Monday, December 17, 2007

Semut & Lalat

Beberapa ekor lalat nampak terbang berpesta diatas sebuah tong sampah didepan sebuah rumah. Suatu ketika anak pemilik rumah keluar dan tidak menutup kembali pintu rumah kemudian nampak seekor lalat bergegas terbang memasuki rumah itu. Si lalat langsung menuju sebuah meja makan yang penuh dengan makanan lezat. "Saya bosan dengan sampah-sampah itu, ini saatnya menikmati makanan segar" katanya.

Setelah kenyang si lalat bergegas ingin keluar dan terbang menuju pintu saat dia masuk, namun ternyata pintu kaca itu telah terutup rapat. Si lalat hinggap sesaat di kaca pintu memandangi kawan-kawannya yang melambai-lambaikan tangannya seolah meminta agar dia bergabung kembali dengan mereka.

Si lalat pun terbang di sekitar kaca, sesekali melompat dan menerjang kaca itu, dengan tak kenal menyerah si lalat mencoba keluar dari pintu kaca. Lalat itu merayap mengelilingi kaca dari atas ke bawah dan dari kiri ke kanan bolak-balik demikian terus dan terus berulang-ulang. Hari makin petang si lalat itu nampak kelelahan dan kelaparan dan esok paginya nampak lalat itu terkulai lemas terkapar di lantai.

Tak jauh dari tempat itu nampak serombongan semut merah berjalan beriringan keluar dari sarangnya untuk mencari makan dan ketika menjumpai lalat yang tak berdaya itu, serentak mereka mengerumuni dan beramai-ramai menggigit tubuh lalat itu hingga mati. Kawanan semut itu pun beramai-ramai mengangkut bangkai lalat yang malang itu menuju sarang mereka.

Dalam perjalanan seekor semut kecil bertanya kepada rekannya yang lebih tua "Ada apa dengan lalat ini Pak?, mengapa dia sekarat?".

"Oh.. itu sering terjadi, ada saja lalat yang mati sia-sia seperti ini, sebenarnya mereka ini telah berusaha, dia sungguh-sungguh telah berjuang keras berusaha keluar dari pintu kaca itu namun ketika tak juga menemukan jalan keluar, dia frustasi dan kelelahan hingga akhirnya jatuh sekarat dan menjadi menu makan malam kita" Semut kecil itu nampak
manggut-manggut, namun masih penasaran dan bertanya lagi "Aku masih tidak mengerti, bukannya lalat itu sudah berusaha keras? Kenapa tidak berhasil?".

Masih sambil berjalan dan memangggul bangkai lalat, semut tua itu menjawab "Lalat itu tak kenal menyerah dan telah mencoba berulang kali, hanya saja dia melakukannya dengan cara-cara yang sama".

Semut tua itu memerintahkan rekan-rekannya berhenti sejenak seraya melanjutkan perkataannya namun kali ini dengan mimik dan nada lebih serius: "Ingat anak muda, jika kamu melakukan sesuatu dengan cara yang sama namun mengharapkan hasil yang berbeda, maka nasib kamu akan seperti lalat ini".

"Para pemenang tidak melakukan hal-hal yang berbeda, mereka hanya melakukannya dengan cara yang berbeda" [undzurilaina]

“Jalan Tikus” yang Banyak menuju “Jalan Tol” yang Satu

Dalam sebuah diskusi, saya teringat salah satu ceramah tafsir ust Quraish Syihab ketika membahas surat al-Fatihah. Ada penjelasan yang menarik ketika beliau menjelaskan kata "shirat al-mustaqim". Seperti biasa, beliau membedah kata-per-kata dan bagaimana al-Quran menggunakan kata tersebut dan yang semakna dengannya.

Beliau mengatakan, al-Quran menggunakan beberapa kata yg bermakna "jalan". Diantaranya adalah kata "shirath" dan "sabil". Ada beberapa perbedaan antara kedua kata tsb, antara lain beliau menyebutkan:
- Kata "shirat" selalu digunakan sebagai singular (tunggal). Jadi "shirat" itu selalu cuma ada satu. Sedangkan kata "sabil" bisa tunggal bisa jamak (yaitu: ”subuul”).
- Kata "shirat" selalu berkonotasi atau disandingkan dengan hal-hal yang positif (misal: shirat al-mustaqim, shirat Allah, shirat al-ladziina an'amta alaihim, dst). Sedangkan kata "sabil" bisa positif bisa negatif (misal: subuul as-Salam=jalan-jalan kedamaian, sabil at-Thaguut=jalan penguasa zalim, dst).

