Monday, October 29, 2007

Mengunjungi Negeri Sengketa Israel-Palestina Jelang Konferensi Damai (3-habis)

Terkepung Tembok, Jarak 30 Kilometer Ditempuh Dua Jam

Kondisi permukiman Yahudi dan Palestina ibarat bumi dengan langit. Saat warga Israel hidup makmur, warga Arab yang kota-kotanya kini dikepung tembok pemisah itu semakin terisolasi.

TOFAN MAHDI, Tel Aviv

TEMBOK yang memisahkan Jerman -termasuk yang membelah ibu kota Berlin- menjadi wilayah barat dan timur sudah hampir 20 tahun lalu dirobohkan. Tapi, tidak demikian halnya dengan Israel. Dengan alasan keamanan, Negeri Zionis itu justru getol membangun tembok pemisah antara wilayah Israel dan Palestina.

Hingga kini, tembok yang dibangun untuk membentengi permukiman Yahudi di kawasan Tepi Barat (juga di Jerusalem) sepanjang 850 kilometer. Dengan rentang yang hampir sepadan dengan jarak Surabaya-Jakarta itu, Israel membangun 500 security check point yang sehari-hari dijaga ketat oleh tentara.

Memang, sejak tembok-tembok mulai berdiri p ada pertengahan 2002, intensitas terjadinya serangan bom bunuh diri di wilayah yang diduduki Israel jauh berkurang. Dinilai efektif, pembangunan tembok-tembok berlanjut hingga membelah kota Jerusalem dan wilayah-wilayah Palestina yang lain. Misalnya, Ramallah, Hebron, Nablus, Jericho, dan Betlehem.

Selain dibangun menjorok di tanah Palestina, tembok itu tidak hanya memisahkan warga Palestina dengan Israel, tapi juga antara warga Palestina. "Tembok-tembok itu telah menghancurkan kehidupan sosial ekonomi rakyat Palestina," kata Rami Nasrallah, warga Arab-Palestina di Jerusalem Timur.

Rami yang juga peneliti di International Peace and Cooperation Center (IPCC), sebuah LSM Palestina di Jerusalem, menuturkan, tembok tersebut membatasi akses warga Palestina bepergian dari satu tempat ke tempat lain di dalam negeri sendiri. Sebelum ada tembok, banyak warga Hebron yang melaksanakan salat Jumat di Masjid Al Aqsa, Jerusalem.

Namun, setelah Hebron dikepung tembok, untuk datang ke Jerusalem dengan mobil, warga harus berputar-putar d an memakan waktu empat hingga lima jam.

"Padahal, ini kan wilayah kecil. Sebelum ada tembok, dua jam mungkin sudah sampai," kata Rami, yang menolak menjadi warga negara Israel.

Terbatasnya akses tersebut juga dirasakan Jawa Pos saat menyewa mobil dari kota Jerusalem (sekitar Al Aqsa) menuju Betlehem, Palestina. Melihat peta, jarak di antara kedua kota tersebut hanya sekitar 30 kilometer (karena berbatasan dengan Jerusalem Barat).

Saat itu kondisi lalu lintas tidak terlalu padat. Tapi, akibat adanya tembok pemisah tersebut, untuk sampai ke Betlehem, memakan waktu sekitar dua jam, plus 15 menit menjalani pemeriksaan.

"Kita akan melewati check point. Tolong, siapkan paspor dan jangan coba-coba mengambil gambar. Sebab, kamera, paspor, dan Anda sendiri bisa diambil," kata Mahmud, sopir van yang kami sewa mengingatkan.

Dua tentara Israel bersenjata laras panjang berbicara dengan Mahmud, meminta identitas, dan menanyakan siapa saja yang berada d i dalam van. Seorang tentara lain masuk ke van, memeriksa penumpang, dan barang-barang bawaan.

"Ada yang membawa senjata?" kata tentara yang di dalam van. Setelah mendapat jawaban "tidak", dia turun dan berlalu seraya mempersilakan mobil masuk ke Betlehem.

Di Betlehem kami melihat kehidupan yang sangat kontras dengan kehidupan di wilayah yang dikuasai Israel. Lalu lintas macet, jalanan sempit, dan bangunan-bangun rumah atau toko yang tak terawat. Hanya satu hal yang berbeda: tak ada tentara berkeliaran seperti di Jerusalem atau Tel Aviv.

"Tentara Israel masuk wilayah ini hanya ketika menangkap orang. Kemudian, mereka langsung pergi," kata Mahmud, yang tinggal Betlehem.

Di Bethlehem juga ada taksi. Tapi, taksi-taksi itu tak bisa melayani rute ke kota-kota Palestina lainnya. "Mereka hanya berputar-putar di Betlehem. Batasnya hingga check point tadi," jelas Mahmud. Padahal, kalau merasakan putar-putar Betlehem, luas wilayah tersebut tak sampai sepe rempat wilayah Surabaya.

