Monday, June 18, 2007

Prawacana Menanggapi Seminar Holocaust di Bali (1/2)


Prawacana Menanggapi Seminar Holocaust di Bali:

“Ketika Yang Mewancarai Tidak Tahu Persoalan, Sama Seperti Yang Diwawancarai

oleh: M. Musadiq Marhaban (pakar Kristologi)

Inilah sikap mengecewakan yang mana ketika sebagian pemimpin bangsa kita bisanya hanya “manutan” dengan tawaran bangsa asing. Sikap Gus Dur untuk melakukan konferensi Toleransi Agama di Bali yang diselenggarakan pada Selasa (12 Juni 2007) sungguh sangat disesalkan.

Di sini persoalannya bukan pada masalah toleransi, tetapi pernyataan keliru Gus Dur yang mengatakan bahwa Presiden Iran, Ahmedinejad telah menolak keberadaan peristiwa Holocaust. Inilah Gus Dur, seorang mantan Presiden Indonesia yang terlalu tergesa-gesa untuk menerima masukan dari seorang warga AS, Colin Tail yang juga menjadi penyelenggara seminar di Bali untuk membela peristiwa Holocaust.

Pertama-tama, persoalan kebenaran peristiwa Holocaust bukanlah perselisihan pendapat yang terjadi antara Presiden Ahmedinejad dan kaum Yahudi, karena penolakan atau denial atas peristiwa Holocaust untuk pertama kalinya justru berasal dari mayoritas bangsa Israel sendiri.

Mungkin Gus Dur perhatian dengan persoalan keagamaan di Indonesia dan berupaya agar tidak muncul sikap ekstrim. Tetapi sayangnya, Gus Dur sendiri terjebak dengan sikapnya yang ekstrim untuk memaksakan kebenaran peristiwa Holocaust yang sebenarnya masih menjadi perdebatan hangat dikalangan umat Yahudi, jauh sebelum Presiden Ahmedinejad menyelenggarakan seminar Holocaust di Iran.

Sebagai seorang mantan Presiden, Gus Dur seharusnya bisa melihat persoalan ini secara proporsional dengan tidak melakukan tirani-intelektual, serta memaksakan pendapatnya bahwa bangsa Indonesia harus percaya kepada peristiwa Holocoust. Sebab, bagi orang-orang yang cermat di dalam mengamati perkembangan Yudaisme di dunia, maka mereka jelas akan menertawakan seminar non-akademis yang dilakukan Gus Dur di Bali bersama pemimpin spiritual Hindu, Sri Sri Ravi Shankar, dan Direktur the Pardes Institute of Jewish studies, Rabbi Daniel Lande.

Gus Dur seharusnya tahu bahwa tidak semua bangsa Israel membenarkan peristiwa Holocaust, bahkan buku The Holocaust Industry yang ditulis oleh seorang Yahudi, Norman G. Finkelstein jelas menunjukkan bahwa yang menolak kebenaran Holocaust bukanlah Presiden Ahmedinejad, tapi justru sebagian besar umat Yahudi sendiri.

Finkelstein mengatakan:

Since the late 1960s, there has developed a kind of Holocaust industry which has made a cult of the Nazi Holocaust. And the purpose of this industry is, in my view, ethnic aggrandisement - in particular, to deflect criticism of the State of Israel and to deflect criticism of Jews generally.” (Dari BBC News, Europe, 26 Januari, 2000 Is there a Holocaust 'Industry'?)

Demikian pula, Gus Dur seharusnya tidak semata-mata membangun hubungan toleransi beragama dengan rezim Tel Aviv di Israel, tetapi bila Gus Dur memang ingin menyuarakan kebenaran dan toleransi, maka dia seharusnya membangun hubungan dan kerjasama toleransi beragama dengan semua Rabbi di dunia, termasuk dengan mereka yang anti terhadap Zionisme, dan bukan hanya dengan mereka yang mendukungnya.

