Mister Ayip (bukan nama sebenarnya), adalah salah seorang teman yang sempat serumah kontrakan dulu waktu masih kuliah di Bandung. Dia juga memiliki panggilan sayang yang mirip dengan nama organisasi negara2 Asia Pasific, APEX. Salah satu hal yang menjadi kegemarannya adalah memegang kendali remote hampir setiap nonton TV bareng2. Lebih lagi, ternyata hobinya itu tidak hanya dia salurkan sewaktu nonton TV di rumah saja.
Pernah suatu kali dia bersama teman saya yang lain (Mister K) sedang ngantri menunggu dilayani di sebuah apotek besar di Bandung. Di ruang tunggu Apotek itu tersedia TV yang disediakan khusus bagi para customer yang sedang antre. Melihat TV itu, dia seperti gelisah mencari sesuatu di sekeliling TV tsb. Sampai akhirnya, dia menemui pelayan Apotek dan bertanya:
“Mbak, bisa pinjam remote TV itu?”
Begitu dia mendapatkan alat kesayangannya itu, langsunglah dia beraksi berselancar diantara stasiun2 TV yang waktu itu sebenarnya tak seberapa banyak.
Melihat kelakuannya, Mister K yang dari tadi hanya mengamati itu berkomentar:
“Yip, nanti kalau ente ulang tahun, ane sumbang remote deh!”.
“Hahaha...”, keduanya pun tertawa.
“Kecintaan” para pengguna TV kepada remote ini ternyata merupakan fenomena yang umum terjadi di banyak tempat. Dan karena “kecintaan” itu juga yang menyebabkan benda kecil itu sering hilang, baik sebagian (masih menyisakan jejak2 beberapa komponennya) maupun seluruhnya. Hilang sementara ataupun selamanya. Saya sendiri sering kali kehilangan remote TV saya di rumah, seiring dengan membesarnya 2 jagoan saya.
Ada sebuah survey yang menarik berkaitan dengan kecintaan pada benda bernama Remote Control ini. Di Amerika pernah dilakukan survey yang menghasilkan antara lain:
- Lebih dari setengah (55%) dari responden mengatakan bahwa mereka kehilangan remote control mereka sampai lima kali seminggu
- Karena kehilangan remote control tersebut, 63% orang Amerika mengatakan bahwa mereka menghabiskan sampai lima menit per hari untuk mencarinya
- Tempat dimana orang Amerika paling sering menemukan kembali remote control mereka adalah di atas sofa atau di bawah mebel (38%), di dapur atau kamar mandi (20%), dan, YA, di dalam Lemari es (6%)
- Delapan belas persen kaum perempuan yang disurvey, bandingkan dengan hanya 9% kaum laki2, mengatakan bahwa jika mereka harus memilih, mereka akan memilih tidak melakukan hubungan seks daripada harus kehilangan remote control TV mereka selama satu minggu. (Komentar dari editor: GILA!).
Sampai2 berdasarkan survey tersebut, sebuah produsen TV kemudian membuat TV dengan fitur unggulan “Remote Locator”. Jika pengguna TV kehilangan remotenya, tersedia tombol di TV tsb untuk me-"missed-call" sang remote selama 30 detik.
Demikian, ternyata teman saya mister Ayip itu punya banyak teman di Amerika sana. Tapi saya nggak tahu, apakah dia juga pernah menemukan remote nya di Lemari Es, atau mungkin lebih memilih nyuekin istrinya ketimbang kehilangan remote. Heheh...[undzurilaina]
Jangan kau palingkan wajahmu dari kami, Tengoklah kami Yaa Rasulullah....
Monday, January 11, 2010
Saturday, January 2, 2010
Monster dan Anak Domba, Antara Naziisme dan Yazidisme
Reinhold Hench dan Paul Schaeffer adalah dua orang kolega Peter Drucker. Peter Drucker, seorang keturunan Yahudi yang oleh banyak kalangan digadang sebagai Bapak Penemu Manajemen Modern itu memutuskan untuk keluar dari Jerman karena prediksinya bahwa Nazi akan memenangkan Pemilu Jerman. Namun tidak dengan kedua koleganya tersebut.
