Mengenang Sanggahan Hamka
Hamka pernah menjadi sahabat Parlindungan. Namun,
suatu ketika, mereka berselisih tentang Tuanku Rao.
Hamka menuliskan pendapatnya dalam Antara Fakta dan
Khayal Tuanku Rao.
Di tahanan, Buya Hamka banyak membaca dan menulis.
Waktu itu, tahun 1964, Hamka berada di rumah tahanan
kepolisian Mega Mendung. Sebagai salah satu
fungsionaris Partai Masyumi, oleh rezim Soekarno ia
dianggap anti-Nasakom. Kemudian ia dipindahkan ke
Rumah Sakit Persahabatan, Rawamangun, Jakarta, karena
sakit—selama 17 bulan, sampai 1966, Hamka menghasilkan
karya monumentalnya, Tafsir Al-Azhar.
Salah seorang muridnya, Sofjan Tanjung, mengirimi
ulama itu buku tebal berjudul Tuanku Rao, dua
eksemplar—kiriman yang diiringi permintaan agar Hamka
memberikan komentar serta kritik atas buku tersebut.
Dan ketika Hamka keluar dari tahanan, ia berkenalan
dengan Parlindungan. Mereka bersahabat. Parlindungan
biasa menjemput Hamka ke rumahnya sebelum salat Jumat.
Parlindungan selalu mengenakan kopiah sampir buatan
Gorontalo, bersarung, dan bertongkat kecil.
Hamka mulanya mengagumi buku Tuanku Rao. Polemik
terjadi saat Hamka mulai meragukan isi Tuanku Rao.
Salah satu peristiwa penting dalam polemik mereka
terjadi dalam seminar di Padang pada Juli 1969. Baik
Hamka maupun Parlindungan hadir sebagai pembicara.
Pada acara tersebut, Hamka mempertanyakan informasi
Parlindungan mengenai Haji Piobang, pendiri Padri yang
disebut Parlindungan pernah menjadi salah satu kolonel
tentara Turki di bawah pimpinan Jenderal Muhammad Ali
Pasya. "Sampai seminar habis, Parlindungan tidak dapat
memberi jawaban tegas," tulis Hamka.
Hamka meluncurkan kritik-kritik cukup pedas menanggapi
Tuanku Rao. Kritik ini ia tulis dalam beberapa artikel
yang dimuat di harian Haluan, Padang, 1969-1970. Ia
menyebut Parlindungan bodoh. Parlindungan menganggap
Hamka childish dan kampungan.
Sebuah buku khusus pun diluncurkan oleh Hamka bertajuk
Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao. Dalam buku setebal
364 halaman yang diterbitkan oleh Penerbit Bulan
Bintang pada 1974 itu, Hamka menuding isi Tuanku Rao
80 persen bohong, sedangkan sisanya diragukan
kebenarannya. Pasalnya, setiap kali Hamka menanyakan
data dan fakta buku itu, Parlindungan selalu menjawab,
"Sudah dibakar."
Selain itu, Hamka mempertanyakan kebenaran berbagai
isu yang dilontarkan Parlindungan. Isu yang cukup
sensitif adalah pernyataan bahwa selama 300 tahun
daerah Minangkabau menganut mazhab Syiah Qaramithah.
Hal ini menurut Hamka dusta belaka.
Hamka juga menolak menanggapi isu tentang adanya
pemerkosaan massal dan orgy tawanan perempuan oleh
sebagian pasukan Padri. Cerita tentang bagaimana
anggota Padri melampiaskan nafsu syahwatnya secara
terbuka terhadap tawanan-tawanan cantik dituding Hamka
sebagai khayalan Parlindungan belaka. Hamka juga
menuduh cerita-cerita seks itu sengaja dipasang
Parlindungan untuk menarik hati para pemuda ketimbang
mencari data ilmiah.
Hamka membandingkan kisah Parlindungan—
pembunuhan keluarga Kerajaan Pagaruyung yang disertai
pemerkosaan para putri kerajaan dalam Tuanku
Rao—dengan data sumber Belanda. Versi Belanda, menurut
Hamka, menuliskan pembunuhan oleh Tuanku Lintau
terhadap keluarga kerajaan pada 1804. "Tapi tidak ada
disebut-sebut seorang Mandailing bernama Idris
Nasution dan pasukannya yang menawan puluhan gadis,
lalu memperkosa di hadapan umum, di udara terbuka,"
tulis Hamka.
"Cerita tentang Tuanku Lelo mengumbar nafsu syahwatnya
itu bumbu cerita porno yang dibuat Parlindungan yang
tidak kalah dengan cerita-cerita film cowboy tahun
1972," demikian Hamka mengejek Parlindungan. Di mata
Hamka, Tuanku Lelo yang menurut Parlindungan bernama
asli Idris Nasution itu tokoh karangan Parlindungan
belaka.
Toh, meski tak mengupas secara spesifik soal kekerasan
kaum Padri terhadap masyarakat Mandailing, khususnya
perempuan, Hamka mengutip keterangan Faqih Shagir dari
Hikayat Syaikh Jalaluddin, yang juga banyak berkisah
mengenai kaum Padri:
"…. Adapun yang jahat daripada Padri yaitu membunuh
segala ulama-ulama dan membunuh orang yang cerdik
cendekia, mengambil perempuan yang bersuami,
menikahkan perempuan yang tidak sekufu dengan tidak
ridhanya, bepergundik tawanan dan menghinakan orang
yang mulia-mulia dan mengatakan kafir orang yang
beriman…."
Sita Planasari Aquadini
Terus kupas tentang sejarah gerakan radikal wahabi indonesia.
ReplyDeleteSalam,
ReplyDeleteTerima kasih mas Ubaid atas komen-nya. Saya kira kita semua tidak menginginkan tumbuhnya gerakan2 yg bersifat radikal membabi buta dengan mengatas-namakan agama. Apapun namanya itu, apakah itu wahabi, atau yg lain. Islam adalah agama perdamaian. Islam yang benar adalah jalan2 (plural) yg bercirikan kedamaian (subuul as-salam).
Dalam rangka itulah kita mesti menyuarakan bahwa Islam itu damai dan rahmat bagi seluruh alam semesta (bukan hanya kepada sesama umat Islam saja, tapi seluruh alam, bahkan termasuk binatan tumbuhan, dll). Dalam rangka itu pula lah kita menentang gerakan2 yg menentang Islam sbg rahmat dng menebar kekejaman dan perangai yang tidak baik kepada sesama.
Terima kasih.