A Priest dies and is awaiting his turn in line at the Heaven's Gates.
Ahead of him is a guy, fashionably dressed, in dark sun glasses, a loud shirt, leather jacket and jeans..
God asks him: Please tell me who are you, so that I may know whether to admit you into the kingdom of Heaven or not?
The guy replies: I am Pandi, Auto driver from Chennai!
God consults his ledger, smiles and says to Pandi: Please take this silken robe and gold scarf and enter the Kingdom of Heaven.
Now it is the priest's turn.
He stands erect and speaks out in a booming voice: I am Pope's Assistant so so, Head Priest of the so so Church for the last 40 years.
God consults his ledger and says to the Priest: Please take this cotton robe and enter the Kingdom of Heaven.
“Just a minute,” says the agonized Priest. “How is it that a foul mouthed, rush driving Auto Driver is given a Silken robe and a Golden scarf; and me, a Priest, who's spent his whole life preaching your Name and goodness has to make do with a Cotton robe?!”
“Results my friend, results,” shrugs God..
“While you preached, people SLEPT; but when he drove his Auto, people really PRAYED”
It's PERFORMANCE and not POSITION that ultimately counts.
Jangan kau palingkan wajahmu dari kami, Tengoklah kami Yaa Rasulullah....
Saturday, August 21, 2010
Saturday, August 7, 2010
Lautan Framework Sistem Manajemen Kinerja
Dogbert: “You’ve got to implement a six sigma program or else you’re doomed”
Dilbert’s boss: “Aren’t you the same consultant who sold us the worthless TQM program a few years ago?”
Dilbert’s boss: “When can we start?”
Percakapan Dogbert dan boss nya Dilbert di atas mungkin mewakili kebingungan banyak kalangan dari mulai pemilik bisnis, manajemen, sampai dengan staf. Mereka tahu bahwa Sistem Manajemen Kinerja itu penting dan diperlukan buat organisasinya. Tapi mereka bingung begitu banyak framework yang ditawarkan, begitu banyak yang populer dengan masing-masing menonjolkan kekuatan dan kisah suksesnya. Konsultan ataupun marketing yang sama dapat menawarkan framework yang berbeda-beda kepada klien yang sama. Pertanyaan mana yang lebih baik, mana yang lebih cocok, apa bedanya yang satu dengan yang lainnya, seringkali tidak mendapatkan jawaban yang memadai apalagi memuaskan.
Sebenarnya bagaimana sih?
Kesuksesan sebuah organisasi dalam mencapai visi yang dicita-citakan sangat dipengaruhi oleh strategi bisnis yang ditetapkan. Penetapan visi dan strategi organisai yang tepat dan jelas tak dapat dipungkiri merupakan sebuah kunci sukses sebuah organisasi. Namun demikian memiliki strategi yang tepat dan jelas saja tidaklah cukup. Kemampuan organisasi untuk mengeksekusi strategi tersebut adalah hal yang justru lebih penting dibanding strategi itu sendiri. Sistem yang didesain untuk mengelola eksekusi strategi organisasi, yang mengelola transformasi dari rencana menjadi hasil, disebut juga Sistem Manajemen Kinerja. Mengenai pengertian kinerja bisa dirujuk ke tulisan saya sebelumnya di sini.
Mengingat pentingnya Sistem Manajemen Kinerja ini, maka banyak kerangka kerja (framework) dengan berbagai pendekatan coba didesain untuk membantu organisasi dalam mengelola pengeksekusian strateginya secara optimal. Beragam pendekatan digunakan untuk mendesain kerangka kerja tersebut, yang kurang lebih dapat dikelompokkan ke dalam kategori sebagai berikut:
1. Pendekatan yang dominan berorientasi finansial
2. Pendekatan yang dominan berorientasi proses
3. Pendekatan yang multi-perspektif dengan fokus utama pada keselarasan strategis
Pendekatan yang pertama merupakan pendekatan klasik yang banyak digunakan oleh organisasi dulu, yang intinya bahwa baik/buruknya kinerja sebuah organisasi itu ukurannya adalah kinerja finansialnya. Jika sebuah perusahaan untung besar, maka perusahaan tersebut disebut perusahaan berkinerja bagus. Walaupun mungkin saja pada tahun berikutnya, perusahaan tersebut ambruk.
