejarawan dari Universitas Negeri Padang.
"Sebagai sebuah buku sejarah, buku Parlindungan
sumbernya sangat lemah. Dokumen Poortman sendiri
diragukan. Banyak yang tidak faktual," kata Dr Asvi
Warman Adam dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Hamka bahkan pernah menganggap Tuanku Lelo hanyalah
karangan Parlindungan belaka (lihat "Mengenang
Sanggahan Hamka"). Memang, sekarang mustahil untuk
mengecek semua sumber yang digunakan Parlindungan,
karena semua data itu dimusnahkan oleh Parlindungan
sendiri.
Dalam bukunya itu, Parlindungan menyebutkan data yang
diwariskan ayahnya kepadanya hanya meliputi 20 persen
dari yang dimiliki ayahnya. Ia menyaksikan sendiri,
pada 1941, ayahnya membakar sisanya sambil bercucuran
air mata di tepi Sungai Bah Bolon.
"Daddy tidak mau risiko," katanya kepada anaknya. "Our
family secrets yang ketahuan pada outsiders cukup yang
terbatas dalam buku ini. No more." "Saya menduga, itu
adalah alibi dia, yang sebenarnya tak cukup memiliki
data otentik, atau bisa juga ia tak mau sejarawan lain
menelitinya," kata J.J. Rizal dari Yayasan Bambu, yang
menerbitkan Greget Tuanku Rao.
Akan halnya Dr Gusti Asnan, pengajar Jurusan Sejarah
Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang,
menganggap tidak semua sumber Belanda yang digunakan
Parlindungan mengandung bias. Dari 100 laporan, ada
20-50 persen data yang benar. Menurut dia,
historiografi Perang Padri sendiri dimulai pada
1950-an. "Saat itu terjadi dekolonialisasi
historiografi Indonesia, termasuk Perang Padri. Demi
persatuan dan kesatuan, bagian-bagian miring dari data
yang ada, seperti kebrutalan Perang Padri, sengaja
tidak disiarkan."
Ia juga melihat gerakan pasukan Padri tak semata-mata
bermotif agama, tapi juga ekonomi. Sejak akhir abad
ke-18 hingga awal abad ke-19, perkembangan ekonomi di
Sumatera Barat memang luar biasa karena booming kopi.
Dr Gusti pernah membaca sebuah kisah tentang saudagar
bernama Peto Magik di Pasaman. Ia dikenal sebagai
saudagar Padri—bisa dianggap konglomerat. Seorang
Belanda bernama Bulhawer yang melakukan kerja sama
dengan Peto mengaku tidak melihat sedikit pun gambaran
islami padanya. "Kesan yang dilihat Bulhawer, Peto
Magik adalah seorang kapitalis. Dan gambaran ini saya
rasa juga menggambarkan sebagian besar kaum Padri,"
ujar Gusti.
Maka, menurut Gusti, ketika daerah kekuasaan di Tanah
Datar dan Agam mulai direbut Belanda, kaum Padri pun
meluaskan ekspansi ke utara: Bonjol, Pasaman, dan
Tapanuli Selatan. Mengapa ke utara? Karena daerah
utara memiliki basis kekayaan yang sangat tinggi.
Apalagi, dengan menguasai area tersebut, Padri masih
dapat melakukan hubungan dengan kaum lain, seperti
Aceh, melalui jalur sungai.
Sekalipun mengakui kekerasan yang dilakukan Padri,
sebagian orang memandang dari sudut berbeda. "Soalnya
saat itu kan tidak ada HAM," kata sejarawan Taufik
Abdullah.
Basyral sendiri melihat Imam Bonjol mengetahui segala
perampokan, pemerkosaan, dan mutilasi yang dilakukan
perwira-perwiranya. "Mustahil Imam Bonjol tak tahu. Ia
kan komandan," kata Basyral.
Tapi Taufik Abdullah tak sependapat. Menurut dia,
kekerasan di awal gerakan Padri bukan tanggung jawab
Tuanku Imam Bonjol. Saat gerakan Padri masih radikal
di awal, Tuanku Imam Bonjol masih muda dan baru
menjabat sebagai asisten Tuanku Bandaro, salah satu
pemimpin gerakan Padri saat itu.
"Buat saya, pencabutan gelar pahlawan itu nonsens.
Justru di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol pasukan
Padri lebih menitikberatkan serangan pada pihak
Belanda," kata Taufik.
