Beberapa waktu yang lalu ada sebuah diskusi yang sebenarnya cukup menarik terjadi di sebuah milis dengan subject ”Islam Jawa”. Hanya saja sayangnya diskusi tersebut berakhir secara prematur sebelum jelas duduk perkaranya. Salah seorang peserta diskusi mengajukan konsep “Islam Jawa” sebagai sebuah konsep matang penerapan Islam yang telah menemukan bentuknya di tanah Jawa. Sebelum menerima atau menolak konsep “Islam Jawa” tsb menurut saya selayaknya istilah tersebut didefinisikan dengan jelas terlebih dahulu. Sehingga setiap orang memiliki acuan yang jelas untuk mendedahnya dan mendiskusikannya lebih jauh dan kemudian menerima, menolaknya atau menerima/menolak dengan catatan.
Sepengetahuan saya, masyarakat (sosial) sebenarnya adalah kumpulan individu. Masyarakat adalah sekelompok manusia yang terjalin erat karena sistem tertentu, tradisi tertentu, konvensi dan hukum tertentu yang sama dan hidup bersama.
Dalam salah satu ayatnya, al-Quran mengatakan:
"Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaannya." (QS. al-An'âm: 108)
Ayat tersebut menunjukkan bahwa setiap umat/masyarakat/bangsa memiliki pandangan yang khas, cara pikir yang khas dan standard yang khas pula. Setiap bangsa rnemiliki cara yang khas dalam melihat dan memahami sesuatu. Penilaian setiap bangsa didasarkan pada standard-standard khas-nya tersebut. Setiap bangsa rnemiliki seleranya sendiri. Perbuatan yang tampak baik bagi satu bangsa, mungkin tampak tidak baik bagi bangsa yang lain. Lingkungan sosial suatu bangsalah yang menentukan selera individu bangsa tersebut. Kebenaran konsep "Jawa" atau ”Batak” atau ”Arab” atau ”Badui”, dst itu tidak sepenuhnya universal, hanya betul sepenuhnya menurut standardnya Jawa. Ada sebagian yang bisa diterima secara universal (sesuai dengan fitrah manusia) dan ada yang hanya berlaku secara lokal di masyarakat yang bersangkutan saja. Sedangkan Islam adalah agama yang universal, untuk semua masyarakat, semua bangsa, semua ummat dan semua zaman.
Apalagi kalau kemudian kita melihat lebih dalam lagi, maka kita akan menemukan bahwa dalam sebuah masyarakat itu sendiri majemuk, tidak sepenuhnya homogen. Setiap individu yang menjadi bagian dari suatu masyarakat bisa setuju atau tidak setuju terhadap karakter khas dari masyarakatnya. Imam Ali bin Abi Thalib as pernah bilang: "Sesungguhnya yg membentuk sebuah masyarakat adalah tidak setuju dan setuju (sukhtu wa ridha)". Jadi setiap individu bisa menolak untuk mengikuti apa yang sudah jadi karakter atau standard yang berlaku di masyarakatnya, apabila menurutnya itu tidak baik (tidak sesuai fitrahnya). Bukankah dulu Nabi SAW memilih untuk tidak setuju thd konsep dan tradisi yang berlaku di Makkah. Ketika seseorang merasa tidak berdaya untuk menolak apa yang berlaku pada masyarakatnya, al-Quran berkata:
"Bukankah bumi Allah luas sehingga kamu dapat ke mana saja." (QS. an-Nisâ': 97)
Jadi bukan diminta untuk meleburkan prinsip-prinsip Islam yang luhur dengan budaya daerah/masyarakat tertentu. Islam itu bersifat universal, cocok untuk masyarakat manapun.
Hanya saja –ini perlu digaris-bawahi dan dicetak tebal—ketika disampaikan, diperlukan cara yang tepat (masih dalam koridor prinsip-prinsip islam baik yang bersifat umum ataupun khusus) dan disesuaikan dengan masyarakat yang akan menerima atau melaksanakannya. Mungkin diperlukan beberapa pentahapan sampai akhirnya fully comply dengan ajaran Islam sepenuhnya.
