Beberapa waktu yang lalu saya menyaksikan di TV berita tentang seorang perempuan dan anak2nya menangis tersedu-sedu karena rumah mereka yang mereka jadikan jaminan akan disita sebagai ganti utang kepada seorang rentenir. Utangnya pertama kali sebanyak 40 juta rupiah, kemudian karena lama menunggak, utang tsb terus-menerus bertambah sampai akhirnya mencapai 120 juta. Mereka masih beruntung karena akibat pembelaan habis-habisan dibantu para tetangga, para juru sita menunda penyitaan. Tetapi, ini hanya “penundaan” penyitaan, bukan “pembatalan”. Beberapa hari lagi pasti mereka akan kembali dengan membawa lebih banyak “teman eksekutor”.
Beberapa waktu lalu, saya juga mendengar tentang seorang petani yang menggadaikan sawahnya kepada seseorang dengan syarat si pemberi pinjaman diberi hak untuk menggarap sawah tsb selama si peminjam belum melunasi utangnya. Dan karena si petani tidak mampu melunasi utangnya, maka penggarapan tsb terus berlangsung bertahun-tahun, dan makin lama si petani makin tidak mampu membayar utangnya tsb karena terus bertambah dan ia tidak punya pekerjaan lain atau sawah lainnya untuk digarap. Akhirnya, si rentenir yang mempekerjakan beberapa orang preman, menyita sawah tsb dengan paksa, menjadikan si petani makin miskin dan putus asa, dan tak lama kemudian bunuh diri.
Akibat-akibat buruk seperti inilah yang antara lain membuat para ulama tidak membenarkan peminjaman uang dengan jaminan barang-barang yang boleh dimanfaatkan oleh si pemberi utang. Barang jaminan (seperti rumah atau sawah) harus tetap dikuasai oleh si pemilik, sampai saat pinjaman tsb jatuh tempo.
Walaupun demikian, persoalan pinjam-meminjamkan uang melalui Bank di masa sekarang sangat membingungkan masyarakat Muslim. Antara ancaman keras Al-Qur’an terhadap pemakan riba khususnya (bahkan mencakup juga si pembayar riba menurut hadis Nabi saw) di satu pihak, dan kebutuhan pembangunan perdagangan dan industri umat di lain pihak, membuat para ulama harus berpikir keras mencari solusi yang terbaik. Berpuluh-puluh tahun masalah ini menjadi perbincangan dan dengan sendirinya menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan mereka.
Bagaimana jika seseorang meminjam uang dari Bank yang dikuasai pemerintah (bukan dari orang per orang), lalu di haruskan membayar bunga ringan yang dianggap menguntungkan kedua fihak, seperti yang berlaku sekarang? Kebanyakan ulama tetap menganggap yang demikian itu termasuk riba yang haram. Tetapi ada juga (sebagian kecil) yang membolehkannya dengan alasan (1) bahwa lembaga-lembaga perbankan seperti sekarang ini adalah hal baru dan belum ada di zaman Nabi saw dan karenanya para ulama yang kompeten dibolehkan berijtihad dengan penghalalannya, dan (2) karena dianggap darurat, yakni sangat diperlukan umat demi kemajuan perdagangan dan industri mereka.
Di antara yang sedikit yang membolehkannya karena dianggap salah satu darurat umat adalah Syaikh Mahmud Syaltut (mantan Syaikh Al-Azhar di Mesir) seperti dapat dibaca dalam kumpulan fatwanya berjudul Al-Fatawa. Katanya, antara lain:
“… (tentang apa saja yang dianggap riba) para fuqaha mempunyai berbagai kesimpulan yang saling bertentangan. Banyak di antara mereka yang menyimpulkan bahwa dosa riba meliputi si peminjam dan yang meminjamkan. Saya sendiri (Syaltut) berpendapat bahwa kebutuhan (darurat) si peminjam serta keperluannya yang memaksa untuk meminjam, menjauhkan darinya dosa transaksi tsb. Sebab Allah swt berfirman: “ … sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atas kamu, kecuali apa yang kamu terpaksa melakukannya.” (QS Al-An`am: 119).”
“Atas dasar itu,” lanjut Syaikh Syaltut, “sebagian fuqaha telah menegaskan bahwa orang yang sangat memerlukan, dibolehkan meminjam uang dengan membayar keuntungan (laba).”
Ia melanjutkan lagi, “Walaupun demikian, saya berpendapat bahwa perkiraan apa yang dinamakan “kebutuhan (darurat) dan kemaslahatan” itu harus diputuskan oleh para pemikir yang ahli, di antara orang-orang beriman yang ahli hukum umum, ahli ekonomi dan ahli hukum syariat. Keputusan tsb harus juga meliputi tiga hal: (1) seberapa besar kebutuhan tsb (2) seberapa besar perkiraan keuntungan (yakni bunga) yang dibolehkan, dan (3) lembaga manakah yang dibolehkan memberikan pinjaman seperti itu. Karenanya, tidak boleh ada pinjaman seperti itu kecuali dengan adanya kebutuhan yang hakiki. Dan tidak boleh ada pinjaman kecuali sebatas yang benar-benar dibutuhkan. Dan tidak boleh ada pinjaman kecuali melalui lembaga-lembaga yang tidak dikhawatirkan akan melakukan pemerasan atau eksploitasi atau penjajahan.”
