Friday, November 19, 2010

Fokus pada Kekuatan

Eksekutif yang efektif tidak pernah bertanya, “Apakah dia cocok dengan saya?”. Mereka tidak pula pernah bertanya, “Apa yang TIDAK dapat dilakukannya?”. Pertanyaan mereka selalu “Apa yang DAPAT dia lakukan dengan luar biasa baik?”. Demikian Peter Drucker mendefinisikan salah satu karakteristik eksekutif yang efektif.

Fokus pada kekuatan, bukan pada kelemahannya, merupakan prinsip yang sangat logis karena kita tidak bisa berharap manusia bisa hebat dalam segala bidang. Tentunya dengan mengecualikan beberapa gelintir Superman. Realitas menunjukkan bahwa seseorang hanya dapat unggul pada bidang-bidang yang sangat sedikit saja. Walaupun tentunya kita mungkin sering berjumpa dengan orang-orang yang punya banyak minat. Einstein, Da Vinci, Goethe, Napoleon, dan banyak tokoh lain yang berhasil memajang namanya di berbagai Ensiklopedia orang hebat itu hanya gilang-gemilang di bidang-bidang tertentu saja yang mereka memiliki kekuatan disana. Walaupun kalau kita baca-baca, ternyata mereka juga punya berlimpah minat di bidang-bidang yang lain. So you better don’t cross your finger on it!

Tuntutan terhadap kinerja mestinya juga bersandar pada kekuatan. Karena jika tidak itu sama saja kita sejak awal telah memberi alasan bagi seseorang untuk tidak bekerja dengan baik. Sebelum memberikan tuntutan kinerja tertentu, semestinya seorang pimpinan sudah terlebih dahulu memastikan bahwa orang yang diberi tugas tersebut memang memiliki kekuatan yang mendukung untuk melakukannya.

Setiap orang memiliki kekuatan dan kelemahan. Kita tentu tidak dapat hanya mengambil kekuatan kaki seorang sprinter, ketajaman mata seorang sniper, atau kecerdikan strategi si grand master saja. Melainkan kita juga harus menerima keseluruhan anggota badan dari mereka secara lengkap. Lengkap dengan kekuatan dan kelemahannya. Adanya organisasi seharusnya ditujukan untuk meramu dan mengorkestrasikan kekuatan-kekuatan yang dimiliki oleh para personilnya, sembari berusaha menetralisir kelemahan-kelemahannya dan menjadikannya tidak berbahaya. Organisasi dan penempatan personil yang baik dirancang sedemikian sehingga hanya kekuatan-kekuatanlah yang relevan.

Seorang programmer kelas wahid –misalnya— yang banyak menghasilkan software-software hebat sendirian, mungkin akan sangat terhambat oleh ketidak-mampuannya untuk bekerja sama dengan orang lain. Tetapi dalam sebuah organisasi, orang seperti itu yang biasanya lebih langka dapat ditempatkan–misalnya— di sebuah pos sendiri yang terlindung dari “kontak langsung” dengan orang lain. Seorang pimpinan yang baik seharusnya mengerti betul bahwa tugasnya lah untuk membuat programmer hebat tadi dapat membuat software-software terbaik untuk organisasinya dan tidak berangan-angan tentang kemampuannya untuk bekerja-sama dengan orang-orang lain. Dia tidak akan menunjuk programmer tadi sebagai manajer. Karena disisi lainnya ada personil-personil yang memiiliki kekuatan dalam –misalnya—komunikasi dan leadership yang dibutuhkan oleh seorang manajer. Intinya, organisasi semestinya dapat membuat kekuatannya efektif dan kelemahannya menjadi tidak relevan.

Oleh karena itu apa yang bisa dilakukan oleh programmer tadi – dan “orang-orang kuat” lainya dalam organisasi— itulah yang penting bagi sebuah organisasi. Apa yang tidak dapat dia lakukan adalah sebuah keterbatasan dan tidak lebih dari itu. Bahkan umumnya jika kita mencari orang yang “paling sedikit kekurangannya”, maka biasanya yang kita akan dapatkan adalah orang yang biasa-biasa saja. Setuju? [undzurilaina/www.ivitc.com]

Wednesday, November 3, 2010

Demi Waktu

Demi Waktu; Sesungguhnya manusia benar-benar di dalam kerugian.

Sebagian mufassir berpendapat bahwa jika sesuatu itu dijadikan sebagai obyek sumpah oleh Allah, maka pastilah sesuatu itu adalah sesuatu yang agung nan dahsyat nilainya. Dalam ayat yang dikutip di atas, Allah bersumpah dengan waktu. Sehingga dengan demikian berarti waktu adalah sesuatu yang besar nilainya dan perlu dengan sungguh-sungguh diperhatikan, kalau tidak maka pastilah manusia akan berada di dalam kerugian.

Batas pencapaian maksimal dari sebuah pekerjaan ditentukan oleh sumber daya (resources) yang paling terbatas. Untuk melakukan suatu pekerjaan kita bisa butuh orang yang mengerjakan, butuh biaya untuk mendanainya, mungkin juga butuh material2 tertentu, dan tentunya membutuhkan waktu untuk mengerjakannya. Diantara sumber daya tersebut, WAKTU adalah sumber daya yang paling terbatas.

Loh?! Memangnya mendapatkan orang itu mudah? Terus, uang? Kata orang tidak ada uang tidak ada bisnis. Malah ada pepatah barat yang menyejajarkan uang dengan waktu, time is money. Nah loh?!

Ya, memang tidak dapat dipungkiri faktor manusia adalah sumber daya penting yang seringkali langka dan susah dicari. Uang itu gizi, kurang uang maka hasilnya (kalau berhasil) juga jadi kurang gizi. Ya, memang semua sumber daya itu seringkali tidak mudah didapatkan. Tapi bukan berarti tidak dapat diusahakan. Orang bisa dicari dan uang masih bisa diusahakan. Tapi tidak dengan WAKTU.

WAKTU bersifat tetap, saklek, tidak elastis, tidak bisa ditambah atau dikurangi. Orang sibuk dan pengangguran sama2 punya modal waktu 24 jam sehari. Presiden Bank Dunia atau Donald Trumph –misalnya—tidak bisa memiliki privilege untuk membeli waktu tambahan. Pak Surip yang pekerjaannya ambil sampah hanya di pagi hari juga punya waktu 24 jam sehari, tidak ada discount. Tidak ada injury time. Pada waktu tidak berlaku hukum supply and demand. Waktu terus melaju, tidak bisa disimpan untuk digunakan lagi nanti. Waktu kemarin telah sirna untuk selamanya dan tak akan pernah kembali. Waktu itu ibarat pedang. Jika kita tidak memotongnya, maka dia yang akan memotongmu.

Segala sesuatu butuh waktu. Semua pekerjaan berlangsung di dalam waktu dan menyita waktu. Namun, kebanyakan orang (termasuk saya) seringkali tidak mempersoalkan sumber daya yang unik, tak tergantikan dan penting ini. Orang juga mudah kehilangan kepekaan terhadap waktu.

Ada sebuah eksperimen psikologi yang menarik. Bahwa orang yang tersekap dalam ruangan tanpa bisa melihat terang gelapnya hari di luar akan dengan segera kehilangan kepekaannya terhadap waktu. Dalam gelap gulita sekalipun, kebanyakan orang masih dapat mempertahankan kepekaan ruang. Namun sekalipun dengan lampu tetap benderang, beberapa jam di dalam ruangan tertutup membuat kebanyakan orang tak mampu memperkirakan berapa banyak waktu yang telah berlalu. Mereka hanya bisa merasakan bahwa waktu yang sudah dilewatkan dalam ruangan itu terlalu lama atau terlalu sebentar. Oleh karenanya, jika hanya bersandar pada ingatan, kita tidak tahu seberapa banyak waktu yang sudah dilalui.

Sewaktu menulis catatan ini, tiba-tiba meluncur pertanyaan di kepala saya, kemana perginya waktu-waktu saya? Kemana? Kemana? Fa aina tadzhabuun?
Duh..Benar, saya sudah lupa sebagian besar perginya waktu-waktu saya. Aktifitas-aktifitas yang saya ingat ternyata jika dihitung hanya menyedot sebagian kecil dari waktu-waktu saya. Sisanya tersebar menjadi fragmen-fragmen tak penting yang jika dikumpulkan saya yakin akan berada di peringkat teratas penyedot waktu-waktu saya.

Duh Gusti..aku bahkan tidak kenal waktuku sendiri.
Kalau aku tak ingat waktuku,
bagaimana mungkin aku ingat “Bala Syahidna” terhadap “alastu bi rabbikum”?
Kalau aku tak kenal waktuku,
bagaimana mungkin aku dapat mengenal diriku?
Kalau aku tak kenal diriku,
bagaimana mungkin aku mengenal Engkau?
Oh..Maha Benar Qaul-Mu, sungguh aku benar-benar dalam kerugian.
Oh..Pemeliharaku, bimbinglah aku dalam menjalani waktuku.
Oh..Sandaranku, jangan biarkan aku sendiri walau sesaatpun.

La ilaaha illa Anta, subhanaKa, inni kuntu mina adz-dzalimiin.

Monday, September 27, 2010

The Grand Design of Hawking

Why is there something rather than nothing?
Why do we exist?
Why this particular set of laws and not some other?


Manusia adalah spesies yang selalu penasaran. Begitulah Hawking mengawali buku teranyarnya ini dengan mengajak pembacanya untuk berfikir mengenai misteri keberadaan kehidupan. Bahwa manusia perlu memahami alam semesta (universe) sampai tingkatan yang paling dalam. Bahwa kita perlu mengetahui tidak hanya BAGAIMANA perilaku alam semesta, tapi juga pertanyaan2 “MENGAPA”. Mengapa sesuatu itu ada. Mengapa kita ada. Mengapa yang berlaku adalah hukum-hukum tertentu bukan hukum lainnya. Pada bagian awal bukunya ini, Hawking menyampaikan hipotesisnya bahwa penciptaan alam semesta ini tidak membutuhkan intervensi dari sesuatu yang supernatural atau Tuhan. Namun, alam semesta ini tercipta secara natural melalui hukum fisika. Ini merupakan prediksi dari sains.

