Wednesday, August 22, 2007

Harga Diri

Dalam sebuah khutbah Jumat di masjid dekat kantorku (Bandung), ada kisah menarik yang khatib sampaikan. Cerita tersebut bermula ketika guru sang khatib yang tinggal di Jakarta mendapat undangan syukuran dari seseorang. Pengundang syukuran itu adalah seorang nenek tua yang sering ia jumpai lewat depan rumahnya membawa barang rongsokan untuk coba ia tukar dengan biaya hidupnya sehari-hari.

Sang guru pun penasaran bertanya kepada nenek tua tersebut: "Maaf, Nek. Kalau boleh tahu dalam rangka apa syukuran ini?". Nenek tua itu pun menjawab: "Pokoknya ditunggu sekali kedatangannya ya pak, saya nggak ngundang banyak orang". "Oh, Baik nek. Insya Allah saya akan hadir".


Nenek tua itu tinggal di sebuah gubug kecil yang sudah reyot dan menempel di tembok sebuah rumah mewah yang ada di sebelahnya.


Singkat cerita, ketika sudah waktunya tiba, beberapa tamu undangan pun mulai berdatangan. Memang tak banyak yang diundang, hanya 6 orang (termasuk dengan sang nenek dan pemilik rumah mewah di sebelah gubug nenek itu, sebut saja namanya Pak Amir). Semua tamu masih memendam rasa penasaran karena nggak tau dalam rangka syukuran ini diselenggarakan.


Tibalah saatnya, sang nenek bicara.....
"Bapak-bapak sekalian yang saya hormati, terima kasih sekali sudah memenuhi panggilan saya. Saya hanya mengundang sedikit orang, karena memang rumah yang saya tempati ini hanya cukup menampung segini. Mungkin bapak2 penasaran kenapa bapak saya undang ke sini."


"Iya, betul Nek. Kami belum tahu dalam rangka apa kami diundang ke sini", sahut salah seorang tamu yang hadir.

"Begini, Pak. Saya mengundang bapak2 ini dalam rangka syukuran. Saya bersyukur sekali karena mulai tahun ini saya dibolehkan mengkontrak rumah yang saya tempatin ini oleh
Pak Amir. Sebelum2nya Pak Amir selalu menolak ketika saya mau membayar ongkos sewa tinggal di gubug yang menempel di rumahnya Pak Amir ini. Saya benar2 berterima kasih kepada Pak Amir, dan bersyukur kepada Allah SWT karena saya diijinkan untuk tinggal di gubug ini dengan tidak cuma2".

Para tamu yang hadir mendengarkan ucapan2 Nenek itu dengan seksama. Perasaan kagum, haru, bangga, sedih berbaur menjadi satu. Termasuk aku yang mendengarkan cerita itu dari sang khatib jumat waktu itu.

Betapa tidak, ketika kita melihat banyaknya para pengemis dan pengamen yang gagah2 di simpang2 jalan menengadahkan tangannya kepada orang2 yang lalu-lalang. Betapa tidak, ketika pemerintah kita sangat bangga berkata bahwa negara kita mendapat kepercayaan untuk mendapat tambahan hutang dari negara2 donatur.


Kita sering melihat pemandangan2 yang kontras di alam realita ini. Kita melihat di sejumlah persimpangan ramai di kota2 besar seperti Bandung atau Jakarta, para pengamen, pengemis, "pengelap" mobil, dll sangat antusias menyambut kendaraan2 yang berhenti di persimpangan tsb dengan tangan menengadah. Kita mungkin juga sering mendengar bahwa pendapatan mereka cukup besar dari situ. Ketika masa "reses" mengemis itu biasanya mereka pulang kampung dengan membawa "oleh2" perhiasan, pakaian dll yang sangat memadai. Sementara tidak jauh dari simpang situ, ada penjual roti bakar, gorengan, sapu lidi yang dengan susah payah mencucurkan keringatnya seharian menjual dagangannya. Mereka dengan bangga mengatakan walau hanya dapat 10 ribu sehari, saya sangat puas. Saya sangat puas bisa memberi makan anak istri saya dengan hasil kerja keras, bukan meminta-minta, walaupun hasilnya mungkin jauh lebih besar.

Harga diri rupanya sebuah barang langka di negeri kita tercinta ini, walau usianya telah mencapai 62 tahun. Senang aku bisa mendengar cerita tentang "barang langka" tersebut. Hmmm....[undzurilaina]

No comments:

Post a Comment