Oleh karena pendekatan pertama tersebut –walaupun penting—tapi sering miss-leading, antara lain karena kurangnya perhatian pendekatan tersebut terhadap proses yang terjadi dalam pengelolaan organisasi, maka kemudian muncullah framework2 baru yang berorientasi kepada kesempurnaan proses, sebutlah misalnya framework Total Quality Management (TQM) atau Six-Sigma. Para pengusung framework dengan pendekatan ini memiliki premis bahwa jika proses yang berlaku dalam pengelolaan organisasi itu dapat dijaga kualitas dan kinerjanya, maka pada gilirannya kinerja seluruh organisasi akan dapat pula menjadi baik. Walaupun mungkin dalam perjalanannya menuju penyempurnaan proses tersebut, dari perspektif finansial organisasi tersebut tidak bagus.
Dalam perjalanannya pendekatan yang berorientasi pada proses ini juga menuai kritik. Hal ini karena fakta yang didapat bahwa keitka sebuah organisasi terlalu perhatian pada hal detail (proses), seringkali akan kehilangan konteksnya dalam organisasi. Kemudian muncullah framework-framework dengan pendekatan yang ketiga yaitu selain yang berfokus kepada keselarasan strategis organisasi, framework ini juga melengkapi perspektifnya menjadi lebih komprehensif, tidak hanya melihat dari perspektif finansial atau proses saja. Sebutlah framework-framework dalam kelompok ini seperti Balanced Scorecard, Performance Prism, dan sebagainya.
Jadi kalau dilihat dari sejarah perkembangannya, sepertinya framework demi framework tercipta untuk menyempurnakan pendekatan yang digunakan framework-framework sebelumnya. Tapi apakah itu berarti, framework yang datang kemudian itu pasti lebih baik dibandingkan framework yang mendahuluinya?
Menurut saya, Tidak. Menurut saya, masing-masing framework tersebut memiliki kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Menurut saya kata kuncinya adalah harmonisasi.
Saya selalu tertarik dengan ide-ide harmonisasi. Sehingga saya mencoba melakukan analisis framework-framework yang ada tersebut untuk coba diharmonisasikan menjadi sebuah framework baru yang komplementer, yang saling melengkapi. Cara ini menurut saya juga dapat menjawab kebingungan sementara kalangan mengenai lautan framework Sistem Manajemen Kinerja yang tersedia di pasaran.
Namun, bagaimana caranya dan bagaimana pula hasilnya? Insya Allah saya akan lanjutkan dalam tulisan-tulisan berikutnya. Semoga bermanfaat.[Umar A/www.ivitc.com]
Dilbert’s boss: “Aren’t you the same consultant who sold us the worthless TQM program a few years ago?”
Dogbert: “I assure you that this program has a totally, totally different name”
Dilbert’s boss: “When can we start?”
Percakapan Dogbert dan boss nya Dilbert di atas mungkin mewakili kebingungan banyak kalangan dari mulai pemilik bisnis, manajemen, sampai dengan staf. Mereka tahu bahwa Sistem Manajemen Kinerja itu penting dan diperlukan buat organisasinya. Tapi mereka bingung begitu banyak framework yang ditawarkan, begitu banyak yang populer dengan masing-masing menonjolkan kekuatan dan kisah suksesnya. Konsultan ataupun marketing yang sama dapat menawarkan framework yang berbeda-beda kepada klien yang sama. Pertanyaan mana yang lebih baik, mana yang lebih cocok, apa bedanya yang satu dengan yang lainnya, seringkali tidak mendapatkan jawaban yang memadai apalagi memuaskan.
Sebenarnya bagaimana sih?
Kesuksesan sebuah organisasi dalam mencapai visi yang dicita-citakan sangat dipengaruhi oleh strategi bisnis yang ditetapkan. Penetapan visi dan strategi organisai yang tepat dan jelas tak dapat dipungkiri merupakan sebuah kunci sukses sebuah organisasi. Namun demikian memiliki strategi yang tepat dan jelas saja tidaklah cukup. Kemampuan organisasi untuk mengeksekusi strategi tersebut adalah hal yang justru lebih penting dibanding strategi itu sendiri. Sistem yang didesain untuk mengelola eksekusi strategi organisasi, yang mengelola transformasi dari rencana menjadi hasil, disebut juga Sistem Manajemen Kinerja. Mengenai pengertian kinerja bisa dirujuk ke tulisan saya sebelumnya di sini.