Lalu kalau memang benar Alam semesta ini tercipta, diatur dan dikelola oleh hukum-hukum, maka kemudian timbul pertanyaan:
1. Apakah asal mula dari hukum-hukum tersebut?
2. Apakah ada pengecualian-pengecualian dalam hukum tersebut (misal: keajaiban-keajaiban)?
3. Apakah hukum-hukum tersebut tunggal/unik atau bisa banyak?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab secara beragam oleh para ilmuwan, filosof, sampai dengan teolog. Jawaban yang umum diberikan untuk pertanyaan pertama (antara lain oleh Kepler, Galileo, Descartes, dan Newton) adalah bahwa hukum-hukum tersebut merupakan hasil karya Tuhan. Namun demikian, hal ini bisa diartikan bahwa Tuhan tak lain adalah perwujudan dari hukum-hukum alam. Menurut Hawking, jika kita melibatkan Tuhan sebagai jawaban pertanyaan pertama, maka akan muncul masalah pada pertanyaan kedua: Apakah ada keajaiban atau pengecualian-pengecualian terhadap hukum-hukum tsb?

Beragam pendapat pun bermunculan untuk menjawab pertanyaan kedua ini. Plato dan Aristoteles berpendapat bahwa tidak akan ada pengecualian pada hukum-hukum ini. Sedangkan jika kita menengok ke kitab suci, maka kita akan mengetahui bahwa Tuhan tidak hanya menciptakan hukum-hukum tapi juga dapat dirayu oleh para pendoa untuk membuat pengecualian-pengecualian. Hampir semua pemikir Kristen –lanjutnya—meyakini bahwa Tuhan pasti dapat menghentikan hukum-hukum tersebut untuk menciptakan keajaiban. Bahkan sekaliber Newton juga mempercayai adanya beberapa jenis keajaiban tertentu, seperti bahwa Tuhan harus mengintervensi dan melakukan reset terhadap orbit planet-planet, karena kalau tidak planet-planet akan jatuh ke matahari atau terlempar keluar dari tata surya. Pendapat Newton ini kemudian ditentang oleh Laplace bahwa sistem tata surya ini dapat melakukan reset sendiri, tanpa intervensi Tuhan sehingga bisa tetap ada hingga saat ini.

Laplace merupakan tokoh yang umum dikenal sebagai pengusung pertama postulat determinisme sains, bahwa jika diberikan kondisi alam semesta pada suatu waktu tertentu, maka sepaket lengkap hukum-hukum yang akan mengatur sepenuhnya masa lalu dan masa depannya. Hal ini menepis kemungkinan adanya keajaiban atau peran aktif dari Tuhan. Determinisme sains yang diformulasikan oleh Laplace inilah jawaban saintis modern terhadap pertanyaan kedua. Prinisip ini merupakan basis dari semua hukum sains modern, dan merupakan prinsip penting yang digunakan dalam buku Hawking ini. Bahwa hukum sains tidak lagi dapat disebut sebagai sebuah hukum sains jika hanya berlaku ketika suatu yang Supernatural memutuskan untuk tidak mengintervensi.

Kembali ke pertanyaan-pertanyaan “MENGAPA” yang ada di pembuka tulisan ini, sebagian orang akan mengklaim bahwa jawaban dari pertanyaan tersebut adalah karena adanya Tuhan yang memutuskan untuk menciptakan alam semesta seperti ini. Namun jika kita menjawab demikian, maka pertanyaan yang muncul berikutnya adalah “Siapa yang menciptakan Tuhan”. Jawaban yang dapat diterima umumnya adalah bahwa beberapa entitas ada tanpa membutuhkan pencipta, dan entitas itulah yang disebut Tuhan (first-cause argument). Kami mengklaim, lanjut Hawking, bahwa menurut kami adalah mungkin untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut murni di dalam lingkup sains, dan tanpa melibatkan sesuatu yang Supernatural atau Tuhan.

Alam semesta dan kehidupan ini bersifat deterministik, sekali Anda men-setup konfigurasi atau kondisi awal, maka selanjutnya hukum-hukumlah yang akan menentukan apa yang akan terjadi di masa depan. That’s all there is to it: Given any initial condition, these laws generate generation after generation.

Jika total energi alam semesta ini harus selalu NOL, sementara di sisi lain dibutuhkan energi pada setiap penciptaan sebuah obyek, maka bagaimana alam semesta secara keseluruhan dapat diciptakan dari ketiadaan? Itulah mengapa ada hukum seperti Gravitasi. Sebab gravitasi bersifat atraktif, dan energi gravitasi bernilai negatif. Energi negatif ini dapat menyeimbangkan energi positif yang dibutuhkan untuk menciptakan sesuatu. Walaupun sebenarnya tidak sesederhana ini.

Energi negatif gravitasi dari bumi, misalnya, bernilai kurang dari sepermilyar dari energi positif dari partikel materi penyusun bumi. Suatu obyek seperti sebuah bintang akan memiliki lebih banyak energi negatif grafitasi, dan semakin kecil ia (semakin dekat jarak antar unsur-unsurnya), semakin besar energi gravitasi negatifnya. Tapi sebelum ia menjadi lebih besar dari energi positifnya, bintang tersebut akan musnah ke dalam sebuah lubang hitam (black hole), dan lubang hitam tersebut memiliki energi positif. Inilah sebabnya mengapa ruang hampa itu stabil.

Obyek-obyek seperti bintang-bintang ataupun lubang hitam tidak dapat tiba-tiba muncul dari ketiadaan. Tapi tidak demikian halnya dengan alam semesta secara keseluruhan. Alam semesta secara keseluruhan dapat muncul tiba-tiba dari ketiadaan. Karena Gravitasi membentuk ruang dan waktu, dan ia memungkinkan ruang-waktu menjadi stabil secara lokal namun tidak stabil secara global. Pada skala alam semesta secara keseluruhan, energi positif dari materi dapat diseimbangkan dengan energi negatif gravitasinya, dan dengan demikian tidak ada penghalang bagi terciptanya keseluruhan alam semesta.

Oleh karena adanya hukum seperti gravitasi inilah, menurut Hawking alam semesta dapat menciptakan dirinya sendiri dari ketiadaan. Penciptaan yang spontan ini adalah alasan adanya sesuatu dibanding ketiadaan, mengapa alam semesta ada, mengapa kita ada. Tidak perlu untuk melibatkan Tuhan untuk menciptakan dan mengatur alam semesta ini.

Dalam buku ini, Hawking juga menjelaskan bahwa hukum ini harus memiliki apa yang disebut dengan supersimetri antar kekuatan-kekuatan alam dan sesuatu dimana mereka beraksi. Dan Hawking mengklaim teori yang yang dirumuskannya ini (M-Theory) adalah teori gravitasi yang paling supersimetri. Dan oleh karenanya, M-Theory ini merupakan satu-satunya kandidat dari sebuah paket lengkap teori dari alam semesta ini. Jika teori ini finite –dan ini masih harus dibuktikan—maka ia akan menjadi model dari sebuah alam semesta yang menciptakan dirinya sendiri. Dan kita –kata Hawking—harus menjadi bagian dari alam semesta ini, karena tidak ada model yang konsisten selainnya.

Itu menurut Hawking. Bagaimana menurut Anda? [undzurilaina]

Saturday, August 21, 2010

Performance vs Position

A Priest dies and is awaiting his turn in line at the Heaven's Gates.
Ahead of him is a guy, fashionably dressed, in dark sun glasses, a loud shirt, leather jacket and jeans..

God asks him: Please tell me who are you, so that I may know whether to admit you into the kingdom of Heaven or not?

The guy replies: I am Pandi, Auto driver from Chennai!

God consults his ledger, smiles and says to Pandi: Please take this silken robe and gold scarf and enter the Kingdom of Heaven.

Now it is the priest's turn.
He stands erect and speaks out in a booming voice: I am Pope's Assistant so so, Head Priest of the so so Church for the last 40 years.

God consults his ledger and says to the Priest: Please take this cotton robe and enter the Kingdom of Heaven.

“Just a minute,” says the agonized Priest. “How is it that a foul mouthed, rush driving Auto Driver is given a Silken robe and a Golden scarf; and me, a Priest, who's spent his whole life preaching your Name and goodness has to make do with a Cotton robe?!”

“Results my friend, results,” shrugs God..
“While you preached, people SLEPT; but when he drove his Auto, people really PRAYED”

It's PERFORMANCE and not POSITION that ultimately counts.

Saturday, August 7, 2010

Lautan Framework Sistem Manajemen Kinerja

Dogbert: “You’ve got to implement a six sigma program or else you’re doomed”

Dilbert’s boss: “Aren’t you the same consultant who sold us the worthless TQM program a few years ago?”

Dogbert: “I assure you that this program has a totally, totally different name”

Dilbert’s boss: “When can we start?”

Percakapan Dogbert dan boss nya Dilbert di atas mungkin mewakili kebingungan banyak kalangan dari mulai pemilik bisnis, manajemen, sampai dengan staf. Mereka tahu bahwa Sistem Manajemen Kinerja itu penting dan diperlukan buat organisasinya. Tapi mereka bingung begitu banyak framework yang ditawarkan, begitu banyak yang populer dengan masing-masing menonjolkan kekuatan dan kisah suksesnya. Konsultan ataupun marketing yang sama dapat menawarkan framework yang berbeda-beda kepada klien yang sama. Pertanyaan mana yang lebih baik, mana yang lebih cocok, apa bedanya yang satu dengan yang lainnya, seringkali tidak mendapatkan jawaban yang memadai apalagi memuaskan.

Sebenarnya bagaimana sih?

