Allamah Iqbal, seorang cendikiawan besar asal Pakistan, pernah mengatakan bahwa manusia bisa menjadi budak manusia lain karena kebodohannya. Dia memiliki dalam dirinya “ego” untuk menyanjung dirinya sendiri. Namun anehnya, mutiara sangat berharga itu malah dilemparkannya ke bahwa kaki orang2 zalim (beliau mencontohkan seperti Qubad dan Jamsyid). Setelah memiliki mentalitas budak, dia lalu menjadi sosok binatang yang lebih buruk dari seekor anjing. Sungguh, saya tak pernah melihat anjing manapun yang bersujud di hadapan anjing lainnya!
Manusia terkadang mematuhi sesuatu karena kebodohannya. Islam jelas melarang pola kepengikutan secara membabi buta seperti ini. Dulu waktu Muhammad Rasulullah SAW mendakwahkan Islam kepada para kafir Quraisy, mereka menolaknya dengan alasan bahwa nenek moyang mereka telah berbuat yang sama dengan mereka. Satu2nya alasan mereka adalah bahwa para pendahulu mereka telah berbuat yg sama dengan mereka. Maka Al-Quran pun mengecamnya:
“Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata: Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya. Katakanlah, sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji. Mengapa kamu mengada2kan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?” (QS: al-A’raf:28)
Itulah alasan pertama kenapa seseorang itu patuh, yaitu ikut2an tanpa alasan yang jelas (kebodohan). Dan ikut2an tanpa dasar pengetahuan seperti ini terlarang dalam Islam.
Seseorang bisa juga patuh disebabkan karena kecemasan dan ketakutan. Orang2 zalim biasa memaksa manusia untuk patuh terhadap segenap titah mereka melalui intimidasi dan ancaman.
“Firaun berkata, Sungguh jika kamu menyembah Tuhan selain aku, benar2 aku akan menjadikan kamu salah seorang yang dipenjarakan” (QS. Al-Syuara: 29)
Atau bisa juga manusia terpaksa patuh karena adanya janji2 atau imbalan tertentu yang menggiurkan. Seperti dilakukan Firaun kepada para ahli sihir kerajaannya yang akan memberikan imbalan yang menarik dengan syarat mereka mampu mempermalukan Musa as.
Cara ini (ancaman dan bujuk rayu) seringkali ampunh untuk membuat manusia mematuhi hukum. Namun cara2 seperti ini akan membuat sikap kritis dan kemandirian orang yang terkait menjadi lemah.
Memang, Islam juga menegaskan tentang siksa neraka dan pahala surga. Namun semua itu bukan dimaksudkan terjadi di dunia ini, melainkan nanti di masa depan. Ya, setelah mati. Karena itu, mereka akan memilih jalan hidup mereka dan mematuhi segenap hukum dengan penuh kerelaan. Ketakutan terhadap hukuman atau harapan terhadap ganjaran nikmat pada hari pembalasan tidak memaksa manusia utk melaksanakan perintah2 tertentu. Terbukti kita setiap saat mendengar, melihat, dan bahkan sering kali juga melakukan pelanggaran dan pengabaian terhadapnya.
Hal lain yang terkadang juga membuat seseorang patuh terhadap sesuatu adalah karena adanya tuntutan kebutuhan dan persaingan dengan manusia lain sehingga kemudian menghalalkan segala cara dan patuh kepada hawa nafsunya tersebut.
Kemudian sebab yang keempat seorang untuk patuh adalah Akal pikiran dan pengetahuan. Seorang pengguna jalan akan dengan senang hati mematuhi aturan penutupan suatu jalur tertentu jika ia mengetahu alasannya kenapa polisi menutup jalur tersebut. Tapi jika mereka tidak diberi tahu, maka dia akan dapat menyangka polisi memberlakukan aturan secara sewenang2 dan kemudian menolak untuk mengikutinya.