Kemudian beliau melanjutkan lagi, bahwa "shirat" itu dari akar katanya bermakna sesuatu yang lebar. Akar katanya dari kerongkongan, yang dimana pasti yang lewat kerongkongan adalah sesuatu yang lebih kecil. Jadi "shirat" itu adalah sesuatu yang lebar, dapat diibaratkan seperti jalan tol, lanjutnya.
Sedangkan ”sabil” diibaratkan seperti jalan-jalan lorong yg kecil. Setiap orang bisa melalui banyak jalan lorong-lorong untuk sampai kepada jalan tol yang satu tadi. Orang bisa memilih jalan lorong-lorong kecil itu asal bercirikan kedamaian (subuul as-salam).

Oleh karena itu, kita selalu berdoa ihdina as-shirat al-mustaqim , bimbing kami ke "jalan tol" yang satu itu, agar kami tidak mungkin lagi tersesat kecuali sampai di pintu keluar tol. Kalau jalan-jalan yang kecil, kami masih mungkin tersesat, dst. Beliau juga menjelaskan perbedaan makna antara "ihdina shirat al-mustaqiim" dengan kalau ditambahkan kata "ila" (ke) antara "ihdina" dengan "shirat", seperti digunakan dalam ayat al-quran yang lain. Kalau tanpa kata "ila" seperti dalam surat al-Fatihah itu yang dimaksud adalah meminta bimbingan (taufiq), bukan sekedar minta petunjuk, tapi minta dibimbing/diarahkan/diantarkan ke shirat al-mustaqiim tersebut.

Jadi intinya, orang bisa menempuh jalan-jalan tikus (baca: pendapat/madzhab) yang jumlahnya mungkin banyak asal bercirikan kedamaian. Sambil kita terus berdoa minta bimbingan (taufiq) Allah menuju jalan tol yang satu (shirat al-mustaqiim). Begitu menurut beliau secara sederhananya. Semoga kita terus mendapatkan bimbingan-Nya dengan tidak mengklaim sebagai pemilik tunggal "jalan tol" yang sangat lebar itu, padahal jelas dinyatakan bahwa banyak jalan untuk menuju ke sana. Amien. [undzurilaina]

MISS FALASI

Oleh: Muhsen Labib

Semua ayam makan kotoran
Semua manusia makan ayam
Semua manusia makan kotoran

Itulah falasi. Meski terdengar indah dan modis, ia bukankah nama seorang selebritis. Falasi berasal dari fallacia atau falaccy dalam bahasa Yunani dan Latin yang berarti ‘sesat pikir’. Falasi didefinisikan secara akademis sebagai kerancuan pikir yang diakibatkan oleh ketidakdisiplinan pelaku nalar dalam menyusun data dan konsep, secara sengaja maupun tidak sengaja. Ia juga bisa diterjemahkan dalam bahasa sederhana dengan ‘ngawur’.


Begitu banyak manusia yang terjebak dalam lumpur falasi, sehingga diperlukan sebuah aturan baku yang dapat memandunya agar tdak terperosok dalam sesat pikir yang berakibat buruk terhadap pandangan dunianya. Seseorang yang berpikir tapi tidak mengikuti aturannya, terlihat seperti berpikir benar dan bahkan bias mempengaruhi orang lain yang juga tidak mengikuti aturan berpikir yang benar. Karena itu, al-Qur’an sering kali mencela bahwa ‘sebagian besar manusia tidak berakal’, tidak berpikir’, dan sejenisnya.

Para logikawan menyebutkan tiga kategori falasi yang sering dilakukan manusia;

Pertama, falasi formal (kengawuran bentuk), yaitu kerancuan yang terjadi karena melanggar ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam penalaran yang benar. Ia dapat diidentifikasi dalam kasus dan kondisi sebagai berikut: 1. Apabila dalam sebuah deduksi terdapat empat terma, maka deduksi tersebut tidak valid. 2. Apabila terma premis tidak berdistribusi, namun konklusi berdistribusi. 3. Apabila terma tengah tidak terdistribusi, padahal untuk memperoleh konklusi yang benar terma sekurang-kurangnya satu kali terdistribusi. 4. Apabila konklusi dihasilkan dari dua premis negatif, padahal dari dua premis negatif tidak dapat ditarik konklusi yang benar.

