Kabar
Satu contoh sederhana keminderan ini terlihat dari diskriminasi tingkat gaji yang sangat tinggi antara expatriate dan anak negeri sendiri. Para expatriate di Indonesia digaji 10 kali lipat dari orang Indonesia meskipun dengan tingkat pendidikan, kemampuan, tanggung jawab dan kinerja yang sama.
Seorang foreign engineer di Jakarta misalnya, menurut standar Bappenas, mendapatkan gaji sekitar US $5.000,00 per tahun.
Sebaliknya orang Indonesia , dengan kualifikasi sama hanya menerima sebesar $500,00 saja. Tidak jarang dalam suatu proyek, meskipun dengan kualifikasi pendidikan lebih tinggi semisal MSc atau PHd, orang Indonesia digaji tetap lebih rendah dari expatriate yang cuma BSc (Rahardjo,2006).
Di samping gaji tinggi, biasanya expatrite juga mendapat berbagai fasilitas berlimpah seperti berkantor di kawasan segitiga mas (Sudirman, Thamrin dan Kuningan), tempat tinggal di apartemen mewah, keanggotan di club-club olah raga dan hiburan elite dan lain-lain.
Intinya mereka sangat dimanjakan, sehingga tidak salah kalau dikatakan Indonesia adalah syurga bagi para expatriate.
Sebenarnya tidak masalah jika expatriate digaji sedemikian tinggi jika memang memiliki kemampuan unik yang tidak dimiliki oleh orang Indonesia dan betul-betul dibutuhkan. Tetapi jika kemampuan dan kinerja sama, lalu digaji lebih tinggi hanya karena statusnya bule, sungguh tidak logis menurut cara fakir orang yang berjiwa "merdeka".
Jika pemerintah atau perusahaan harus membayar mahal hanya untuk status ke-bule-an saja, bukankah ini standar yang sangat stupid.
Ketika jasa seseorang dihargai cuma 1/10 dari koleganya, hanya karena dia orang INDONESIA , berarti sungguh malang menjadi orang Indonesia .
Mirisnya lagi, yang mengeluarkan standar gaji yang sangat diskriminatif ini adalah Bappenas-Pemerintah Indonesia sendiri.
Berarti pemerintah Indonsia melecehkan rakyatnya sendiri, menganggap bodoh bangsanya sendiri. Ini sungguh bertolak belakang dari peran yang seharusnya dimainkan oleh pemerintah.
Bukankah pemerintah suatu negara seharusnya menyokong rakyatnya, mendorong mereka supaya bisa maju, jika belum mampu difasilitasi supaya mencapai kualifikasi sama dengan expatriate. Singkatnya memberi kesempatan seluas-luasnya kepada anak bangsa untuk bisa berkembang dan mengekspolasi potensinya.
Kenyataan di lapangan menunjukkan tidak selalu yang bernama bule lebih pintar dari orang Indonesia . Banyak diantara mereka memiliki kemampuan biasa-biasa saja. Malah mungkin di negaranya berada pada lapis ke-3 atau 4, tapi di Indonesia mereka disanjung sedemikian rupa, mendapatkan posisi yang sangat bagus dan hidup mewah.
Keadaan ini tidak hanya berlaku di dunia bisnis, tetapi juga pada proyek-proyek pemerintah. Suatu kali tim peneliti dari UGM mendapat tugas membuat perencanaan daerah wisata pulau Jemur, di Kabupaten Rokan Hulu Riau. Sebagai arsitek dan perencana local, tim ini hanya mendapat dana sebesar 500 juta rupiah untuk jangka waktu 6 (enam) bulan. Sementara ada satu kabupaten lain yang lebih percaya pada konsultan dari Singapura harus mengeluarkan anggaran sebesar 3 milyar rupiah.
Saat hasil penelitian dan perencanaan sama sama dipresentasikan, ternyata perencanaan yang dibuat tim peneliti UGM tidak kalah bagus dari konsultan Singapura yang dibayar enam kali lipat lebih tinggi.
Malahan perencaanan UGM terlihat lebih menyentuh apa yang dibutuhkan masyarakat karena mereka memadukan dengan metode Partisipatory Planning sehinga mereka tahu betul apa keinginan masyarakat.