Islam juga menggunakan alasan yang masuk akal untuk membuat manusia mau mematuhi hukum2nya. Inilah yang seringkali dikatakan pada setiap yang diperintahkan atau dilarang oleh Islam. Puasa agar kita bertaqwa, Sholat untuk mencegah fakhsya dan munkar, Qishas untuk kehidupan, infak diumpamakan seperti menanam kebun yang buahnya berlipat, dst. Dan berbagai ayat dan riwayat lain yang menyatakan pentingnya alasan dan argumen yang masuk akal dalam mengikuti perintah2 Islam.
Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat menegakkan keadilan. (QS. al-Hadîd: 25)
Kemudian alasan kelima yang menjadikan seseorang patuh terhadap hukum atau perintah adalah karena Cinta.
Dan di antara manusia ada orang2 yang menyembah tandingan2 selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapaun orang2 yang beriman sangat mencintai Allah. (al-Baqarah:165)
Seseorang yang cinta kepada sesuatu, dia menjadi patuh terhadapnya. Ayat diatas mengatakan bahwa orang2 beriman itu sangat mencintai Allah, yang karenanya kemudian mereka menjadi sangat patuh kepada aturan2-Nya. Kata ahli psikologi, seseorang yang cinta kepada seseorang, maka dia berusaha sekuat tenaganya untuk menjadi seperti yang dicintainya.
Katakanlah: "Jika kamu (benar2) mencintai Allah, ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." (QS. 3:31).
Yang menarik juga adalah ayat-Nya dalam surat as-Syuara: 23 berikut ini:
“Katakanlah (Wahai Muhammad), aku tidak minta balasan apapun atas risalah yang aku sampaikan pada kalian kecuali kecintaan kalian terhadap keluargaku”
-----
Ya, terdapat beragam cara yang dapat mendorong manusia untuk patuh terhadap suatu aturan. Dalam hal ini, dengan penuh yakin, kita dapat langsung menyatakan bahwa cara terbaik dan paling masuk akal untuk itu adalah cara keempat dan kelima, yaitu cara yang dilandasi pengetahuan, kearifan, cinta dan kasih sayang.
Jadi, kita tidak dapat meng-gebyah uyah (baca: generalisir) bahwa semua orang yang patuh kepada sesuatu atau seseorang adalah manusia bodoh seperti kawanan kambing yang manut kemana dibawa oleh penggembalanya.
Dunia ini penuh dengan ragam topik permasalahan. Untuk setiap topik permasalahan itu perlu sebagian orang untuk menekuninya sehingga dapat menjadi “panutan” solusi bagi manusia selainnya. Karena tak mungkin seseorang memiliki resource yang memadai untuk menjadi ahli dalam semua topik.
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. 9:122)
Menghargai dan meninggikan derajat orang yang lebih ahli ilmu adalah hal yang sangat logis, alih2 kultus. Bahkan Allah SWT sendiri yang meninggikan derajatnya.
“...niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (QS. 58:11).
Namun, betapapun, tentu saja tingkatan kepatuhan kita pada ahli berbeda-beda. Hal ini –menurut saya—tergantung seberapa tinggi tingkat jaminan kebenaran dari apa yang disampaikan oleh Ahli tsb. Jaminan ini bisa bersumber vertikal (Ilahiyyah) maupun horizontal (tingkat kepakaran, integritas, akhlak, dsb). Apa yang disampaikan oleh Rasulullah SAW –misalnya—tentu pasti benar karena ada jaminan dari Sang Pencipta Segala bahwa apa yang darinya tidak lain kecuali wahyu. Jaminan keterjagaan mutlak seperti ini yang tidak dimiliki oleh semua manusia ahli. Oleh karenanya yang diperlukan adalah menjaga sikap kritis terhadap pendapat ahli. Bukan dengan sekedar PeDe tanpa cukup modal dengan kemampuan sendiri terhadap segala hal dan kemudian mengabaikan “sistem ahli”. Ini justru tidak masuk akal, menurut saya.
Semua orang bisa jadi ahli pada bidangnya masing2. Dan dengan keahliannya masing2 itu, maka setiap orang dapat menjalankan perannya masing2 untuk menjalankan roda-roda kehidupan ini. Seseorang bisa berperan sebagai pengikut pada satu bidang, dan menjadi yang diikuti pada bidang yang lain.
So, Selamat berperan. Selamat menjadi Ahli!