Mengingat pentingnya Sistem Manajemen Kinerja ini, maka banyak kerangka kerja (framework) dengan berbagai pendekatan coba didesain untuk membantu organisasi dalam mengelola pengeksekusian strateginya secara optimal. Beragam pendekatan digunakan untuk mendesain kerangka kerja tersebut, yang kurang lebih dapat dikelompokkan ke dalam kategori sebagai berikut:
1. Pendekatan yang dominan berorientasi finansial
2. Pendekatan yang dominan berorientasi proses
3. Pendekatan yang multi-perspektif dengan fokus utama pada keselarasan strategis
Pendekatan yang pertama merupakan pendekatan klasik yang banyak digunakan oleh organisasi dulu, yang intinya bahwa baik/buruknya kinerja sebuah organisasi itu ukurannya adalah kinerja finansialnya. Jika sebuah perusahaan untung besar, maka perusahaan tersebut disebut perusahaan berkinerja bagus. Walaupun mungkin saja pada tahun berikutnya, perusahaan tersebut ambruk.
Oleh karena pendekatan pertama tersebut –walaupun penting—tapi sering miss-leading, antara lain karena kurangnya perhatian pendekatan tersebut terhadap proses yang terjadi dalam pengelolaan organisasi, maka kemudian muncullah framework2 baru yang berorientasi kepada kesempurnaan proses, sebutlah misalnya framework Total Quality Management (TQM) atau Six-Sigma. Para pengusung framework dengan pendekatan ini memiliki premis bahwa jika proses yang berlaku dalam pengelolaan organisasi itu dapat dijaga kualitas dan kinerjanya, maka pada gilirannya kinerja seluruh organisasi akan dapat pula menjadi baik. Walaupun mungkin dalam perjalanannya menuju penyempurnaan proses tersebut, dari perspektif finansial organisasi tersebut tidak bagus.
Dalam perjalanannya pendekatan yang berorientasi pada proses ini juga menuai kritik. Hal ini karena fakta yang didapat bahwa keitka sebuah organisasi terlalu perhatian pada hal detail (proses), seringkali akan kehilangan konteksnya dalam organisasi. Kemudian muncullah framework-framework dengan pendekatan yang ketiga yaitu selain yang berfokus kepada keselarasan strategis organisasi, framework ini juga melengkapi perspektifnya menjadi lebih komprehensif, tidak hanya melihat dari perspektif finansial atau proses saja. Sebutlah framework-framework dalam kelompok ini seperti Balanced Scorecard, Performance Prism, dan sebagainya.
Jadi kalau dilihat dari sejarah perkembangannya, sepertinya framework demi framework tercipta untuk menyempurnakan pendekatan yang digunakan framework-framework sebelumnya. Tapi apakah itu berarti, framework yang datang kemudian itu pasti lebih baik dibandingkan framework yang mendahuluinya?
Menurut saya, Tidak. Menurut saya, masing-masing framework tersebut memiliki kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Menurut saya kata kuncinya adalah harmonisasi.
Saya selalu tertarik dengan ide-ide harmonisasi. Sehingga saya mencoba melakukan analisis framework-framework yang ada tersebut untuk coba diharmonisasikan menjadi sebuah framework baru yang komplementer, yang saling melengkapi. Cara ini menurut saya juga dapat menjawab kebingungan sementara kalangan mengenai lautan framework Sistem Manajemen Kinerja yang tersedia di pasaran.
Namun, bagaimana caranya dan bagaimana pula hasilnya? Insya Allah saya akan lanjutkan dalam tulisan-tulisan berikutnya. Semoga bermanfaat.[Umar A/www.ivitc.com]
Tuesday, August 3, 2010
Iklan Menyeramkan
Nafsu makan saya dan istri mendadak hilang ketika melihat sebuah iklan di TV kemarin. Iklan yang –kalau tidak salah—dipersembahkan oleh PMI (karena ada pak JK, ketuanya, muncul disana), IDI (ada ketuanya pula muncul disitu), dan sebuah produk obat anti masuk angin untuk orang “pintar”.
