Dari Catatan Harian Bonjol
Imam Bonjol meninggalkan sejumlah catatan hidupnya
saat diasingkan. Ada catatan tentang jalannya
pertempuran dan negosiasi dengan Belanda. Tak ada
tentang kebrutalan.
"Ini ada surat kumpeni menyuruh saya datang kepada
kumpeni sekarang. Bagaimana kiranya segala datuk-datuk
atau baik saya pai (pergi—Red.) atau tidak?"
Imam Bonjol wafat di Manado. Selama di Manado, ia
ternyata menulis semacam otobiografi dalam huruf Arab
Melayu. Oleh anaknya, Naali Sutan Chaniago dan Haji
Muhammad Amin, yang ikut dibuang ke Manado, naskah itu
diselamatkan.
Dalam catatan itu, kita temukan kesaksian Imam Bonjol
menyerang daerah-daerah yang belum menjalankan
syariah, juga kisah bagaimana ia mengirim Tuanku
Tambusai ke Mekkah, yang kemudian membuat Tambusai
bergelar Haji Muhammad Saleh.
Atau bagaimana di sebuah salat Jumat, ia menyerukan
hukum adat basandi syarak. Ia melukiskan dengan agak
rinci betapa ganasnya perang mempertahankan benteng
Bonjol. Tapi bagian paling panjang adalah pengakuannya
bernegosiasi dengan Belanda.
Diceritakan, utusan Belanda, Kroner (Kolonel) Elout,
memintanya menyerah. Ia menolak, lalu terjadi
pertempuran sengit. Dikisahkannya ia memasang meriam
sendiri untuk menggempur Belanda. Tapi benteng Bonjol
jatuh, dan utusan datang lagi. Di Padang, ia bertemu
dengan Residen Francis.
Resident Francis: Dulu saya minta Tuanku, Tuanku tidak
mau datang bertemu kami….
Tuanku Imam Bonjol: Tempo tuan kirim surat yang dahulu
tuan minta saya. Saya kasih lihat surat itu kepada
raja-raja dan penghulu. Hampir saya dibunuh orang
tempo itu dan dicabik-cabiknyo dek surat itu. Surat
kemudian tidak kasih lihat pada penghulu. Maka itulah
sekarang mencari tuan….
Imam Bonjol akhirnya mau dibawa kapal ke Betawi,
Surabaya, Buton, Ambon, sampai Manado. Di sanalah, di
Lotak Pineleng, ia tinggal sampai wafatnya. Keberadaan
naskah Tuanku Imam Bonjol pertama kali dilaporkan oleh
Ph.S. van Ronkel dalam artikel Inlandsche
getuigenissen aangaande de Padri-oorlog (Kesaksian
Pribumi mengenai Perang Padri) dalam jurnal De
Indische Gids, 1915.
Ronkel menyebutkan bahwa dia telah menyalin satu
naskah berjudul Tambo Anak Tuanku Imam Bonjol setebal
318 halaman. Pada 2004, Sjafnir Aboe Nain dari Pusat
Pengkajian Islam dan Minangkabau, Padang, menerbitkan
transliterasi naskah Tuanku Imam Bonjol.
Kata pengantar yang ditulis Sjafnir menyebutkan bahwa
salinan Ronkel itu sesungguhnya gabungan antara
catatan Imam Bonjol yang berjumlah 191 halaman dan
catatan anaknya, Naali dan Amin. Naskah itu sendiri,
menurut dia, dikenal dengan nama Tambo Naali Sulthan
Chaniago.
Transliterasi dilakukan Sjafnir ke dalam bahasa
Minang-Melayu, membuat naskah ini agak sulit dipahami
dalam waktu singkat. "Saya butuh waktu lama untuk
memahami naskah ini," kata peneliti sejarah Tapanuli
Selatan, Basyral Hamidy Harahap.
Tak ada bagian dari naskah ini yang menampilkan sikap
Imam Bonjol akan kekerasan yang dilakukan Padri. "Tapi
saya yakin Imam Bonjol mengetahui kekejaman kaum
Padri, baik penculikan maupun pemerkosaan. Tapi ia
diam saja," kata Basyral.
Ia merujuk, ada halaman yang menampilkan masalah
penculikan dan jual-beli perempuan ternyata
dibicarakan secara terbuka dalam suatu pertemuan yang
dihadiri tokoh-tokoh umat, yakni Sultan Chaniago, Nan
Pahit, Datuk Kayo, Datuk Limo Koto, Rajo Minang,
Punjuak Batuah, dan Pado Alim.
"Pailah (pergilah—Red.
(bertemu) perempuan. Ditanyalah dek (oleh) Datuk Limo
Koto perempuan itu. 'Siapo nan manangkap di lading
Batang Silasung?' kata Datuk Limo Koto. Alah
(kemudian) menjawab perempuan, 'Nan manangkap saya
dicari (si Cari) orang Durian Tinggi. Dijualnya dek si
Cari itu saya kepada Rajo Manang. Dek Rajo Manang
dijual pula ke Bamban.'"
Sejarawan dari Universitas Andalas, Padang, Dr Gusti
Asnan, melihat, untuk sebuah catatan harian, Tuanku
Imam Bonjol sangat tidak mungkin menuliskan
fakta-fakta kebrutalan Padri. "Bila dibandingkan
dengan sumber sejarah Belanda, Tuanku Imam Bonjol
tidak memasukkan peristiwa pembakaran, perampokan,
serta penculikan dan pemerkosaan perempuan. Tapi saya
pikir dia tahu mengenai kejadian itu," ungkap Gusti.
Baik Basyral maupun Gusti melihat proses negosiasi
Tuanku yang diwakili anaknya, Sutan Chaniago, dengan
pemimpin Belanda sama sekali tidak menunjukkan
ketegangan. Mengherankan, Imam Bonjol yang dikenal
sebagai sosok penentang Belanda yang gigih kemudian
seperti melemah. Bahkan Gusti melihat keakraban Tuanku
dengan Residen Elout dan Residen Francis aneh.
"Sekarang Tuanku pergi ke negri Menado, karena negri
Menado baik, tempat baik, makanan murah…."
"Sebagai seorang pahlawan nasional, apa iya Tuanku
tidak merasa curiga terhadap niat Belanda?" tanya
Gusti.
Sita Planasari Aquadini, Seno Joko Suyono
No comments:
Post a Comment