Tuesday, March 25, 2008

OPO ISLAM KUDU BENER...?

Tak seperti biasanya, warung Cak Supar yang terletak di ujung Gang Pasar Kambing kurang begitu ramai. Terlihat hanya beberapa orang yang sedang menikmati dinginnya malam itu seraya menghisap rokok dan menikmati hanggatnya kopi atau teh di warung yang buka sampai subuh itu. Tepat di hadapan Cak Supar yang tangannya sedang dengan lincah mengaduk-aduk gorengan nasi, duduk melamun si Gugun. Saat itu, ia sedang bersedih merenungi nasibnya yang banyak dibenci orang sekelilingnya. Ia pandangi asap rokok yang ia hembuskan dan kemudian terbang melayang serta lenyap ditelan gelapnya malam. Mungkin diriku akan bernasib seperti asap rokok itu, pikirnya. Memang sejak peristiwa di Dolly minggu lalu, ia cenderung menjadi seorang pendiam. Kata beberapa orang tetangganya, gayanya yang ceplas-ceplos serta "kemlinthi" itu nyaris tak kelihatan lagi.

Heei...!, lagi opo cak...? kok ngalamun thok...?, tegur Mat Nayar mengagetkan Gugun dari lamunannya. Ia pun tersenyum kecut menanggapi Mat Nayar sahabatnya semenjak sekolah di SD Negeri Benteng Miring dulu. Ono opo Gun kok sumpek...? tanya Mat Nayar lirih.


Kemudian Gugun menceritakan semua yang terjadi mulai dari peristiwa di Langgar Miftahul Jannah sampai penganiayaan terhadap dirinya di Dolly. Terus terang aku lagi prihatin karo ummat Islam jaman sa'iki, perasane awake kudhu bener lan wong liyo salah terus!. Lanjut Gugun tak bersemangat.

Lha ..yo'opo mane Gun...wong...kelakoanmu koyok ngono...?, komentar Mat Nayar dengan nada sedikit menyudutkan.

Merasa dipojokkan, Gugun pun "terbangun" dan siap ngotot seperti sediakala. Masalahne gak sesederhana iku Cak....!, tegas Gugun dengan sedikit meninggi. Ia kemudian mengisahkan panjang lebar kedunguan jama'ah Langgar Miftahul Jannah dalam menjawab pertanyaan nakalnya. Ia paparkan pula kesempitan berpikir pasukan berjubah yang mengobrak-abrik kompleks pelacuran Dolly. Setelah itu, Gugun juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap umat Islam saat ini yang menurutnya terlampau yakin kalau dirinya mampu menangkap kebenaran sejati. Sing ngomong Islam mesti bener iku khan cuma wong Islam dewe.., kata Gugun dengan nada nyinyir mengakhiri kalimatnya.

Lho...lho....!, yo terang wae mesti bener Gun...!, lha wong aturan-aturan iku soko Qur'an sing Maha Suci ..., ko'en lali tah... wejangane Lik Hisyam jaman biyen iku...?. Di dunia ini hanya ada satu kebenaran mutlak, yaitu nash-nash Al-Qur'an. Akal manusia-lah yang harus menemukannya, ujar Mat Nayar dengan aksen Maduranya yang tak dapat disembunyikan itu. Pancen ko'en iku rodhok kekiri-kirian Gun...., bahaya lho pemikiranmu iku....!, tambah Mat Nayar prihatin.

Pada saat yang sama muncul dari kejauhan seorang pemuda bersarung, berkopiah putih dan berjalan agak tergesa-gesa. Walaupun Gugun dan Mat Nayar tak menyadari, Cak Supar melihat kedatangan pemuda keturunan Arab yang dikenal oleh penduduk Gang Pasar Kambing sebagai anak muda yang pendiam, sopan, dan alim. Konon, ia pernah sekolah di Qom kampung halaman Khomeini. Oleh karenanya, walau usianya belum genap tiga-puluh tahun, banyak orang menganggapnya sebagai tempat bertanya. Oleh karenanya ia segera memanggilnya, yek Husin...yek Husin.....mampir.....!!!, teriak Cak Supar sambil melambaikan tangannya. Mungkin maksud Cak Supar agar Husin bisa menengahi perdebatan mengenai agama yang tampaknya tak kunjung usai.

Mengatahui kehadirannya diharapkan, Husin dengan langkah yang lebih cepat segera menuju ke warung tersebut.

Asslamualaikum....!, sapa Husin Ali kepada semua orang yang duduk di warung itu.

Waalaikum salaam...!. jawab mereka serentak. Cak Supar pun segera menyambut sang langganan dengan ramah.

