Monday, November 24, 2008

Topeng Monyet


Beberapa hari yang lalu saya terlibat percakapan menarik dengan teman saya sewaktu perjalanan Bandung-Jakarta untuk sebuah urusan pekerjaan. Saya tahu teman saya ini adalah seorang freelance consultant yang tidak terikat ke sebuah perusahaan manapun. Yang saya tahu dia dulu pernah kerja di sebuah bank di Jakarta terus mengundurkan diri dan balik ke Bandung sampai sekarang. Jadi setelah dia nanya-nanya ke saya tentang usaha yang saya lakukan, kemudian saya memulai “interogasi” saya tentang dia dengan bertanya: “Kalau bapak, merdeka ya pak?”.

Rupanya term “merdeka” yang saya gunakan itu sangat mengena sasaran.
Dia jawab: “Iya betul, Pak. Merdeka itu lah salah satu alasan utama saya keluar dari Bank dan menjadi seperti sekarang ini”. Dulu dia menjadi penumpang tetap KA Parahyangan setiap Senin dini hari dan Jumat malam, karena istri dan anak2nya masih tinggal di Bandung. Bunyi alarm waker yang diset setiap hari Senin jam 2 dini hari adalah bunyi yang paling dia benci. Karena saat itu dia harus bangun dari tidurnya, menyingkirkan kaki anaknya yang kadang bertengger di atas kakinya, membetulkan posisi tidur anaknya, dsb untuk kemudian mandi dan ngangkot menuju ke stasiun jam 3 dinihari. Sebuah rutinitas yang sering membuatnya lemah walaupun terkadang semangatnya menjadi bangkit ketika melihat mbok2 yang menggendong gunungan sayuran di pundaknya sepagi itu dengan berjalan kaki atau naik sepeda.

Sampai suatu hari “the moment of truth” terjadi, dia melihat sebuah pertunjukan topeng monyet di dekat rumahnya. Dia mengamati benar pertunjukan itu sambil pikirannya melayang kemana-mana. Setelah selesai pertunjukan, dia bertanya pada si tukang topeng monyet itu: “Bang, usaha gini sehari dapat berapa rata2?”. Tukang topeng monyet itupun menjawab: “Wah, nggak tentu pak. Kalau pas rame ya bisa 75 ribu sehari. Tapi kalau pas lagi sepi, paling sekitar 40 ribu seharinya.”. Teman saya itu kemudian bertanya lagi, “Kalau biaya untuk memelihara monyet itu berapa?”. “Ah, paling banyak juga 4 ribu sudah dapat makanan berlebih buat kebutuhan dia seharian, Pak”.

Percakapannya dengan tukang topeng monyet itu kemudian dia renungkan lagi. Alur berfikir dia ini yang menurut saya paling menarik dari cerita ini.
Teman tadi kemudian bertanya dalam hati: “Ah…apa bedanya saya dengan monyet itu??!”.
“Monyet itu dikasih makan,dikasih baju, dikasih rumah, dilatih, dsb untuk mendapatkan penghasilan si tukang monyet. Saya juga dikasih gaji dan ditraining oleh perusahaan untuk sebesar2nya keuntungan perusahaan. Monyet itu dikasih 4 ribu dari 75 ribu penghasilan tukang monyet. Saya dan karyawan2 lainnya juga dikasih oleh perusahan sebuah nominal yang pasti juga jauh dari penghasilan perusahaan.”

“Lantas apa bedanya saya dengan monyet itu??! Masak selama hidup saya mau jadi monyet terus2an??!”.

Pertanyaan demi pertanyaan terus dia lontarkan untuk dirinya sendiri. Sampai akhirnya karena sebuah pemicu sederhana, yaitu karena dia nggak dikasih izin waktu setengah hari setiap hari Jumat untuk mengambil S2 di MBA di ITB, maka dia kemudian mengajukan pengunduran diri dari perusahaan. Maka merdeka-lah dia.

Setelah keluar dari bank itu, dia kembali ke Bandung. Tabungannya dia gunakan untuk membuat sebuah mini market di dekat rumahnya. Karena dia merencanakan untuk menjadi konsultan freelance, maka dia tidak bisa menjaga mini marketnya itu sendiri. Sehingga dia mulai merekrut orang untuk menjaga dan mengelola mini marketnya.

Pada saat itu dia teringat pertanyaan2 seputar topeng monyet yang pernah berkecamuk di dipikirannya dulu. Dia berfikir kalau semua orang berfikiran sama seperti yang dia fikirkan, maka nggak akan ada orang yang mau kerja sama dengan dia. Dia kemudian mulai berfikir juga bahwa sebenarnya si tukang topeng monyet itu juga mulia karena membuka lapangan pekerjaan untuk makhluk lain (monyet, red).

Pemikirannya mulai bergeser lagi dari pemikiran sebelumnya seiring dengan pengalaman yang dia alami setelah keluar dari perusahaan. Kalau dia dulu dalam bekerja diatur oleh atasan, sekarang yang mengatur saya (sebagai pengusaha mini market dan konsultan) adalah customer/klien2 dia. Jadi sepertinya sama saja, kita hidup ini kan saling membutuhkan. Tidak ada orang yang dapat hidup sendiri. Setiap pilihan memiliki trade-off, ada kurang dan ada lebihnya.