Kesuksesan sebuah organisasi dalam mencapai visi yang dicita-citakan sangat dipengaruhi oleh strategi bisnis yang ditetapkan. Penetapan visi dan strategi organisai yang tepat dan jelas tak dapat dipungkiri merupakan sebuah kunci sukses sebuah organisasi. Namun demikian memiliki strategi yang tepat dan jelas saja tidaklah cukup. Kemampuan organisasi untuk mengeksekusi strategi tersebut adalah hal yang justru lebih penting dibanding strategi itu sendiri. Sistem yang didesain untuk mengelola eksekusi strategi organisasi, yang mengelola transformasi dari rencana menjadi hasil, disebut juga Sistem Manajemen Kinerja. Mengenai pengertian kinerja bisa dirujuk ke tulisan saya sebelumnya di sini.

Mengingat pentingnya Sistem Manajemen Kinerja ini, maka banyak kerangka kerja (framework) dengan berbagai pendekatan coba didesain untuk membantu organisasi dalam mengelola pengeksekusian strateginya secara optimal. Beragam pendekatan digunakan untuk mendesain kerangka kerja tersebut, yang kurang lebih dapat dikelompokkan ke dalam kategori sebagai berikut:
1. Pendekatan yang dominan berorientasi finansial
2. Pendekatan yang dominan berorientasi proses
3. Pendekatan yang multi-perspektif dengan fokus utama pada keselarasan strategis

Pendekatan yang pertama merupakan pendekatan klasik yang banyak digunakan oleh organisasi dulu, yang intinya bahwa baik/buruknya kinerja sebuah organisasi itu ukurannya adalah kinerja finansialnya. Jika sebuah perusahaan untung besar, maka perusahaan tersebut disebut perusahaan berkinerja bagus. Walaupun mungkin saja pada tahun berikutnya, perusahaan tersebut ambruk.

Oleh karena pendekatan pertama tersebut –walaupun penting—tapi sering miss-leading, antara lain karena kurangnya perhatian pendekatan tersebut terhadap proses yang terjadi dalam pengelolaan organisasi, maka kemudian muncullah framework2 baru yang berorientasi kepada kesempurnaan proses, sebutlah misalnya framework Total Quality Management (TQM) atau Six-Sigma. Para pengusung framework dengan pendekatan ini memiliki premis bahwa jika proses yang berlaku dalam pengelolaan organisasi itu dapat dijaga kualitas dan kinerjanya, maka pada gilirannya kinerja seluruh organisasi akan dapat pula menjadi baik. Walaupun mungkin dalam perjalanannya menuju penyempurnaan proses tersebut, dari perspektif finansial organisasi tersebut tidak bagus.

Dalam perjalanannya pendekatan yang berorientasi pada proses ini juga menuai kritik. Hal ini karena fakta yang didapat bahwa keitka sebuah organisasi terlalu perhatian pada hal detail (proses), seringkali akan kehilangan konteksnya dalam organisasi. Kemudian muncullah framework-framework dengan pendekatan yang ketiga yaitu selain yang berfokus kepada keselarasan strategis organisasi, framework ini juga melengkapi perspektifnya menjadi lebih komprehensif, tidak hanya melihat dari perspektif finansial atau proses saja. Sebutlah framework-framework dalam kelompok ini seperti Balanced Scorecard, Performance Prism, dan sebagainya.

Jadi kalau dilihat dari sejarah perkembangannya, sepertinya framework demi framework tercipta untuk menyempurnakan pendekatan yang digunakan framework-framework sebelumnya. Tapi apakah itu berarti, framework yang datang kemudian itu pasti lebih baik dibandingkan framework yang mendahuluinya?

Menurut saya, Tidak. Menurut saya, masing-masing framework tersebut memiliki kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Menurut saya kata kuncinya adalah harmonisasi.
Saya selalu tertarik dengan ide-ide harmonisasi. Sehingga saya mencoba melakukan analisis framework-framework yang ada tersebut untuk coba diharmonisasikan menjadi sebuah framework baru yang komplementer, yang saling melengkapi. Cara ini menurut saya juga dapat menjawab kebingungan sementara kalangan mengenai lautan framework Sistem Manajemen Kinerja yang tersedia di pasaran.

Namun, bagaimana caranya dan bagaimana pula hasilnya? Insya Allah saya akan lanjutkan dalam tulisan-tulisan berikutnya. Semoga bermanfaat.[Umar A/www.ivitc.com]

Tuesday, August 3, 2010

Iklan Menyeramkan

Nafsu makan saya dan istri mendadak hilang ketika melihat sebuah iklan di TV kemarin. Iklan yang –kalau tidak salah—dipersembahkan oleh PMI (karena ada pak JK, ketuanya, muncul disana), IDI (ada ketuanya pula muncul disitu), dan sebuah produk obat anti masuk angin untuk orang “pintar”.
Tentu bukan karena melihat orang2 itu kami kehilangan nafsu makan. Tapi karena melihat beberapa scene “menyeramkan” yang ditampilkan disana. Seperti scene yang menampilkan orang yang terkena kanker mata, muntah darahnya pengidap TBC, bayi hydrocephalus, dsb. Semula saya nggak tahu, sebenarnya ini iklan apa sih. Sampai akhirnya iklan itu ditutup oleh Lula Kamal yang menyampaikan anjuran untuk berobat ke dokter bila sakit. Ohh..?!

Saya lalu bertanya, apa iklan seperti ini efektif dalam menyampaikan pesan kepada para pemirsanya? Apakah iklan seperti ini juga cukup efektif untuk mempengaruhi para penontonnya untuk melakukan tindakan berobat ke dokter.

Malcolm Galdwell dalam bukunya mengungkapkan adanya sebuah penelitian tentang pengaruh “menakut-nakuti” yang dilakukan dilakukan terhadap para mahasiswa senior dari Yale University. Kepada para mahasiswa tersebut dibagikan brosur yang berisi anjuran untuk melakukan vaksinasi anti-tetanus. Hanya saja mereka dibagi dalam beberapa kelompok yang masing-masingnya akan menerima paket brosur yang berbeda dengan kelompok lainnya. Sebagian mahasiswa diberi paket brosur yang “sangat menyeramkan” yang memuat istilah dan gambar-gambar yang dramatis, lengkap dengan foto2 berwarna anak yang kejang tetanus, korban tetanus yang terpaksa pakai kateter untuk buang air kecil, yang dilubangi tenggorokannya, yang dipasang selang di hidungnya, dsb. Sementara kelompok mahasiswa yang lain menerima brosur versi “soft” dimana ia menerangkan risiko2 tetanus secara lebih tersamar dan bahkan tanpa gambar2.

Howard Levanthal, sang pakar psikologi yang melakukan penelitian ini, ingin mengetahui seberapa jauh sebenarnya dampak dari brosur2 tersebut terhadap perilaku mahasiswa tersebut terhadap tetanus, dan –yang lebih penting—terhadap kesediaan mereka untuk divaksinasi.

Seperti diduga, memang benar bahwa kelompok mahasiswa yang mendapatkan brosur “menyeramkan” lebih memilki pemahaman dan kesadaran tentang bahayanya tetanus dibandingkan dengan kelompok mahasiswa lainnya. Namun fakta itu menjadi tidak bermakna ketika ia tidak memiliki relevansi dengan kesadaran dari kelompok tersebut untuk pergi melakukan vaksinasi.

Ternyata penelitian tersebut menunjukkan bahwa proporsi jumlah mahasiswa yang melakukan vaksinasi dari kelompok brosur “menyeramkan” dan brosur “soft” sama saja. Artinya tanpa ditakut2i dengan gambar2 yang dramatis itu sebenarnya para mahasiswa sudah tahu dan sadar mengenai bahaya tetanus, dan apa yang harus mereka perbuat. Jadi dampak dari cara komunikasi menakut2i tersebut hanya berbeda sampai dengan tingkatan pemahaman (atau ngeh kata orang jawa). Tapi pada tingkatan amal real nya ia tidak memiliki relevansi alias sama saja dengan yang diberitahu dengan cara “soft”.
Itu salah satu kesimpulan Levanthal dalam penelitiannya kali ini.

Saya kemudian ingat, waktu kecil dulu saya sering membaca buku2 cerita yang menceritakan neraka dengan berbagai kisah menyeramkannya. Ada orang yang diseterika punggungnya, ada yang dipotong lidahnya, ada yang disuruh memakan –maaf— darah/nanah, ada yang ditusuk duburnya, dan hal-hal mengerikan lainnya lengkap dengan gambar visualisasi dan efek2 menyeramkan lainnya. Begitu juga guru2 di TK dan SD saya dulu juga menegaskan informasi yang sama secara verbal.

Tapi saya tidak melihat cara yang sama pada metode pendidikan yang diterapkan pada sekolah anak2 saya, setidaknya hingga saat ini. Setahu saya, metode pendidikan sekarang berusaha sebisa mungkin menghindari cara menakut-nakuti anak didik dalam menjelaskan sesuatu atau memberikan persuasi anak untuk melakukan sesuatu.

Dorothy Law, seorang ahli psikologi komunikasi, mengatakan bahwa anak belajar dari kehidupan di lingkungannya. Katanya ketika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia akan belajar rendah diri. Ketika anak dibesarkan dengan pujian, dia akan belajar menghargai. Jika anak dibesarkan dengan celaan, dia akan belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan ancaman, maka dia akan belajar mengancam. Jika anak dibesarkan dengan cinta dan kasih sayang, maka ia akan belajar untuk menemukan dan mencintai.

Mungkin ini yang dijadikan dasar oleh pendidikan modern untuk lebih banyak menggunakan pendekatan Cinta-Nya ketimbang menakut2i dengan Murka dan Ancaman Siksa-Nya? Bahwa Allah SWT itu memiliki kasih sayang yang meliputi segala sesuatu. Bahwa dari Allah hanyalah kebaikan dan karunia. Bahwa –seperti yang dilantunkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib (salam atasnya) dalam salah satu doanya—kalau bukan karena keputusan dan sumpah-Nya untuk menyiksa orang yang ingkar, tentu Dia akan menjadikan api seluruhnya sejuk dan damai, dan tidak akan ada lagi disitu tempat tinggal dan menetap bagi siapapun.