Kedua, falasi material (kengawuran isi), yaitu kerancuan karena kekeliruan dalam menyusun isi atau materi penalaran, bukan pada bahasa atau tampilan (forma)-nya. Falasi material terjadi dalam kondisi-kondisi sebagai berikut; 1. Apabila argumentasi yang diajukan tidak tetuju persoalan yang sesungguhnya, tetapi terarah kepada pribadi yang menjadi lawan bicara. Ini disebut dengan argumen terhadap lawan bicara (agumentum ad hominem). 2. Apabila argumentasi diajukan untuk memojokkan atau mempermalukan lawan bicara. Perhatikan contoh berikut ini: “Jika anda memang seorang pembela kebenaran, maka anda pasti membenarkan pandangan saya”. “Hanya orang berakallah yang menerima pendapat kami.” Ini disebut dengan argumentum ad verecundiam. 3. Apabila argumentasi yang diajukan berdasarkan kewibawaan atau pengaruh besar seseorang, bukan berdasarkan penalaran.
Perhatikan contoh berikut ini: “Saya yakin apa yang dikatakannya, karena ia pemimpin partai besar”. Ini disebut dengan argumentum auctoritatis. 4. Apabila argumen yag diajukan berupa ancaman dan desakan lawan bicara agar menerima suatu konklusi tertentu, dengan alasan bahwa jika menolak, akan berdampak negatif terhadap dirinya. Ini disebut dengan argumentum ad misericordiam. 5. Apabila argumentasi yang diajukan demi memperoleh rasa iba dan kasihan dari lawan bicara agar diampuni. Ini disebut dengan argumentum ad populum. 6. Apabila argumentasi diajukan untuk meprovokasi dan membangkitkan emosi massa atau sekelompok orang, dengan alasan bahwa pemikiran yang melatarbelakangi program adalah demi kepentingan rakyat atau kelompok itu sendiri, agar pemkirannya diterima. Ini dikenal dengan argumentum ad misericordiam. 7. Apabila kita memastikan bahwa sesuatu itu tidak ada karena kita tidak mengetahui apa pun juga mengenai sesuatu itu atau karena belum menemukannya, maka itulah sesat pikir. Ini disebut dengan argumentum ad ignorantiam.

Ketiga, falasi diksional, yaitu kerancuan yang terjadi karena kekeliruan dan kesalahan bahasa (baik disengaja maupun tidak). Falasi diksional terjadi dalam kondisi-kondisi sebagai berikut: 1. Apabila menggunakan terma bermakna ganda (ekuivokal). 2. Apabila menggunakan terma metaforis (kata yang tidak digunakan untuk arti asalnya), seperti kata atau gelar “ujung tombak” yang diberikan kepada pemain sepakbola yang berposisi sebagai penyerang. 3. Apabila menggunakan kata yang bermakna ganda karena aksen dan mimik, seperti kata “apel” yang bila diujarkan dengan vokal tertentu berarti buah, dan bila diucapkan dengan vokal tertentu lainnya berarti “pertemuan”. 4. Apabila menggunakan kata amfibolik (yang mengundang penafsiran beragam), seperti “Ali mencintai isterinya, demikian pula saya”. Kalimat itu bisa ditafsirkan dengan dua cara: Pertama, “Ali mencintai isterinya, saya juga mencintai isterinya”. Kedua, Ali mencintai isterinya. Saya juga mencintai isteri saya”.

Sesat-pikir biasanya menimbulkan kesalahan logis. Kesalahan logis yang terpenting adalah sebagai berikut:
1. Generalisasi, yaitu pemberlakuan secara umum suatu atau beberapa hal atas semua hal tanpa bukti yang cukup, seperti pernyataan “semua orang batak bertabiat keras”, “semua orang yang bertubuh pendek licik”.


2. Penggunaan slogan atau semboyan yang memuat sikap emosional yang tidak objektif, seperti “pokoknya, siapapun yang menentang kebijaksanaan Presiden adalah pelaku makar!”

