Tuesday, July 24, 2007

Mengapa Shalat Sebaik-baik Amal? (2)

Oleh: Dr.Haidar Bagir

Selanjutnya, khusyuk mengharuskan pemahaman yang benar tentang makna seluruh gerakan dan bacaan shalat serta menghunjamkannya ke dalam hati. Bukan! Bahkan – pada puncaknya – bukanlah ucapan dan gerakan yang terhunjam ke hati melainkan – sebaliknya – hati, yang telah menghayati makna shalat, mendiktekan kepada lidah agar mengucapkan apa yang harus diucapkan dan menggerakkan anggota tubuh yang harus digerakkan. Inilah yang disebut sebagai tafahhum, sebagaimana dimaksud oleh hadis :

“Jadikanlah hatimu sebagai kiblat lidahmu; jangan engkau gerakkan lidahmu kecuali dengan aba-aba dari hatimu.”

Dan khusyuk bukanlah suatu hal yang mudah, seperti diingatkan Allah dalam firmannya, yang telah dikutip di atas :

“Dan mintalah tolong dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya keduanya amat sulit kecuali bagi orang-orang yang khusyuk” Memang, jika sebesar itu imbalan yang dapat kita peroleh dari melakukan shalat, tentu ia tak akan sedemikian mudah diraih. Diperlukan azam (tekad) yang teguh, disiplin yang ketat, dan latihan-latihan tak henti-hentinya serta – di atas semua itu – niat ikhlas hanya untuk mencari keridhaannya agar seseorang benar-benar dapat melakukan shalat secara khusyuk

Keharusan menyantuni orang miskin

Ternyata, khusyuk dan kehadiran hati belumlah semua syarat bagi diterimanya shalat seseorang. Rasulullah mengajarkan : “Shalat tidak sempurna melainkan dengan zakat.” Inilah kiranya hikmah dibalik penjajaran ibadah shalat dengan membayar zakat di banyak ayat-ayat al-Qur’an, antara lain :

“Dan dirikanlah shalat dan tunaikan zakat …” (QS. 2 : 110)

“Dan (Isma’il as.) menyuruh keluarganya untuk mendirikan shalat dan membayar zakat, dan ia adalah orang yang diridhai oleh Tuhannya.” (QS. 19 : 55)

Al-Qur’an juga mengutip pernyataan Nabi Isa :

“Dan dia menjadikanku orang yang diberkati di mana pun aku berada dan Dia memerintahkan kepadaku untuk mendirikan shalat dan membayar zakat selama hidupku (QS. 19 : 31)

Namun, peringatan Allah yang paling tegas mengenai hal ini adalah ketika Dia mengancam :

“(Neraka) Wayl bagi orang-orang yang shalat. Yaitu orang-orang yang lalai dalam shalatnya. Yang riya’ (tidak ikhlas karena Allah dan pamer). Dan menolak memenuhi keperluan dasar orang. “ (QS. 107 : 4-7)

Kiranya sejalan belaka dengan itu, Imam Ja’far diriwayatkan berulangkali menegaskan :

“Tidak diterima shalat orang yang tak memiliki kepedulian terhadap orang-orang yang lapar dan telantar.”

Bahkan, dapat disimpulkan dari keseluruhan kandungan Surat Al-Ma’un yang merupakan sumber cuplikan ayat-ayat di atas, bahwa orang-orang seperti ini tak lebih dari orang-orang yang berpura-pura beragama (yukadzi-dzibu bid-din), atau hanya dalam hal lahiriahnya saja tampak beragama, karena – meski mereka termasuk orang-orang yang menegakkan shalat (al-mushallin) – mereka menolak anak yatim dan tak berupaya menyantuni orang miskin. (QS. 107 : 1-3)

Dapat disimpulkan bahwa shalat yang benar memiliki, baik dimensi individual maupun sosial. Banyak orang menunjuk kenyataan bahwa shalat dimulai dengan takbir dan ditutup dengan salam menyimbolkan kedua dimensi ini. Takbir – yang dihayati -- merupakan perwujudan khusyuk, yakni kesadaran penuh bahwa Allah Maha Agung dan bahwa kita adalah hambanya yang rendah dan kecil. Sedangkan salam – khususnya salam kepada manusia -- adalah simbol bagi keharusan kita menjalankan fungsi kekhalifahan manusia untuk menyebarkan rahmat bagi seluruh bagian alam semesta.

Akhirnya, mudah-mudahan kini sudah tak akan merasa aneh lagi jika melihat banyak orang yang shalat, tapi tak banyak orang yang tercegah dari perbuatan keji dan mungkar. Marilah, seraya meminta ‘inayah (pertolongan) dari Allah, kita perbaiki kualitas shalat kita sehingga dapat benar-benar menjadi shalat yang diterima oleh Allah, dan dapat memberikan berbagai manfaatnya bagi kita, sesuai janji-Nya :

Dan jika mereka berupaya habis-habisan untuk mencari Kami, sungguh akan kami tunjukkan jalan-jalan Kami.” [undzurilaina]

No comments:

Post a Comment