Tentu bukan karena melihat orang2 itu kami kehilangan nafsu makan. Tapi karena melihat beberapa scene “menyeramkan” yang ditampilkan disana. Seperti scene yang menampilkan orang yang terkena kanker mata, muntah darahnya pengidap TBC, bayi hydrocephalus, dsb. Semula saya nggak tahu, sebenarnya ini iklan apa sih. Sampai akhirnya iklan itu ditutup oleh Lula Kamal yang menyampaikan anjuran untuk berobat ke dokter bila sakit. Ohh..?!
Saya lalu bertanya, apa iklan seperti ini efektif dalam menyampaikan pesan kepada para pemirsanya? Apakah iklan seperti ini juga cukup efektif untuk mempengaruhi para penontonnya untuk melakukan tindakan berobat ke dokter.
Malcolm Galdwell dalam bukunya mengungkapkan adanya sebuah penelitian tentang pengaruh “menakut-nakuti” yang dilakukan dilakukan terhadap para mahasiswa senior dari Yale University. Kepada para mahasiswa tersebut dibagikan brosur yang berisi anjuran untuk melakukan vaksinasi anti-tetanus. Hanya saja mereka dibagi dalam beberapa kelompok yang masing-masingnya akan menerima paket brosur yang berbeda dengan kelompok lainnya. Sebagian mahasiswa diberi paket brosur yang “sangat menyeramkan” yang memuat istilah dan gambar-gambar yang dramatis, lengkap dengan foto2 berwarna anak yang kejang tetanus, korban tetanus yang terpaksa pakai kateter untuk buang air kecil, yang dilubangi tenggorokannya, yang dipasang selang di hidungnya, dsb. Sementara kelompok mahasiswa yang lain menerima brosur versi “soft” dimana ia menerangkan risiko2 tetanus secara lebih tersamar dan bahkan tanpa gambar2.
Howard Levanthal, sang pakar psikologi yang melakukan penelitian ini, ingin mengetahui seberapa jauh sebenarnya dampak dari brosur2 tersebut terhadap perilaku mahasiswa tersebut terhadap tetanus, dan –yang lebih penting—terhadap kesediaan mereka untuk divaksinasi.
Seperti diduga, memang benar bahwa kelompok mahasiswa yang mendapatkan brosur “menyeramkan” lebih memilki pemahaman dan kesadaran tentang bahayanya tetanus dibandingkan dengan kelompok mahasiswa lainnya. Namun fakta itu menjadi tidak bermakna ketika ia tidak memiliki relevansi dengan kesadaran dari kelompok tersebut untuk pergi melakukan vaksinasi.
Ternyata penelitian tersebut menunjukkan bahwa proporsi jumlah mahasiswa yang melakukan vaksinasi dari kelompok brosur “menyeramkan” dan brosur “soft” sama saja. Artinya tanpa ditakut2i dengan gambar2 yang dramatis itu sebenarnya para mahasiswa sudah tahu dan sadar mengenai bahaya tetanus, dan apa yang harus mereka perbuat. Jadi dampak dari cara komunikasi menakut2i tersebut hanya berbeda sampai dengan tingkatan pemahaman (atau ngeh kata orang jawa). Tapi pada tingkatan amal real nya ia tidak memiliki relevansi alias sama saja dengan yang diberitahu dengan cara “soft”.
Itu salah satu kesimpulan Levanthal dalam penelitiannya kali ini.
Saya kemudian ingat, waktu kecil dulu saya sering membaca buku2 cerita yang menceritakan neraka dengan berbagai kisah menyeramkannya. Ada orang yang diseterika punggungnya, ada yang dipotong lidahnya, ada yang disuruh memakan –maaf— darah/nanah, ada yang ditusuk duburnya, dan hal-hal mengerikan lainnya lengkap dengan gambar visualisasi dan efek2 menyeramkan lainnya. Begitu juga guru2 di TK dan SD saya dulu juga menegaskan informasi yang sama secara verbal.
Tapi saya tidak melihat cara yang sama pada metode pendidikan yang diterapkan pada sekolah anak2 saya, setidaknya hingga saat ini. Setahu saya, metode pendidikan sekarang berusaha sebisa mungkin menghindari cara menakut-nakuti anak didik dalam menjelaskan sesuatu atau memberikan persuasi anak untuk melakukan sesuatu.