3. Apabila menolak suatu ide hanya karena tidak dimengerti, seperti pernyataan orang yang tidak mengerti tentang antariksa “mencapai bulan adalah mustahil” atau dengan cara bertanya, “mana mungkin manusia mencapai bulan’!!.


Ada dua pelaku falasi, yaitu pelaku yang sengaja ber-falasi (sofisme), dan pelaku yang tidak sadar berfalasi (paralogisme). Umumnya yang sengaja berfalasi adalah orang menyimpan tendensi pribadi dan lainnya. Sedangkan yang berpikir ngawur tanpa menyadarinya adalah orang yang tidak menyadari kekurangan dirinya atau kurang bertanggung-jawab terhadap setiap pendapat yang dikemukakannya.


Falasi sangat efektif dan manjur untuk melakukan sejumlah aksi amoral, seperti mengubah opini publik, memutar balik fakta, pembodohan publik, provokasi sektarian, pembunuhan karakter, memecah belah, menghindari jerat hukum, dan meraih kekuasaan dengan janji palsu.
“Semua aliran dan golongan yang tidak sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah adalah sesat” adalah contoh paling sempurna sebuah falasi, karena pengujar menganggap siapa saja yang tidak sama dalam menafsirkan teks ‘al-Qur’an dan teks Sunnah dengan model penafsirannya atau golongannya sama dengan tidak mengikuti al-Qur’an dan Sunnah.


Ternyata isi ‘Miss Falasi’ tak seindah namanya. (Copyright majalah ADIL)

“Islam Jawa”? May be YES, May be NO

Beberapa waktu yang lalu ada sebuah diskusi yang sebenarnya cukup menarik terjadi di sebuah milis dengan subject ”Islam Jawa”. Hanya saja sayangnya diskusi tersebut berakhir secara prematur sebelum jelas duduk perkaranya. Salah seorang peserta diskusi mengajukan konsep “Islam Jawa” sebagai sebuah konsep matang penerapan Islam yang telah menemukan bentuknya di tanah Jawa. Sebelum menerima atau menolak konsep “Islam Jawa” tsb menurut saya selayaknya istilah tersebut didefinisikan dengan jelas terlebih dahulu. Sehingga setiap orang memiliki acuan yang jelas untuk mendedahnya dan mendiskusikannya lebih jauh dan kemudian menerima, menolaknya atau menerima/menolak dengan catatan.

Sepengetahuan saya, masyarakat (sosial) sebenarnya adalah kumpulan individu. Masyarakat adalah sekelompok manusia yang terjalin erat karena sistem tertentu, tradisi tertentu, konvensi dan hukum tertentu yang sama dan hidup bersama.

Dalam salah satu ayatnya, al-Quran mengatakan:
"Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaannya." (QS. al-An'âm: 108)

Ayat tersebut menunjukkan bahwa setiap umat/masyarakat/bangsa memiliki pandangan yang khas, cara pikir yang khas dan standard yang khas pula. Setiap bangsa rnemiliki cara yang khas dalam melihat dan memahami sesuatu. Penilaian setiap bangsa didasarkan pada standard-standard khas-nya tersebut. Setiap bangsa rnemiliki seleranya sendiri. Perbuatan yang tampak baik bagi satu bangsa, mungkin tampak tidak baik bagi bangsa yang lain. Lingkungan sosial suatu bangsalah yang menentukan selera individu bangsa tersebut. Kebenaran konsep "Jawa" atau ”Batak” atau ”Arab” atau ”Badui”, dst itu tidak sepenuhnya universal, hanya betul sepenuhnya menurut standardnya Jawa. Ada sebagian yang bisa diterima secara universal (sesuai dengan fitrah manusia) dan ada yang hanya berlaku secara lokal di masyarakat yang bersangkutan saja. Sedangkan Islam adalah agama yang universal, untuk semua masyarakat, semua bangsa, semua ummat dan semua zaman.

