Tuesday, February 3, 2009

Pengkhianatan Arab Saudi; Dari Pulau Tiran Hingga ke Perang Gaza

oleh: Saleh Lapadi

Uni Emirat Arab tanpa memiliki bukti kuat sampai saat ini masih mengklaim tiga pulau Abu Musa, Tunb Kecil dan Tunb Besar sebagai miliknya. Uni Emirat Arab memanfaatkan isu Arab dan propaganda internasional untuk tetap mengusik ketiga pulau ini. Namun ironisnya Arab Saudi tidak pernah mempermasalahkan dua pulaunya; Tiran dan Sanafir yang sampai saat ini diduduki oleh Rezim Zionis Israel. Apa rahasia dibalik bungkamnya Arab Saudi menyaksikan dua pulaunya diduduki Israel? Tulisan ini mencoba membongkar transaksi besar antara Arab Saudi dan Israel.


Urgensi Pulau Tiran dan Sanafir
Pelabuhan Elat yang terletak di Teluk Aqaba sangat strategis bagi Rezim Zionis Israel karena sebagian besar aktivitas ekspor dan impor rezim Zionis melalui pelabuhan ini. Pelabuhan Elat menjadi penghubung Israel dengan pesisir timur dan selatan Afrika dan negara-negara selatan dan barat daya Asia. Pelabuhan ini dihubungkan dengan pelabuhan Asqalan pesisir timur Laut Mediterania lewat jalur pipa minyak dan jalur darat. Dengan memiliki pelabuhan ini, Israel sudah tidak lagi membutuhkan Terusan Suez dan kenyataan ini menunjukkan strategisnya pelabuhan Elat bagi rezim ini.

Namun apakah satu-satunya jalur hubungan Israel dengan laut melalui Selat Tiran?

Selat Tiran adalah pulau yang menghubungkan Teluk Aqabah dengan Laut Merah. Mulut Selat Aqabah adalah pulau Tiran dan Sanafir. Mantan Duta Besar Rezim Zionis Israel di Amerika Ishaq Rabin mengatakan, “Kawasan ini, pulau Tiran dan Sanafir sangat strategis. Pertikaian tiga orang bersenjata saja mampu menutup selat ini.” Begitu strategisnya selat ini sehingga banyak pengamat menilai salah satu pemicu perang Arab-Israel tahun 1967 adalah sikap Mesir menutup selat ini bagi armada laut Israel.

Kronologi Sejarah Urgensi Pulau Tiran dan Sanafir
Mesir pada tahun 1949 menutup Terusan Suez untuk kapal-kapal Rezim Zionis Israel. Sikap Mesir ini secara otomatis mengangkat posisi Pelabuhan Elat menjadi sangat strategis bagi Israel. Karena dengan ditutupnya Terusan Suez tanpa memiliki pelabuhan ini bagi Israel berarti kapal-kapal dagang rezim ini setelah melakukan transaksi untuk kembali harus memutari Afrika Selatan terlebih dahulu.

Pada tanggal 13 September 1955, Mesir mengeluarkan peraturan bagi setiap kapal-kapal yang ingin melewati Teluk Aqabah harus mendapat izin negaranya. Sebaliknya, Israel melihat kendala dalam upayanya untuk mengakses laut bebas. Saat Gamal Abdel Nasser, Presiden Mesir menasionalisasikan Terusan Suez, negara-negara Perancis, Inggris dan Rezim Zionis Israel menyerang Mesir. Hasil dari perang ini adalah terealisasinya keinginan Rezim Zionis Israel dengan dibukanya kembali Selat Tiran dan ditempatkannya pasukan internasional di Teluk Aqabah dan Gurun Sina.

Pulau Sanafir untuk pertama kalinya diduduki Rezim Zionis Israel dalam perang tahun 1956 selama 10 bulan. Sebelum perang tahun 1967 Mesir menyewa pulau ini dari Arab Saudi dengan tujuan menutup Selat Tiran bagi armada kapal Israel. Namun setelah perang pulau ini menjadi jajahan Israel.

Sebelum terjadi perang, Mesir menuntut penarikan pasukan penjaga perdamaian PBB dari garis gencatan senjata dengan Israel. Pasukan perdamaian PBB pada tanggal 23 Mei 1967 menarik pasukannya dari sana. Mesir tetap menutup Selat Tiran bagi armada kapal Rezim Zionis Israel. Pendudukan ilegal Pelabuhan Elat di kawasan Umm Al-Rashrash oleh Rezim Zionis Israel setelah gencatan senjata tahun 1949, Luas Teluk Aqabah lebih banyak dimiliki oleh Mesir dan keyakinan negara ini bahwa Selat Tiran bukan kawasan bebas menjadi alasan Mesir untuk menutup selat ini.

Langkah yang dilakukan Mesir menunjukkan negara ini telah siap untuk melakukan perang paling menentukan dengan Rezim Zionis Israel. Namun Rezim Zionis Israel mendahului Mesir dengan lampu hijau yang diberikan Amerika, pagi hari tanggal 5 Juni 1967 membombardir 9 bandar udara Mesir selama 3 jam dan setiap kalinya selama 10 menit. Pasukan darat rezim ini siang hari itu juga menyerang perbatasan Mesir dan kemudian merangsek maju mendekati terusan Suez. Sore hari kedua perang (6 Juni), Panglima Tertinggi Militer Mesir Abdul Hakim Amir memerintahkan pasukannya segera mundur dari Gurun Sina. Menyusul perintah ini, Mesir pada tanggal 7 Juni menerima dihentikannya perang dan menginformasikannya kepada Sekjen PBB, sementara militer Israel pada tanggal 8 Juni tengah berusaha untuk menduduki Gurun Sina secara keseluruhan.