Dorothy Law, seorang ahli psikologi komunikasi, mengatakan bahwa anak belajar dari kehidupan di lingkungannya. Katanya ketika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia akan belajar rendah diri. Ketika anak dibesarkan dengan pujian, dia akan belajar menghargai. Jika anak dibesarkan dengan celaan, dia akan belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan ancaman, maka dia akan belajar mengancam. Jika anak dibesarkan dengan cinta dan kasih sayang, maka ia akan belajar untuk menemukan dan mencintai.
Mungkin ini yang dijadikan dasar oleh pendidikan modern untuk lebih banyak menggunakan pendekatan Cinta-Nya ketimbang menakut2i dengan Murka dan Ancaman Siksa-Nya? Bahwa Allah SWT itu memiliki kasih sayang yang meliputi segala sesuatu. Bahwa dari Allah hanyalah kebaikan dan karunia. Bahwa –seperti yang dilantunkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib (salam atasnya) dalam salah satu doanya—kalau bukan karena keputusan dan sumpah-Nya untuk menyiksa orang yang ingkar, tentu Dia akan menjadikan api seluruhnya sejuk dan damai, dan tidak akan ada lagi disitu tempat tinggal dan menetap bagi siapapun.
Tapi memang menerapkan metode seperti ini tidaklah mudah. Terutama bagi orang tua (termasuk saya tentunya) dan guru2 masa kini (gurunya manusia menurut istilah Pak Munif Chatib) yang merupakan produk lama pendidikan yang banyak berjejal konten2 menyeramkan.
Jadi kepada PMI, IDI dan obat untuk orang “pintar”, ternyata --menurut penelitian-- cara yang Anda gunakan untuk iklan berobat ke dokter dengan cara menakut2i itu tidak efektif jika ditujukan untuk mempengaruhi orang (apalagi orang “pintar”) untuk berobat ke dokter bila sakit. Kecuali kalau memang iklan itu ditujukan untuk mengurangi nafsu makan pemirsanya. Hmm..
Tentu bukan karena melihat orang2 itu kami kehilangan nafsu makan. Tapi karena melihat beberapa scene “menyeramkan” yang ditampilkan disana. Seperti scene yang menampilkan orang yang terkena kanker mata, muntah darahnya pengidap TBC, bayi hydrocephalus, dsb. Semula saya nggak tahu, sebenarnya ini iklan apa sih. Sampai akhirnya iklan itu ditutup oleh Lula Kamal yang menyampaikan anjuran untuk berobat ke dokter bila sakit. Ohh..?!
Saya lalu bertanya, apa iklan seperti ini efektif dalam menyampaikan pesan kepada para pemirsanya? Apakah iklan seperti ini juga cukup efektif untuk mempengaruhi para penontonnya untuk melakukan tindakan berobat ke dokter.
Malcolm Galdwell dalam bukunya mengungkapkan adanya sebuah penelitian tentang pengaruh “menakut-nakuti” yang dilakukan dilakukan terhadap para mahasiswa senior dari Yale University. Kepada para mahasiswa tersebut dibagikan brosur yang berisi anjuran untuk melakukan vaksinasi anti-tetanus. Hanya saja mereka dibagi dalam beberapa kelompok yang masing-masingnya akan menerima paket brosur yang berbeda dengan kelompok lainnya. Sebagian mahasiswa diberi paket brosur yang “sangat menyeramkan” yang memuat istilah dan gambar-gambar yang dramatis, lengkap dengan foto2 berwarna anak yang kejang tetanus, korban tetanus yang terpaksa pakai kateter untuk buang air kecil, yang dilubangi tenggorokannya, yang dipasang selang di hidungnya, dsb. Sementara kelompok mahasiswa yang lain menerima brosur versi “soft” dimana ia menerangkan risiko2 tetanus secara lebih tersamar dan bahkan tanpa gambar2.
Howard Levanthal, sang pakar psikologi yang melakukan penelitian ini, ingin mengetahui seberapa jauh sebenarnya dampak dari brosur2 tersebut terhadap perilaku mahasiswa tersebut terhadap tetanus, dan –yang lebih penting—terhadap kesediaan mereka untuk divaksinasi.
