Monday, June 3, 2013

Jalan Lurus yang Lebar Itu

Syahdan, di suatu pagi yang sejuk di Surga. Seorang tokoh ormas besar sedang jalan-jalan menikmati pemandangan yang luar biasa indahnya. Kenikmatan dan kedamaian yang benar-benar luar biasa. Terang saja, ini kan di surga. Namun betapa terkejutnya ia, ketika sedang asyik menikmati situasi itu, ternyata disana dia bertemu juga dengan orang-orang yang di dunia dulu dikenal sebagai tokoh ormas-ormas keagamaan lain diluar ormas yang dia ikuti. Dia juga terkejut bukan kepalang ketika melihat berbagai penganut mazhab lain yang juga lolos masuk ke surga. Bagaimana bisa?!
Rupanya orang-orang yang ditemuinya itu juga memiliki keterkejutan yang sama satu dengan lainnya. Kok orang-orang itu bisa masuk surga juga seperti dirinya. Bagaimana bisa?! Kan, mereka begini.. kan mereka begitu..dan seterusnya masing-masing menyebutkan perbedaan-perbedaan pendapat dalam beragama di dunia dulu.

Potongan cerita yang tentu saja imajiner ini disampaikan oleh Prof.Dr.M.Amien Rais dalam salah satu ceramahnya ketika beliau masih menjabat Ketua PP Muhammadiyah. Walaupun imajiner, namun sebenarnya pesan yang beliau sampaikan, bahwa jalan menuju kebenaran itu tidaklah tunggal, tersebut punya dasar yang sangat kuat. Sejalan dengan Pak Amien, Prof. Dr. M. Quraish Syihab ketika menjelaskan tafsir surat al-Fatihah juga mengungkapkan pendapat senada. Ketika sampai pada penjelasan ayat “Ihdina as-Shirat al-Mustaqîm”, Pak Quraish menjelaskan bahwa al-Quran setidaknya menggunakan 2 terminologi untuk menyebutkan “jalan”, yaitu “Shirat” dan “Sabîl”. Dalam al-Quran kata “shirat” selalu digunakan dalam bentuk tunggalnya (singular), sementara kata “Sabîl” seringkali disebutkan dalam bentuk jamaknya, yaitu “Subul”. Seperti antara lain dijelaskan dalam ayat berikut:

Ayat tersebut adalah sebuah pernyataan al-Quran bahwa ada banyak jalan menuju jalan yang lurus (shirat al-Mustaqîm), yang diistilahkan dengan jalan-jalan keselamatan (subul as-Salâm). Pak Quraish mengibaratkan Shirat al-Mustaqîm itu seperti jalan tol yang lebar, dan Subul as-Salâm itu seperti jalan-jalan kecil yang mengarah ke jalan tol tersebut. Jalan-jalan kecil itulah kiranya berbagai mazhab dan pendapat dalam Islam yang walaupun berbeda-beda jalannya tapi sama-sama mengarahkan ke “jalan tol” yang lebar itu, yang kita diwajibkan dalam setiap shalat untuk senantiasa bermohon kepada Allah agar dibimbing menuju kepadanya, Ihdina as-Shirath al-Mustaqim.

Dalam beragama kita tidak boleh berfikir sempit. Bukanlah amalan-amalan kita yang menyebabkan kita bisa masuk ke surga-Nya dan terhindar dari siksa-Nya, melainkan hanya karena Rahmat dan Ridha-Nya saja lah. Kita semua berharap mendapatkan Ridha-Nya dengan amal-amal yang kita lakukan. Disamping itu kita perlu menghindari dari apa yang menyebabkan Ridha-Nya menjadi musnah, seperti dosa yang pernah menyebabkan terusirnya Iblis dari surga. Dosa itu adalah berupa kesombongan, dan hati yang merasa diri paling mulia dan paling benar sedang selainnya pastilah salah. Semoga kita dapat menghindarinya. Allahumma Amien. [undzurilaina/UA]