Ketika pertama kali membaca subject "Islam Jawa", saya punya dugaan bahwa yang dimaksud lebih banyak sebagai strategi dakwah Islam kepada orang "Jawa dulu", bukan sebuah "sekte/madzhab" baru. Saya mengatakan "jawa dulu", karena saat Islam mau masuk ke jawa dulu, pengaruh Hindu, Budha, Animisme, dinamisme masih sangat-sangat besar dan kuat melekat di masyarakat. Terbukti dengan adanya mega-mega proyek seperti Borobudur, Prambanan, Mendut, dan puluhan candi-candi besar nan megah lainnya. Jadi mutlak perlu cara yang tepat jitu untuk bisa mendakwahkan sesuatu yg baru kepada masyarakat seperti itu. Strategi yang berbeda dengan strategi dakwah di daerah lain seperti Padang/Aceh/Arab, misalnya. Sehingga akibat dari itu, dalam prosesnya muncullah ke-khas-an "Islam Jawa", "Islam Padang", "Islam Lombok", "Islam Banjar", dll yang walaupun dalam penampakannya pernak-perniknya bisa beragam tapi isinya diusahakan tidak bertentangan dng "Islam genuine". Kalau tidak menggunakan cara begitu, mana mungkin Islam bisa masuk ke Jawa yang sudah begitu mendarah daging keyakinannya terhadap ajaran-ajaran polytheism menjadi monotheism.
Banyak contoh-contoh unik dari strategi Islamisasi Jawa, yang memperlihatkan kecerdasan para wali songo waktu itu. Di Jawa, ada tradisi ruwahan yang masih lekat hingga kini setiap bulan syaban, yaitu tradisi ziarah ke makam orang tua, sedekahan, dll. Komponen-komponen inti yang dijadikan sedekahan itu juga dimasuki pesan-pesan tertentu, seperti kue apem (yg berasal dari kata afuwwun=setiap mau masuk puasa itu mesti bermaaf-maaf-an), kue ketan (yang berasal dari kata khoto'an=kesalahan, bersuci dari kesalahan-kesalahan yang telah lalu), dll. Terus contoh lain ada upacara seserahan di pantai selatan untuk nyi roro kidul, yang kental dengan kesyirikan, kemudian pelan-pelan dimasuki ajaran-ajaran tauhid. Sehingga ketika kirab itu yang diucapkan adalah "La ilaha illa LLah...La ilaha illa LLah...La ilaha illa LLah". Secara halus dan tak sadar mereka telah berikrar monoteism (Tidak ada Tuhan Selain Allah). Dan banyak hal-hal unik lain yang digunakan sebagai strategi dakwah Islam di tanah Jawa. Ada "ning nong ning gung", ada "sekaten/syahadatain", ada wayang, dll. Dan ternyata itu terus bergeser seiring dengan perkembangan pemahaman dan intelektual dari orang-orang Jawa. Kalau sekarang kita lihat acara-acara di kraton-kraton jawa itu sering diisi dengan tadarusan al-Quran, dll. Acara-acara yang nyleneh-nyleneh mulai dikikis karena perkembangan intelektual orang-orang Jawa. Belum lagi kalau kita lihat kultur islam di daerah-daerah lain, ada tradisi meugang di Aceh. Di Banjar, lombok mungkin lain lagi, dst. Itu dari sisi kultur geografis. Belum lagi kalau kita bicara dari sisi zamannya, sepertinya juga mesti mengikuti zamannya.
Salah satu contoh yang sangat menarik adaha bahwa thawaf sudah dilakukan orang di zaman jahiliyyah. Islam tidak menggantinya, tapi menyesuaikannya. Thawaf pada zaman jahiliyyah beragam caranya, ada yang menyembah berhala, ada yang thawaf sambil telanjang, dsb. Islam datang membersihkan hal-hal yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, tapi tidak membuangnya.
Dalam al-Quran sering kita temukan ketika mensyariatkan sesuatu kemudian mengatakan "seperti dilakukan oleh orang-orang sebelum kamu". Jadi sepertinya al-Quran mengajarkan bahwa dalam berdakwah itu mesti juga mempertimbangkan kultur/kearifan lokal dan kearifan zamannya dengan tetap memperhatikan koridor prinsip-prinsip Islam baik yang umum ataupun yang khusus. Belakangan prinsip-prinsip seperti ini dirumuskan oleh banyak ahli sebagai konsep strategi Manajemen Perubahan. Ternyata Islam sudah mengatakannya jauh-jauh hari sebelumnya.
Jadi bagaimana dengan ”Islam Jawa”? Menurut saya, bergantung pada definisinya. Kalau didefinisikan sebagai peleburan (sinkretisme) Islam dengan budaya tanpa kecuali, maka saya akan bilang “NO”. Tapi kalau yang dimaksud adalah bahwa segala sesuatu dalam penerapannya harus mempertimbangkan kearifan lokal dan zamannya, maka saya akan bilang “YES”, memang seharusnya lah begitu. So, Islam Jawa? It’s may. May be YES, may be NO...[undzurilaina]
No comments:
Post a Comment