Seperti diduga, memang benar bahwa kelompok mahasiswa yang mendapatkan brosur “menyeramkan” lebih memilki pemahaman dan kesadaran tentang bahayanya tetanus dibandingkan dengan kelompok mahasiswa lainnya. Namun fakta itu menjadi tidak bermakna ketika ia tidak memiliki relevansi dengan kesadaran dari kelompok tersebut untuk pergi melakukan vaksinasi.
Ternyata penelitian tersebut menunjukkan bahwa proporsi jumlah mahasiswa yang melakukan vaksinasi dari kelompok brosur “menyeramkan” dan brosur “soft” sama saja. Artinya tanpa ditakut2i dengan gambar2 yang dramatis itu sebenarnya para mahasiswa sudah tahu dan sadar mengenai bahaya tetanus, dan apa yang harus mereka perbuat. Jadi dampak dari cara komunikasi menakut2i tersebut hanya berbeda sampai dengan tingkatan pemahaman (atau ngeh kata orang jawa). Tapi pada tingkatan amal real nya ia tidak memiliki relevansi alias sama saja dengan yang diberitahu dengan cara “soft”.
Itu salah satu kesimpulan Levanthal dalam penelitiannya kali ini.
Saya kemudian ingat, waktu kecil dulu saya sering membaca buku2 cerita yang menceritakan neraka dengan berbagai kisah menyeramkannya. Ada orang yang diseterika punggungnya, ada yang dipotong lidahnya, ada yang disuruh memakan –maaf— darah/nanah, ada yang ditusuk duburnya, dan hal-hal mengerikan lainnya lengkap dengan gambar visualisasi dan efek2 menyeramkan lainnya. Begitu juga guru2 di TK dan SD saya dulu juga menegaskan informasi yang sama secara verbal.
Tapi saya tidak melihat cara yang sama pada metode pendidikan yang diterapkan pada sekolah anak2 saya, setidaknya hingga saat ini. Setahu saya, metode pendidikan sekarang berusaha sebisa mungkin menghindari cara menakut-nakuti anak didik dalam menjelaskan sesuatu atau memberikan persuasi anak untuk melakukan sesuatu.
Dorothy Law, seorang ahli psikologi komunikasi, mengatakan bahwa anak belajar dari kehidupan di lingkungannya. Katanya ketika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia akan belajar rendah diri. Ketika anak dibesarkan dengan pujian, dia akan belajar menghargai. Jika anak dibesarkan dengan celaan, dia akan belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan ancaman, maka dia akan belajar mengancam. Jika anak dibesarkan dengan cinta dan kasih sayang, maka ia akan belajar untuk menemukan dan mencintai.
Mungkin ini yang dijadikan dasar oleh pendidikan modern untuk lebih banyak menggunakan pendekatan Cinta-Nya ketimbang menakut2i dengan Murka dan Ancaman Siksa-Nya? Bahwa Allah SWT itu memiliki kasih sayang yang meliputi segala sesuatu. Bahwa dari Allah hanyalah kebaikan dan karunia. Bahwa –seperti yang dilantunkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib (salam atasnya) dalam salah satu doanya—kalau bukan karena keputusan dan sumpah-Nya untuk menyiksa orang yang ingkar, tentu Dia akan menjadikan api seluruhnya sejuk dan damai, dan tidak akan ada lagi disitu tempat tinggal dan menetap bagi siapapun.
Tapi memang menerapkan metode seperti ini tidaklah mudah. Terutama bagi orang tua (termasuk saya tentunya) dan guru2 masa kini (gurunya manusia menurut istilah Pak Munif Chatib) yang merupakan produk lama pendidikan yang banyak berjejal konten2 menyeramkan.
Jadi kepada PMI, IDI dan obat untuk orang “pintar”, ternyata --menurut penelitian-- cara yang Anda gunakan untuk iklan berobat ke dokter dengan cara menakut2i itu tidak efektif jika ditujukan untuk mempengaruhi orang (apalagi orang “pintar”) untuk berobat ke dokter bila sakit. Kecuali kalau memang iklan itu ditujukan untuk mengurangi nafsu makan pemirsanya. Hmm..
Subscribe to:
Posts (Atom)