Monday, October 29, 2007

Mengunjungi Negeri Sengketa Israel-Palestina Jelang Konferensi Damai (2)

Diskriminasi Warga Arab hingga Denda Tilang


Oleh:
Tofan Mahdi
Dari Tel Aviv, Israel

Mengunjungi Negeri Sengketa Israel-Palestina Jelang Konferensi Damai (2)
Salah satu isu paling berat pada perundingan Israel-Palestina menyangkut status kota Jerusalem. Apa harapan warga Palestina tentang kota yang menjadi tempat suci agama Islam, Kristen, dan Yahudi itu?

TOFAN MAHDI, Tel Aviv

"Come to Israel before Israel come to You."
(Datanglah ke Israel sebelum Israel mendatangi Anda). Ini joke yang juga sangat populer tentang Negeri Yahudi itu.

Karena menduduki sebidang tanah yang dulu milik warga Arab-Palestina, Israel oleh negara-negara Arab tetangganya lebih dianggap sebagai penjajah. Sebab, di beberapa wilayah pendudukan seperti Jerusalem dan Tepi Barat, aparat keamanan Israel menerapkan sejumlah aturan ketat dan diskriminatif.

Status Kota Jerusalem dan kawasan Tepi Barat itulah yang akan dibahas secara detail dala m konferensi di Annapolis, Maryland, Amerika, bulan depan. Jika disepakati, perjanjian damai Israel-Palestina yang disponsori AS kembali diteken.

Secara geografis, Jerusalem dibagi dua wilayah: barat dan timur. Warga Yahudi tinggal di Jerusalem barat, sedangkan warga Arab-Palestina (Islam dan Kristen) di Jerusalem timur. Namun, setelah Perang Arab-Israel pada 1967, administrasi dan kontrol keamanan seluruh wilayah kota itu dikendalikan Israel. Jumlah permukiman dan warga Yahudi di Jerusalem timur pun terus bertambah.

"Meski tinggal dalam satu wilayah, warga Yahudi dan Arab-Palestina hidup saling curiga. Masing-masing hidup eksklusif, menjaga jarak, dan selalu khawatir penyerangan secara fisik," kata Hasan Nasralah, warga Arab-Palestina yang tinggal di Jerusalem timur.

Seperti halnya Tel Aviv, Haifa, dan kota-kota besar lain di Israel, pengamanan di Jerusalem sangat ketat. Aparat keamanan yang bersenjata bertugas di berbagai sudut kota. Mereka ada di hotel, supermarket, mal, dan tempat-tempat publik lain.

Setel ah maraknya aksi intifadah dan bom bunuh diri melawan pendudukan Israel, setiap mobil yang masuk halaman hotel harus melalui pemeriksaan ketat. Bahkan, ruang-ruang konferensi di hotel berbintang pun dibangun di lantai bawah tanah (underground level).

"Tidak seluruh hotel. Tetapi, banyak yang seperti itu. Alasan sesungguhnya menyangkut lahan yang terbatas. Tetapi, aspek keamanan juga menjadi pertimbangan," ujar Roley Horowitz, warga Yahudi yang bermigrasi dari India.

Meski sekarang Kota Jerusalem diklaim sebagai ibu kota negara Yahudi itu, warga Palestina terus berjuang agar kelak kota ini menjadi ibu kota negaranya. Di kota ini berdiri salah satu tempat suci umat Islam, yaitu Masjid Al Aqsa.
Di areal, Al Aqsa juga berdiri Qubah al Sahra (Dome of The Rock). Dari tempat ini, Nabi Muhammad mengawali perjalanan ke langit (dalam peristiwa Isra Mikraj) untuk menerima perintah salat lima waktu.

Dengan dalih keamanan pula, akses warga muslim untuk beribadah di Al Aqsa, Jerusalem, makin terbatas. Ada sejumlah check point (pos pemeriksaan) untuk masuk ke sana.

"Yang diberi akses masuk ke Al Aqsa, umumnya, warga Arab Palestina berusia di bawah 18 tahun dan di atas 45 tahun," kata Syekh Bukhari, salah seorang pemuka agama Islam di Jerusalem timur.

