oleh: Dr. Muhsin Labib.
Ada apa dengan sebutan 'Salafi'? Sebesar apa pengaruh dan manfaatnya? Apakah ‘salaf’ tidak lebih dari sekedar alat justifikasi yang menjamin imunitas dari kritik dan tuduhan ‘sempalan’? Apakah ‘salaf’ itu seperti ‘merek dagang’ sehingga ia harus diperlakukan sebagai copyright lembaga atau kelompok tertentu? Ataukah ‘salaf’ dapat dianggap sebagai ‘nama barang’ sehingga setiap orang yang merasa melestarikan tradisi orang-orang terdahulu berhak untuk menyandangnya? Perlukah ada semacam lembaga ‘penertiban nama aliran’ di tengah umat Islam yang memiliki hak mutlak untuk memberikan dan mencabut atribut keagamaan agar tidak terjadi kesimpangsiuran, sengketa dan perang atribut yang sia-sia? Lebih jauh lagi, Apakah atribut ‘salaf’ dan semacamnya itu bermakna, tidak ambigu dan tidak berbau truth claim (hegemoni teologis)? Apa batasan ilmiah ‘salaf’ dan definisi logis ‘saleh’? Bukankah ruang untuk berbeda pendapat dan penafsiran untuk setiap atribut itu selalu terbuka?
Sebagaimana atribut Ahlussunnah yang sempat diperebutkan oleh kalangan Nahdliyyin dan para penganut Wahabisme (seperti Laskar Jihad Ahlussunnah-nya Jakfar Talib), ternyata merek ‘salaf’ juga menjadi sengketa.
Salaf adalah kata Arab yang berarti ‘berlalu’ sebagai lawan dari ‘khalaf’ yang berarti ‘menyusul’. Salafi adalah predikat bagi orang-orang Muslim yang memiliki jargon ‘mengikuti para salaf’ (terdahulu), seperti para ulama dan terutama para pendiri mazhab.
Sebutan ini lebih sering digunakan sebagai upaya menghindari penyebutan 'wahabisme' yang cenderung sinis Kata 'salafi' tidak lain adalah kemasan lain dari teologi Wahabi yang didirikan Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb dari keluarga klan Tamîm. Ia lahir di desa Huraimilah, Najd, yang kini bagian dari Saudi Arabia, tahun 1111 H [1700 M] Masehi dan meninggal di Dar’iyyah. tahun 1206 H [1792 M.]. Ia sangat terpengaruh oleh tulisan-tulisan seorang ulama besar bermazhab Hanbali bernama Ibnu Taimiyah yang hidup di abad ke 14 M.. Untuk menimba ilmu, ia juga mengembara dan belajar di Makkah, Madinah, Baghdad dan Bashra [Irak], Damaskus {Siria], Iran, Afghanistan dan India. Di Baghdad ia kawin dengan seorang wanita kaya. Lalu berpindah ke Basra dan mengajar selama 4 tahun di sana.
Ketika pulang ke kampung halamannya, ia menulis buku yang kemudian menjadi rujukan kaum pengikutnya, Kitâbut’Tauhîd . Para pengikutnya menamakan diri kaum Al-Muwahhidûn atau as-Salafiyun.
Ia kemudian pindah ke ‘Uyaynah. Saat sering memberikan khotbah Jumat di ‘Uyaynah, ia terang-terangan mengafirkan semua kaum Muslimin yang dianggapnya melakukan bid’ah [inovasi], dan mengajak kaum Muslimin agar kembali menjalankan agama seperti di zaman Nabi.
Di kota ini ia mulai menggagas dan meletakkan teologi ultra-puritannya. Ia mengutuk berbagai tradisi dan akidah kaum Muslimin, menolak berbagai tafsir Al-Qur’ân yang dianggapnya mengandung bid’ah atau inovasi.
Mula-mula ia menyerang mazhab Syiah, lalu kaum sufi, kemudian ia mulai menyerang kaum Sunni. Tatkala masyarakat mulai merasa seperti duduk di atas bara, ia diusir penguasa [amîr] setempat pada tahun 1774.Ia lalu pindah ke Al-Dar’iyyah, sebuah oase ibu kota keamiran Muhammad bin Sa’ûd, masih di Najd Tahun 1744 Muhammad bin Su’ûd, amir setempat dan Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb saling membaiat untuk mendirikan negara teokratik dan mazhabnya dinyatakan mazhab resmi Ibnu Su’ûd sebagai amîr dan Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb jadi Qhadi (jaksa agung). Ibnu Su’ûd mengawini salah seorang putri Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb.