Ada sejumlah capaian penting bagi Rezim Zionis Israel setelah berkahirnya perang ke-3 tahun 1967 antara Arab dan Israel. Hasil-hasil itu sebagaimana berikut:

1. Rezim Zionis Israel tetap menguasai dan menduduki daerah-daerah seperti Tepi Barat Sungai Jordan, Jalur Gaza, Gurun Sina milik Mesir, Dataran Tinggi Golan milik Suriah dan pulau Tiran dan Sanafir milik Arab Saudi.
2. Sekitar 330 ribu warga Palestina menjadi pengungsi.
3. Rezim Zionis Israel menguasai sumber air Sungai Jordan dan Selat Tiran dan Teluk Aqabah terbuka bagi armada kapal rezim ini.
4. Rezim Zionis Israel berhasil menciptakan garis pertahanan baru yang strategis untuk menghadapi serangan asing.
5. Sejumlah daerah telah diduduki Rezim Zionis Israel. Setelah ini tujuan Arab hanya berusaha untuk mengembalikan tanah-tanah yang telah diduduki baik tahun 1948 atau 1967.
6. Kekuatan militer Mesir, Yordania dan Suriah telah hancur.
7. Ketidakmampuan para pemimpin Arab, ketidakkompakan dan ketidakseriusan mereka untuk membebaskan Palestina semakin tampak jelas.
8. Perlawanan Palestina muncul dan dari hari ke hari semakin menguat. Menyusul ketidakmampuan dunia Arab, bangsa Palestina menemukan jati dirinya dan berusaha dengan melakukan berbagai inovasi untuk membebaskan tanah airnya.

Perang tahun 1967 bukan akhir dari perseteruan Arab-Israel. Karena pada tahun 1973 perang kembali terjadi yang menjadi pendahuluan terjadinya Perjanjian memalukan Kamp David yang ditandatangani oleh Presiden Mesir Anwar Sadat dan Perdana Menteri Rezim Zionis Israel Menachem Begin pada tanggal 17 September 1978. Dalam perundingan itu tidak disebutkan mengenai pulau-pulau milik Arab Saudi dan kawasan Umm Ar-Rashrash milik Mesir sebelum perang 1967 yang diduduki Rezim Zionis Israel.

Pengkhiatan Arab Saudi atas Cita-Cita Palestina dan Umat Islam
Mencermati kronologi pendudukan pulau Tiran dan Sanafir milik Arab Saudi oleh Rezim Zionis Israel dan bungkam pemerintah Arab Saudi atas kenyataan ini menimbulkan berbagai pertanyaan. Apakah mungkin ada kesepakatan rahasia antara pemerintah Arab Saudi dan Rezim Zionis Israel?

Perlu diketahui bahwa satu tahun setengah sebelum terjadinya perang Gaza, Arab Saudi menyakan akan membangun jembatan yang menghubungkan kedua negara ini dari Ra’s Al-Sheikh Hamid, Arab Saudi hingga Sharm Al-Sheikh, Mesir. Pernyataan ini kontan direaksi keras oleh Rezim Zionis Israel. Kerasnya pernyataan Israel ini dapat ditelusuri dalam tulisan yang dimuat dalam Situs Debka bahwa pembangunan jembatan itu dapat memicu perang besar di Timur Tengah. Alasan perang tahun 1967 antara Arab dan Israel dibesar-besarkan agar para pejabat Arab Saudi segera menarik kembali keputusannya itu.

Jembatan dengan panjang 50 kilometer itu diperkirakan akan menghabiskan biaya sebesar 3 miliar dolar dan direncanakan akan selesai selama tiga tahun. Hampir dua tahun dari pengumuman rencana dan peletakan batu pertama dilakukan, namun sampai kini tidak ada informasi baru mengenai kemajuan proyek ini.

Agresi brutal militer Rezim Zionis Israel dan bungkamnya Arab Saudi menyaksikan kebiadaban rezim ini membuat opini umum dunia bertanya-tanya. Apakah bungkamnya para pejabat Arab Saudi di saat militer Israel melakukan kebiadabannya bagian dari kesepakatan rahasia Arab Saudi dan Israel dalam masalah proyek jembatan dari pulau Tiran? Terlebih lagi setelah sejumlah pakar menyebut-nyebut adanya sumber minyak di pulau Tiran dan Sanafir. Waktu jugalah yang akan menjawab apa sebenarnya di balik kemungkinan kesepakatan rahasia antara pengkhianat dan munafik umat Islam dengan Rezim Zionis Israel.

Namun jangan lupa akan pernyataan Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Ayatullah Al-Udzma Sayyid Ali Khamenei dalam suratnya kepada Perdana Menteri Palestina yang sah Ismail Haniyah. Beliau mengatakan, “Para pengkhianat Arab juga harus tahu bahwa nasib mereka tidak akan lebih baik dari orang-orang Yahudi dalam perang Ahzab”, sambil menyebut ayat ke-26 surat Al-Ahzab yang berbunyi, “Dan dia menurunkan orang-orang Ahli Kitab (Bani Quraizhah) yang membantu golongan-golongan yang bersekutu dari benteng-benteng mereka, dan dia memasukkan rasa takut ke dalam hati mereka. Sebagian mereka kamu bunuh dan sebahagian yang lain kamu tawan.”