Nafsu makan saya dan istri mendadak hilang ketika melihat sebuah iklan di TV kemarin. Iklan yang –kalau tidak salah—dipersembahkan oleh PMI (karena ada pak JK, ketuanya, muncul disana), IDI (ada ketuanya pula muncul disitu), dan sebuah produk obat anti masuk angin untuk orang “pintar”.
Tentu bukan karena melihat orang2 itu kami kehilangan nafsu makan. Tapi karena melihat beberapa scene “menyeramkan” yang ditampilkan disana. Seperti scene yang menampilkan orang yang terkena kanker mata, muntah darahnya pengidap TBC, bayi hydrocephalus, dsb. Semula saya nggak tahu, sebenarnya ini iklan apa sih. Sampai akhirnya iklan itu ditutup oleh Lula Kamal yang menyampaikan anjuran untuk berobat ke dokter bila sakit. Ohh..?!
Saya lalu bertanya, apa iklan seperti ini efektif dalam menyampaikan pesan kepada para pemirsanya? Apakah iklan seperti ini juga cukup efektif untuk mempengaruhi para penontonnya untuk melakukan tindakan berobat ke dokter.
Malcolm Galdwell dalam bukunya mengungkapkan adanya sebuah penelitian tentang pengaruh “menakut-nakuti” yang dilakukan dilakukan terhadap para mahasiswa senior dari Yale University. Kepada para mahasiswa tersebut dibagikan brosur yang berisi anjuran untuk melakukan vaksinasi anti-tetanus. Hanya saja mereka dibagi dalam beberapa kelompok yang masing-masingnya akan menerima paket brosur yang berbeda dengan kelompok lainnya. Sebagian mahasiswa diberi paket brosur yang “sangat menyeramkan” yang memuat istilah dan gambar-gambar yang dramatis, lengkap dengan foto2 berwarna anak yang kejang tetanus, korban tetanus yang terpaksa pakai kateter untuk buang air kecil, yang dilubangi tenggorokannya, yang dipasang selang di hidungnya, dsb. Sementara kelompok mahasiswa yang lain menerima brosur versi “soft” dimana ia menerangkan risiko2 tetanus secara lebih tersamar dan bahkan tanpa gambar2.
Howard Levanthal, sang pakar psikologi yang melakukan penelitian ini, ingin mengetahui seberapa jauh sebenarnya dampak dari brosur2 tersebut terhadap perilaku mahasiswa tersebut terhadap tetanus, dan –yang lebih penting—terhadap kesediaan mereka untuk divaksinasi.
Seperti diduga, memang benar bahwa kelompok mahasiswa yang mendapatkan brosur “menyeramkan” lebih memilki pemahaman dan kesadaran tentang bahayanya tetanus dibandingkan dengan kelompok mahasiswa lainnya. Namun fakta itu menjadi tidak bermakna ketika ia tidak memiliki relevansi dengan kesadaran dari kelompok tersebut untuk pergi melakukan vaksinasi.
Ternyata penelitian tersebut menunjukkan bahwa proporsi jumlah mahasiswa yang melakukan vaksinasi dari kelompok brosur “menyeramkan” dan brosur “soft” sama saja. Artinya tanpa ditakut2i dengan gambar2 yang dramatis itu sebenarnya para mahasiswa sudah tahu dan sadar mengenai bahaya tetanus, dan apa yang harus mereka perbuat. Jadi dampak dari cara komunikasi menakut2i tersebut hanya berbeda sampai dengan tingkatan pemahaman (atau ngeh kata orang jawa). Tapi pada tingkatan amal real nya ia tidak memiliki relevansi alias sama saja dengan yang diberitahu dengan cara “soft”.
Itu salah satu kesimpulan Levanthal dalam penelitiannya kali ini.
Saya kemudian ingat, waktu kecil dulu saya sering membaca buku2 cerita yang menceritakan neraka dengan berbagai kisah menyeramkannya. Ada orang yang diseterika punggungnya, ada yang dipotong lidahnya, ada yang disuruh memakan –maaf— darah/nanah, ada yang ditusuk duburnya, dan hal-hal mengerikan lainnya lengkap dengan gambar visualisasi dan efek2 menyeramkan lainnya. Begitu juga guru2 di TK dan SD saya dulu juga menegaskan informasi yang sama secara verbal.
Tapi saya tidak melihat cara yang sama pada metode pendidikan yang diterapkan pada sekolah anak2 saya, setidaknya hingga saat ini. Setahu saya, metode pendidikan sekarang berusaha sebisa mungkin menghindari cara menakut-nakuti anak didik dalam menjelaskan sesuatu atau memberikan persuasi anak untuk melakukan sesuatu.
Dorothy Law, seorang ahli psikologi komunikasi, mengatakan bahwa anak belajar dari kehidupan di lingkungannya. Katanya ketika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia akan belajar rendah diri. Ketika anak dibesarkan dengan pujian, dia akan belajar menghargai. Jika anak dibesarkan dengan celaan, dia akan belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan ancaman, maka dia akan belajar mengancam. Jika anak dibesarkan dengan cinta dan kasih sayang, maka ia akan belajar untuk menemukan dan mencintai.
Mungkin ini yang dijadikan dasar oleh pendidikan modern untuk lebih banyak menggunakan pendekatan Cinta-Nya ketimbang menakut2i dengan Murka dan Ancaman Siksa-Nya? Bahwa Allah SWT itu memiliki kasih sayang yang meliputi segala sesuatu. Bahwa dari Allah hanyalah kebaikan dan karunia. Bahwa –seperti yang dilantunkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib (salam atasnya) dalam salah satu doanya—kalau bukan karena keputusan dan sumpah-Nya untuk menyiksa orang yang ingkar, tentu Dia akan menjadikan api seluruhnya sejuk dan damai, dan tidak akan ada lagi disitu tempat tinggal dan menetap bagi siapapun.
Tapi memang menerapkan metode seperti ini tidaklah mudah. Terutama bagi orang tua (termasuk saya tentunya) dan guru2 masa kini (gurunya manusia menurut istilah Pak Munif Chatib) yang merupakan produk lama pendidikan yang banyak berjejal konten2 menyeramkan.
Jadi kepada PMI, IDI dan obat untuk orang “pintar”, ternyata --menurut penelitian-- cara yang Anda gunakan untuk iklan berobat ke dokter dengan cara menakut2i itu tidak efektif jika ditujukan untuk mempengaruhi orang (apalagi orang “pintar”) untuk berobat ke dokter bila sakit. Kecuali kalau memang iklan itu ditujukan untuk mengurangi nafsu makan pemirsanya. Hmm..