Setelah berpulangnya, dia memulai kehidupannya dalam sejarah. Fatimah menjadi sumber pencerahan di hadapan semua orang tertindas yang kemudian menjadi kekuatan Islam. Semua orang yang dijarah, dirampok, ditindas, dan menderita, semua orang yang haknya dirampas dan dihancurkan oleh pemaksaan dan dikelabui, memakai nama Fatimah sebagai slogan.
Ingatan terhadap Fatimah tumbuh dengan kecintaan, emosi dan indahnya keimanan dari semua laki-laki dan wanita, yang dalam perjalanan sejarah Islam, berjuang untuk kemerdekaan dan keadilan. Selama berabad-abad, mereka mendapatkan sumber kekuatan mental dibawah penguasa-penguasa tanpa ampun dan pecutan penuh darah mereka. Teriakan dan kemarahan mereka bertumbuh dan mengalir deras dari luka hati mereka.
Inilah kenapa dalam sejarah bangsa-bangsa umat Islam dan diantara masyarakat terzalimi dari komunitas Islam, Fatimah menjadi sumber inspirasi untuk kemerdekaan, keinginan yang fitrah, pencari keadilan, perlawanan terhadan penindasan, kekejaman, kejahatan dan diskriminasi.
Sangat sulit untuk membicarakan tentang kepribadian Fatimah. Fatimah adalah wanita yang ideal dalam Islam. Konsep tentang jati-diriya digambarkan oleh Rasulullah sendiri. Dia (Rasulullah) menggodoknya dan menjadikannya suci dalam kobaran api kesulitan, kemiskinan, perlawanan, pemahaman yang mendalam dan keajaiban kemanusiaan.
Dia adalah simbol kewanitaan yang multi dimensi.
Simbol seorang anak dalam menghadapi ayahnya.
Simbol seorang istri dalam menghadapi suaminya.
Simbol seorang ibu dalam menghadapi anak-anaknya.
Simbol seorang yang bertanggung-jawab, pejuang wanita dalam kehidupan masyarakatnya.
Dia sendiri adalah seorang Imam (pemimpin), pembimbing, teladan sempurna, tipe ideal dari seorang wanita dan seorang yang menjadi saksi kepada setiap wanita yang memilih untuk menjadi dirinya sendiri.
Dia memberi jawaban bagaimana menjadi wanita dengan masa kecil yang indah, perjuangan dan perlawanan konsisten di dua medan, luar dan dalam, di rumah ayahnya, di rumah suaminya, di kehidupan masyarakatnya, dalam pemikiran dan tindakannya dan dalam kehidupannya.
Saya tidak tahu harus bicara apa lagi. Saya telah menyebutkan banyak hal. Tapi masih banyak yang belum terucap.
Dalam menunjukkan aspek mengagumkan dari semangat agung Fatimah, yang membuat saya terpesona, adalah Fatimah merupakan teman perjalanan, melangkah dengan langkah yang sama, melesat bersama-sama dengan semangat agung Ali, melalui penaikkan nilai kemanusiaan menuju kesempurnaan dan tingatan-tingkatannya.
Dia tidak hanya sekedar seorang istri bagi Ali. Ali menghormatinya sebagai teman hidup, teman hidup yang merasakan penderitaan dan harapannya. Dia menjadi tempat berteduh dan mendengarkan segala rahasia-rahasianya. Dia menjadi satu-satunya sahabat dalam rasa kesepian. Inilah kenapa Ali selalu senang menatapnya dan anak-anaknya.
Setelah Fatimah, Ali punya istri lain dan punya anak dari mereka. Tapi dari saat awal, dia memisahkan anak-anak Fatimah dari anak-anaknya yang lain. Yang terakhir disebut Bani Ali (anak-anak Ali) dan yang satunya disebut Bani Fatimah (anak-anak Fatimah).
Bukankah ini aneh ! Ketika berhadapan dengan ayah mereka dan dia, Ali, anak-anak dihubungkan dengan Fatimah. Dan kita tahu bahwa Rasulullah juga melihatnya dengan pandangan lain. Dia (Rasulullah) mengandalkan Fatimah. Dari usia dini, Fatimah menerima undangan ini.
Saya tidak tahu apa yang harus saya ucapkan tentang dia. Bagaimana caranya ? Saya ingin meniru penulis Prancis yang berbicara di suatu konferensi tentang Perawan Maria. Dia bilang, "Selama 1700 tahun semua berbicara tentang Maria. Selama 1700 tahun, banyak filosof, pemikir dari seluruh bangsa dari Timur dan Barat berbicara tentang nilai dari Maria. Selama 1700 tahun banyak penyair telah mengekspresikan kreatifitas dan kemampuan mereka dalam menyanjung Maria. Selama 1700 tahun, banyak pelukis dan artis telah membuat karya gemilang dalam menampakkan Maria. Tapi keseluruhan upaya ini masih belum mampu menjelaskan keagungan Maria seperti dalam kata-kata ini, 'Maria adalah ibu dari Yesus Kristus'. "
Dan saya ingin meniru hal ini untuk Fatimah. Saya mentok (tidak bisa). Saya ingin bilang "Fatima adalah anak Khadijah yang Agung". Saya merasa ini bukan Fatimah. Saya ingin bilang "Fatimah adalah anak Muhammad". Saya merasa ini bukan Fatimah. Saya ingin bilang "Fatimah adalah istri Ali". Saya merasa ini bukan Fatima. Saya ingin bilang "Fatima adalah ibunya Hasan dan Husein". Saya merasa ini bukan Fatimah. Saya ingin bilang " Fatima adalah ibunya Zainab". Saya tetap merasa ini bukan Fatima.
Tidak, semua pernyataan itu benar tapi tidak satupun adalah Fatimah.