Fatwa Syaikh Mahmud Syaltut (tahun 1950) yang menghalalkan pinjaman dari bank dengan tambahan bunga tertentu, dengan alasan keterpaksaan atau darurat ternyata menimbulkan kontroversi di kalangan fuqaha di Mesir maupun di negara-negara Muslim lainnya. Banyak yang pro dan banyak pula yang kontra. Perdebatan demi perdebatan dan konperensi demi konperensi tentang bunga dalam pinjaman terus saja berlangsung, tanpa membuahkan kesepakatan. Bahkan diberitakan, setelah berlangsungnya perdebatan sengit antara fuqaha yang pro dan kontra, Syaikh Syaltut bersedia menarik kembali fatwanya itu. Namun dalam kenyataannya, sampai beliau wafat, penarikan kembali tsb tidak terwujud.
Sementara itu, sekitar tahun 80-an, bank-bank yang berupaya menerapkan ekonomi syariah mulai bermunculan di Pakistan, Mesir, Kuwait, Siprus, Bahrain, Uni Emirat Arab, Malaysia, Iran dan Turki. Indonesia sendiri baru mulai mendirikan Bank Muamalat Indonesia pada akhir tahun 1991, kemudian diikuti oleh bank-bank lain seperti Syariah Mandiri dll. Bank-bank ini menerapkan berbagai jenis transaksi yang non-ribawi seperti mudharabah (bagi hasil), musyarakah (penyertaan modal), muzara`ah (bagi hasil dalam pertanian), ijarah (sewa-menyewa termasuk sewa-beli), wadi`ah (simpanan) dan sebagainya.
Akan tetapi, mengingat bahwa bank-bank seperti itu, terutama di Indonesia masih tergolong baru, maka sudah barang tentu masih mengalami berbagai kendala dalam perkembangannya. Antara lain, kurang gencarnya informasi dari bank-bank itu sendiri sehingga pemahaman masyarakat pun belum merata yang sering menimbulkan keragu-raguan. Kurangnya jaringan kantor bank-bank syari`ah, termasuk loket-loket ATM-nya juga masih dirasakan sebagai hambatan. Dan masih ada beberapa lagi kendala teknis dan ekonomis yang belum berhasil disingkirkan, yang tentunya kita harapkan agar dapat diatasi secepatnya.
Kendala-kendala seperti itu (yang juga dialami di berbagai negeri Muslim) dan sudah barang tentu adanya perlawanan dari bank-bank konvensional internasional (yang kebanyakannya dikuasi modal Yahudi) menyebabkan banyak kalangan ilmuwan dan fuqaha tetap saja memperdebatkan soal halal-haramnya pinjaman dan penitipan uang yang berbentuk deposito berbunga tetap, seperti yang berlangsung sekarang. Banyak pula para pelajar dan pedagang yang menulis surat ke Lembaga Fatwa Al-Azhar tentang boleh atau tidaknya deposito dengan bunga tetap.
Maka pada tahun 1976, di Mesir diadakan diskusi tentang bunga bank yang dihadiri oleh 15 orang pakar fiqh yang mewakili keempat mazhab. Hasilnya, 4 ulama mengharamkan, sembilan menghalalkan dan yang seorang lagi belum memberikan keputusan. Selanjutnya, pada tanggal 28 Nopember 2002 Majma` Al-Buhuts Al-Islamiyah yang diketuai oleh Syaikh Al-Azhar yang sekarang, yaitu Sayyid Muhammad Thanthawi mengeluarkan fatwa yang isinya antara lain sbb:
“Mereka yang bertransaksi dengan bank-bank konvensional dengan menyerahkan uang atau simpanan-simpanan mereka kepada bank agar mewakili mereka dalam menginvestasikannya dalam berbagai kegiatan yang dibenarkan, dengan imbalan keuntungan yang besarnya telah ditentukan terlebih dahulu dan dalam waktu-waktu yang telah disepakati, maka transaksi seperti ini adalah halal tanpa syubhat. Karena tidak ada teks keagamaan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw yang melarang transaksi di mana telah ditetapkan terlebih dahulu mengenai besarnya keuntungan, sepanjang kedua belah pihak telah menyetujuinya dengan sukarela.”
Sekali lagi, fatwa tersebut menimbulkan kecaman keras dari banyak pakar fiqh, antara lain DR Yusuf Al-Qardhawi, yang untuk membantahnya telah menulis sebuah buku berjudul Fawaid Al-Bunuk Hiya’r-Riba Al-Haram. Buku ini telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Setiawan Budiono dengan judul Bunga Bank Haram
Berdasarkan keterangan di atas, jika transaksi2 keuangan dan perdagangan masih bisa dilaksanakan di Bank-bank Syari`ah yang ada sekarang, maka untuk amannya, sebaiknya dilakukan di sana. Akan tetapi seandainya telah ditempuh cukup usaha untuk itu namun tetap saja mengalami kesulitan, sehingga dapat dikatakan telah timbul situasi keterpaksaan (atau darurat), lalu seseorang pedagang mengikuti fatwa Syaikh Al-Azhar seperti di atas, mudah-mudahan Allah swt akan mengampuni, mengingat bahwa Allah SWT takkan membebani seseorang lebih dari kemampuannya. Wallahu a`lam.
No comments:
Post a Comment