Tapi memang menerapkan metode seperti ini tidaklah mudah. Terutama bagi orang tua (termasuk saya tentunya) dan guru2 masa kini (gurunya manusia menurut istilah Pak Munif Chatib) yang merupakan produk lama pendidikan yang banyak berjejal konten2 menyeramkan.

Jadi kepada PMI, IDI dan obat untuk orang “pintar”, ternyata --menurut penelitian-- cara yang Anda gunakan untuk iklan berobat ke dokter dengan cara menakut2i itu tidak efektif jika ditujukan untuk mempengaruhi orang (apalagi orang “pintar”) untuk berobat ke dokter bila sakit. Kecuali kalau memang iklan itu ditujukan untuk mengurangi nafsu makan pemirsanya. Hmm..

Tuesday, July 27, 2010

Seputar Gelengan dan Anggukan

Anggukan dan gelengan merupakan sebuah gerakan kepala ke atas-bawah dan ke kanan-kiri. Pada umumnya gerakan tersebut merupakan ekspresi persetujuan dan penolakan terhadap sesuatu. Jika kita ditanya, kapan Anda akan menganggukkan kepala? Maka jawabannya adalah ketika kita setuju terhadap sesuatu yang disampaikan oleh lawan bicara kita. Dan akan menjawab ketika kita menolak terhadap sesuatu yang disampaikan oleh lawan bicara kita, jika kita ditanya kapan Anda akan menggelengkan kepala?

Setuju? (please dua pertanyaan diatas jangan dijawab dengan ketika kita senam pagi..hehe)

Tapi tahukah kita bahwa gerakan kita (anggukan/gelengan, senyuman manis/kecut, dll) itu dapat berpengaruh kepada pendapat kita mengenai apa yang kita dengarkan atau kita lihat dari sumber/penyampai informasi?

Ada sebuah penelitian menarik mengenai hal ini pernah dilakukan oleh sebuah perusahaan pembuat headphone berteknologi canggih. Penelitian dengan tajuk studi riset pasar ini dilakukan terhadap segmen mahasiswa yang diberi pengarahan bahwa tujuan riset ini adalah untuk menguji kinerja headphone ini ketika pemakai sedang bergerak seperti menari atau sekedar menggoyang-goyangkan kepalanya.

Semua mahasiswa tadi kemudian mendengarkan lagu-lagu dari Linda Rondstant dan The Eagles, namun setelah itu lagu-lagu tersebut digantikan oleh sebuah ulasan mengenai kenaikan biaya SPP kuliah mereka. Sepertiga diantara mereka diminta mengangguk-anggukan kepalanya ketika mendengarkan ulasan tersebut. Sepertiga lagi diminta menggeleng-gelengkan kepalanya, dan sepertiga sisanya diminta tidak menggerakkan kepalanya.

Setelah selesai, para mahasiswa tadi disodori semacam kuesioner pendek yang menanyakan tentang mutu lagu dan pengaruh gelengan/anggukan kepala terhadapnya. Dan yang paling menarik adalah pertanyaan terakhir dari kuesioner tersebut, yaitu: “Menurut Anda berapakah biaya SPP yang paling tepat untuk mahasiswa S1?”.
Kelompok mahasiswa yang tidak menggerakkan kepalanya, tidak begitu peduli dengan ulasan berita soal SPP. Menurut mereka, seharusnya SPP itu yaa kurang lebih seperti SPP yang sekarang ini.

Sementara kelompok mahasiswa yang diminta menggelengkan kepalanya selama mendengarkan ulasan, mereka menolak keras rencana kenaikan SPP yang disampaikan tersebut. Bahkan mereka minta penurunan biaya SPP tersebut, padahal sebenarnya mereka hanya diminta untuk menguji kualitas headset saja.

Sementara itu kelompok mahasiswa yang diminta mengangguk-anggukan kepalanya, berpendapat bahwa ulasan tersebut sangat persuasif dan logis. Mereka setuju dengan rencana kenaikan SPP walaupun tidak setinggi rencana yang disampaikan pada ulasan tersebut. Artinya mereka setuju terhadap kebijakan yang akan membuat kantong mereka (atau orang tua mereka) dikuras.

Penelitian diatas merupakan salah satu dari sekian penelitian yang menyimpulkan bahwa gerak tubuh dan ekspresi seseorang akan berpengaruh terhadap pendapat lawan bicara/lihatnya. Dalam kasus ini anggukan dan gelengan berpengaruh terhadap persetujuan/penolakan seseorang.

Saya ingat adanya penelitian diatas karena dalam beberapa waktu terakhir ini kebetulan beberapa teman saya sedang sering berurusan dengan beberapa konsultan expatriate asal India. Dimana di India berlaku konvensi yang berkebalikan soal anggukan dan gelengan kepala ini. Menggelengkan kepala di India itu justru merupakan isyarat persetujuan. Dan itu ternyata cukup membuat “benturan peradaban” yang cukup menghambat komunikasi dari beberapa personil lokal yang belum memahaminya di awal.

Salah seorang klien yang punya karakter lugas dan bergenre “suroboyoan” sempat emosi dibuatnya. Dia kesal karena apa yang dia sampaikan selalu ditanggapi dengan gelengan kepala, maka kemudian habislah stok kesabarannya.
Dengan suroboyan english nya dia bilang: “What do you mean with geleng-geleng (sambil memeragakan)?! Sampeyan tuh must understand!!!"

See?! Betapa dahsyatnya pengaruh hanya sekedar anggukan/gelengan kepala.[undzurilaina]

Kinerja dan Persepsi

You can not manage what you can not measure, kata yang dipopulerkan oleh Pak Norton dan Kaplan sang pencetus Balanced Scorecard (BSC). Kerangka kerja yang dirumuskannya itu kemudian begitu populer sehingga banyak pihak mengakui BSC sebagai standard de-facto framework untuk Sistem Manajemen Kinerja (SMK). Dalam tulisan ini, saya tidak akan membahas mengenai BSC sebagai sebuah kerangka kerja. Kali ini saya –mungkin karena kejadian yang baru saja saya temukan—akan menyorot pada definisi kinerja dan kemudian menghubungkannya dengan persepsi.

Terminologi ”kinerja” sebenarnya merupakan terminologi yang umum digunakan pada berbagai bidang. Pada dasarnya kinerja adalah kesesuaian realisasi sesuatu dibandingkan dengan ukuran dan target yang disepakati dan ditetapkan sebelumnya. Dengan demikian tinggi rendahnya kinerja bergantung kepada ukuran dan target yang telah ditetapkan dan disepakati sebelumnya. Ukuran dan target ditentukan berdasarkan obyektif yang ingin dicapai oleh suatu atau sekelompok inisiatif. Oleh karena itu kinerja seorang pelajar akan berbeda dengan kinerja seorang pegawai, kinerja seorang ilmuwan berbeda dengan kinerja seorang politisi, dan seterusnya. Dalam konteks sebuah organisasi atau perusahaan, maka kinerja organisasi/perusahaan merupakan tingkat keberhasilan dari organisasi/perusahaan tersebut dalam mencapai obyektif yang dicita-citakannya.

Salah satu poin penting dari definisi kinerja tersebut yang ingin saya angkat disini adalah tentang penentuan ukuran dan target yang disepakati sebelumnya.

Lantas, apa hubungannya dengan “Persepsi”?

Secara sederhana para ahli mendefinisikan persepsi sebagai sebuah proses internal yang kita lakukan untuk memilih, mengevaluasi dan mengorganisasikan rangsangan dari lingkungan eksternal.
Jadi dengan demikian persepsi konsumen terhadap sebuah produk merupakan hasil dari proses interpretasi internalnya terhadap produk tersebut berdasarkan masukan-masukan yang dia terima dari pengalamannya, kenalan-kenalannya, iklan, berita, Internet, dsb. Sehingga persepsi seorang konsumen bisa saja berbeda-beda terhadap sebuah produk yang sama diakibatkan karena masukan yang diterimanya yang juga berbeda-beda, dan proses pemilihan, evaluasi serta pengorganisasiannya pun berbeda-beda.

Persepsi seseorang manajer terhadap para stafnya juga berarti hasil interpretasi sang manajer terhadap stimulan masukan-masukan yang dia terima. Hasil interpretasi ini seringkali tidak adil karena sering tercampur dengan masukan-masukan dan parameter yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan tugas dan hubungan manajer-staf yang semestinya. Karena sang manajer baru dimarahi oleh atasannya maka kemudian dia mem-forward kemarahan berikut persepsi atasannya tersebut ke staf dibawahnya.

Itulah bedanya antara persepsi dengan kinerja. Kinerja seorang karyawan berhubungan dengan sejauhmana karyawan itu melakukan tugas-tugasnya dalam mencapai suatu obyektif tertentu. Kinerja mesti punya ukuran yang jelas. Sedangkan persepsi adalah “hak prerogatif” sang perseptor.

Sebuah organisasi modern dijalankan berdasarkan pengukuran kinerja. Sehingga Sistem Manajemen Kinerja didefinisikan sebagai sebuah sistem yang mengelola eksekusi strategi menjadi aksi-aksi yang dibutuhkan untuk mencapainya. Roda aktifitas perusahaan digerakkan oleh sistem yang mengelola kinerja dari setiap komponen perusahaan.
Sementara organisasi jenis lawannya (organisasi tradisional feodalistik, menggunakan istilah Dahlan Iskan) dijalankan berdasarkan persepsi atasan terhadap bawahannya. Apapun persepsi atasan terhadap bawahan maka itulah realitas kebenaran.

Kasus yang sama dapat juga terjadi pada konteks hubungan antara klien dengan vendor. Hubungan yang terjadi seringkali adalah hubungan persepsional, hubungan tuan dan hamba. Bukanlah hubungan kemitraan modern yang berbasis kinerja, duduk sama rendah berdiri sama tinggi.

Alhasil hubungan yang berbasis persepsi ini berisiko tinggi menyebabkan “kekacauan”, ketidak-harmonisan, dan menurunnya produktifitas hubungan secara keseluruhan. Walaupun tentunya mungkin saja hubungan semacam ini berhasil mencapai tujuannya, tapi kemungkinan keberhasilannya jelas jauh lebih kecil dibandingkan hubungan yang berbasis pada ukuran kinerja yang baik dan jelas.