Apalagi kalau kemudian kita melihat lebih dalam lagi, maka kita akan menemukan bahwa dalam sebuah masyarakat itu sendiri majemuk, tidak sepenuhnya homogen. Setiap individu yang menjadi bagian dari suatu masyarakat bisa setuju atau tidak setuju terhadap karakter khas dari masyarakatnya. Imam Ali bin Abi Thalib as pernah bilang: "Sesungguhnya yg membentuk sebuah masyarakat adalah tidak setuju dan setuju (sukhtu wa ridha)". Jadi setiap individu bisa menolak untuk mengikuti apa yang sudah jadi karakter atau standard yang berlaku di masyarakatnya, apabila menurutnya itu tidak baik (tidak sesuai fitrahnya). Bukankah dulu Nabi SAW memilih untuk tidak setuju thd konsep dan tradisi yang berlaku di Makkah. Ketika seseorang merasa tidak berdaya untuk menolak apa yang berlaku pada masyarakatnya, al-Quran berkata:

"Bukankah bumi Allah luas sehingga kamu dapat ke mana saja." (QS. an-Nisâ': 97)

Jadi bukan diminta untuk meleburkan prinsip-prinsip Islam yang luhur dengan budaya daerah/masyarakat tertentu. Islam itu bersifat universal, cocok untuk masyarakat manapun.

Hanya saja –ini perlu digaris-bawahi dan dicetak tebal—ketika disampaikan, diperlukan cara yang tepat (masih dalam koridor prinsip-prinsip islam baik yang bersifat umum ataupun khusus) dan disesuaikan dengan masyarakat yang akan menerima atau melaksanakannya. Mungkin diperlukan beberapa pentahapan sampai akhirnya fully comply dengan ajaran Islam sepenuhnya.

Ketika pertama kali membaca subject "Islam Jawa", saya punya dugaan bahwa yang dimaksud lebih banyak sebagai strategi dakwah Islam kepada orang "Jawa dulu", bukan sebuah "sekte/madzhab" baru. Saya mengatakan "jawa dulu", karena saat Islam mau masuk ke jawa dulu, pengaruh Hindu, Budha, Animisme, dinamisme masih sangat-sangat besar dan kuat melekat di masyarakat. Terbukti dengan adanya mega-mega proyek seperti Borobudur, Prambanan, Mendut, dan puluhan candi-candi besar nan megah lainnya. Jadi mutlak perlu cara yang tepat jitu untuk bisa mendakwahkan sesuatu yg baru kepada masyarakat seperti itu. Strategi yang berbeda dengan strategi dakwah di daerah lain seperti Padang/Aceh/Arab, misalnya. Sehingga akibat dari itu, dalam prosesnya muncullah ke-khas-an "Islam Jawa", "Islam Padang", "Islam Lombok", "Islam Banjar", dll yang walaupun dalam penampakannya pernak-perniknya bisa beragam tapi isinya diusahakan tidak bertentangan dng "Islam genuine". Kalau tidak menggunakan cara begitu, mana mungkin Islam bisa masuk ke Jawa yang sudah begitu mendarah daging keyakinannya terhadap ajaran-ajaran polytheism menjadi monotheism.

Banyak contoh-contoh unik dari strategi Islamisasi Jawa, yang memperlihatkan kecerdasan para wali songo waktu itu. Di Jawa, ada tradisi ruwahan yang masih lekat hingga kini setiap bulan syaban, yaitu tradisi ziarah ke makam orang tua, sedekahan, dll. Komponen-komponen inti yang dijadikan sedekahan itu juga dimasuki pesan-pesan tertentu, seperti kue apem (yg berasal dari kata afuwwun=setiap mau masuk puasa itu mesti bermaaf-maaf-an), kue ketan (yang berasal dari kata khoto'an=kesalahan, bersuci dari kesalahan-kesalahan yang telah lalu), dll. Terus contoh lain ada upacara seserahan di pantai selatan untuk nyi roro kidul, yang kental dengan kesyirikan, kemudian pelan-pelan dimasuki ajaran-ajaran tauhid. Sehingga ketika kirab itu yang diucapkan adalah "La ilaha illa LLah...La ilaha illa LLah...La ilaha illa LLah". Secara halus dan tak sadar mereka telah berikrar monoteism (Tidak ada Tuhan Selain Allah). Dan banyak hal-hal unik lain yang digunakan sebagai strategi dakwah Islam di tanah Jawa. Ada "ning nong ning gung", ada "sekaten/syahadatain", ada wayang, dll. Dan ternyata itu terus bergeser seiring dengan perkembangan pemahaman dan intelektual dari orang-orang Jawa. Kalau sekarang kita lihat acara-acara di kraton-kraton jawa itu sering diisi dengan tadarusan al-Quran, dll. Acara-acara yang nyleneh-nyleneh mulai dikikis karena perkembangan intelektual orang-orang Jawa. Belum lagi kalau kita lihat kultur islam di daerah-daerah lain, ada tradisi meugang di Aceh. Di Banjar, lombok mungkin lain lagi, dst. Itu dari sisi kultur geografis. Belum lagi kalau kita bicara dari sisi zamannya, sepertinya juga mesti mengikuti zamannya.

