Nah, suatu ketika warga dikejutkan dengan hilangnya terompet tersebut. Maka bingunglah penjaga dan seluruh warga kota itu. Penjaga toilet bingung, tanpa terompet itu bagaimana dia bisa memberi tahu ke seluruh warga kalau toilet sudah buka. Warga kota itu juga bingung, tanpa terompet itu bagaimana mereka bisa tahu kalau toilet sudah buka.
Akhirnya, semua sepakat untuk mencari ganti terompet yang hilang itu. Setelah susah payah, akhirnya mereka menemukan seorang yang menjual terompet. Walaupun dengan harga yang 10 kali lipat dari harga semestinya, warga pun tetap membeli terompet itu.
Transaksi penjualan terompet dengan harga luar biasa itu ternyata dilihat oleh seorang pendatang. Pendatang tersebut jadi penasaran kenapa terompet itu bisa dijual dengan harga setinggi itu. Setelah mengetahui hal itu karena ketergantungan warga kota itu terhadap terompet, maka ia langsung tergiur untuk berjualan terompet di kota itu. Barangkali yang terbayang di pikirannya saat itu adalah hukum supply demand yang bisa membuatnya cepat kaya.
Keesokan harinya dia kulakan terompet dari luar daerah, dan kemudian dia jajakan di alun-alun kota yang ramai. Tapi di luar dugaannya ternyata terompet jualannya itu tidak laku sama sekali. Bingunglah dia dan tak habis pikir kenapa teori ”supply demand” kok tidak jalan di sini. Sejenak kemudian ada seorang saudagar kaya menghampiri si penjual terompet itu. Saudagar kaya itu kemudian bertanya: ”Apakah engkau bingung kenapa barang dagangan mu tidak laku?”. ”Iya, pak”, jawab penjual terompet itu tangkas. Saudagar itu kembali bertanya: ”Apa alasanmu menjual terompet itu di sini?”. Lalu si penjual itu pun menceritakan latar belakang dia berjualan terompet itu.
Saudagar kaya itu kemudian berkata: ”Ah, berarti engkau kurang cermat! Toilet di kota ini hanya ada dua, jadi tidak mungkin terompetmu akan laku. Lagipula kau tidak tahu karakter orang daerah ini”.”Apa maksudmu, wahai saudagar?”, tanya pedagang terompet itu.
”Ah, kau tak perlu tahu. Berikan padaku 1 terompet. Akan kutunjukkan karakter orang daerah ini.”, kata si saudagar itu. Pedagang terompet itu pun segera memberikannya sambil bertanya: ”Memang apa yang akan kau lakukan, wahai saudagar?”. ”Lihat saja besok!”, jawab saudagar kaya.
Keesokan harinya pedagang itu dibuat terheran-heran dengan apa yang dilakukan oleh saudagar kaya tersebut. Saudagar itu menjadikan terompet jualannya sebagai tongkat dan dia gunakan berkeliling di keramaian. Orang-orang yang melihat pemandangan aneh itu bertanya-tanya tentang apa yang dilakukan oleh saudagar kaya tersebut. Tapi karena yang melakukannya adalah seorang saudagar kaya, maka orang-orang pun mulai menirunya. Dipikirnya itulah rahasianya saudagar tersebut bisa kaya. Lalu berbondong-bondonglah warga menghampiri sang saudagar untuk bertanya dimana bisa membeli terompet tersebut untuk mereka jadikan tongkat.
Saudagar itu langsung pergi menemui penjual terompet dan memborong semua terompet yang ada. Tak lama semua terompet nya sudah ludes terjual. Penduduk kota itu pun mulai bertongkatkan terompet, meniru apa yang dilakukan oleh saudagar kaya tadi.
Penjual terompet itu pun terheran-heran melihat kejadian yang baru saja ia alami itu.
Keesokan harinya sang saudagar tidak lagi menggunakan terompet sebagai tongkat. Penduduk kota yang kemarin beramai-ramai meniru itu pun jadi sangat menyesal.
Begitulah, saudagar itu benar2 mengetahui bahwa orang yang gampang ikut-ikutan adalah ”ladang emas” yang dengan sukarela memberikan ”emas” kepadanya untuk sesuatu yang belum jelas manfaatnya buat dia.
Orang yang mudah ikut-ikutan itu bak bunga yang membiarkan kuncup-kuncupnya layu tak berkembang hanya karena ingin memiliki sayap agar bisa terbang seperti kupu-kupu. Dia tidak berfikir bagaimana kuncup2 yang ia miliki bisa mekar dan menebar keharuman. Dia tidak menyadari bahwa tidak ada 2 individu yang benar-benar identik di dunia ini dalam semua sisinya. Selayaknya kita berfikir tentang menemukan dan memaksimalkan potensi yang ada pada diri kita, bukannya sibuk untuk menjadi orang lain. Orang-orang besar yang sukses adalah orang2 yang selalu kreatif dan inovatif. Orang-orang besar dan sukses tidak sibuk mengikuti pikiran orang lain, tapi dia selalu berusaha membuat sesuatu yang baru.
Sedang orang yang mudah untuk ikut-ikutan, biasanya akan selalu jadi objek pelengkap atau bahkan penderita dalam hidupnya. Energinya akan dihabiskan untuk meniru gaya orang lain yang belum tentu cocok dan baik dia ikuti.
Walaupun demikian perlu diketahui juga bahwa tidak semua meniru itu tidak baik. Meniru orang atau perbuatan yang baik dari orang yang memang layak untuk ditiru tentu itu adalah perbuatan yang semestinya. Yang tidak semestinya adalah ketika kita meniru perbuatan yang tidak tepat, dan dari orang yang tidak tepat pula. Layaknya sekawanan kambing yang dipimpin oleh seekor kambing jantan. Apabila sang kambing jantan yang ada di depan melompat (karena ada kayu rintangan), maka seluruh kambing yang mengikutinya pun semuanya ikut-ikutan melompat, walaupun kayu rintangan itu sudah disingkirkan.
Tiru-tiru kembang waru, wong sok niru ora mutu (orang yang suka niru nggak bermutu)”. [undzurilaina]
No comments:
Post a Comment