Tuesday, July 27, 2010

Kinerja dan Persepsi

You can not manage what you can not measure, kata yang dipopulerkan oleh Pak Norton dan Kaplan sang pencetus Balanced Scorecard (BSC). Kerangka kerja yang dirumuskannya itu kemudian begitu populer sehingga banyak pihak mengakui BSC sebagai standard de-facto framework untuk Sistem Manajemen Kinerja (SMK). Dalam tulisan ini, saya tidak akan membahas mengenai BSC sebagai sebuah kerangka kerja. Kali ini saya –mungkin karena kejadian yang baru saja saya temukan—akan menyorot pada definisi kinerja dan kemudian menghubungkannya dengan persepsi.

Terminologi ”kinerja” sebenarnya merupakan terminologi yang umum digunakan pada berbagai bidang. Pada dasarnya kinerja adalah kesesuaian realisasi sesuatu dibandingkan dengan ukuran dan target yang disepakati dan ditetapkan sebelumnya. Dengan demikian tinggi rendahnya kinerja bergantung kepada ukuran dan target yang telah ditetapkan dan disepakati sebelumnya. Ukuran dan target ditentukan berdasarkan obyektif yang ingin dicapai oleh suatu atau sekelompok inisiatif. Oleh karena itu kinerja seorang pelajar akan berbeda dengan kinerja seorang pegawai, kinerja seorang ilmuwan berbeda dengan kinerja seorang politisi, dan seterusnya. Dalam konteks sebuah organisasi atau perusahaan, maka kinerja organisasi/perusahaan merupakan tingkat keberhasilan dari organisasi/perusahaan tersebut dalam mencapai obyektif yang dicita-citakannya.

Salah satu poin penting dari definisi kinerja tersebut yang ingin saya angkat disini adalah tentang penentuan ukuran dan target yang disepakati sebelumnya.

Lantas, apa hubungannya dengan “Persepsi”?

Secara sederhana para ahli mendefinisikan persepsi sebagai sebuah proses internal yang kita lakukan untuk memilih, mengevaluasi dan mengorganisasikan rangsangan dari lingkungan eksternal.
Jadi dengan demikian persepsi konsumen terhadap sebuah produk merupakan hasil dari proses interpretasi internalnya terhadap produk tersebut berdasarkan masukan-masukan yang dia terima dari pengalamannya, kenalan-kenalannya, iklan, berita, Internet, dsb. Sehingga persepsi seorang konsumen bisa saja berbeda-beda terhadap sebuah produk yang sama diakibatkan karena masukan yang diterimanya yang juga berbeda-beda, dan proses pemilihan, evaluasi serta pengorganisasiannya pun berbeda-beda.

Persepsi seseorang manajer terhadap para stafnya juga berarti hasil interpretasi sang manajer terhadap stimulan masukan-masukan yang dia terima. Hasil interpretasi ini seringkali tidak adil karena sering tercampur dengan masukan-masukan dan parameter yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan tugas dan hubungan manajer-staf yang semestinya. Karena sang manajer baru dimarahi oleh atasannya maka kemudian dia mem-forward kemarahan berikut persepsi atasannya tersebut ke staf dibawahnya.

Itulah bedanya antara persepsi dengan kinerja. Kinerja seorang karyawan berhubungan dengan sejauhmana karyawan itu melakukan tugas-tugasnya dalam mencapai suatu obyektif tertentu. Kinerja mesti punya ukuran yang jelas. Sedangkan persepsi adalah “hak prerogatif” sang perseptor.

Sebuah organisasi modern dijalankan berdasarkan pengukuran kinerja. Sehingga Sistem Manajemen Kinerja didefinisikan sebagai sebuah sistem yang mengelola eksekusi strategi menjadi aksi-aksi yang dibutuhkan untuk mencapainya. Roda aktifitas perusahaan digerakkan oleh sistem yang mengelola kinerja dari setiap komponen perusahaan.
Sementara organisasi jenis lawannya (organisasi tradisional feodalistik, menggunakan istilah Dahlan Iskan) dijalankan berdasarkan persepsi atasan terhadap bawahannya. Apapun persepsi atasan terhadap bawahan maka itulah realitas kebenaran.

Kasus yang sama dapat juga terjadi pada konteks hubungan antara klien dengan vendor. Hubungan yang terjadi seringkali adalah hubungan persepsional, hubungan tuan dan hamba. Bukanlah hubungan kemitraan modern yang berbasis kinerja, duduk sama rendah berdiri sama tinggi.

Alhasil hubungan yang berbasis persepsi ini berisiko tinggi menyebabkan “kekacauan”, ketidak-harmonisan, dan menurunnya produktifitas hubungan secara keseluruhan. Walaupun tentunya mungkin saja hubungan semacam ini berhasil mencapai tujuannya, tapi kemungkinan keberhasilannya jelas jauh lebih kecil dibandingkan hubungan yang berbasis pada ukuran kinerja yang baik dan jelas.

Lantas mungkin kita akan bertanya, apa iya semua itu bisa diukur? Kalau itu sih kembali ke quote pembuka tulisan ini, you can not manage what you can not measure. Jadi, fokus saja kepada apa yang dapat diukur. Tapi bagaimana menentukan ukuran yang tepat dari sekian banyak yang dapat diukur? Kita akan bahas pada tulisan yang lain, Insya Allah. Tapi yang jelas bukan berdasarkan persepsi, apalagi sepihak. Hmmm…[dikutip dari www.ivitc.com]