Singkat cerita, malam ketika esok harinya Drucker akan berangkat, ada yang mengetuk pintu rumahnya. Jantungnya seakan berhenti berdetak, ketika melihat pasukan Nazi berdiri di depan pintu rumahnya. Ia sedikit lega ketika mengenali orang itu adalah Hensch, koleganya di surat kabar tempat dia bekerja. Hensch mendengar bahwa Drucker telah keluar dari surat kabar itu (dan juga sebagai dosen), dan mencoba berbicara dengan Drucker mengapa ia keluar dari surat kabar itu. Drucker pun menjelaskannya, karena tak punya alasan lain.
Ekspresi Hensch pun berubah dengan cepat dan meluapkan kata2 emosional. Ia mengatakan pada Drucker betapa ia sangat iri kepadanya bahwa ia tidak “sepandai” Drucker, dan berharap ia bisa keluar. Namun ia melanjutkan bahwa ia tak bisa keluar. Ia menginginkan uang, status, dan kekuasaan, serta berkata bahwa karena ia memiliki nomor keanggotaan kecil di Partai Nazi (yang artinya punya kuasa lebih), ia sekarang akan menjadi “seseorang”.
“Camkan kata2ku ini,” katanya pada Drucker, “kamu akan mendengar tentangku sekarang!!!”.
Setelah itu, Drucker tak pernah lagi mendengar berita tentang Hensch. Sampai dengan tahun 1945 ketika Nazi ditaklukkan, ada artikel pendek di The New York Times menarik perhatiannya:
“Reinhold Hensch, salah seorang penjahat perang Nazi yang paling dicari Amerika, bunuh diri ketika ditangkap pasukan Amerika di gudang bawah tanah di sebuah rumah yang tinggal puing di Frankfurt.... Hensch, dikenal sangat kejam, keji dan haus darah sehingga dijuluki ‘Monster’ (Das Ungebeuer) bahkan oleh anak buahnya sendiri.”
Paul Schaeffer adalah seorang wartawan senior terkenal yang telah melanglang buana lebih dari 50 tahun di media terkemuka dunia seperti New York Times, Times, dll. Namun dia memutuskan untuk menerima tawaran dari koran terpandang Jerman (Berliner Tageblatt). Namun Schaeffer tidak bodoh. Ia tahu lebih baik dari orang-orang lain tentang apa yang dikejar Nazi selama ini, tapi ia pikir ia bisa membuat perbedaan: “Justru karena kekejian yang terjadi inilah saya harus menerima pekerjaan itu,” ia menjelaskan.
Dia tidak menggubris peringatan orang2 disekelilingya yang khawatir bahwa ia akan dimanfaatkan oleh Nazi untuk memberikan tedeng kehormatan dan menipu dunia luar.
Dan akhirnya Nazi memanfaatkan Schaeffer persis seperti yang dikhawatirkan teman2nya. Jabatan, uang dan kehormatan pun dicurahkan kepadanya. Setiap ada berita tentang kekejian Nazi yang bocor, Schaeffer dikirim ke kedubes-kedubes dan koresponden-koresponden asing untuk meyakinkan mereka bahwa semua itu tidak benar.
Dalam “memoar”-nya (Adventures of a Bystander), Drucker mengatakan bahwa kejahatan itu sesuatu yang hebat sehingga manusia sering diperalat olehnya. Karenanya manusia tidak boleh mempertahankan ataupun menggunakan kejahatan dengan cara apapun, karena cara itu pastilah jalan kejahatan bukan jalan manusia.
Manusia akan menjadi instrumen kejahatan ketika, seperti Hensch, ia berfikir bisa mengendalikan kejahatan untuk memenuhi ambisinya.
Dan manusia juga akan menjadi instrumen kejahatan ketika, seperti Schaeffer, ia bergabung dengan kejahatan untuk mencegah terjadinya hal yang lebih buruk.
Drucker mengakhiri bagian itu dengan bertanya:
“Siapa yang lebih kejam, monster atau anak domba? Mana yang lebih buruk, dosa Hensch karena nafsunya untuk berkuasa atau kesombongan Schaeffer dan dosanya karena pongah? Mungkin dosa terbesar bukanlah kedua dosa kuno itu, dosa terbesar adalah dosa abad ke-21, yaitu dosa karena bersikap masa bodoh, dosa seorang ahli biokimia terkenal yang tak membunuh dan tak berbohong, tapi menolak memberi kesaksian ketika, mengutip kata2 di Injil, ‘Mereka Menyalibkan Tuhanku!’.”