Husin sengaja memilih duduk di samping Gugun dan Mat Nayar yang sudah dikenalnya sejak sepuluh tahun yang lalu. Ia segera memesan sepiring nasi goreng seraya menegur kedua teman lamanya tersebut: Yok opo kabare rek...?. Rupanya Mat Nayar sedang dalam keadaan terlampau serius untuk menanggapi basa-basi tersebut. Ia ternyata lebih suka melibatkan Husin ke dalam perdebatannya dengan Gugun.

Mat Nayar langsung menjelaskan secara panjang lebar pembicaraannya dengan Gugun. Bak Da'i yang memiliki sejuta ummat, Mat Nayar secara khusus memaparkan keabsolutan kebenaran dalam Islam. Hanya orang-orang yang mampu berpikir independent dapat menangkap keabsolutan kebenaran Islam, tegas Mat Nayar dengan bahasa Indonesia yang sedikit kagok. Dalam terang dan kebeningan Quran yang pasti benar itu, lahirlah "independent minds", macam Umar dan Ali, lahirlah pula "ilmuwan-ilmuwan" pionir dalam segala bidang. Lahirlah juga peradaban unggul yang bertahan bertahan berabad-abad. Ngono...Gugun sik gak percoyo wae..., yek....!, kata Mat Nayar seraya melirikkan matanya ke Gugun.

Sedangkan Gugun tetap dengan gayanya yang khas tak bergeming serta menyembulkan senyum sinis.

Cukup bijak si Husin Ali ini rupanya. Lek pendapatmu yo'opo Cak Gun....?, tanyanya yang sepertinya sedang berusaha menerapkan prinsip "both side coverage".

Mungkin terlampau rumit kango aku nerangno makna "independent minds" dari perspektif psikologi opo maneh filsafat. Tapi secara awam dan sederhana, menurutku "independent mind" iku cara berpikir sing "independent", yaitu merdeka, bebas, dan otonom dari segala bentuk pengaruh, intervensi serta distorsi yang menghalangi kita untuk menemukan kualitas intrinsik suatu objek. Menurutku, gak bakal ono wong iso "independent" iku. Tapi..., malangnya manusia sering dengan mudahnya menyatakan bahwa ia telah mampu berfikir secara independent dan mendasarkan pada kriteria-kriteria obyektif , oleh karenanya "objective truth" dalam jangkauannya. Logika berpikir koyok ngene iku sing nyebabno umat Islam selalu ngeroso bener dewe.....!. Wong Islam sakjane kudu belajar soko sejarah...., perselisihan, intrik, konspirasi, bahkan pertumpahan darah yang terjadi dalam sejarah Islam mulai biyen sampai sa'iki, iku kabeh gara-gara rumongso iso "independent mind". Sakjane sopo sih sing duwe legitimasi lek pikirane awak dewe iku sing paling bener....????, jelas Gugun dengan berapi-api.

Setelah mendengar penjelasan Gugun, Husin pun mencoba ikut komentar: lek pendapet pribadiku......

Belum genap empat kata terucap, Mat Nayar dengan cepat memotongnya. Sik..sik....!, lek Gusti Allah wis berfirman...yo..iku...wis mesti bener...!. Lek babi haram....yo mesti bener babi iku haram..mosok gara-gara pikiran gak independent trus dadi halaal....?, onok-onok wae...!. Suweh-suweh aku tambah curiga karo Gugun iku. Ojo-ojo awake wis kenek pengaruh ideologi-ideologi kapir...!. Omonganmu iku Gun....., podo karo propaganda sekularisme dan zionis sing memang sentimen karo wong Islam....!, kata Mat Nayar dengan emosional sambil menuding-nudingkan tangannya.

Lho...ko'en ngangep aku opo....???, jawab Gugun seraya berdiri dari tempat duduknya.

Tenang...kalem....,ojo keburu nesu...!, Husin berusaha menenangkan.

Cak Supar yang sejak tadi hanya menjadi pendengar, akhirnya ikut nimbrung: rek...tolong..lek ape tarung ojo nang warung-ku, nggarai gak payu wae...!, kata Cak Supar sedikit mengeluh.

Tampaknya upaya Husin Ali dan Cak Supar berhasil mendinginkan suasana. Wis....wis...karo konco lawas wae mosok kape gepuk-gepukan...!, tambah Husin. Yo..opo...diskusine iso diterusno opo gak...?.

Menjawab pertanyaan Husin tersebut, Gugun menimpali: Monggo wae.....Sedangkan Mat Nayar hanya diam tak menjawab.