Salah satu contoh yang sangat menarik adaha bahwa thawaf sudah dilakukan orang di zaman jahiliyyah. Islam tidak menggantinya, tapi menyesuaikannya. Thawaf pada zaman jahiliyyah beragam caranya, ada yang menyembah berhala, ada yang thawaf sambil telanjang, dsb. Islam datang membersihkan hal-hal yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, tapi tidak membuangnya.

Dalam al-Quran sering kita temukan ketika mensyariatkan sesuatu kemudian mengatakan "seperti dilakukan oleh orang-orang sebelum kamu". Jadi sepertinya al-Quran mengajarkan bahwa dalam berdakwah itu mesti juga mempertimbangkan kultur/kearifan lokal dan kearifan zamannya dengan tetap memperhatikan koridor prinsip-prinsip Islam baik yang umum ataupun yang khusus. Belakangan prinsip-prinsip seperti ini dirumuskan oleh banyak ahli sebagai konsep strategi Manajemen Perubahan. Ternyata Islam sudah mengatakannya jauh-jauh hari sebelumnya.

Jadi bagaimana dengan ”Islam Jawa”? Menurut saya, bergantung pada definisinya. Kalau didefinisikan sebagai peleburan (sinkretisme) Islam dengan budaya tanpa kecuali, maka saya akan bilang “NO”. Tapi kalau yang dimaksud adalah bahwa segala sesuatu dalam penerapannya harus mempertimbangkan kearifan lokal dan zamannya, maka saya akan bilang “YES”, memang seharusnya lah begitu. So, Islam Jawa? It’s may. May be YES, may be NO...[undzurilaina]

Thursday, December 6, 2007

Panggung Pertunjukan Annapolis


Oleh Abdillah Toha

Konferensi besar perdamaian Palestina dirancang dan diselenggarakan Amerika Serikat di Annapolis, AS, pada 27 November 2007. Hasilnya? Gagal total. Tidak lebih dari pertunjukan belaka.

Konferensi itu dihadiri hampir 52 negara dan organisasi internasional, termasuk Indonesia. Annapolis adalah sebuah kota kecil dengan penduduk kurang dari 500 ribu di Negara Bagian Maryland, dekat Washington DC.

Konferensi Annapolis tidak menghasilkan apa pun yang konkret untuk perdamaian di sana. Banyak pihak yang telah meramalkan hal itu. Sebelum berangkat, PM Israel Olmert menyatakan jangan berharap terlalu banyak dari Annapolis dan di sana nanti tidak akan ada keputusan yang bersifat spesifik. Bahkan, mungkin tidak akan ada pernyataan bersama Palestina-Israel.

Berbagai upaya melalui beberapa kali pertemuan Olmert-Abbas sebelum konferensi selalu gagal mewujudkan pernyataan bersama yang akan dijadikan referensi bagi pertemuan besar itu.

Pihak Israel menyatakan, perundingan Annapolis hanya akan "menghasilkan proses dalam rangka mewujudkan negara Palestina merdeka dengan lintas batas sementara". Entah kapan "proses perdamaian" itu akan berujung pada kesepakatan yang membawa perdamaian. Sebab, sejak era Kssinger sampai sekarang, ketika Amerika melibatkan diri dalam perundingan, selalu hanya menghasilkan "proses perdamaian", bukan perdamaian itu sendiri.

Itu semua sekarang terbukti. Annapolis hanya menghasilkan "janji" untuk melanjutkan dan menyelesaikan perundingan paling lambat sampai akhir tahun depan.

