Thursday, December 6, 2007

Panggung Pertunjukan Annapolis


Oleh Abdillah Toha

Konferensi besar perdamaian Palestina dirancang dan diselenggarakan Amerika Serikat di Annapolis, AS, pada 27 November 2007. Hasilnya? Gagal total. Tidak lebih dari pertunjukan belaka.

Konferensi itu dihadiri hampir 52 negara dan organisasi internasional, termasuk Indonesia. Annapolis adalah sebuah kota kecil dengan penduduk kurang dari 500 ribu di Negara Bagian Maryland, dekat Washington DC.

Konferensi Annapolis tidak menghasilkan apa pun yang konkret untuk perdamaian di sana. Banyak pihak yang telah meramalkan hal itu. Sebelum berangkat, PM Israel Olmert menyatakan jangan berharap terlalu banyak dari Annapolis dan di sana nanti tidak akan ada keputusan yang bersifat spesifik. Bahkan, mungkin tidak akan ada pernyataan bersama Palestina-Israel.

Berbagai upaya melalui beberapa kali pertemuan Olmert-Abbas sebelum konferensi selalu gagal mewujudkan pernyataan bersama yang akan dijadikan referensi bagi pertemuan besar itu.

Pihak Israel menyatakan, perundingan Annapolis hanya akan "menghasilkan proses dalam rangka mewujudkan negara Palestina merdeka dengan lintas batas sementara". Entah kapan "proses perdamaian" itu akan berujung pada kesepakatan yang membawa perdamaian. Sebab, sejak era Kssinger sampai sekarang, ketika Amerika melibatkan diri dalam perundingan, selalu hanya menghasilkan "proses perdamaian", bukan perdamaian itu sendiri.

Itu semua sekarang terbukti. Annapolis hanya menghasilkan "janji" untuk melanjutkan dan menyelesaikan perundingan paling lambat sampai akhir tahun depan.

Bagaimana mungkin perundingan Annapolis mampu menghasilkan perdamaian bila tuntutan utama dan sah Palestina untuk merundingkan topik penting selalu ditolak Israel. Bahkan, sebelum pertemuan dimulai.

Israel selalu menolak berunding tentang Jerusalem Timur sebagai bagian Palestina, tidak mau merundingkan pengembalian jutaan pengungsi warga Palestina yang terusir ke luar negeri, menolak menghentikan pembangunan permukiman di daerah pendudukan. Mereka juga tidak bersedia membongkar dan menghentikan pembangunan tembok yang memisahkan warga Palestina dari keluarganya, tanah pertaniannya, dan tempat bekerjanya.

Warga Palestina saat ini seakan hidup di atas "pulau-pulau" di darat, kebebasan bergeraknya dibatasi dengan tembok pemisah, lahan yang diduduki Israel, serta pos-pos pemeriksaan yang tersebar di banyak tempat. Tanah yang awalnya milik Palestina kini diambil Israel. Pada awalnya 20 persen, kini Israel menguasai 88 persen dan sisanya, 12 persen, dibiarkan untuk warga Palestina dalam bentuk terpisah-pisah.

Panggung Politik Washington

Berbagai perundingan perdamaian sebelumnya gagal. Terakhir adalah kuartet Timur Tengah yang terdiri atas Amerika, Uni Eropa, Rusia, dan PBB. Kemungkinan tercapainya kesepakatan di Annapolis lebih diperparah oleh kenyataan bahwa kepemimpinan kedua pihak yang berunding, Olmert dan Abbas, sangat lemah. Olmert menjadi sangat lemah secara politis setelah kegagalannya mengalahkan Hizbullah dalam serangan ke Lebanon pada Juli tahun lalu.

Abbas menghadapi perpecahan, baik di tubuh faksi Fatah sendiri maupun perselisihan berdarah antara faksi Fatah dan faksi Hamas. Abbas dianggap tidak mampu mengendalikan pemerintahannya, terutama di Tepi Gaza yang saat ini sepenuhnya di bawah kendali Hamas, betapa pun Hamas terus-menerus ditekan dengan diisolisasikan dan sumber-sumber pendapatannya ditutup.

Kenyataan bahwa Hamas tidak diajak sebagai peserta konferensi itu telah menunjukkan betapa hasil konferensi, bila pun ada, akan sulit diimplementasikan.

Amerika, sebagai pemrakarsa dan penyelenggara, serta hampir seluruh peserta sadar akan semua kenyataan di atas.

Apa Motivasi AS?

Jadi, apa sebenarnya motivasi Amerika merancang pertemuan besar di Annapolis itu? Bagi Amerika dan Israel, kenyataan bahwa konferensi tersebut diselenggarakan sudah merupakan "sukses" tersendiri. Panggung politik Annapolis, sesuai perkiraan, paling banter menghasilkan "kesepakatan" bahwa Israel dan Palestina akan mengambil langkah-langkah lebih lanjut dalam perundingan mendatang. Itu ternyata benar terjadi dalam kesimpulan yang disampaikan dalam konferensi pers yang sangat buru-buru, bahkan tanpa teks yang diketik. Sementara itu, Israel akan terus menghukum dengan bom dan peluru kendali terhadap pejuang Palestina yang membangkang dan mengirim roket ke Israel.

Bush yang oleh banyak pihak, termasuk mantan Presiden Carter, dijuluki sebagai presiden terburuk dalam sejarah Amerika yang gagal total dalam politik luar negerinya sehingga sentimen anti-Amerika meluas di banyak negara, ingin menciptakan prestasi terakhir guna memperbaiki citranya sebelum akhir masa jabatannya yang tinggal setahun dengan mengumpulkan 50 negara dalam sebuah pertunjukan politik besar.

Kemungkinan lain adalah Amerika tadinya bermaksud menggunakan forum besar itu untuk mencari dukungan internasional bagi kebijakannya di Iraq yang di dalam negerinya sendiri mendapat kecaman keras dan rencananya dalam menghadapi "pembangkangan" Iran dalam soal nuklir. Agenda itu juga tidak dilanjutkan karena konferensi hanya dihadiri wakil-wakil negara pada tingkat menteri luar negeri, bukan kepala pemerintahan.


Abdillah Toha, anggota Komisi I DPR

No comments:

Post a Comment