Lantas mungkin kita akan bertanya, apa iya semua itu bisa diukur? Kalau itu sih kembali ke quote pembuka tulisan ini, you can not manage what you can not measure. Jadi, fokus saja kepada apa yang dapat diukur. Tapi bagaimana menentukan ukuran yang tepat dari sekian banyak yang dapat diukur? Kita akan bahas pada tulisan yang lain, Insya Allah. Tapi yang jelas bukan berdasarkan persepsi, apalagi sepihak. Hmmm…[dikutip dari www.ivitc.com]

Monday, April 26, 2010

Fatimah adalah Fatimah

Setelah berpulangnya, dia memulai kehidupannya dalam sejarah. Fatimah menjadi sumber pencerahan di hadapan semua orang tertindas yang kemudian menjadi kekuatan Islam. Semua orang yang dijarah, dirampok, ditindas, dan menderita, semua orang yang haknya dirampas dan dihancurkan oleh pemaksaan dan dikelabui, memakai nama Fatimah sebagai slogan.

Ingatan terhadap Fatimah tumbuh dengan kecintaan, emosi dan indahnya keimanan dari semua laki-laki dan wanita, yang dalam perjalanan sejarah Islam, berjuang untuk kemerdekaan dan keadilan. Selama berabad-abad, mereka mendapatkan sumber kekuatan mental dibawah penguasa-penguasa tanpa ampun dan pecutan penuh darah mereka. Teriakan dan kemarahan mereka bertumbuh dan mengalir deras dari luka hati mereka.

Inilah kenapa dalam sejarah bangsa-bangsa umat Islam dan diantara masyarakat terzalimi dari komunitas Islam, Fatimah menjadi sumber inspirasi untuk kemerdekaan, keinginan yang fitrah, pencari keadilan, perlawanan terhadan penindasan, kekejaman, kejahatan dan diskriminasi.

Sangat sulit untuk membicarakan tentang kepribadian Fatimah. Fatimah adalah wanita yang ideal dalam Islam. Konsep tentang jati-diriya digambarkan oleh Rasulullah sendiri. Dia (Rasulullah) menggodoknya dan menjadikannya suci dalam kobaran api kesulitan, kemiskinan, perlawanan, pemahaman yang mendalam dan keajaiban kemanusiaan.

Dia adalah simbol kewanitaan yang multi dimensi.
Simbol seorang anak dalam menghadapi ayahnya.
Simbol seorang istri dalam menghadapi suaminya.
Simbol seorang ibu dalam menghadapi anak-anaknya.
Simbol seorang yang bertanggung-jawab, pejuang wanita dalam kehidupan masyarakatnya.

Dia sendiri adalah seorang Imam (pemimpin), pembimbing, teladan sempurna, tipe ideal dari seorang wanita dan seorang yang menjadi saksi kepada setiap wanita yang memilih untuk menjadi dirinya sendiri.

Dia memberi jawaban bagaimana menjadi wanita dengan masa kecil yang indah, perjuangan dan perlawanan konsisten di dua medan, luar dan dalam, di rumah ayahnya, di rumah suaminya, di kehidupan masyarakatnya, dalam pemikiran dan tindakannya dan dalam kehidupannya.

Saya tidak tahu harus bicara apa lagi. Saya telah menyebutkan banyak hal. Tapi masih banyak yang belum terucap.

Dalam menunjukkan aspek mengagumkan dari semangat agung Fatimah, yang membuat saya terpesona, adalah Fatimah merupakan teman perjalanan, melangkah dengan langkah yang sama, melesat bersama-sama dengan semangat agung Ali, melalui penaikkan nilai kemanusiaan menuju kesempurnaan dan tingatan-tingkatannya.

Dia tidak hanya sekedar seorang istri bagi Ali. Ali menghormatinya sebagai teman hidup, teman hidup yang merasakan penderitaan dan harapannya. Dia menjadi tempat berteduh dan mendengarkan segala rahasia-rahasianya. Dia menjadi satu-satunya sahabat dalam rasa kesepian. Inilah kenapa Ali selalu senang menatapnya dan anak-anaknya.

Setelah Fatimah, Ali punya istri lain dan punya anak dari mereka. Tapi dari saat awal, dia memisahkan anak-anak Fatimah dari anak-anaknya yang lain. Yang terakhir disebut Bani Ali (anak-anak Ali) dan yang satunya disebut Bani Fatimah (anak-anak Fatimah).

Bukankah ini aneh ! Ketika berhadapan dengan ayah mereka dan dia, Ali, anak-anak dihubungkan dengan Fatimah. Dan kita tahu bahwa Rasulullah juga melihatnya dengan pandangan lain. Dia (Rasulullah) mengandalkan Fatimah. Dari usia dini, Fatimah menerima undangan ini.

Saya tidak tahu apa yang harus saya ucapkan tentang dia. Bagaimana caranya ? Saya ingin meniru penulis Prancis yang berbicara di suatu konferensi tentang Perawan Maria. Dia bilang, "Selama 1700 tahun semua berbicara tentang Maria. Selama 1700 tahun, banyak filosof, pemikir dari seluruh bangsa dari Timur dan Barat berbicara tentang nilai dari Maria. Selama 1700 tahun banyak penyair telah mengekspresikan kreatifitas dan kemampuan mereka dalam menyanjung Maria. Selama 1700 tahun, banyak pelukis dan artis telah membuat karya gemilang dalam menampakkan Maria. Tapi keseluruhan upaya ini masih belum mampu menjelaskan keagungan Maria seperti dalam kata-kata ini, 'Maria adalah ibu dari Yesus Kristus'. "

Dan saya ingin meniru hal ini untuk Fatimah. Saya mentok (tidak bisa). Saya ingin bilang "Fatima adalah anak Khadijah yang Agung". Saya merasa ini bukan Fatimah. Saya ingin bilang "Fatimah adalah anak Muhammad". Saya merasa ini bukan Fatimah. Saya ingin bilang "Fatimah adalah istri Ali". Saya merasa ini bukan Fatima. Saya ingin bilang "Fatima adalah ibunya Hasan dan Husein". Saya merasa ini bukan Fatimah. Saya ingin bilang " Fatima adalah ibunya Zainab". Saya tetap merasa ini bukan Fatima.

Tidak, semua pernyataan itu benar tapi tidak satupun adalah Fatimah.

Fatimah adalah Fatimah.
(dikutip dari Fatima is Fatima, karya Dr Ali Syariati)

Thursday, April 15, 2010

Milik Ayahmu

Seorang Ayah tertunduk malu di hadapan Rasulullah SAW...
“Ya Rasulullah, inilah ayahku yang telah beberapa kali mencuri hartaku!”, ujar si anak melaporkan ayahnya pada Rasulullah SAW.

Rasulullah SAW melihat ke arah sang ayah, kemudian berkata, “Apakah benar demikian, wahai Ayah?”

Dengan wajah tertunduk, sang ayah menjawab, “Wahai Rasul Allah, tanyakan kepadanya, Bahwa aku hanya mengambil secukupnya untuk menafkahi aku, ibunya, dan saudara ibunya. Aku tidak mengambil sesuatu yang lebih”.

Wajah ayah itu masih tertunduk malu bercampur sedih dan kecewa.

Rasulullah SAW memandang wajah sang ayah, kemudian berkata lagi, “katakanlah apa yang ingin kau katakan pada anakmu”.

“Tidak ada, wahai kekasih Allah”, jawab Sang Ayah.

Rasulullah SAW tahu bahwa ayah tersebut ingin mengucapkan sesuatu kepada anaknya, lalu berkata lagi, “Wahai, Ayah. Katakanlah apa yang ingin engkau katakan.”

“Setiap saat Allah menunjukkan kepadaku untuk menambah keyakinanku pada mu, wahai Rasul. Engkau tahu apa yang ada dalam hatiku”, lanjut sang Ayah.

Sang Ayah pun kemudian mengucapkan sebuah syair buat anaknya:
Anakku,
Aku berikan padamu makan sejak kamu dilahirkan,
aku bimbing dirimu sejak kecil,
aku selalu memerhatikanmu sampai kulupakan diriku,
kalau suatu malam engkau sakit, aku gelisah, aku tak bisa tidur, seakan aku yang sakit sebelum engkau merasakan sakitmu.
Aku benar2 takut kalau kematian saat itu datang menghampirimu. Sebenarnya aku tahu bahwa mati itu ketentuan Allah. Karena itu aku selalu menangisi dan merintihkanmu.

Tetapi ketika engkau sudah besar.
Di masa dimana aku harapkan engkau dapat berbuat baik kepadaku. Ternyata engkau balas budiku dengan kekerasan dan kekasaran. Seakan2 kamu yang selalu memberikan kebaikan kepadaku, bukan aku.

Anakku, kalau engkau tidak lagi mau melihat dan membalas aku sebagai orang tuamu, sebagai ayahmu. Cukuplah perlakukan aku sebagaimana layaknya tetangga memperlakukan tetangganya.


Mendengar ungkapan Sang Ayah ini, Rasulullah SAW sontak bangun dan memegang leher si Anak, kemudian berkata, “Anta wa Maaluka li abiika..!”.Kamu dan hartamu milik Ayahmu!


Tuesday, March 16, 2010

Mengapa Manusia Patuh?

Allamah Iqbal, seorang cendikiawan besar asal Pakistan, pernah mengatakan bahwa manusia bisa menjadi budak manusia lain karena kebodohannya. Dia memiliki dalam dirinya “ego” untuk menyanjung dirinya sendiri. Namun anehnya, mutiara sangat berharga itu malah dilemparkannya ke bahwa kaki orang2 zalim (beliau mencontohkan seperti Qubad dan Jamsyid). Setelah memiliki mentalitas budak, dia lalu menjadi sosok binatang yang lebih buruk dari seekor anjing. Sungguh, saya tak pernah melihat anjing manapun yang bersujud di hadapan anjing lainnya!