Fatimah adalah Fatimah.
(dikutip dari Fatima is Fatima, karya Dr Ali Syariati)
Jangan kau palingkan wajahmu dari kami, Tengoklah kami Yaa Rasulullah....
Monday, April 26, 2010
Thursday, April 15, 2010
Milik Ayahmu
Seorang Ayah tertunduk malu di hadapan Rasulullah SAW...
“Ya Rasulullah, inilah ayahku yang telah beberapa kali mencuri hartaku!”, ujar si anak melaporkan ayahnya pada Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW melihat ke arah sang ayah, kemudian berkata, “Apakah benar demikian, wahai Ayah?”
Dengan wajah tertunduk, sang ayah menjawab, “Wahai Rasul Allah, tanyakan kepadanya, Bahwa aku hanya mengambil secukupnya untuk menafkahi aku, ibunya, dan saudara ibunya. Aku tidak mengambil sesuatu yang lebih”.
Wajah ayah itu masih tertunduk malu bercampur sedih dan kecewa.
Rasulullah SAW memandang wajah sang ayah, kemudian berkata lagi, “katakanlah apa yang ingin kau katakan pada anakmu”.
“Tidak ada, wahai kekasih Allah”, jawab Sang Ayah.
Rasulullah SAW tahu bahwa ayah tersebut ingin mengucapkan sesuatu kepada anaknya, lalu berkata lagi, “Wahai, Ayah. Katakanlah apa yang ingin engkau katakan.”
“Setiap saat Allah menunjukkan kepadaku untuk menambah keyakinanku pada mu, wahai Rasul. Engkau tahu apa yang ada dalam hatiku”, lanjut sang Ayah.
Sang Ayah pun kemudian mengucapkan sebuah syair buat anaknya:
Anakku,
Aku berikan padamu makan sejak kamu dilahirkan,
aku bimbing dirimu sejak kecil,
aku selalu memerhatikanmu sampai kulupakan diriku,
kalau suatu malam engkau sakit, aku gelisah, aku tak bisa tidur, seakan aku yang sakit sebelum engkau merasakan sakitmu.
Aku benar2 takut kalau kematian saat itu datang menghampirimu. Sebenarnya aku tahu bahwa mati itu ketentuan Allah. Karena itu aku selalu menangisi dan merintihkanmu.
Tetapi ketika engkau sudah besar.
Di masa dimana aku harapkan engkau dapat berbuat baik kepadaku. Ternyata engkau balas budiku dengan kekerasan dan kekasaran. Seakan2 kamu yang selalu memberikan kebaikan kepadaku, bukan aku.
Anakku, kalau engkau tidak lagi mau melihat dan membalas aku sebagai orang tuamu, sebagai ayahmu. Cukuplah perlakukan aku sebagaimana layaknya tetangga memperlakukan tetangganya.
Mendengar ungkapan Sang Ayah ini, Rasulullah SAW sontak bangun dan memegang leher si Anak, kemudian berkata, “Anta wa Maaluka li abiika..!”.Kamu dan hartamu milik Ayahmu!
“Ya Rasulullah, inilah ayahku yang telah beberapa kali mencuri hartaku!”, ujar si anak melaporkan ayahnya pada Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW melihat ke arah sang ayah, kemudian berkata, “Apakah benar demikian, wahai Ayah?”
Dengan wajah tertunduk, sang ayah menjawab, “Wahai Rasul Allah, tanyakan kepadanya, Bahwa aku hanya mengambil secukupnya untuk menafkahi aku, ibunya, dan saudara ibunya. Aku tidak mengambil sesuatu yang lebih”.
Wajah ayah itu masih tertunduk malu bercampur sedih dan kecewa.
Rasulullah SAW memandang wajah sang ayah, kemudian berkata lagi, “katakanlah apa yang ingin kau katakan pada anakmu”.
“Tidak ada, wahai kekasih Allah”, jawab Sang Ayah.
Rasulullah SAW tahu bahwa ayah tersebut ingin mengucapkan sesuatu kepada anaknya, lalu berkata lagi, “Wahai, Ayah. Katakanlah apa yang ingin engkau katakan.”
“Setiap saat Allah menunjukkan kepadaku untuk menambah keyakinanku pada mu, wahai Rasul. Engkau tahu apa yang ada dalam hatiku”, lanjut sang Ayah.
Sang Ayah pun kemudian mengucapkan sebuah syair buat anaknya:
Anakku,
Aku berikan padamu makan sejak kamu dilahirkan,
aku bimbing dirimu sejak kecil,
aku selalu memerhatikanmu sampai kulupakan diriku,
kalau suatu malam engkau sakit, aku gelisah, aku tak bisa tidur, seakan aku yang sakit sebelum engkau merasakan sakitmu.
Aku benar2 takut kalau kematian saat itu datang menghampirimu. Sebenarnya aku tahu bahwa mati itu ketentuan Allah. Karena itu aku selalu menangisi dan merintihkanmu.
Tetapi ketika engkau sudah besar.
Di masa dimana aku harapkan engkau dapat berbuat baik kepadaku. Ternyata engkau balas budiku dengan kekerasan dan kekasaran. Seakan2 kamu yang selalu memberikan kebaikan kepadaku, bukan aku.
Anakku, kalau engkau tidak lagi mau melihat dan membalas aku sebagai orang tuamu, sebagai ayahmu. Cukuplah perlakukan aku sebagaimana layaknya tetangga memperlakukan tetangganya.
Mendengar ungkapan Sang Ayah ini, Rasulullah SAW sontak bangun dan memegang leher si Anak, kemudian berkata, “Anta wa Maaluka li abiika..!”.Kamu dan hartamu milik Ayahmu!
Subscribe to:
Posts (Atom)