Menurut Taufik, keliru jika melihat sosok Imam Bonjol
dalam Padri disamakan dengan Diponegoro. "Diponegoro
merupakan pemimpin tunggal, sementara gerakan Padri
merupakan gerakan sosial kolektif, dengan banyak
pemimpin," katanya.
Taufik mengatakan, bahkan, Tuanku Imam Bonjol sempat
mengirim empat anak buahnya ke Mekkah untuk naik haji,
termasuk Tuanku Tambusai. Tujuannya untuk melihat
kondisi Islam di Mekkah. Ternyata Islam saat itu jauh
lebih moderat. Sehingga, ketika kembali ke Minang,
Tuanku Tambusai pun menjadi lebih moderat. Sekembali
dari Mekkah, seperti disebut dalam Tuanku Rao, ia pun
menyesal melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana
wanita-wanita ditawan oleh pasukan Tuanku Lelo.
Menurut Taufik, adat basandi syarak justru mengemuka
di bawah kepemimpinan Tuanku Imam Bonjol. Imam Bonjol
wafat pada usia 93 tahun di Manado, pada 1864. Tak
banyak orang yang tahu, ia meninggalkan sebuah
"catatan harian" (lihat "Dari Catatan Harian Bonjol", berikutnya di undzurilaina).
Seno Joko Suyono, Sita Planasari
Jangan kau palingkan wajahmu dari kami, Tengoklah kami Yaa Rasulullah....
Wednesday, October 10, 2007
Kontroversi Kebrutalan Kaum Padri
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Sumber utama kedua buah buku itu adalah poortman dan huygronje...kedua-duanya adalah juga missionaris kristian terutamanya huygronje...jadi, sejauh manakah kebenarannya buku-buku itu? Cuba lihat pula cerita Perang Padri di dalam Hikayat Syeikh Jalaluddin...
ReplyDeleteyg namanya Wahabi dari dulu sampai sekarang selalu membawa malapetaka,fakta yang telah berbicara,bukan poortman atau schnouck hourgrounye,lihat aja di arab saudi skrg,masih kurang bukti TKW kita di bikin seperti binatang?
ReplyDeletebuku-buku tersebut masih dapat dipertanyakan kebenaran sejarahnya, sebab kemungkinan ada misi tertentu untuk memanipulasi sejarah islam di nusantara bagi mereka yg tidak suka dengan islam yg sebenarnya.Dengan menghubungkan gerakan kaum Paderi dengan aliran wahabi, ini merupakan taktik oleh kelompok jaringan islam liberal yg merupakan proyek internasional.
ReplyDeleteMengenai TKW dan krimanal yg terjadi tidak ada hubungannya dengan ajaran wahabi atau ajaran islam. tindak kekerasan pada TKW Indonesia yg ada di Saudi, itu kembali ke manusia nya...bukan agamanya.
Pepatah : " adat basandi syarak", atau adat bersendi syariah maka itu pula yang mencetak watak cara hidup di Saudi. Manusianya terkooptasi adat-kebiasaan masyarakat setempat.
Deletesemua buku masih dapat dipertanyakan, tidak ada buku yang tidak dapat dipertanyakan, kedua buku menjelaskan sisi gelap Perang Paderi, yang tidak suka membacannya pasti akan bilang itu taktik konspirasi JIL dsb,,,
ReplyDeletesaya baru baca bukunya dan cukup kaget. ini suatu hal menarik dan perlu penelusuran lebih lanjut.
ReplyDeletekafir memang pantas dibunuh
ReplyDeleteAllahu Akbaaaaarrrrrrrrrrr..........!!!!
ndasmu
Deleteanda cacingan .....situ kali yang kafir
Deletekafir itu menurut ajaran agama islam adalah orang-orang yg tidak percaya Allah atau bukan beragama islam. Saya hormati kepercayaan agama islam. Tapi kafir menurut ajaran agama kristen adalah bangsa selain bangsa ISRAEL, bangsa yg tidak mengikuti ajaran hukum taurat, bangsa yg tidak beranak cucu dari bangsa israel. Perlu di ketahui Laut yg terbelah ketika raja Firaun tenggelam adalah UNTUK BANGSA ISRAEL. Tuhan saat itu selamatkan bangsa israel dari kejaran bangsa kafir arab. Kafir adalah sebutan buat bangsa selain bangsa israel. Sebaiknya istilah keagamaan tidak dibawa ke luar rumah ibadah, istilah kafir adalah sebuah ejekan & hinaan bagi bangsa israel, sehingga orang yg menyebutkan saudaranya kafir harus dimasukkan ke dalam penjara. Ini adalah pandangan kafir menurut ajaran Kristen, ayat-ayatnya ada jelas di alkitab. Kita di Indonesia hidup damailah, oksigen dihirup bersama, air diminum bersama, tanah di olah bersama. Tuhan saja ijinkan kita berbeda agama, suku, ras, golongan. Tapi kenapa anda mau membenci ciptaan Tuhan? Semoga bhineka Tunggal Ika & Pancasila selalu jadi pegangan bangsa Indonesia.