Bagaimana mungkin perundingan Annapolis mampu menghasilkan perdamaian bila tuntutan utama dan sah Palestina untuk merundingkan topik penting selalu ditolak Israel. Bahkan, sebelum pertemuan dimulai.

Israel selalu menolak berunding tentang Jerusalem Timur sebagai bagian Palestina, tidak mau merundingkan pengembalian jutaan pengungsi warga Palestina yang terusir ke luar negeri, menolak menghentikan pembangunan permukiman di daerah pendudukan. Mereka juga tidak bersedia membongkar dan menghentikan pembangunan tembok yang memisahkan warga Palestina dari keluarganya, tanah pertaniannya, dan tempat bekerjanya.

Warga Palestina saat ini seakan hidup di atas "pulau-pulau" di darat, kebebasan bergeraknya dibatasi dengan tembok pemisah, lahan yang diduduki Israel, serta pos-pos pemeriksaan yang tersebar di banyak tempat. Tanah yang awalnya milik Palestina kini diambil Israel. Pada awalnya 20 persen, kini Israel menguasai 88 persen dan sisanya, 12 persen, dibiarkan untuk warga Palestina dalam bentuk terpisah-pisah.

Panggung Politik Washington

Berbagai perundingan perdamaian sebelumnya gagal. Terakhir adalah kuartet Timur Tengah yang terdiri atas Amerika, Uni Eropa, Rusia, dan PBB. Kemungkinan tercapainya kesepakatan di Annapolis lebih diperparah oleh kenyataan bahwa kepemimpinan kedua pihak yang berunding, Olmert dan Abbas, sangat lemah. Olmert menjadi sangat lemah secara politis setelah kegagalannya mengalahkan Hizbullah dalam serangan ke Lebanon pada Juli tahun lalu.

Abbas menghadapi perpecahan, baik di tubuh faksi Fatah sendiri maupun perselisihan berdarah antara faksi Fatah dan faksi Hamas. Abbas dianggap tidak mampu mengendalikan pemerintahannya, terutama di Tepi Gaza yang saat ini sepenuhnya di bawah kendali Hamas, betapa pun Hamas terus-menerus ditekan dengan diisolisasikan dan sumber-sumber pendapatannya ditutup.

Kenyataan bahwa Hamas tidak diajak sebagai peserta konferensi itu telah menunjukkan betapa hasil konferensi, bila pun ada, akan sulit diimplementasikan.

Amerika, sebagai pemrakarsa dan penyelenggara, serta hampir seluruh peserta sadar akan semua kenyataan di atas.

Apa Motivasi AS?

Jadi, apa sebenarnya motivasi Amerika merancang pertemuan besar di Annapolis itu? Bagi Amerika dan Israel, kenyataan bahwa konferensi tersebut diselenggarakan sudah merupakan "sukses" tersendiri. Panggung politik Annapolis, sesuai perkiraan, paling banter menghasilkan "kesepakatan" bahwa Israel dan Palestina akan mengambil langkah-langkah lebih lanjut dalam perundingan mendatang. Itu ternyata benar terjadi dalam kesimpulan yang disampaikan dalam konferensi pers yang sangat buru-buru, bahkan tanpa teks yang diketik. Sementara itu, Israel akan terus menghukum dengan bom dan peluru kendali terhadap pejuang Palestina yang membangkang dan mengirim roket ke Israel.

Bush yang oleh banyak pihak, termasuk mantan Presiden Carter, dijuluki sebagai presiden terburuk dalam sejarah Amerika yang gagal total dalam politik luar negerinya sehingga sentimen anti-Amerika meluas di banyak negara, ingin menciptakan prestasi terakhir guna memperbaiki citranya sebelum akhir masa jabatannya yang tinggal setahun dengan mengumpulkan 50 negara dalam sebuah pertunjukan politik besar.

Kemungkinan lain adalah Amerika tadinya bermaksud menggunakan forum besar itu untuk mencari dukungan internasional bagi kebijakannya di Iraq yang di dalam negerinya sendiri mendapat kecaman keras dan rencananya dalam menghadapi "pembangkangan" Iran dalam soal nuklir. Agenda itu juga tidak dilanjutkan karena konferensi hanya dihadiri wakil-wakil negara pada tingkat menteri luar negeri, bukan kepala pemerintahan.


Abdillah Toha, anggota Komisi I DPR