Kisah Drucker tentang dua koleganya diatas mengingatkan saya kepada kisah seputar tragedi yang terjadi pada cucu kesayangan Nabi, al-Husayn, penghulu pemuda ahli surga. Tentu saja saya sadar bahwa saya sedang membandingkan dua hal yang berbeda dari banyak segi, seperti skala, intensitas, maupun dampak dari kekejian yang dilakukan. Tapi betapapun saya melihat ada beberapa kemiripan. Saya coba mengambil contoh beberapa stakeholder sentral yang terlibat dalam tragedi paling mengerikan sepanjang sejarah tersebut. Tapi rasanya saya tidak perlu menjelaskan mengenai sang producer dan director kekejian, Yazid bin Muawiyyah.
Ubaidullah bin Ziyad bin Abihi, the man behind the gun, gubernur Bashrah yang menjadi project manager dalam penyerangan al-Husayn. Dia adalah anak dari Ziyad bin abihi, anak ayahnya. Disebut demikian karena ayahnya yang tidak jelas. Sebagian riwayat mengatakan bahwa Ziyad adalah anak Abu Sufyan dari Sumayyah (sebagian riwayat mengatakan Marjanah) yang dikenal sebagai wanita penghibur. Ubaidullah lahir di Bashrah. Ketika sang ayah meninggal, ia berada di Irak. Kemudian ia pergi ke Syam. Mu'awiyah mengangkatnya sebagai gubernur wilayah Khurasan pada tahun 53 H dan tinggal di sana selama dua tahun. Pada tahun 55 H, Mu'awiyah memindahkannya ke Bashrah. Yazid menetapkannya di sana pada tahun 60H. Tragedi Karbala terjadi di masa kekuasaannya dan atas perintahnya. Setelah kematian Yazid, penduduk Bashrah berbaiat kepadanya. Namun tak lama berselang , mereka melawannya. Diapun lari mencari perlindungan ke Syam, lalu kembali lagi ke Irak. Di tengah jalan, Ibrahim Asytar menghadangnya. Peperangan antara tentara keduanya pun tak dapat dielakkan lagi. Pasukan Ubaidillah kocar-kacir. Ibrahim memburunya dan membunuhnya di Khazir, satu daerah di Maushil. Setelah berhasil dibunuh, kepala ibnu Ziyad dibawa ke hadapan Mukhtar.
Umar bin Sa'ad bin Abi Waqqash Al-Zuhri Al-Madani. Dialah yang dikirim oleh Ubaidillah bin Ziyad dengan empat ribu orang tentara untuk menyerbu Dailam, dengan menjanjikannya kekuasaan atas wilayah Rey. Tapi sewaktu berita keberangkatan Al-Husain dari Mekah menuju Kufah sampai ke telinga Ibnu Ziyad, ia segera mengirimkan sepucuk surat padanya dan memerintahkannya untuk segera kembali bersama pasukannya. Umar pun kembali. Ibnu Ziyad lalu memerintahkannya untuk membantai Al-Husain. Umar menolak. Ibnu Ziyad mengancam dan mengingatkannya akan kota Rey. Akhirnya ia bersedia menerima tugas tersebut.
Di belakang hari, ketika Mukhtar bangkit melakukan pemberontakan, beliau mengutus orang untuk memburu dan membunuh Umar bin Sa'ad dan tamatlah riwayatnya.
Kedua person diatas mencoba menggunakan kejahatan untuk mencapai keinginan dan ambisinya. Seperti kata Drucker, mereka menjadi instrumen kejahatan ketika ia berfikir dapat menggunakan kejahatan untuk memenuhi ambisinya. Dan juga sejarah membuktikan, seperti juga yang terjadi pada Hensch, kehinaan lah yang akan didapatnya, alih-alih kejayaan dan kesuksesan.
Lain halnya dengan peran orang-orang diatas, yang oleh Drucker diistilahkan sebagai monster, ada juga peran lain yang sama-sama destruktifnya dengan monster, yaitu orang2 seperti Schaeffer yang –walaupun mungkin punya sedikit maksud baik di awalnya—berperan menjadi pembela-pembela kejahatan itu. Ada sebagian penulis, yang karena alasan-alasan tertentu, melakukan pengaburan terhadap sejarah ini. Dari yang bersikap tidak menyalahkan Yazid atas tragedi Karbala tersebut, sampai dengan yang sampai menulis buku khusus tentang keutamaan Yazid beserta ayahnya, Muawiyyah. Ada sebagian juga yang berusaha menutup sejarah itu dengan menonjolkan beberapa peristiwa lain (yang kurang jelas dan kuat dasarnya) yang menganjurkan bahwa hari Asyura adalah waktu yang tepat untuk bergembira, berbagi kebahagiaan.
