Friday, August 24, 2007

Besi

oleh: Goenawan Muhammad

Tuhan, dalam bayangan mereka, adalah Tuhan yang menaklukkan. Ia adalah Tuhan dengan tangan besi.

Di Amerika mereka menyebut diri kelompok Rekonstruksionis. Ada juga yang lebih jauh, dan menyebut diri Christian Identity. Di Israel mereka adalah Gush Emunim dan bersama itu kaum "Kookis". Di pelbagai negeri mereka adalah Jihad Islam. Di Indonesia mungkin punya nama lain. Mereka tidak satu. Bahkan bisa bertentangan dengan sengit. Tapi sebenarnya mereka berdekatan. Mereka sama-sama menganut satu hal yang dengan pesat berkembang di- dalam tiga agama monoteis itu sampai dengan awal abad ke-21: teologi dengan militansi, iman dengan kebencian. Dengan itu mereka saling memperkuat, seakan-akan dalam pakta yang tak sadar.

Kaum Rekonstruksionis adalah contoh yang bagus. Bagi mereka, hidup terancam oleh kaum "humanis sekuler". Sebuah peradaban Kristen, kata mereka, harus didirikan untuk mengalahkan Setan. Juga untuk mempercepat Kerajaan yang dijanjikan. Jika nanti Kerajaan Allah itu datang, agama dan negara tidak lagi dipisahkan. Demokrasi, sebuah paham yang murtad, akan dihapuskan. Masyarakat akan diatur menurut yang digariskan Injil. Tiap hukum yang ada di sana harus dijalankan secara persis, dan sebab itu harfiah. Perbudakan akan dihidupkan lagi. Keluarga berencana akan ditumpas. Para pezinah, kaum homoseksual, dan ahli astrologi (juga nenek sihir) harus dihukum mati. Anak yang tak mau patuh akan dirajam.

Kaum pendukung Christian Identity di Amerika Serikat punya perspektif yang lebih seram. Negara Amerika bagi mereka telah dikuasai ZOG (Pemerintahan Pendudukan Zionis), dengan kendali Setan dan Yahudi. Sebab itu layak dihancurkan. Perang di Hari Penghabisan akan terjadi, dan orang kulit putih akan habis. Para penganut Christian Identity sebab itu mempersiapkan diri dengan menghimpun senjata dan mesiu. Mereka siap membunuh para pejabat dan petugas negara. Pada suatu hari di bulan April 1995, gedung pemerintah federal di Oklahoma City diledakkan, dan sejumlah orang dan anak-anak mati.

Hidup yang tegang di bawah bayang-bayang Tuhan yang serba curiga, hidup yang harus dibebaskan dengan kekerasan—dari mana gerangan persepsi ini datang? Aneh atau tak aneh, dua abad setelah Pencerahan, agama tak serapuh yang diduga semula. Dua abad setelah Pencerahan, kebudayaan modern menuntut sesuatu yang sangat berat. Ia memang menyumbang banyak hal bagi kelanjutan hidup. Tetapi Karin Armstrong, dalam bukunya yang baru, The Battle for God, menunjukkan juga segi lain dari modernitas: harga-diri yang terganggu. Mungkin juga kebingungan yang laten.

Di satu pihak Pencerahan dan humanisme menegaskan bahwa manusia adalah pengukur segala hal. Tapi di lain pihak ilmu pengetahuan menunjukkan bagaimana ia hanya penghuni sebuah pojok. Kopernikus memulai pemikiran bahwa bumi, tempat tinggal manusia, ternyata cuma satu noktah kecil dalam alam semesta. Kant berkata tentang keterbatasan yang lain: kita sebenarnya tak pernah bisa pasti benarkah pikiran kita cocok dengan realitas di luar kepala kita. Dan kita tahu apa kata Darwin dan Freud. Manusia tidak diciptakan menurut Wajah Tuhan, melainkan buah dari sebuah evolusi yang bermula dari bentuk yang lebih sederhana—dan sampai akhir ia tetap saja bukan makhluk yang rasional dan rapi. Di balik perilaku manusia yang tampak mulia, dalam sorotan Freud, ada bergerak segudang libido.

Tapi penjelasan seperti itu tetap saja tidak menjawab mengapa orang Gush Emunim di kalangan Yahudi bukan saja hendak menghalau orang Palestina, tapi juga kaum Zionis sekuler. Kebingungan modernitas tak menerangkan kenapa para pengikut Shukri Mustofa menganjurkan mufsalah kamilah (perpisahan total) dari negeri Mesir yang didirikan Nasser, dan akhirnya membunuh Presiden Sadat—sebagaimana Rabbi Meir Kahane menyerukan agar orang Yahudi mengisolir diri hingga sesedikit mungkin punya kontak dengan "apa yang asing", dan akhirnya ada yang membunuh Perdana Menteri Rabin.

Barangkali pada akhirnya memang bukan modernitas itu sendiri yang jadi perkara. Karin Armstrong sendiri dengan tepat menunjukkan bahwa fundamentalisme bukanlah sebuah gerakan kuno. Justru sesuatu yang modern. Kaum fundamentalis Protestan membaca Injil secara harfiah dan rasional, sangat berbeda dengan spiritualitas pra-modern yang membacanya dengan semangat mistis dan alegoris. Kaum fundamentalis Islam juga lebih melihat iman sebagai bagian ilmu pasti. Dengan itu dunia di luar diri—yang "bukan-aku"—dipisahkan, ditaklukkan. Dunia bukan sesuatu yang indah. Ia sesuatu yang harus kalah. [undzurilaina]


No comments:

Post a Comment