Monday, January 21, 2008

Value, Risk, dan Hamba Allah

Sebilah pisau umumnya dibuat dengan tujuan untuk memotong daging, buah, sayur dan sejenisnya. Sebuah pensil dibuat dengan tujuan untuk menulis dan menggambar. Mobil dibuat dengan tujuan untuk membuat orang dapat melakukan perjalanan dengan cepat dan nyaman. Teknologi diterapkan di sebuah perusahaan untuk mendukung perusahaan dalam mencapai objektif dan strategi bisnisnya.

Memotong dan menulis itu adalah nilai (value) dari pisau dan pensil. Melakukan perjalanan dengan cepat dan nyaman adalah nilai (value) dari sebuah mobil. Mendukung pencapaian objektif bisnis adalah nilai (value) dari sebuah solusi Teknologi. Semakin sesuai sebuah produk dengan tujuannya maka akan semakin tinggi pula nilainya.

Kemudian kalau kita bertanya mungkinkah produk-produk tersebut tidak mencapai tujuannya, atau bahkan melenceng jauh dan bertolak belakang dengan tujuan pembuatannya? Mungkinkah sebuah pisau yang dibuat dengan tujuan untuk memotong buah dan sayur malah digunakan untuk membunuh orang? Mungkinkah sebuah pensil yang dibuat untuk menulis, malah digunakan untuk menyolok mata temannya oleh seorang anak? Mungkinkah TI yang diterapkan dengan tujuan untuk mendukung pencapaian objektif bisnis malah disalah gunakan oleh sebagian orang untuk melakukan sesuatu yang tidak berhubungan dan/atau bahkan membahayakan perusahaan seperti manipulasi data, hacking, dll?

Bukankah itu semua sangat mungkin terjadi? Hal-hal tersebut diatas biasanya disebut sebagai resiko (risk) dari produk-produk tersebut. Adalah tugas penggunanya untuk menjaga dan memelihara agar produk-produk tersebut digunakan sesuai petunjuk pembuatnya sehingga kemudian dapat mencapai tujuan pembuatan / penerapannya.


“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.٭
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. 3:190-191)

Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, melainkan dengan benar. Dan sesungguhnya saat (kiamat) itu pasti akan datang, maka maafkanlah (mereka) dengan cara yang baik (QS. 15:85)

Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main.(QS. 21:16)

Segala sesuatu diciptakan oleh Allah SWT tidaklah sia-sia. Allah SWT pasti memiliki tujuan. Allah menciptakan manusia, matahari, bulan, gunung-gunung, tumbuhan, binatang, batu, tanah, angin, dll masing-masing dengan tujuan penciptaannya.

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.(QS. 51:56)

Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi...(QS. 35:39)

Manusia diciptakan tidak lain untuk mengabdi kepada-Nya. Manusia ditunjuk oleh Allah sebagai khalifah di muka bumi salah satunya berkewajiban untuk menjaga dan memelihara semua ciptaan Allah yang ada di bumi agar mencapai tujuan penciptaannya. Aturan-aturan yang dibuat oleh Allah juga memiliki tujuan tertentu yang dicanangkan-Nya. Allah menjelaskan apa yang ada di setiap perintah dan larangan-Nya. Nilai dari setiap apa yang kita lakukan itu akan bergantung pada kesesuaian kita dalam mewujudkan tujuan aturan-aturan tsb. Nilai amalan yg kita lakukan akan semakin rendah ketika kita menjauh dari tujuan pembuatan aturan2 tsb.

”Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (QS.29:45)

”...sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku” (QS. 20:14)

Ayat2 di atas menjelaskan diantara tujuan (nilai) dari perintah Sholat. Tapi apakah semua orang yang melakukan sholat akan mencapai tujuan yang diinginkan oleh Allah? Mari kita perhatikan ayat berikut:

”Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk salat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan salat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. 4:142)

Ayat di atas mengemukakan bahwa aturan Sholat yang memiliki tujuan dan nilai luhur disalah gunakan oleh orang munafik untuk tujuan-tujuan lain. Di ayat lain (surat al-Ma’un) Allah mengecam orang-orang yang melakukan sholat tapi lalai (terhadap nilai-nilai sholat).

Allah SWT juga mensyariatkan pernikahan pada manusia. Dalam perintah nikah tsb terkandung nilai-nilai yang luhur seperti salah satunya dijelaskan pada ayat berikut:

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (QS. 30:21)

Namun demikian apakah setiap orang yang melakukan nikah memiliki tujuan yang mulia sesuai dengan nilai-nilai luhur yang disyariatkan-Nya?

Ternyata tidak! Apa yang akan kita katakan ketika membaca berita bertajuk ”Fenomena ’Sabtu Kawin Minggu Cerai’ Pengungsi Irak”, atau fenomena ”Wisman timteng yang nikah di Puncak”, yang kemudian ditinggal balik ke negaranya setelah meninggalkan sejumlah uang, atau fenomena orang yang nikah beberapa hari kemudian cerai dengan maksud untuk mendapatkan harta ”gono-gini”, popularitas, kedudukan atau hal-hal lain?, dst, dst...

Kemudian kita dapat bertanya, Apakah pernikahan-pernikahan mereka itu sah secara hukum? Sepertinya, Iya!

Lantas kenapa jauh dari NILAI pernikahan yang dikehendaki-Nya? Menurut saya, setiap perintah itu juga mengandung ”resiko” yang harus kita kelola dengan baik. Tugas kita sebagai pengguna syariat adalah menjaga agar nilai-nilai pernikahan itu lah yang terjadi, dan resikonya minimal.

Menurut yang saya pahami, dalam menjalani kehidupan ini kita akan selalu dihadapkan pada ”nilai” (value) dan ”resiko” (risk). Tugas kita adalah menjaga dan meningkatkan value dan me-manage resiko (karena menghilangkan resiko sama sekali nyaris mustahil). Kata junjunganku SAW, manusia terbaik adalah manusia yang paling bermanfaat (memberikan value) untuk selainnya.

Saya punya keyakinan bahwa proses mengelola “value” dan “risk” ini bukanlah sebuah one-cycle process yang langsung sempurna dalam sekali putaran. Tapi ia adalah sebuah proses kontinu untuk selalu melakukan perbaikan dari waktu ke waktu (continous improvement). Semakin baik kita mengelola “value” dan “risk” ini maka akan semakin tinggi tingkat keberagamaan kita. Dan titik akhir dari proses tersebut adalah tujuan penciptaan kita semua, yaitu menjadi hamba Allah, Abdullah. [undzurilaina]

No comments:

Post a Comment