Person-person seperti diatas ini, oleh Drucker diistilahkan dengan “anak domba”. Keyakinan para penulis itu –seperti Schaeffer—bahwa dia bisa mencegah hal yang lebih buruk (misalnya mungkin untuk menutup sejarah kelam) justru membawa hasil yang lebih mengerikan. Meskipun ada niat baik, mereka dengan segera menjadi kaki tangan kejahatan dengan kebohongan2nya. Mereka memberi kejahatan legitimasi untuk melanjutkan kekuasaan, kejahatan demi kejahatan, dan pembantaian demi pembantaian. Dengan menutup2i apa yang sebenarnya terjadi, mereka telah berperan dalam membuat dunia setidaknya bersikap netral terhadap kejahatan2 tersebut.
Wallahu a’lam, yang jelas saya setuju dengan Drucker yang menganggap bahwa anak domba sama destruktifnya dengan monster.
Mempelajari apa yang terjadi pada sejarah manusia dan menjadikannya hidup serta berinteraksi dengan kehidupan kita sekarang, menurut saya penting untuk dilakukan sehingga kita dapat mengambil hikmah-hikmah yang berharga untuk saat ini dan esok.
"Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang yang sebelum mereka? .." (QS. ar-Rum: 9)
Jadi tergantung kita, apakah kita mau berperan menjadi “monster” atau “anak domba”? Atau akan menjadi orang2 acuh, yang menganggap kemarin adalah kemarin, tidak ada hubungannya dengan hari ini atau besok. Atau akan menjadi yang akan mengambil hikmah dan pelajaran dari setiap peristiwa, dan “menghidupkannya” untuk hari ini dan besok. Semuanya adalah pilihan peran yang terpampang di depan kita semua.
Nanti...“sejarah” hidup kita akan mencatat peran-peran kita tersebut untuk tentu saja dipertanggung-jawabkan. Bagaimana? [undzurilaina]
Singkat cerita, malam ketika esok harinya Drucker akan berangkat, ada yang mengetuk pintu rumahnya. Jantungnya seakan berhenti berdetak, ketika melihat pasukan Nazi berdiri di depan pintu rumahnya. Ia sedikit lega ketika mengenali orang itu adalah Hensch, koleganya di surat kabar tempat dia bekerja. Hensch mendengar bahwa Drucker telah keluar dari surat kabar itu (dan juga sebagai dosen), dan mencoba berbicara dengan Drucker mengapa ia keluar dari surat kabar itu. Drucker pun menjelaskannya, karena tak punya alasan lain.
Ekspresi Hensch pun berubah dengan cepat dan meluapkan kata2 emosional. Ia mengatakan pada Drucker betapa ia sangat iri kepadanya bahwa ia tidak “sepandai” Drucker, dan berharap ia bisa keluar. Namun ia melanjutkan bahwa ia tak bisa keluar. Ia menginginkan uang, status, dan kekuasaan, serta berkata bahwa karena ia memiliki nomor keanggotaan kecil di Partai Nazi (yang artinya punya kuasa lebih), ia sekarang akan menjadi “seseorang”.
“Camkan kata2ku ini,” katanya pada Drucker, “kamu akan mendengar tentangku sekarang!!!”.
Setelah itu, Drucker tak pernah lagi mendengar berita tentang Hensch. Sampai dengan tahun 1945 ketika Nazi ditaklukkan, ada artikel pendek di The New York Times menarik perhatiannya:
“Reinhold Hensch, salah seorang penjahat perang Nazi yang paling dicari Amerika, bunuh diri ketika ditangkap pasukan Amerika di gudang bawah tanah di sebuah rumah yang tinggal puing di Frankfurt.... Hensch, dikenal sangat kejam, keji dan haus darah sehingga dijuluki ‘Monster’ (Das Ungebeuer) bahkan oleh anak buahnya sendiri.”
Paul Schaeffer adalah seorang wartawan senior terkenal yang telah melanglang buana lebih dari 50 tahun di media terkemuka dunia seperti New York Times, Times, dll. Namun dia memutuskan untuk menerima tawaran dari koran terpandang Jerman (Berliner Tageblatt). Namun Schaeffer tidak bodoh. Ia tahu lebih baik dari orang-orang lain tentang apa yang dikejar Nazi selama ini, tapi ia pikir ia bisa membuat perbedaan: “Justru karena kekejian yang terjadi inilah saya harus menerima pekerjaan itu,” ia menjelaskan.