Manusia terkadang mematuhi sesuatu karena kebodohannya. Islam jelas melarang pola kepengikutan secara membabi buta seperti ini. Dulu waktu Muhammad Rasulullah SAW mendakwahkan Islam kepada para kafir Quraisy, mereka menolaknya dengan alasan bahwa nenek moyang mereka telah berbuat yang sama dengan mereka. Satu2nya alasan mereka adalah bahwa para pendahulu mereka telah berbuat yg sama dengan mereka. Maka Al-Quran pun mengecamnya:
“Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata: Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya. Katakanlah, sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji. Mengapa kamu mengada2kan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?” (QS: al-A’raf:28)

Itulah alasan pertama kenapa seseorang itu patuh, yaitu ikut2an tanpa alasan yang jelas (kebodohan). Dan ikut2an tanpa dasar pengetahuan seperti ini terlarang dalam Islam.

Seseorang bisa juga patuh disebabkan karena kecemasan dan ketakutan. Orang2 zalim biasa memaksa manusia untuk patuh terhadap segenap titah mereka melalui intimidasi dan ancaman.

“Firaun berkata, Sungguh jika kamu menyembah Tuhan selain aku, benar2 aku akan menjadikan kamu salah seorang yang dipenjarakan” (QS. Al-Syuara: 29)

Atau bisa juga manusia terpaksa patuh karena adanya janji2 atau imbalan tertentu yang menggiurkan. Seperti dilakukan Firaun kepada para ahli sihir kerajaannya yang akan memberikan imbalan yang menarik dengan syarat mereka mampu mempermalukan Musa as.

Cara ini (ancaman dan bujuk rayu) seringkali ampunh untuk membuat manusia mematuhi hukum. Namun cara2 seperti ini akan membuat sikap kritis dan kemandirian orang yang terkait menjadi lemah.
Memang, Islam juga menegaskan tentang siksa neraka dan pahala surga. Namun semua itu bukan dimaksudkan terjadi di dunia ini, melainkan nanti di masa depan. Ya, setelah mati. Karena itu, mereka akan memilih jalan hidup mereka dan mematuhi segenap hukum dengan penuh kerelaan. Ketakutan terhadap hukuman atau harapan terhadap ganjaran nikmat pada hari pembalasan tidak memaksa manusia utk melaksanakan perintah2 tertentu. Terbukti kita setiap saat mendengar, melihat, dan bahkan sering kali juga melakukan pelanggaran dan pengabaian terhadapnya.

Hal lain yang terkadang juga membuat seseorang patuh terhadap sesuatu adalah karena adanya tuntutan kebutuhan dan persaingan dengan manusia lain sehingga kemudian menghalalkan segala cara dan patuh kepada hawa nafsunya tersebut.

Kemudian sebab yang keempat seorang untuk patuh adalah Akal pikiran dan pengetahuan. Seorang pengguna jalan akan dengan senang hati mematuhi aturan penutupan suatu jalur tertentu jika ia mengetahu alasannya kenapa polisi menutup jalur tersebut. Tapi jika mereka tidak diberi tahu, maka dia akan dapat menyangka polisi memberlakukan aturan secara sewenang2 dan kemudian menolak untuk mengikutinya.

Islam juga menggunakan alasan yang masuk akal untuk membuat manusia mau mematuhi hukum2nya. Inilah yang seringkali dikatakan pada setiap yang diperintahkan atau dilarang oleh Islam. Puasa agar kita bertaqwa, Sholat untuk mencegah fakhsya dan munkar, Qishas untuk kehidupan, infak diumpamakan seperti menanam kebun yang buahnya berlipat, dst. Dan berbagai ayat dan riwayat lain yang menyatakan pentingnya alasan dan argumen yang masuk akal dalam mengikuti perintah2 Islam.

Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat menegakkan keadilan. (QS. al-Hadîd: 25)

Kemudian alasan kelima yang menjadikan seseorang patuh terhadap hukum atau perintah adalah karena Cinta.
Dan di antara manusia ada orang2 yang menyembah tandingan2 selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapaun orang2 yang beriman sangat mencintai Allah. (al-Baqarah:165)

Seseorang yang cinta kepada sesuatu, dia menjadi patuh terhadapnya. Ayat diatas mengatakan bahwa orang2 beriman itu sangat mencintai Allah, yang karenanya kemudian mereka menjadi sangat patuh kepada aturan2-Nya. Kata ahli psikologi, seseorang yang cinta kepada seseorang, maka dia berusaha sekuat tenaganya untuk menjadi seperti yang dicintainya.

Katakanlah: "Jika kamu (benar2) mencintai Allah, ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." (QS. 3:31).

Yang menarik juga adalah ayat-Nya dalam surat as-Syuara: 23 berikut ini:
“Katakanlah (Wahai Muhammad), aku tidak minta balasan apapun atas risalah yang aku sampaikan pada kalian kecuali kecintaan kalian terhadap keluargaku”

-----
Ya, terdapat beragam cara yang dapat mendorong manusia untuk patuh terhadap suatu aturan. Dalam hal ini, dengan penuh yakin, kita dapat langsung menyatakan bahwa cara terbaik dan paling masuk akal untuk itu adalah cara keempat dan kelima, yaitu cara yang dilandasi pengetahuan, kearifan, cinta dan kasih sayang.

Jadi, kita tidak dapat meng-gebyah uyah (baca: generalisir) bahwa semua orang yang patuh kepada sesuatu atau seseorang adalah manusia bodoh seperti kawanan kambing yang manut kemana dibawa oleh penggembalanya.

Dunia ini penuh dengan ragam topik permasalahan. Untuk setiap topik permasalahan itu perlu sebagian orang untuk menekuninya sehingga dapat menjadi “panutan” solusi bagi manusia selainnya. Karena tak mungkin seseorang memiliki resource yang memadai untuk menjadi ahli dalam semua topik.

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. 9:122)

Menghargai dan meninggikan derajat orang yang lebih ahli ilmu adalah hal yang sangat logis, alih2 kultus. Bahkan Allah SWT sendiri yang meninggikan derajatnya.

“...niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (QS. 58:11).

Namun, betapapun, tentu saja tingkatan kepatuhan kita pada ahli berbeda-beda. Hal ini –menurut saya—tergantung seberapa tinggi tingkat jaminan kebenaran dari apa yang disampaikan oleh Ahli tsb. Jaminan ini bisa bersumber vertikal (Ilahiyyah) maupun horizontal (tingkat kepakaran, integritas, akhlak, dsb). Apa yang disampaikan oleh Rasulullah SAW –misalnya—tentu pasti benar karena ada jaminan dari Sang Pencipta Segala bahwa apa yang darinya tidak lain kecuali wahyu. Jaminan keterjagaan mutlak seperti ini yang tidak dimiliki oleh semua manusia ahli. Oleh karenanya yang diperlukan adalah menjaga sikap kritis terhadap pendapat ahli. Bukan dengan sekedar PeDe tanpa cukup modal dengan kemampuan sendiri terhadap segala hal dan kemudian mengabaikan “sistem ahli”. Ini justru tidak masuk akal, menurut saya.

Semua orang bisa jadi ahli pada bidangnya masing2. Dan dengan keahliannya masing2 itu, maka setiap orang dapat menjalankan perannya masing2 untuk menjalankan roda-roda kehidupan ini. Seseorang bisa berperan sebagai pengikut pada satu bidang, dan menjadi yang diikuti pada bidang yang lain.

So, Selamat berperan. Selamat menjadi Ahli!

Saturday, February 20, 2010

Yang diingat dan Akhir Catatan Perjalanan

Siapa yang Anda ingat dari teman sekolah Anda dulu?”, kata seseorang di radio yang saya tak ingat namanya tapi dari logat bicaranya sangat jelas bergenre java medokensis. Umumnya teman yang diingat itu katanya adalah teman yang paling pintar, yang paling bengal, yang paling cantik/ganteng, yang paling heboh, dan yang paling-paling lainnya. Memori manusia itu lebih mudah menangkap titik-titik ekstrim dari pengalaman yang dilaluinya. Kalau yang berada di area “sedang-sedang” saja, ya mesti berjuang sedikit lebih keras supaya masih bisa terpajang di memory temannya itu atau perlu ada pemicu tertentu untuk dapat mengingatnya.

Selain titik-titik ekstrim tersebut, manusia juga sangat susah melupakan titik akhir dari pengalamannya dengan seseorang. Dia cerita punya teman yang sudah bersahabat dengan seseorang selama lebih dari 20 tahun, tapi kemudian akhirnya bertengkar karena suatu hal selama 3 hari. Kemudian ketika ditanya apa yang paling diingat dari mantan sahabatnya itu, ia menjawab 3 hari pertengkaran itulah yang paling diingatnya. Masa 20 tahun bersahabat itu menjadi seolah hilang dari memori karena 3 hari di ujung akhir pengalamannya itu.

Saya kemudian berfikir bahwa sepertinya karakteristik ingatan manusia ini yang kemudian diterapkan orang dalam berbisnis. Bagaimana membuat produk/jasa yang dijualnya senantiasa berada dalam titik ekstrim ingatan manusia, menjadi “top of mind”. Program-program pemasaran produk yang baik selalu berusaha menjaga agar produknya selalu pada puncak ingatan para target pelanggannya. Gimana ketika orang sakit flu, selalu yang teringat pertama adalah panadol/decolgen. Ingat batuk, ingat konidin. Ingat sakit kepala, ingat bodrex. Kentucky, jagonya ayam. Dan seterusnya.

Begitu juga sering kita temui setiap kita akan meninggalkan sebuah tempat, apakah itu sebuah toko, rumah makan, kereta api, pesawat, ataupun tempat2 lainnya, mereka menerapkan prosedur standard yang tujuannya memberikan pengalaman terakhir yang menyenangkan sehingga bisa berharap nyantol di memori para pelanggannya. Dengan kata-kata yang renyah dan senyum yang manis atau setidaknya berusaha dimanis2kan. Terima kasih, kami tunggu kunjungan berikutnya. Terima kasih atas kepercayaannya menggunakan jasa kami. Terima kasih, menyenangkan dapat berbisnis dengan Anda. Atau sekedar ucapan terima kasih dengan senyuman. Atau pengalaman akhir lain yang didesain tanpa ucapan untuk membuat orang untuk “repeat order”.