Tapi kemudian dia menonjolkan aspek manfaatnya dari pilihan yang dia ambil saat itu. Sekarang saya jauh lebih dekat dengan anak2. “Saya jadi sadar bahwa sebenarnya anak2 saya itu membutuhkan dia dalam banyak momen yang tidak bisa diperankannya kalau saya tidak “merdeka””, lanjutnya mengakhiri ceritanya.

Obrolan ini sangat menarik dan inspiring buat saya. Mungkin karena kesibukan dan rutinitas, saya jadi kurang memikirkan sebenarnya apa sih obyektif utama saya. Apa sih dari fenomena2 yang sering saya lewati. Sering kali saya hanya menggunakan “arloji” untuk melakukan aktifitas sehari-hari supaya aktifitas yang saya lakukan ini bisa sukses secara cepat dan efisien. Tapi sering saya terlupa untuk menggunakan “kompas”, dalam artian sebenarnya kemana sih arah prioritas yang saya cita2kan dalam hidup ini. Karena untuk sukses kita tidak hanya butuh cepat dan efisien, tapi juga arah yang benar. Tentunya sebelum itu kita harus sudah menetapkan kemana arah yang ingin kita tuju tersebut. Mengutip kata Konfusius filosof Cina kuno: “if you don’t know what you are looking for, you will never know when you find it”.

Al-Quran berkali-kali mengingatkan kita untuk selalu memikirkan fenomena-fenomena yang ada di sekitar kita. Jangan hanya menjadi pengintip yang hanya bisa menonton fenomena tanpa bisa melakukan apapun. Jadi berfikir adalah sebuah kebutuhan dan kewajiban secara aqli maupun naqli, secara intelektual maupun spiritual. So, sudahkah kita berfikir? [undzurilaina]

Friday, November 7, 2008

Bingung


Suatu waktu saya dapat SMS dari Indosat yang berbunyi kira2: “Bingung car tempat kongkow? Ketik Reg …”. Membaca SMS tsb saya jadi geli dan juga bingung sekaligus. Masak iya sich cari tempat kongkow saja bisa jadi suatu masalah yang layak untuk dibingungkan??


Menjelang lebaran kemarin, ada salah seorang tetangga orang tua saya yg bingung karena belum belikan baju baru yang dimaui anaknya. Padahal semua orang tahu bahwa ia sehari-harinya masih sangat sering kelabakan untuk biaya makan sehari-hari. Lantas saya mikir lagi, apakah memang masalah baju baru menjadi sebegitu prioritasnya untuk dibingungkan olehnya? Kalaupun misalnya ada dana yang cukup untuk beli baju baru, apakah nggak lebih penting untuk dibuat cadangan makan saja? Atau dibuat bikin gerobak gorengan di simpang sana agar besok2 dia nggak perlu lagi kelabakan kemana2??

Di kesempatan dan tempat yang lain lagi, saya ketemu dengan seorang manajemen perusahaan yang kebingungan untuk menyalurkan dana yang sudah dianggarkan untuk tahun berjalan. Saya terus mikir, “Lah dulu planningnya kumaha sih kok bisa ada budget tapi nggak tahu buat apaan?”. Dan kasus seperti ini sering dijumpai. Sama seringnya dengan perusahaan2 yang terpaksa tutup karena cash flow yang bingung akibat tidak dapat proyek.

Jadi sebenarnya apa sih yang bisa ditarik dari fenomena “bingung” ini?

Pertama, bahwa penyebab kebingungan bisa berbeda-beda antara satu orang dengan orang lainnya. Untuk memahami kebingungan seorang seringkali kita harus melepaskan kacamata kita dan menggunakan kacamata yg digunakan orang tsb.

Kedua, terkadang karena kurang berfikir jernih, kita membingungkan sesuatu yang semestinya tidak perlu dibingungkan. Ketidak berhasilan kita menentukan skala prioritas permasalahan membuat kita membingungkan sesuatu yang kurang penting/pantas untuk dibingungkan. First thing First, kata Steven Covey. Dahulukan yang lebih penting ketimbang yang penting, kata para ahli fiqih.

Ketiga, Seseorang bingung pada dasarnya karena dia kurang memiliki pengetahuan dan petunjuk yang cukup tentang permasalahan yang sedang dihadapinya. Kebingungannya akan hilang dengan sendirinya ketika dia sudah memiliki pengetahuan/petunjuk yang cukup tentang permasalahannya. Oleh karena itu sering kali kebingungan bisa menjadi pemicu seseorang untuk menambah pengetahuan. Terkadang karena bingung juga bisa menyambung silaturahim dengan orang lain karena harus menghubungi orang lain untuk bertanya, konsultasi, belajar, dsb.

Bahkan “bingung/keraguan” yang positif ini dianjurkan untuk selalu kita pegang. Imam Ali bin Abi Thalib kw pernah berkata: “Tak seorangpun dapat menemukan kebenaran sebelum ia sanggup berfikir bahwa jalan kebenaran itu sendiri mungkin salah.” Karena sikap bahwa pendapat kita saat ini mungkin salah, maka kita jadi terpacu untuk terus mengkaji, belajar dan belajar terus untuk menemukan yang lebih baik dan lebih baik lagi.

Terakhir, di milis alumni SMA saya, ada salah seorang teman berkata: “punya uang bingung, nggak punya uang bingung. Mendingan kawin aja…”. Kali ini saya jadi bingung, mau jawab apa. Speechless! [undzurilaina]