Dia tidak menggubris peringatan orang2 disekelilingya yang khawatir bahwa ia akan dimanfaatkan oleh Nazi untuk memberikan tedeng kehormatan dan menipu dunia luar.
Dan akhirnya Nazi memanfaatkan Schaeffer persis seperti yang dikhawatirkan teman2nya. Jabatan, uang dan kehormatan pun dicurahkan kepadanya. Setiap ada berita tentang kekejian Nazi yang bocor, Schaeffer dikirim ke kedubes-kedubes dan koresponden-koresponden asing untuk meyakinkan mereka bahwa semua itu tidak benar.
Dalam “memoar”-nya (Adventures of a Bystander), Drucker mengatakan bahwa kejahatan itu sesuatu yang hebat sehingga manusia sering diperalat olehnya. Karenanya manusia tidak boleh mempertahankan ataupun menggunakan kejahatan dengan cara apapun, karena cara itu pastilah jalan kejahatan bukan jalan manusia.
Manusia akan menjadi instrumen kejahatan ketika, seperti Hensch, ia berfikir bisa mengendalikan kejahatan untuk memenuhi ambisinya.
Dan manusia juga akan menjadi instrumen kejahatan ketika, seperti Schaeffer, ia bergabung dengan kejahatan untuk mencegah terjadinya hal yang lebih buruk.
Drucker mengakhiri bagian itu dengan bertanya:
“Siapa yang lebih kejam, monster atau anak domba? Mana yang lebih buruk, dosa Hensch karena nafsunya untuk berkuasa atau kesombongan Schaeffer dan dosanya karena pongah? Mungkin dosa terbesar bukanlah kedua dosa kuno itu, dosa terbesar adalah dosa abad ke-21, yaitu dosa karena bersikap masa bodoh, dosa seorang ahli biokimia terkenal yang tak membunuh dan tak berbohong, tapi menolak memberi kesaksian ketika, mengutip kata2 di Injil, ‘Mereka Menyalibkan Tuhanku!’.”
Kisah Drucker tentang dua koleganya diatas mengingatkan saya kepada kisah seputar tragedi yang terjadi pada cucu kesayangan Nabi, al-Husayn, penghulu pemuda ahli surga. Tentu saja saya sadar bahwa saya sedang membandingkan dua hal yang berbeda dari banyak segi, seperti skala, intensitas, maupun dampak dari kekejian yang dilakukan. Tapi betapapun saya melihat ada beberapa kemiripan. Saya coba mengambil contoh beberapa stakeholder sentral yang terlibat dalam tragedi paling mengerikan sepanjang sejarah tersebut. Tapi rasanya saya tidak perlu menjelaskan mengenai sang producer dan director kekejian, Yazid bin Muawiyyah.
Ubaidullah bin Ziyad bin Abihi, the man behind the gun, gubernur Bashrah yang menjadi project manager dalam penyerangan al-Husayn. Dia adalah anak dari Ziyad bin abihi, anak ayahnya. Disebut demikian karena ayahnya yang tidak jelas. Sebagian riwayat mengatakan bahwa Ziyad adalah anak Abu Sufyan dari Sumayyah (sebagian riwayat mengatakan Marjanah) yang dikenal sebagai wanita penghibur. Ubaidullah lahir di Bashrah. Ketika sang ayah meninggal, ia berada di Irak. Kemudian ia pergi ke Syam. Mu'awiyah mengangkatnya sebagai gubernur wilayah Khurasan pada tahun 53 H dan tinggal di sana selama dua tahun. Pada tahun 55 H, Mu'awiyah memindahkannya ke Bashrah. Yazid menetapkannya di sana pada tahun 60H. Tragedi Karbala terjadi di masa kekuasaannya dan atas perintahnya. Setelah kematian Yazid, penduduk Bashrah berbaiat kepadanya. Namun tak lama berselang , mereka melawannya. Diapun lari mencari perlindungan ke Syam, lalu kembali lagi ke Irak. Di tengah jalan, Ibrahim Asytar menghadangnya. Peperangan antara tentara keduanya pun tak dapat dielakkan lagi. Pasukan Ubaidillah kocar-kacir. Ibrahim memburunya dan membunuhnya di Khazir, satu daerah di Maushil. Setelah berhasil dibunuh, kepala ibnu Ziyad dibawa ke hadapan Mukhtar.