Berkaitan dengan hal yang kedua ini, the end of experience, tiba2 saya jadi merinding. Tiba2 terbayang di benak saya bagaimana nanti akhir pengalaman hidup saya ini. Karena tentunya itu akan sangat menentukan nasib “bisnis” saya setelah hidup ini berakhir nanti.

Kata Dr Ali Syariati, ketika seseorang mencium bau maut, ruhnya menjadi murni, dan di saat seseorang terbujur mati, maka saat itulah dia menunjukkan dirinya yang sejati.

Dapat dipastikan, hanya orang2 yang tahu bagaimana mereka seharusnya mati sajalah yang tahu bagaimana mereka seharusnya hidup. Benar, bahwa hanya orang2 yang memandang hidup bukan sekadar adanya nafas yang naik-turun sajalah yang tidak memandang kematian sebagai sekedar tidak adanya nafas.

Kita bisa melihat bagaimana orang2 suci nan agung pada saat2 akhir menjelang akhir perjalanan hidupnya.

Sang Putra Ka’bah, Imam Ali bin Abi Thalib, secara spontan berteriak “Fuztu wa rabbi ka’bah” (demi tuhan ka’bah, sungguh aku beruntung) ketika pedang beracun Abdurrahman Ibn Muljam dipukulkan kepadanya selagi beliau sholat. Di saat2 akhir hayatnya dalam rasa sakitnya karena racun di pedang ibn Muljam itu, ia tak pernah mengeluh sedikitpun. Beliau mengumpulkan anggota keluarganya dan memberikan petuah2nya.

Dia yang berkata pada orang banyak, “Sampai kemarin saya adalah pemimpin Anda, hari ini saya menjadi sarana pelajaran bagi Anda, dan besok saya akan meninggalkan Anda. Semoga Allah mengampuni kita semua!”.

Imam meninggalkan musuh2nya hidup di dunia, namun kehidupan mereka sama dengan kehancurannya sendiri.

Kemudian bagaimana pula manusia teragung sepanjang zaman, Rasulullah SAW pada saat2 beliau menjelang akhir hayatnya. Beliau saw selalu ingat umatnya, “Ummatii...ummatiii”. Beliau saw juga terus berupaya memberikan nasehat-nasehatnya.

Diriwayatkan, pada suatu hari Ka’ab Akhbar bertanya kepada Khalifah Umar, “Apa yang dikatakan Nabi tepat menjelang wafatnya?” Khalifah Umar menunjuk kepada Ali, yang juga ada disana, seraya berkata, “Tanyakan kepadanya.”
Kemudian Ali berkata, “Sementara kepala Nabi tersandar ke bahu saya, beliau berkata, ‘Shalat, shalat!’”. Ka’ab Ahbar lalu berkata, “Ini pula cara nabi2 sebelumnya.” [Thabaqat Kubra, II, h.254, dikutip dari ar-Risalah, h.694]

Sejumlah ahli hadits mengutip kalimat terakhir yang diucapkan Nabi SAW sebelum menghembuskan nafas terakhirnya adalah, “Tidak! Dengan Sahabat Ilahi.”
Beliau saw lebih memilih menjalani kehidupan setelah dunia bersama orang2 yang disinggung dalam ayat:
Mereka itu akan bersama2 dengan orang2 yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqiin, orang2 yang mati syahid, dan orang2 saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik2nya.”(QS: an-Nisa’:69).

Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Nabi pun wafat. [A’lam al-Wara’, h.83, dikutip dari ar-Risalah, h.695].

Duhai, sungguh kesuksesan sejati jika bisa seperti beliau berdua dan orang2 yang besamanya.

Wa fuztum fauzan adziimaa..(Sungguh engkau telah menang dengan kemenangan yang besar)
Fa yaa Laitanii kuntu ma’akum, fa afuuza ma’akum fauzan adziimaa (Duhai, seandainya aku dapat bersamamu, agar aku dapat menang bersamamu dengan kemenangan yang besar)

Ya Rabb, bila hari2 kehidupan kami mulai lewat, bila batas umur kami sudah habis, dan kami sudah harus memenuhi undangan-Mu yang tak bisa ditunda2 lagi, maka isilah di akhir catatan amalan kami yang ditulis oleh malaikat pencatat dengan amalan taubat yang diterima, yang tidak lagi dipenuhi catatan dosa yang pernah kami lakukan.

Ya Allah, Janganlah Engkau membuka rahasia kami yang Engkau tutup rapat di hadapan para saksi, di suatu hari dimana seluruh catatan amal hamba-Mu sedang diperiksa.
Sesungguhnya Engkau Maha Penyayang atas mereka yang menyampaikan doa kepada-Mu. Maha Penerima jawaban atas mereka yang memanggil-Mu.

Ya Allah biha, Ya Allah biha, Ya Allah bi khusn al-Khaatimah.. [undzurilaina]


Monday, January 11, 2010

Remote Control

Mister Ayip (bukan nama sebenarnya), adalah salah seorang teman yang sempat serumah kontrakan dulu waktu masih kuliah di Bandung. Dia juga memiliki panggilan sayang yang mirip dengan nama organisasi negara2 Asia Pasific, APEX. Salah satu hal yang menjadi kegemarannya adalah memegang kendali remote hampir setiap nonton TV bareng2. Lebih lagi, ternyata hobinya itu tidak hanya dia salurkan sewaktu nonton TV di rumah saja.

Pernah suatu kali dia bersama teman saya yang lain (Mister K) sedang ngantri menunggu dilayani di sebuah apotek besar di Bandung. Di ruang tunggu Apotek itu tersedia TV yang disediakan khusus bagi para customer yang sedang antre. Melihat TV itu, dia seperti gelisah mencari sesuatu di sekeliling TV tsb. Sampai akhirnya, dia menemui pelayan Apotek dan bertanya:

“Mbak, bisa pinjam remote TV itu?”

Begitu dia mendapatkan alat kesayangannya itu, langsunglah dia beraksi berselancar diantara stasiun2 TV yang waktu itu sebenarnya tak seberapa banyak.

Melihat kelakuannya, Mister K yang dari tadi hanya mengamati itu berkomentar:
“Yip, nanti kalau ente ulang tahun, ane sumbang remote deh!”.
“Hahaha...”, keduanya pun tertawa.

“Kecintaan” para pengguna TV kepada remote ini ternyata merupakan fenomena yang umum terjadi di banyak tempat. Dan karena “kecintaan” itu juga yang menyebabkan benda kecil itu sering hilang, baik sebagian (masih menyisakan jejak2 beberapa komponennya) maupun seluruhnya. Hilang sementara ataupun selamanya. Saya sendiri sering kali kehilangan remote TV saya di rumah, seiring dengan membesarnya 2 jagoan saya.

Ada sebuah survey yang menarik berkaitan dengan kecintaan pada benda bernama Remote Control ini. Di Amerika pernah dilakukan survey yang menghasilkan antara lain:
- Lebih dari setengah (55%) dari responden mengatakan bahwa mereka kehilangan remote control mereka sampai lima kali seminggu

- Karena kehilangan remote control tersebut, 63% orang Amerika mengatakan bahwa mereka menghabiskan sampai lima menit per hari untuk mencarinya

- Tempat dimana orang Amerika paling sering menemukan kembali remote control mereka adalah di atas sofa atau di bawah mebel (38%), di dapur atau kamar mandi (20%), dan, YA, di dalam Lemari es (6%)

- Delapan belas persen kaum perempuan yang disurvey, bandingkan dengan hanya 9% kaum laki2, mengatakan bahwa jika mereka harus memilih, mereka akan memilih tidak melakukan hubungan seks daripada harus kehilangan remote control TV mereka selama satu minggu. (Komentar dari editor: GILA!).

Sampai2 berdasarkan survey tersebut, sebuah produsen TV kemudian membuat TV dengan fitur unggulan “Remote Locator”. Jika pengguna TV kehilangan remotenya, tersedia tombol di TV tsb untuk me-"missed-call" sang remote selama 30 detik.

Demikian, ternyata teman saya mister Ayip itu punya banyak teman di Amerika sana. Tapi saya nggak tahu, apakah dia juga pernah menemukan remote nya di Lemari Es, atau mungkin lebih memilih nyuekin istrinya ketimbang kehilangan remote. Heheh...[undzurilaina]

Saturday, January 2, 2010

Monster dan Anak Domba, Antara Naziisme dan Yazidisme

Reinhold Hench dan Paul Schaeffer adalah dua orang kolega Peter Drucker. Peter Drucker, seorang keturunan Yahudi yang oleh banyak kalangan digadang sebagai Bapak Penemu Manajemen Modern itu memutuskan untuk keluar dari Jerman karena prediksinya bahwa Nazi akan memenangkan Pemilu Jerman. Namun tidak dengan kedua koleganya tersebut.

Singkat cerita, malam ketika esok harinya Drucker akan berangkat, ada yang mengetuk pintu rumahnya. Jantungnya seakan berhenti berdetak, ketika melihat pasukan Nazi berdiri di depan pintu rumahnya. Ia sedikit lega ketika mengenali orang itu adalah Hensch, koleganya di surat kabar tempat dia bekerja. Hensch mendengar bahwa Drucker telah keluar dari surat kabar itu (dan juga sebagai dosen), dan mencoba berbicara dengan Drucker mengapa ia keluar dari surat kabar itu. Drucker pun menjelaskannya, karena tak punya alasan lain.

