Saturday, February 7, 2009

Te’no… We’ono

Karena sesuatu hal saya jadi teringat sebuah prinsip atau motto dari seorang pengusaha sukses di kota kelahiran saya. Ingatan saya melayang jauh ke sekitar 10 tahun yang lalu, ketika saya sempat ngobrol berdua dengan beliau di rumahnya. Seingat saya waktu itu saya baru lulus kuliah dan baru mulai bekerja. Setelah ngobrol santai kesana-kemari tentang beragam topik yang saya tidak ingat, beliau menjelaskan sebuah prinsip bisnis yang selama ini dipegangnya.
Prinsipnya sangat sederhana, “Te’no, We’ono” , sebuah ungkapan bahasa Jawa yang kurang lebih artinya “Aku habiskan, Berilah lagi”.

Apa maksudnya prinsip itu?
Dia kemudian mulai bercerita riwayat kerjanya. Beragam profesi pernah digelutinya, dari mulai pelayan di warung Bakso, jualan makanan, pegawai kasar di beberapa pabrik, sampai dengan akhirnya sukses seperti sekarang. Prinsip “Te’no, We’ono” itu yang selalu dia pegang, katanya. Setiap dia mendapatkan hasil dari pekerjaannya, pertama-tama dia menghadap ke ibunya untuk bertanya apa yang ibunya inginkan. Setelah itu hasil lainnya dia banyak sedekahkan ke orang yang membutuhkan (tentunya setelah memenuhi kebutuhan pribadinya). Dia punya keyakinan apa yang dia berikan atau sedekahkan ke orang yang membutuhkan itu tidak akan hilang, dan pasti Gusti Allah akan membalasnya berlipat ganda. Jadi demikianlah setiap dia mendapatkan rezeki, dia banyak sedekahkan. Dan dalam perjalanannya keyakinan akan prinsipnya itu semakin lama semakin kuat, karena selalu terbukti. Setiap dia mengeluarkan sedekah, kembalinya berlipat ganda. Dia keluarkan lagi sedekahnya berlipat. “Sedekah tidak membuat miskin, justru sebaliknya ini adalah rahasia kesuksesan saya, selain sabar dalam usaha. Karena jangan berharap kesuksesan itu sesuatu yang instant, dia harus diraih dengan kerja keras yang terus menerus”, lanjut beliau menjelaskan prinsipnya tersebut.

Al-Quran mulia berbicara: “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertaqwa, dan membenarkan adanya kebaikan (pahala di akhirat), maka Kami akan lancarkan jalannya menuju kemudahan. Sedangkan yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan kebaikan, maka kamia akan menyiapkan baginya jalan yang sulit.” (QS. Al-Lail: 5-10).

Ayat al-Quran tersebut diatas setidaknya menyatakan bahwa memberi (sedekah) merupakan wujud dari ketaqwaan dan keimanan kepada ganjaran dan hukuman di akhirat. Sebaliknya, kekikiran merupakan indikasi kekafiran kepada Tuhan dan pendustaan serta ketidakpercayaan kepada kehidupan akhirat. Bahkan di tempat yang lain, al-Quran jelas menyandingkan orang yang tidak mau memberi sebagai para pendusta agama.

”Tahukah kamu orang-orang yang mendustakan Agama? Mereka adalah orang yang mengusir anak yatim, serta tidak berusaha keras untuk memberi makan orang miskin”. (Qs. Al-Ma’un: 1-3).

Kemudian hal kedua yang bisa diambil adalah bahwa memberikan sebagian dari yang kita miliki itu merupakan sarana dalam mengatasi kesulitan-kesulitan kita, bukan sebaliknya seperti yang dibayangkan kebanyakan orang. Justru sebaliknya kalau kita kikir akan menyebabkan kita terlempar menuju kepada kesulitan-kesulitan.

Ada sebuah kisah lagi yang ingin saya sampaikan disini untuk membuktikan bagaimana memberi (sedekah) itu dapat mengubah takdir seseorang menuju kebaikan.

Suatu kali, ketika Rasulullah SAW sedang bersama para sahabatnya, seorang laki-laki Yahudi lewat. Tiba-tiba Rasulullah berkata : “Orang ini akan mati tak lama lagi.” Namun, sore harinya, orang yang sama lewat lagi di hadapan mereka dalam keadaan segar-bugar, sambil memanggul seonggok kayu. Sahabat pun terheran-heran : “Bagaimana mungkin orang yang sudah diramalkan mati oleh Rasul-Nya, masih bertahan hidup?” Belum habis keheranan mereka, Rasul SAW pun memanggil laki-laki itu. Kemudian beliau meminta agar onggokan kayu yang di bawanya diturunkan dan dibongkar. Dalam keterkejutan semua orang, dari dalam onggokan kayu tersebut merayap keluar seekor ular beracun. Lalu Rasul pun menyatakan :”Seharusnya engkau telah mati dipatuk ular beracun ini? Perbuatan baik apa yang telah kamu lakukan?” Maka laki-laki Yahudi itupun bercerita bahwa di tengah perjalanan ia bertemu dengan seorang miskin dan memberikan sedekah kepadanya.

Riwayat tersebut diatas menunjukkan bahwa perbuatan baik (dalam hal ini sedekah) dapat mempengaruhi nasib seseorang, siapapun dia dan apapun agamanya.

Ternyata prinsip sukses sederhana “Te’no, We’ono” ternyata memiliki basis yang sangat kuat berdasarkan nash-nash di atas. Kembali ke cerita pengusaha di awal tadi, beliau cerita juga bahwa waktu dia pergi haji dulu, selain dzikir wajib dan sunnah, beliau seringkali ber-"dzikir" dengan prinsipnya itu. “Te’no, We’ono…Te’no, We’ono…Te’no, We’ono… Bimillahi Allahu Akbar… Te’no, We’ono…”. [undzurilaina]