DeleteSaya setuju dengan pendapat Dr. Gusti...beberapa dari catatan buku itu adalah benar...dan kalau ada yang mengatakan poortman dan huygronje adalah missionaris kristian sehingga mungkin dianggap ada kepentingan disitu...saya menganggapnya justru memperkuat tulisan MOP dan BHH mengingat mereka adalah seorang Muslim...tidak ada untungnya buat mereka untuk mengembangkan Kristen... saya rasa mereka menulis buku itu bukan karena mereka adalah Muslim atau Kristen...tetapi perjalanan perang yang selama ini cerita sejarahnya banyak belum terungkap dan banyak di-belok-kan...
ReplyDeleteWahabi .=isis
ReplyDeleteintinya bukan masalah islam atau kristen tapi para paderi cari dana untuk perang dan kemakmuran golongan sendiri
ReplyDeleteSejarah yang ditulis Belanda itu semua adalah omong kosong, karena itu semua hanyalah karangan semata yang tujuannnya justru untuk memecah belah bangsa demi untuk menguasai tanahnya.
ReplyDeleteKarena penjajah menggunakan segala hal termasuk pengkaburan sejarah dan adu domba.
Jika kamu tidak percaya, bukan saja umat islam yg ditipu dan dirugikan atas pengkaburan sejarah oleh Belanda tetapi di Bali juga generasi muda umat hindunya sudah sadar mulai bangkit bahwa sejarah Bali yg mereka kenal adalah hasil karangan penjajah Belanda, mereka ini terkumpul dalam perkumpulan Surya Majapahit, mereka tidak terima Bali sebagai pulau buangan/pelarian Majapahit karena bagi mereka Majapahit adalah Bali itu sendiri.
Dan hancur runtuhnya majapahit akibat agresi Demak Islam serta larinya raja Brawijaya ke pulau bali bagi komunitas ini adalah suatu kebohongan sejarah belaka karena sejarah ini hasil karangan Belanda.
Mereka mempunyai data-data yg cukup valid tertulis dalam arca dan ornamen2 diribuan pura-pura dibali serta serat-seratnya namun sayangnya Indonesia lebih percaya dengan sejarah2 palsu buatan Belanda.
Buku Tuanku Rao itu tulisan orang Muslim sendiri yang moyangnya ikut perang Paderi. Dia berharap dengan bukunya orang akan mengutuk Tuanku Lelo atas perbuatan biadabnya dan nama Tuanku Rao akan diperbaiki. Tuanku nan Renceh dan Tuanku Rao adalah atasan tuanku Lelo, jadi sebenarnya mereka tahu perbuatan anak buahnya dan harus bertanggung jawab. Tuanku Imam Bonjol sendiri datang belakangan setelah pembantaian Keluarga Kerajaan Pagaruyung dan pembantaian Tanah Batak sehingga tidak terlalu terlibat. Pada masa Imam Bonjol pertempuran adalah dengan Belanda.
DeleteKalau kaum Paderi sebelumnya tidak menyerbu tanah Batak dan terkena wabah, maka mereka akan menang sewaktu melawan Belanda di Fort Airbangis tahun 1821 dan dalam Perang Diponegoro Belanda juga akan kalah (sewaktu perang Diponegoro, tentara Belanda ditarik dari Minangkabau ke Jawa). Tapi karena kaum Paderi membantai sesama bangsa, maka mereka gagal dan mazhab Hambali jauh berkurang.Hukum Tuhan itu adil.
Hai, tulisan kmu bagus2....
ReplyDeleteAku suka dmna tulisan2 ini mrujuk pada kbenaran n potensi kebaikan dibalik fakta n realita...
Aku sndiri suka konsep tidak beragama, krn bnyk cntoh yg bruk dr gerakan2 agama...
But well, agama pny ajaran baik jg, so i think its ok to follow, as long we arent blind of reality...