Sejak saat itu, terjadilah merger ambisi politik Saud dan teologi kaku Muhammad bin Abdul Wahhab di bawah restu Inggris. Klan Saud yang bercita-cita menyatukan klan-klan badui di Jazirah Arabia di bawah kepemimpinannya seraya mengajak mereka melepaskan diri dari kekuasaan Dinasti Otoman (Khilafah Utsmaniyah). Muhammad bin Abdul Wahab bercita-cita mengganti dominasi Sunni di dunia Islam dengan pandangannya karena menganggap teologi Sunni tercemari oleh bida’ah-bid’ah kaum Sufi dan Syiah.
Kemenangan suku badui dari klan Saud sangat bergantung pada dukungan Kolonialisme Inggris. Berkat gucuran dana, suplay senjata dan pendidikan keterampilan, kekuasaan Ibnu Su’ûd menyebar ke seluruh Jazirah Arab yang masa itu berada dalam kekhalifahan ‘Utsmaniyah dengan tujuan melemahkan khilafah itu. Orang bisa membacanya dalam buku Hamsfer, ‘Confession of a British Spy’. Tahun 1800 seluruh Jazirah Arab telah dikuasai dan keamiran berubah menjadi kerajaan Saudi Arabia
Penaklukan-penaklukan pun dilakukan, terhadap para kabilah dan kelompok yang menolak mazhab mereka, termasuk Makkah dan Madinah dan akhirnya bentuk pemerintahannya berubah dari emirat menjadi kerajaan Saudi Arabia sejak tahun 1932 sampai sekarang.
Tidak sampai disitu. Usai merebut kekuasaan kaum Asyraf (yang notabene Sunni asli, bukan wahabi), pada bulan April tahun 1801, mereka membantai kaum Syî’ah di Karbalâ'.
Kabilah-kabilah yang tidak mau mengikuti mazhab mereka dianggap kafir ‘yang halal darahnya’. Dengan demikian mereka tidak dinamakan perampok dan kriminal lagi, tapi kaum ‘mujâhid’ yang secara teologis dibenarkan membunuh kaum ‘kafir’ termasuk wanita dan anak-anak, merampok harta dan memperkosa istri dan putri-putri mereka yang dianggap sah sebagai ghanîmah. Hanya sedikit yang dapat melarikan diri.
Setelah lebih dari 100 tahun kemudian, kekejaman itu masih juga dilakukan. Tatkala mereka memasuki kota Thâ’if tahun 1924, mereka menjarahinya selama tiga hari. Para Qhadi dan ulama diseret dari rumah-rumah mereka, kemudian dibantai beserta ratusan lainnya yang dibunuh. [‘Utsmân bin Bisyr, Unwân al-Majd fî Târîkh Najd , akkah, 1349, jilid 1, hlm 121-122).
Kerajaan Saudi yang berdiri diatas teologi Wahabisme dan dilindungi secara politik oleh Barat, terutama Inggris, yang saat itu merupakan Negara adidaya (kini dilindungi penuh oleh Amerika dan sekutunya) makin berhasil mengukuhkan diri sebagai ikon Islam, karena di dalamnya terdapat Mekkah dan Madinah. Dengan segala cara para pendeta wahabisme mengajarkan dan menjejalkan doktrin takfir (pengkafiran terhadap sesama Muslim yang tidak sepaham dengan wahabisme) di seluruh penjuru dunia.
Di Tanah Air, berkat limpahan minyak dan devisa haji dan umrah yang berlimpah dan memanfaatkan terpuruknya ekonomi dalam negari akibat ulah para koruptor, kerajaan ini memberikan bantuan-bantuan berupa masjid dan sarana pendidikan agama serta pemberian beasiswa dalam jumlah sangat besar kepada pesantren-pesantren dan perguruan tinggi Islam.
Salafisme atau wahabisme telah melakukan perubahan dalam pola dan gaya sesuai dengan tuntutan strategis. Wahabisme kini bahkan tidak melulu identik dengan pandangan teologis yang kaku dan intoleran, tapi menjadi sebuah gerakan transnasional yang pada dasarnya menolak segala jenis sistem Negara yang berdiri diatas konsensus dan kontrak social karena dianggap mengabaikan perintah menegakkan hokum Allah, seperti Al-Qaedah dan Talibanisme dan JI. Demi tuntutan strategis, dibagilah divisi-divisi dengan modus operandi dan gaya perjuangan yang dikesankan tidak saling berkaitan. Bahkan untuk memaksimalkan marketing, mereka cepat-cepat mendirikan sebuah institusi politik yang terkesan berwawasan domestik nasionalis serta memutasi dirinya sebagai partai yang santun dan bersih. Alhasil, kekhawatiran petinggi NU dan bahkan mungkin Muhammadiyah terhadap eskalasi kekearasan yang diyakini bersumber dari doktrin kaku Wahabisme, memang tidak berlebihan.