Umar bin Sa'ad bin Abi Waqqash Al-Zuhri Al-Madani. Dialah yang dikirim oleh Ubaidillah bin Ziyad dengan empat ribu orang tentara untuk menyerbu Dailam, dengan menjanjikannya kekuasaan atas wilayah Rey. Tapi sewaktu berita keberangkatan Al-Husain dari Mekah menuju Kufah sampai ke telinga Ibnu Ziyad, ia segera mengirimkan sepucuk surat padanya dan memerintahkannya untuk segera kembali bersama pasukannya. Umar pun kembali. Ibnu Ziyad lalu memerintahkannya untuk membantai Al-Husain. Umar menolak. Ibnu Ziyad mengancam dan mengingatkannya akan kota Rey. Akhirnya ia bersedia menerima tugas tersebut.
Di belakang hari, ketika Mukhtar bangkit melakukan pemberontakan, beliau mengutus orang untuk memburu dan membunuh Umar bin Sa'ad dan tamatlah riwayatnya.
Kedua person diatas mencoba menggunakan kejahatan untuk mencapai keinginan dan ambisinya. Seperti kata Drucker, mereka menjadi instrumen kejahatan ketika ia berfikir dapat menggunakan kejahatan untuk memenuhi ambisinya. Dan juga sejarah membuktikan, seperti juga yang terjadi pada Hensch, kehinaan lah yang akan didapatnya, alih-alih kejayaan dan kesuksesan.
Lain halnya dengan peran orang-orang diatas, yang oleh Drucker diistilahkan sebagai monster, ada juga peran lain yang sama-sama destruktifnya dengan monster, yaitu orang2 seperti Schaeffer yang –walaupun mungkin punya sedikit maksud baik di awalnya—berperan menjadi pembela-pembela kejahatan itu. Ada sebagian penulis, yang karena alasan-alasan tertentu, melakukan pengaburan terhadap sejarah ini. Dari yang bersikap tidak menyalahkan Yazid atas tragedi Karbala tersebut, sampai dengan yang sampai menulis buku khusus tentang keutamaan Yazid beserta ayahnya, Muawiyyah. Ada sebagian juga yang berusaha menutup sejarah itu dengan menonjolkan beberapa peristiwa lain (yang kurang jelas dan kuat dasarnya) yang menganjurkan bahwa hari Asyura adalah waktu yang tepat untuk bergembira, berbagi kebahagiaan.
Person-person seperti diatas ini, oleh Drucker diistilahkan dengan “anak domba”. Keyakinan para penulis itu –seperti Schaeffer—bahwa dia bisa mencegah hal yang lebih buruk (misalnya mungkin untuk menutup sejarah kelam) justru membawa hasil yang lebih mengerikan. Meskipun ada niat baik, mereka dengan segera menjadi kaki tangan kejahatan dengan kebohongan2nya. Mereka memberi kejahatan legitimasi untuk melanjutkan kekuasaan, kejahatan demi kejahatan, dan pembantaian demi pembantaian. Dengan menutup2i apa yang sebenarnya terjadi, mereka telah berperan dalam membuat dunia setidaknya bersikap netral terhadap kejahatan2 tersebut.
Wallahu a’lam, yang jelas saya setuju dengan Drucker yang menganggap bahwa anak domba sama destruktifnya dengan monster.
Mempelajari apa yang terjadi pada sejarah manusia dan menjadikannya hidup serta berinteraksi dengan kehidupan kita sekarang, menurut saya penting untuk dilakukan sehingga kita dapat mengambil hikmah-hikmah yang berharga untuk saat ini dan esok.
"Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang yang sebelum mereka? .." (QS. ar-Rum: 9)
Jadi tergantung kita, apakah kita mau berperan menjadi “monster” atau “anak domba”? Atau akan menjadi orang2 acuh, yang menganggap kemarin adalah kemarin, tidak ada hubungannya dengan hari ini atau besok. Atau akan menjadi yang akan mengambil hikmah dan pelajaran dari setiap peristiwa, dan “menghidupkannya” untuk hari ini dan besok. Semuanya adalah pilihan peran yang terpampang di depan kita semua.
Nanti...“sejarah” hidup kita akan mencatat peran-peran kita tersebut untuk tentu saja dipertanggung-jawabkan. Bagaimana? [undzurilaina]
Subscribe to:
Posts (Atom)