Monday, August 20, 2007

Apa Tuhan nggak Capek?

Hidup di kota kecil, Palembang, ada enaknya. Walau uang cekak, kesempatan kumpul keluarga –mungkin—lebih banyak dari yang dinikmati saudara-saudaraku yang hidup di kota metropolis seperti Jakarta. Berangkat harus pagi-pagi sekali, dan pulang pun malam sekali.

Tradisi sholat Maghrib dan Isya' jama'ah sekeluarga, dilanjutkan dengan membaca wiridnya Habib Abubakr Sakran seperti yang ditradisikan ayahku alhamdulillah dapat kupelihara.

Selepas sholat maghrib, suatu hari, aku mencoba menerjemahkan doa kemenangan dari kumpulan wirid itu. Belum habis terjemahannya kubaca, Hanifah (anak keduaku yang waktu itu berumur 7 tahun), nyeletuk:

"Bi, apa Tuhan nggak capek dengar doa kita?"

Hampir saja, karena kesal menahan rasa kantuk, aku menjawab: "Hus, diam Hanifa!".

Untung pikiran jernihku masih tersisa. Maka meluncurlah jawaban dari mulutku:

"Ya enggak, Hanifa. Tuhan itu kan baik sekali sama kita. Dia selalu sabar mendengarkan doa-doa kita, permintaan-permintaan kita kepadanya."


"Tapi, kan lama-lama Tuhan capek juga kalau harus mendengarkan doa kita terus-menerus!" protes anakku.

"Tidak, Hanifa. Tuhan itu tidak seperti kita. Tuhan nggak pernah capek dan nggak pernah ngantuk seperti kita. Tuhan juga nggak pernah tidur ..."

"Wah, hebat ya Tuhan itu, Bi!" sahutnya dengan mata berbinar-binar.

"Memang, Tuhan itu hebat. Tidak mengantuk, tidak tidur, selalu mendengarkan permintaan kita, dan selalu sibuk memberikan apa-apa yang kita minta. Asal kita juga menjalankan perintah-perintahnya."

"Apa bisa, Bi, Tuhan memberikan semua permintaan kita?" tanyanya lagi.

"Ya bisa. Tuhan bisa berbuat apa saja. Asal permintaan kita itu baik. Kalau tidak baik buat kita, Tuhan tidak akan memberikan. 'Kan Tuhan sayang sama kita"

"Wah, kalau begitu, Hanifa mau minta juga sama Tuhan. Hanifa mau minta Tuhan memberi Hanifa mainan rumah-rumahan yang pernah Hanifa tunjukkan sama Abi waktu kita ke toko itu", Pandangan matanya makin berbinar-binar.

"Iya, tapi Hanifah mesti jadi anak yang baik dulu. Jangan lupa shalat, jangan berbohong, senang membantu Umi, dan juga senang belajar. Biar Tuhan senang sama Hanifa.", kataku sambil agak ragu mengenai kebenaran kalimat-kalimat yang kupakai.

"Iya, Bi. Habis baca doa ini Hanifa mau belajar, terus mau bantu Umi merapikan rumah. Boleh ya, Mi?

Dalam hati, aku mengingatkan diriku, agar suatu saat tak lupa mampir ke toko itu, untuk melaksanakan keinginan Allah mengabulkan doa anakku.[undzurilaina]

(diambil dengan penyuntingan seperlunya dari kisah nyata seorang teman di Palembang ketika berdialog dengan anaknya)

No comments:

Post a Comment