Demi Waktu; Sesungguhnya manusia benar-benar di dalam kerugian.
Sebagian mufassir berpendapat bahwa jika sesuatu itu dijadikan sebagai obyek sumpah oleh Allah, maka pastilah sesuatu itu adalah sesuatu yang agung nan dahsyat nilainya. Dalam ayat yang dikutip di atas, Allah bersumpah dengan waktu. Sehingga dengan demikian berarti waktu adalah sesuatu yang besar nilainya dan perlu dengan sungguh-sungguh diperhatikan, kalau tidak maka pastilah manusia akan berada di dalam kerugian.
Batas pencapaian maksimal dari sebuah pekerjaan ditentukan oleh sumber daya (resources) yang paling terbatas. Untuk melakukan suatu pekerjaan kita bisa butuh orang yang mengerjakan, butuh biaya untuk mendanainya, mungkin juga butuh material2 tertentu, dan tentunya membutuhkan waktu untuk mengerjakannya. Diantara sumber daya tersebut, WAKTU adalah sumber daya yang paling terbatas.
Loh?! Memangnya mendapatkan orang itu mudah? Terus, uang? Kata orang tidak ada uang tidak ada bisnis. Malah ada pepatah barat yang menyejajarkan uang dengan waktu, time is money. Nah loh?!
Ya, memang tidak dapat dipungkiri faktor manusia adalah sumber daya penting yang seringkali langka dan susah dicari. Uang itu gizi, kurang uang maka hasilnya (kalau berhasil) juga jadi kurang gizi. Ya, memang semua sumber daya itu seringkali tidak mudah didapatkan. Tapi bukan berarti tidak dapat diusahakan. Orang bisa dicari dan uang masih bisa diusahakan. Tapi tidak dengan WAKTU.
WAKTU bersifat tetap, saklek, tidak elastis, tidak bisa ditambah atau dikurangi. Orang sibuk dan pengangguran sama2 punya modal waktu 24 jam sehari. Presiden Bank Dunia atau Donald Trumph –misalnya—tidak bisa memiliki privilege untuk membeli waktu tambahan. Pak Surip yang pekerjaannya ambil sampah hanya di pagi hari juga punya waktu 24 jam sehari, tidak ada discount. Tidak ada injury time. Pada waktu tidak berlaku hukum supply and demand. Waktu terus melaju, tidak bisa disimpan untuk digunakan lagi nanti. Waktu kemarin telah sirna untuk selamanya dan tak akan pernah kembali. Waktu itu ibarat pedang. Jika kita tidak memotongnya, maka dia yang akan memotongmu.
Segala sesuatu butuh waktu. Semua pekerjaan berlangsung di dalam waktu dan menyita waktu. Namun, kebanyakan orang (termasuk saya) seringkali tidak mempersoalkan sumber daya yang unik, tak tergantikan dan penting ini. Orang juga mudah kehilangan kepekaan terhadap waktu.
Ada sebuah eksperimen psikologi yang menarik. Bahwa orang yang tersekap dalam ruangan tanpa bisa melihat terang gelapnya hari di luar akan dengan segera kehilangan kepekaannya terhadap waktu. Dalam gelap gulita sekalipun, kebanyakan orang masih dapat mempertahankan kepekaan ruang. Namun sekalipun dengan lampu tetap benderang, beberapa jam di dalam ruangan tertutup membuat kebanyakan orang tak mampu memperkirakan berapa banyak waktu yang telah berlalu. Mereka hanya bisa merasakan bahwa waktu yang sudah dilewatkan dalam ruangan itu terlalu lama atau terlalu sebentar. Oleh karenanya, jika hanya bersandar pada ingatan, kita tidak tahu seberapa banyak waktu yang sudah dilalui.
Sewaktu menulis catatan ini, tiba-tiba meluncur pertanyaan di kepala saya, kemana perginya waktu-waktu saya? Kemana? Kemana? Fa aina tadzhabuun?
Duh..Benar, saya sudah lupa sebagian besar perginya waktu-waktu saya. Aktifitas-aktifitas yang saya ingat ternyata jika dihitung hanya menyedot sebagian kecil dari waktu-waktu saya. Sisanya tersebar menjadi fragmen-fragmen tak penting yang jika dikumpulkan saya yakin akan berada di peringkat teratas penyedot waktu-waktu saya.
Duh Gusti..aku bahkan tidak kenal waktuku sendiri.
Kalau aku tak ingat waktuku,
bagaimana mungkin aku ingat “Bala Syahidna” terhadap “alastu bi rabbikum”?
Kalau aku tak kenal waktuku,
bagaimana mungkin aku dapat mengenal diriku?
Kalau aku tak kenal diriku,
bagaimana mungkin aku mengenal Engkau?
Oh..Maha Benar Qaul-Mu, sungguh aku benar-benar dalam kerugian.
Oh..Pemeliharaku, bimbinglah aku dalam menjalani waktuku.
Oh..Sandaranku, jangan biarkan aku sendiri walau sesaatpun.
La ilaaha illa Anta, subhanaKa, inni kuntu mina adz-dzalimiin.