Dalam sebuah artikel yang berjudul The Role Of Zionism In The Holocaust—oleh Rabbi Gedalya Liebermann, di Australiasecara jelas dinyatakan bahwa penanggung jawab terbunuhnya umat Yahudi di Eropa adalah akibat gerakan Zionisme yang dimotori oleh sebagian kecil bangsa Israel sendiri. Dia mengatakan:

All of the leading Jewish religious authorities of that era predicted great hardship to befall humanity generally and the Jewish People particularly, as a result of Zionism.” (http://www.jewsagainstzionism.com/antisemitism/holocaust/gedalyaliebermann.cfm)

Selain itu, dia juga mengatakan bahwa di era PD II, kelompok Zionis lah yang justru berkolaborasi dengan pihak Nazi dengan memberikan bantuan militer kepada mereka. Ingat, hal ini terjadi pada masa—menurut konferensi Gus Dur di Bali—terjadinya pembantaian umat Yahudi secara masal oleh pihak Nazi di Eropa:

In early January 1941 a small but important Zionist organization submitted a formal proposal to German diplomats in Beirut for a military-political alliance with wartime Germany. The offer was made by the radical underground "Fighters for the Freedom of Israel", better known as the Lehi or Stern Gang. Its leader, Avraham Stern, had recently broken with the radical nationalist "National Military Organization" (Irgun Zvai Leumi - Etzel) over the group's attitude toward Britain, which had effectively banned further Jewish settlement of Palestine. Stern regarded Britain as the main enemy of Zionism.”

(http://www.jewsagainstzionism.com/antisemitism/holocaust/gedalyaliebermann.cfm)

Soal Pendudukan Atas Palestina, Benar Atau Tidak Gus?

Salah satu persoalan lucu lainnya yang dinyatakan adalah tidak adanya pendudukan atas tanah Palestina oleh Israel. Mungkin, ini satu persoalan lainnya yang kurang dipahami oleh Gus Dur. Sebab, kasus pendudukan Palestina bukanlah isu yang dibuat oleh bangsa Palestina sendiri, tetapi persoalan ini sudah muncul sejak Deklarasi Balfour pada 2 November 1917. Deklarasi Balfour dibuat akibat kekalahan Kerajaan Ottoman setelah PD I. Sejak itu, wilayah Palestina diserahkan kepada pihak kolonial Inggris.

Pertemuan Kabinet Pemerintah Inggris pada 31 Oktober, 1917 menyatakan bahwa Inggris mendukung rencana Zionis untuk membuat sebuah “tanah air nasional” bagi warga Yahudi di tanah Palestina. Artinya, kaum Zionis memang akan menduduki wilayah Palestina dan membangun sebuah negara dan inilah yang disebut pendudukan.

Jadi , pernyataan Gus Dur yang mengatakan “Pendudukan Israel itu di mana ada pendudukan? Saya tanya. Ramallah dan lainnya tetap mereka di situ. Daerah-daerah suci tetap. Saya mau tanya pendudukan yang mana. Anda aja yang percaya, sendirian itu. Diomongin bohong-bohong kok mau aja.” (Sumber: rnw/hidayatullah.com), jelas tidak benar. Alasannya, persoalan Palestina bukan baru beberapa tahun silam, tapi persoalan ini telah muncul sejak tahun 1920 hingga 1948, saat disepakatinya Mandat Inggris atas Palestina. Artinya, tuntutan bangsa Palestina itu memang ada dasarnya, dan secara hukum internasional kasus pendudukan Palestina itu secara faktual ada, bahkan jauh sebelum Gus Dur sendiri dilahirkan.

Sebelum Israel mendeklarasikan Israel pada tahun 1948 di tanah Palestina, maka bangsa Palestina sudah diakui memiliki negara dengan batas-batas teritorial yang diakui oleh Eropa dan bangsa-bangsa lain.

-bersambung- [undzurilaina]


No comments:

Post a Comment