Siang itu, karena kesibukan kantor aku terlambat menjemput mereka. Di sepanjang perjalanan, yang ada hanyalah kegelisahan.
Betapa kuatirnya aku, sekolah sudah sepi, anakku –Fatimah—tak tampak. Sedangkan anakku yang lain –Hanifah dan Ali—menunggu di luar pagar sekolah ditemani penjaga sekolah.Usahaku mencari informasi lewat penjaga sekolah NIHIL.
What must I do?! Akhirnya kuputuskan untuk mengontak beberapa temannya yang tinggal dekat sekolah. Sedikit mengobati kekuatiranku, ada dua anak yang memang belum pulang, namun orang tuanya pun tak tahu kemana mereka pergi?
Kurang lebih setengah jam keadaan mencekam tersebut meliputiku, tiba-tiba Fatimah dan rombongan kawan-kawannya muncul. Aku mencoba menahan emosi marahku dengan menyalahkan diriku sendiri: Mengapa menjemput terlambat? Namun sebagai bentuk kepedulian tetap aku tanya:
"Fatimah dari mana?"
"Dari besuk kawan yang sakit, Bi", dengan nada pucat.
"Bagus, tapi lain kali ngomong dulu sama abi!", aku menatapnya dengan kagum atas rasa kesetia-kawanannya.
"Habis, Bu guru nyuruh”. ”Perginya juga sama Bu guru", salah satu kawannya menimpali yang diamini kawannya yang lain.
" Yaa sudah", sambil memimpinnya memasuki mobil, dimana Hanifah dan Ali telah menunggu.
Di dalam mobil, di sepanjang jalan menuju rumah, aku mencoba mencairkan suasana dengan guyonan saling 'ejek'. Hanifah dan Ali terlibat.Tak seperti biasanya Fatimah diam seribu bahasa, walau kupancing.
Yang mengagetkanku, sesampainya di rumah, persis memasuki ruang tamu, Fatimah memelukku dengan diiringi tangisan terisak, dan dengan nada terputus-putus menahan emosi rasa 'bersalah' ia berkata:
"Bi, maafkan Fatimah Bi. Fatimah tadi bohong sama Abi. Fatimah tidak besuk sama Bu guru, Bu guru tidak ikut", Air matanya membasahi bajuku.
Aku pun tak kuat menahan tangis, sambil mengenang puluhan kebohongan yang pernah ku sampaikan padanya. [undzurilaina]
(diambil dengan penyuntingan seperlunya dari kisah nyata seorang teman di Palembang ketika berdialog dengan anaknya)
No comments:
Post a Comment