Saya beruntung bisa melaksanakan ibadah salat Jumat pada 18 Oktober pekan lalu. Saat itu, saya melihat tindakan tentara Israel yang memeriksa warga Arab-Palestina yang akan masuk ke masjid tersebut. Semua harus menunjukkan identitas. Mobil juga diperiksa. Lantas, tentara Israel itulah yang berhak menentukan siapa yang bisa masuk dan siapa yang tidak.

Warga Palestina yang tinggal di Tepi Barat (Hebron, Nablus, Ramallah, dan sejumlah kota lain) jelas dilarang masuk ke Al Aqsa. Tak ada toleransi sama sekali. Selain itu, sejak ada ratusan kilometer tembok pembatas yang dibangun Israel, akses warga Tepi Barat menuju ke Jerusalem menjadi sangat terbatas. Jadi, Al Aqsa h anya bisa diakses oleh muslim di Jerusalem setelah lolos pemeriksaan tentara Israel.

"Wisatawan asing seperti Anda lebih mudah (masuk ke Al Aqsa) daripada kami," kata Bukhari.

Hidup di Jerusalem bagi warga Arab-Palestina juga sarat dengan diskriminasi. Memang, mereka memiliki opsi jika mau menjadi warga negara Israel. Namun, sebagian besar warga Arab-Palestina menolak.

"Kami tetap warga Palestina. Namun, karena tinggal di Jerusalem yang dikuasai Israel, kami harus memegang kartu identitas penduduk Israel," kata Shuha, warga Jerusalem timur yang mengantarkan saya ke Ramallah.

Shuha menceritakan sejumlah perlakuan yang menyinggung perasaan warga Arab-Palestina. Suatu hari, pencuri masuk ke rumah Shuha. Dia lalu melaporkan kejadian tersebut kepada polisi Israel.

Tahu korbannya adalah warga Arab-Palestina, kata dia, tidak ada seorang polisi pun yang datang.

"Juga kalau ditilang akibat pelanggaran lalu-lintas. Denda untuk warga Arab-Palestina pasti lebih mahal daripada denda bagi orang Yahudi. Terus tera ng, kami sangat berat hidup seperti ini," kata wanita berwajah cantik itu.

Jika Israel tetap menguasai Jerusalem, Shuha yakin selamanya orang-orang Arab-Palestina menjadi warga negara kelas dua. Mereka tidak bisa bekerja di pemerintahan dan sektor-sektor strategis lain. "Sebagian besar kami di sini bekerja di sektor informal. Misalnya, menjadi pedagang dan sopir taksi," ujarnya.

Sejumlah upaya dilakukan kedua pihak (Arab-Yahudi) agar bisa berintegrasi. Salah caranya, mendirikan sekolah multicultural. Harapannya, sekolah itu dapat memberikan pemahaman lebih baik tentang tiga agama yang sama-sama menjadikan Jerusalem sebagai tempat suci mereka: Islam, Kristen, dan Yahudi.

"Namun, kami akui respons atas sekolah multikultural seperti ini sangat kecil. Bahkan, di sekolah kami yang sudah berdiri 10 tahun, hanya ada 40 siswa," kata Adena Levine, direktur Peace Preschool International YMC, satu-satunya sekolah antaragama di Jerusalem.

Meski banyak yang pesimistis, warga Arab Palestina berharap agar akan ada kesepakatan t entang pembagian wilayah Israel-Palestina, termasuk tentang status Kota Jerusalem, pada konferensi di Annapolis bulan depan. Kalaupun diberikan kepada Palestina, opsi lain yang diharapkan adalah yurisdiksi Jerusalem dikendalikan dunia internasional (PBB).
Tidak lagi di bawah kekuasaan negeri Zionis Israel. (bersambung)

1 comment:

  1. wah pusing juge kalo mikirin begituan ......

    agama dan politik jadi taruhan....

    di kitab di bilang begini...

    di politik di bilang begitu...

    tapi terlepas dari semua ini...
    yang saya khawatirkan adalah rakyat sipil palestina nya...

    sebetulnya jika saya melihat hal demikian....

    saya cepat2 bersyukur hidup di indonesia...

    apapun suka dan duka nya!

    LOVE MY COUNTRY !

    ReplyDelete