Wakil Gubernur Betlehem Marwan Khadle r yang ditemui di kantornya mengakui, kehidupan ekonomi Palestina sangat sulit setelah Israel membangun tembok pemisah. "Banyak desa yang terisolasi karena warganya tidak bisa menjual barang dagangan lagi. Tentu, ini berpengaruh ke hal lain, seperti pendidikan," kata Marwan.

Gedung tiga lantai yang menjadi kantor Marwan tergolong sederhana. Di ruang kerjanya terpampang foto pendiri PLO (Front Pembebasan Palestina) Yassir Arafat dan Presiden Mahmud Abbas.

Namun, kata Marwan, Betlehem masih lebih baik dibandingkan dengan wilayah lain, seperti Ramallah, apalagi Nablus atau Hebron. Sebab, Betlehem masih bisa meraup pendapatan dari kunjungan wisata ke Nativity Church yang cukup besar. Gereja itu adalah tempat kelahiran Jesus.

Setelah di Betlehem, Jawa Pos juga mengunjungi wilayah Palestina lain, yaitu Ramallah. Saat tiba di kota itu (setelah melewati check point tentara Israel), kondisi sangat kontras dengan wilayah Israel kembali terlihat. Jalanan macet, ka mpung kumuh, dan tak tertata. Itulah tantangan sebetulnya pemerintah Palestina. Yakni, membangun ekonomi wilayah mereka sekaligus mengupayakan proses perdamaian dengan Israel.

Sebab, jika ekonomi kacau, Israel bisa mengklaim bahwa mereka lebih baik daripada Palestina. Dengan begitu, mereka merasa lebih berhak menguasai wilayah yang disengketakan saat ini.

Berbeda dengan di Betlehem, nasionalisme bangsa Palestina lebih tampak di Ramallah. Sebab, kota ini menjadi markas PLO dan juga makam Yassir Arafat. Di berbagai sudut jalan banyak terpampang poster Arafat yang suka menutup kepala dengan kafiyeh, Mahmud Abbas, dan graffiti bertulisan hujatan kepada Israel dan Amerika.

Bocah-bocah Ramallah gemar bermain perang-perangan, tentu dengan senjata mainan. Kalau kita tanya kepada mereka, mengapa kok memilih main perang-perangan, mereka akan menjawab intifadah (rebut kembali). Kita tidak tahu apakah anak-anak itu paham dengan konflik yang terjadi. Hanya satu ha l yang selalu mereka dengar bahwa Israel dan Amerika adalah musuh mer eka.

Konflik Palestina-Israel memang sangat rumit. Rencana pembagian Jerusalem menjadi dua, misalnya, di internal kedua negara juga menuai kontroversi. Apalagi, tempat suci tiga agama di Jerusalem berada di sebuah areal yang sama. Masjid Al Aqsa milik umat Islam, Western Wall atau Mourning Wall (Tembok Ratapan), dan tempat-tempat suci umat kristiani.

"Kalau mau dibagi dua, caranya bagaimana? Masak mau dibangun tembok untuk memisahkan ketiga tempat suci itu," kata Issa Jaber, warga Arab muslim, yang tinggal di Abu Gosh -wilayah Israel.

Jaber mengakui, sebagai seorang Arab muslim, namun berkewarganegaraan Israel, dirinya menghadapi situasi yang rumit dengan konflik yang terjadi. Sebab, di satu sisi, tidak mungkin mendukung Israel yang berperang dengan bangsa Palestina. Di sisi lain, dia hidup dan menafkahi keluarganya di Israel. Saat ini ada sekitar 1,25 juta (hampir 25 persen) warga Arab yang hidup di Israel (di luar wilayah sengketa). Di antara mereka i tu 80 persen adalah muslim.

"Kalau ditanya apa ada diskriminasi, ya pasti ada. Sebab, ada kelompok radikal yang tidak menghendaki orang Arab hidup di tanah Israel. Demikian juga sebaliknya, ada kelompok radikal Arab yang menuntut agar Israel tidak hidup di Timur Tengah ini," ujar Jaber.

Sebagai muslim, tetapi berpaspor Israel, apakah Anda juga bisa pergi haji? "Dulu negara-negara Arab melarang (kecuali Mesir dan Jordania, Red). Itu antara 1968-1978. Tetapi, setelah Anwar Sadat (presiden Mesir saat itu, Red) melakukan lobi, akhirnya diizinkan. Teknisnya, kami lewat Jordania dan mengurus paspor sementara Jordania," tutur Jaber.

Setelah perjanjian Camp David, Konferensi Madrid, dan Perjanjian Dayton, konflik Arab (Palestina)-Israel yang sudah berlangsung 60 tahun dicoba untuk diselesaikan lagi lewat jalur diplomasi. "Kami berharap, kali ini berhasil," kata Jaber tentang konferensi di Annapolis, Maryland, Amerika, bulan depan.
(*) [undzurilaina]

No comments:

Post a Comment