Meski semua ibadah kepada Allah adalah baik, tapi shalat adalah ibadah yang terbaik. Demikian dinyatakan oleh Al-Qur’an. Hadis, dan ungkapan para ulama dan sufi. Rasulullah bersabda : “Sebaik-baiknya amal adalah shalat pada waktunya.” Sayidina Ali bin Abi Thalib menyatakan : “Sesungguhnya amal perbuatan yang paling disukai Allah adalah shalat. Bahkan, ia diriwayatkan melafazkan kata : “Shalat …shalat …” pada detik-detik terakhir sebelum kematiannya. Sedangkan Imam Ja’far al-Shadiq – seorang pemimpin umat, sufi, dan filosof, guru Imam Abu Hanifah dan Imam Malik -- juga menyeru : “Sesungguhnya sebaik-baik amal di sisi Allah pada hari kiamat adalah shalat.
Namun, kita bertanya-tanya, kalau sedemikian penting nilai shalat dalam keseluruhan ajaran Islam, mengapa kita seolah tak banyak melihat manfaat shalat bagi orang-orang yang melakukannya? Mengapa negara-negara Muslim, yang di dalamnya banyak orang melakukan shalat, justru tertinggal dalam hal-hal yang baik dari negara-negara non-Muslim, dan menjadi “juara” dalam hal-hal yang buruk, seperti korupsi, misalnya? Mengapa tak jarang kita lihat orang yang tampak rajin menjalankan shalat, bahkan shalat jama’ah di masjid-masjid, tak memiliki akhlak yang dapat dicontoh? Apakah Allah Swt., telah melakukan kekeliruan ketika menyatakan bahwa “Innash-shalata tanhaa ‘anil fakhsyaa’I wal-munkar (Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar”? Apakah salah Rasul-Nya ketika menyatakan bahwa “jika shalat seseorang baik maka baiklah semua amalnya?” Shadaqa Allah al-‘Azhim wa shadaqa Rasul Allah (Sungguh benar Allah Yang Maha Agung dan Rasul-Nya).
Jika ada kekeliruan dan kesalahan, maka itu tentu terletak pada pemahaman kita tentang firman Allah Swt., dan tentang shalat yang benar. Mari, untuk itu, kita simak ayat lain dalam Kitab-Suci-Nya :
“(Lukman menasihati putranya :) Hai Anakku, dirikanlah shalat dan perintahkanlah (kepada manusia) untuk mengerjakan yang makruf dan cegahlah (mereka) dari berbuat mungkar. Dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya itu termasuk urusan-urusan yang tegas (diwajibkan oleh Allah) (QS. 31 : 17). Tampak dalam ayat yang barusan dikutip bahwa perintah mendirikan shalat dipisahkan dari perintah mengerjakan yang makruf dan mencegah yang mungkar. Dengan kata lain, keduanya terpisah. Maknanya akan menjadi jelas ketika kita simak sabda Rasulullah, yang tampaknya dimaksudkan untuk menafsirkan ayat tersebut, sebagai berikut :
“Laa shalaata li man la tanhaahu shalatahu ‘anil fakhsyaa’i wal munkar (Tak melakukan shalat orang-orang yang shalatnya tak menghindarkanya dari kekejian dan kemungkaran)” . Jadi, alih-alih sebagai jaminan bahwa orang yang shalat pasti tercegah dari perbuatan keji dan mungkar, maka ayat tersebut mesti difahami sebagi definisi shalat yang sesungguhnya. Bahwa shalat yang benar akan termanifestasikan dalam kebaikan akhlak.
Menjelaskan lebih jauh pengertian ini, Imam Ja’far al-Shadiq menyatakan :
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya shalat itu merupakan anugerah Allah untuk manusia sebagai penghalang dan pemisah (dari keburukan). Oleh karena itu, sesiapa yang ingin mengetahui sejauh mana manfaat shalatnya, hendaklah ia memperhatikan apakah shalatnya mampu menjadi penghalang dan pemisah dirinya dari perbuatan keji dan mungkar. Shalat yang diterima (oleh Allah) adalah hanya sejauh yang mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar”
Shalat yang tak memiliki sifat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar tak memiliki nilai sebagai shalat yang benar, sehingga ia tertolak, sebagaimana dinyatakan dalam hadis yang lain : “Adakalanya seseorang shalat terus-menerus selama 50 tahun namun Allah tak menerima satu pun dari shalatnya.”
Nah, pertanyaan yang tidak-bisa-tidak akan muncul adalah : seperti apakah shalat yang benar, yang diterima oleh Allah, itu?
Shalat dan Keharusan Khusyuk
Allah berfirman : “Sesungguhnya shalat itu amat berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk” (QS. : 45). Jika ayat ini dibaca dengan teliti, akan kita dapati bahwa ia memiliki “pemahaman terbalik” (inverse logics atau mafhum mukhalafah) bahwa shalat hanya memiliki nilai jika dilakukan dengan khusyuk.
Khusyuk bermakna kesadaran penuh akan kerendahan kehambaan (‘ubudiyah) diri kita sebagai manusia di hadapan keagungan Rububiyyah (Ketuhanan). Sikap khusyuk ini timbul sebagai konsekuensi kecintaan sekaligus ketakutan kita kepada Zat Yang Maha Kasih dan Maha Dahsyat ini. Sebagai implikasinya, orang yang memiliki sikap seperti ini akan berupaya memusatkan seluruh pikiran – seluruh keberadaannya – kepada Kehadiran-Nya dan membersihkannya dari apa saja yang selain Allah. Tidak bisa tidak ini berarti hadirnya hati. Tanpa kehadiran hati, shalat kehilangan nilainya. Rasulullah bersabda : “Shalat yang diterima adalah sekadar hadirnya hati.”
Diriwayatkan pula darinya saaw. bahwa “dua rakaat shalat orang yang khusyuk lebih bernilai ketimbang 1000 rakaat shalat orang yang tak peduli.” Kepada Abu Dzar Rasul saaw. mengajarkan : “Dua rakaat shalat pendek yang disertai dengan tafakur adalah lebih baik dari shalat sepanjang malam dengan hati yang lalai.”
Di kesempatan lain Rasul saaw. menamsilkan :
“Tak akan diterima shalat seseorang yang dilakukan bagai seekor burung yang mematuk-matuk makanannya.” Mudah dipahami bahwa seekor burung -- sebagai hewan, yang tak memiliki hati atu perasan sebagimana manusia - yang sedang mematuk-matuk makanannya melakukan hal itu secara instinktif, sebagai bagian dari keharusannya untuk bertahan hidup Berbeda halnya dengan manusia. Bahkan ketika sedang kelaparan, manusia menikmati makanannya itu. Bukan hanya melahapnya, atau bahkan sekadar menikmati rasanya, melainkan juga menghayati cara penyajian dan suasana yang melingkupi waktu makan itu. Apatah pula ketika ia sedang menghadap kepada suatu Zat yang Maha Agung sekaligus Maha Lambut (Lathif) sebagaimana Allah Subhana-Hu wa Ta’ala. Jika hati tiada hadir, maka apa makna shalat, yang dikatakan sebagai sarana pertemuan kita dengan-Nya? [und
No comments:
Post a Comment