Ekspresi Hensch pun berubah dengan cepat dan meluapkan kata2 emosional. Ia mengatakan pada Drucker betapa ia sangat iri kepadanya bahwa ia tidak “sepandai” Drucker, dan berharap ia bisa keluar. Namun ia melanjutkan bahwa ia tak bisa keluar. Ia menginginkan uang, status, dan kekuasaan, serta berkata bahwa karena ia memiliki nomor keanggotaan kecil di Partai Nazi (yang artinya punya kuasa lebih), ia sekarang akan menjadi “seseorang”.
“Camkan kata2ku ini,” katanya pada Drucker, “kamu akan mendengar tentangku sekarang!!!”.

Setelah itu, Drucker tak pernah lagi mendengar berita tentang Hensch. Sampai dengan tahun 1945 ketika Nazi ditaklukkan, ada artikel pendek di The New York Times menarik perhatiannya:
“Reinhold Hensch, salah seorang penjahat perang Nazi yang paling dicari Amerika, bunuh diri ketika ditangkap pasukan Amerika di gudang bawah tanah di sebuah rumah yang tinggal puing di Frankfurt.... Hensch, dikenal sangat kejam, keji dan haus darah sehingga dijuluki ‘Monster’ (Das Ungebeuer) bahkan oleh anak buahnya sendiri.”

Paul Schaeffer adalah seorang wartawan senior terkenal yang telah melanglang buana lebih dari 50 tahun di media terkemuka dunia seperti New York Times, Times, dll. Namun dia memutuskan untuk menerima tawaran dari koran terpandang Jerman (Berliner Tageblatt). Namun Schaeffer tidak bodoh. Ia tahu lebih baik dari orang-orang lain tentang apa yang dikejar Nazi selama ini, tapi ia pikir ia bisa membuat perbedaan: “Justru karena kekejian yang terjadi inilah saya harus menerima pekerjaan itu,” ia menjelaskan.
Dia tidak menggubris peringatan orang2 disekelilingya yang khawatir bahwa ia akan dimanfaatkan oleh Nazi untuk memberikan tedeng kehormatan dan menipu dunia luar.
Dan akhirnya Nazi memanfaatkan Schaeffer persis seperti yang dikhawatirkan teman2nya. Jabatan, uang dan kehormatan pun dicurahkan kepadanya. Setiap ada berita tentang kekejian Nazi yang bocor, Schaeffer dikirim ke kedubes-kedubes dan koresponden-koresponden asing untuk meyakinkan mereka bahwa semua itu tidak benar.

Dalam “memoar”-nya (Adventures of a Bystander), Drucker mengatakan bahwa kejahatan itu sesuatu yang hebat sehingga manusia sering diperalat olehnya. Karenanya manusia tidak boleh mempertahankan ataupun menggunakan kejahatan dengan cara apapun, karena cara itu pastilah jalan kejahatan bukan jalan manusia.
Manusia akan menjadi instrumen kejahatan ketika, seperti Hensch, ia berfikir bisa mengendalikan kejahatan untuk memenuhi ambisinya.
Dan manusia juga akan menjadi instrumen kejahatan ketika, seperti Schaeffer, ia bergabung dengan kejahatan untuk mencegah terjadinya hal yang lebih buruk.

Drucker mengakhiri bagian itu dengan bertanya:
“Siapa yang lebih kejam, monster atau anak domba? Mana yang lebih buruk, dosa Hensch karena nafsunya untuk berkuasa atau kesombongan Schaeffer dan dosanya karena pongah? Mungkin dosa terbesar bukanlah kedua dosa kuno itu, dosa terbesar adalah dosa abad ke-21, yaitu dosa karena bersikap masa bodoh, dosa seorang ahli biokimia terkenal yang tak membunuh dan tak berbohong, tapi menolak memberi kesaksian ketika, mengutip kata2 di Injil, ‘Mereka Menyalibkan Tuhanku!’.”

Kisah Drucker tentang dua koleganya diatas mengingatkan saya kepada kisah seputar tragedi yang terjadi pada cucu kesayangan Nabi, al-Husayn, penghulu pemuda ahli surga. Tentu saja saya sadar bahwa saya sedang membandingkan dua hal yang berbeda dari banyak segi, seperti skala, intensitas, maupun dampak dari kekejian yang dilakukan. Tapi betapapun saya melihat ada beberapa kemiripan. Saya coba mengambil contoh beberapa stakeholder sentral yang terlibat dalam tragedi paling mengerikan sepanjang sejarah tersebut. Tapi rasanya saya tidak perlu menjelaskan mengenai sang producer dan director kekejian, Yazid bin Muawiyyah.

Ubaidullah bin Ziyad bin Abihi, the man behind the gun, gubernur Bashrah yang menjadi project manager dalam penyerangan al-Husayn. Dia adalah anak dari Ziyad bin abihi, anak ayahnya. Disebut demikian karena ayahnya yang tidak jelas. Sebagian riwayat mengatakan bahwa Ziyad adalah anak Abu Sufyan dari Sumayyah (sebagian riwayat mengatakan Marjanah) yang dikenal sebagai wanita penghibur. Ubaidullah lahir di Bashrah. Ketika sang ayah meninggal, ia berada di Irak. Kemudian ia pergi ke Syam. Mu'awiyah mengangkatnya sebagai gubernur wilayah Khurasan pada tahun 53 H dan tinggal di sana selama dua tahun. Pada tahun 55 H, Mu'awiyah memindahkannya ke Bashrah. Yazid menetapkannya di sana pada tahun 60H. Tragedi Karbala terjadi di masa kekuasaannya dan atas perintahnya. Setelah kematian Yazid, penduduk Bashrah berbaiat kepadanya. Namun tak lama berselang , mereka melawannya. Diapun lari mencari perlindungan ke Syam, lalu kembali lagi ke Irak. Di tengah jalan, Ibrahim Asytar menghadangnya. Peperangan antara tentara keduanya pun tak dapat dielakkan lagi. Pasukan Ubaidillah kocar-kacir. Ibrahim memburunya dan membunuhnya di Khazir, satu daerah di Maushil. Setelah berhasil dibunuh, kepala ibnu Ziyad dibawa ke hadapan Mukhtar.

Umar bin Sa'ad bin Abi Waqqash Al-Zuhri Al-Madani. Dialah yang dikirim oleh Ubaidillah bin Ziyad dengan empat ribu orang tentara untuk menyerbu Dailam, dengan menjanjikannya kekuasaan atas wilayah Rey. Tapi sewaktu berita keberangkatan Al-Husain dari Mekah menuju Kufah sampai ke telinga Ibnu Ziyad, ia segera mengirimkan sepucuk surat padanya dan memerintahkannya untuk segera kembali bersama pasukannya. Umar pun kembali. Ibnu Ziyad lalu memerintahkannya untuk membantai Al-Husain. Umar menolak. Ibnu Ziyad mengancam dan mengingatkannya akan kota Rey. Akhirnya ia bersedia menerima tugas tersebut.
Di belakang hari, ketika Mukhtar bangkit melakukan pemberontakan, beliau mengutus orang untuk memburu dan membunuh Umar bin Sa'ad dan tamatlah riwayatnya.

Kedua person diatas mencoba menggunakan kejahatan untuk mencapai keinginan dan ambisinya. Seperti kata Drucker, mereka menjadi instrumen kejahatan ketika ia berfikir dapat menggunakan kejahatan untuk memenuhi ambisinya. Dan juga sejarah membuktikan, seperti juga yang terjadi pada Hensch, kehinaan lah yang akan didapatnya, alih-alih kejayaan dan kesuksesan.

Lain halnya dengan peran orang-orang diatas, yang oleh Drucker diistilahkan sebagai monster, ada juga peran lain yang sama-sama destruktifnya dengan monster, yaitu orang2 seperti Schaeffer yang –walaupun mungkin punya sedikit maksud baik di awalnya—berperan menjadi pembela-pembela kejahatan itu. Ada sebagian penulis, yang karena alasan-alasan tertentu, melakukan pengaburan terhadap sejarah ini. Dari yang bersikap tidak menyalahkan Yazid atas tragedi Karbala tersebut, sampai dengan yang sampai menulis buku khusus tentang keutamaan Yazid beserta ayahnya, Muawiyyah. Ada sebagian juga yang berusaha menutup sejarah itu dengan menonjolkan beberapa peristiwa lain (yang kurang jelas dan kuat dasarnya) yang menganjurkan bahwa hari Asyura adalah waktu yang tepat untuk bergembira, berbagi kebahagiaan.

Person-person seperti diatas ini, oleh Drucker diistilahkan dengan “anak domba”. Keyakinan para penulis itu –seperti Schaeffer—bahwa dia bisa mencegah hal yang lebih buruk (misalnya mungkin untuk menutup sejarah kelam) justru membawa hasil yang lebih mengerikan. Meskipun ada niat baik, mereka dengan segera menjadi kaki tangan kejahatan dengan kebohongan2nya. Mereka memberi kejahatan legitimasi untuk melanjutkan kekuasaan, kejahatan demi kejahatan, dan pembantaian demi pembantaian. Dengan menutup2i apa yang sebenarnya terjadi, mereka telah berperan dalam membuat dunia setidaknya bersikap netral terhadap kejahatan2 tersebut.

Wallahu a’lam, yang jelas saya setuju dengan Drucker yang menganggap bahwa anak domba sama destruktifnya dengan monster.
Mempelajari apa yang terjadi pada sejarah manusia dan menjadikannya hidup serta berinteraksi dengan kehidupan kita sekarang, menurut saya penting untuk dilakukan sehingga kita dapat mengambil hikmah-hikmah yang berharga untuk saat ini dan esok.

"Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang yang sebelum mereka? .." (QS. ar-Rum: 9)

Jadi tergantung kita, apakah kita mau berperan menjadi “monster” atau “anak domba”? Atau akan menjadi orang2 acuh, yang menganggap kemarin adalah kemarin, tidak ada hubungannya dengan hari ini atau besok. Atau akan menjadi yang akan mengambil hikmah dan pelajaran dari setiap peristiwa, dan “menghidupkannya” untuk hari ini dan besok. Semuanya adalah pilihan peran yang terpampang di depan kita semua.
Nanti...“sejarah” hidup kita akan mencatat peran-peran kita tersebut untuk tentu saja dipertanggung-jawabkan. Bagaimana? [undzurilaina]