Sebenarnya kita sendiri yang menempatkan para expatriate pada posisi yang sangat tinggi, menyanjung mereka sedemikian rupa, begitu percaya dan yakin mereka lebih baik, dan lebih berkualitas.
Sebaliknya tidak memberi perlakuan sama kepada bangsa sendiri.
Secara umum di seluruh dunia, expatriate memang digaji lebih tinggi dari pekerja lokal, namun perbedaannya tidak separah di Indonesia .
Di Silicon Valley misalnya, gaji seorang software engineer
(expatriate) dua kali pekerja lokal, termasuk jika expatriate-nya orang Indonesia (Patriawan, 2006).
Pemerintah Indonesia sepertinya tidak yakin dengan kemampuan sendiri. Inilah warisan mental Inlander (sindrom minder, rasa rendah diri, dan inferior) dari Belanda (Yulianto, 2007). Padahal fakta membuktikan banyak anak-anak Indonesia yang brilliant malah dimanfaatkan oleh orang luar negeri. Bukankah banyak jebolan ITB yang menjadi enginer-nya perusahan-perusahan minyak dunia di Houston misalnya, yang dikenal sebagai kota minyak dunia. Itu membuktikan kalau kualifikasi anak Indonesia , sama sekali tidak kalah dengan yang bernama bule.
Mereka adalah aset bangsa yang sangat berharga, dimana potensi mereka seharusnya dimaksimalkan untuk membangun bangsa. Yang terjadi malah mereka "disia-siakan", dan dimanfaatkan negara lain.
Bukankah lebih baik memanggil mereka pulang dan memberi penghargaan yang sama sebagaimana layaknya expatriate, ketimbang menggaji orang asing. Ibarat memberikan sumbangan, lebih baik kepada saudara sendiri dahulu baru kepada yang lebih jauh.
Disamping perlunya memberikan kesempatan yang sama kepada putra- putri dalan negeri sendiri, seharusnya pemerintah sangat berhati- hati dalam pemakaian expatriate , terutama untuk bidang perencanaan.
Persoalannya bukan hanya sekedar pembayaran yang jauh lebih tinggi, tetapi menyangkut aspek lain yang lebih luas. Perlu digarisbawahi, pada proyek-proyek pemerintah, masuknya para expatriate ke Indonesia bukan karena sebuah rekruitment terbuka.
Mereka adalah "AGEN-AGEN" yang dipekerjakan oleh pemerintah dari negara mereka, lalu ditempatkan pada lembaga lembaga strategis di Indonesia , khususnya dalam bidang-bidang perencanaan.
Sebagaimana diketahui, fondasi dari sebuah pembangunan baik fisik maupun mental adalah pada aspek perencanaan. Ketika para expatriate berada pada posisi perencanaan, maka dengn mudah mereka menyuntikkan virus virus kapitalis didalamnya. Mereka memang sengaja dihadirkan melalui proyek- proyek besar yang didanai oleh negara-negara asing.
Ini adalah dampak negatif bagi bangsa Indonesia yang perlu diwaspadai oleh pemerintah.
Karena itu, perlu adanya perubahan paradigma yang menganggap bangsa asing (bangsa berkulit putih) lebih baik dari orang Indonesia .
Pemerintah juga sebaiknya segera melakukan pemetaan SDM yang dimiliki Indonesia , baik menyangkut kuantitas maupun kualitas.
Dengan adanya statistik lengkap dan peta yang jelas tentang penyebaran SDM Indonesia di berbagai disiplin ilmu, maka akan didapatkan gambaran jelas tentang kekuatan SDM Indonesia.
Dengan kedua hal ini, diharapkan Bappenas-pemerintah- dapat merevisi standarnya yang tidak rasional tersebut. dan menggantinya dengan standar yang lebih mencerminkan jiwa merdeka sebuah bangsa. Lebih jauh, pemerintah bisa mendapatkan keyakinan bahwa sebenarnya tersedia cukup SDM dengan jumlah dan kualifikasi yang memadai, sehingga tidak selalu harus bergantung pada expatriate. Pada akhirnya diharapkan ibu pertiwi dapat menjadi syurga bagi anak negeri sendiri.[undzurilaina]
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&dn=20070710204429
No comments:
Post a Comment