Seraya meneguk kopi-jahe yang telah dipesannya, Husin mulai berbicara: Memang persoalannya, kemutlakan syari'ah sering menyebabkan orang menganggap bahwa kebenaran hanya satu. Artinya, harus ada satu pihak yang benar, dan yang lain mesti salah. Padahal, kebenaran ada di "lawh al-mahfuzh". Dan kebenaran itu terlalu besar untuk bisa dipahami manusia. Bukankah kemudian terbuka kemungkinan setiap orang memahami secuil kebenaran Allah...?.

Akibat tak puas, Mat Nayar pun segera protes: lho...terus...kebenaran Qu'ran iku relatif dan ngak normatif ....???. Mat Nayar terus ngedumel dengan suara yang nyaris tak terdengar.

Malam pun semakin larut. Hawa dingin dari sisa hujan sore tadi tak juga mampu menghalangi hangatnya diskusi itu. Bagai seorang begawan sedang memberikan petuah, Husin bercerita banyak tentang makna kebenaran dan kemampuan manusia untuk memperolehnya. Ia dengan fasihnya mengulas isu-isu filosofis yang memang sangat merumitkan pikiran. Tampaknya ia sangat piawai menguasai retorika ala filosof Yunani yang memang masih terus dipelihara dalam tradisi padepokan Qom.

Sesungguhnya di antara Muslimin memang tak ada perbedaan pandangan mengenai "kemutlakan" intrinsik wahyu Allah. Tapi, Al Qur'an tidak pernah berbicara sendiri. Manusialah yang membacanya, memahaminya, meresapinya, mengkonseptualisasikan ide dan nilai-nilai yang dikandungnya, menyuarakannya dan akhirnya menyusunnya secara sistematis melalui madzab-madzab yang ada. Sejujurnya, walaupun Al Qur'an secara intrinsik bersifat mutlak, persepsi manusia tentangnya tidak pernah absolut dan selalu bersifat relatif sesuai dengan dimensi ruang dan waktu, Husin berbicara terus hingga nasi gorengnya lupa terjamah hingga mendingin.

Walaupun mengangguk-angguk, Mat Nayar tampaknya belum bisa menerima semua argumentasi tersebut. Ia tetap tak mau menerima pandangan tersebut. Aku khawatir lek pemikiran koyok ngene terus dikembangno, iso-iso Syari'ah lan Aqidah dadi gak ono artine. Terus yok opo kehebatane wong Islam sing nang sejarah huebate gak karu-karuan mergo yakin marang keabsolutan Syari'ah...???.

Tapi gak iso ngono sih Cak....!!!, tukas Gugun sedikit keras. Pikaran koyok ngono iku sing njaluk menange dewe...!. Kebenaran iku dudhuk monopoli-ne Islam. Kabeh agomo utowo keyakinan termasuk Kristen, Hindu, Budho, Majusi, Sikh, Syiah, Sunni, komunis, sampe agomone wong ndayak nang alas kabeh... mengandung sak cuil kebenaran Gusti Allah Pangestu...!.

Keadaan menegang kembali. Ganasnya pendapat yang satu siap memangsa pendapat yang lain. Mat Nayar melancarkan serangan berikutnya: Alaa...omonganmu iku lak tiru-tiru Cak Nur, ko'en lali tah wong iku sampe dikafirno segala.

Wis...wis...gak oleh ngomong kafir-kafir koyok ngono Mat...!. Sela Husin untuk menghindari berlanjutnya debat kusir ini. Ngomong kafir opo gak iku, cuma Allah sing duwe hak. Menungso iku gak bakal iso ndelok segala sesuatu secara obyektif. Kita melihat dunia bukan "sebagaimana dunia adanya" melainkan "sebagaimana kita adanya" atau sebagaimana kita dikondisikan untuk melihatnya, jelas Husin sekali lagi.

Lho Yek..., sampiyan kok dadi ngono...?, tanya Mat Nayar kepada Husin karena keheranan...

Tapi Husin hanya tersenyum kecil.

Sebaliknya emosi Gugun semakin memuncak walau ia masih mampu mengendalikannya. Aku males ngomong karo wong sing pikirane cupeet....!, ejek Gugun dengan suara agak menjerit dan terus ngacir pergi tak tertarik lagi untuk terus berdiskusi. Dalam hati yang penuh kedongkolan ia bergumam: mendingan kulalap habis epik Arus Balik-nya Pramoedya Ananta, daripada berbicara hanya melelahkan mulut seperti ini.

Masih penasaran karena tak ditanggapi, Mat Nayar terus bertanya. Yek...,opo alasan sampiyan mbelo arek PKI iku...?, arek iku calon Salman Rushdie soko Suroboyo...!.

Husin tetap tak bergeming. Ia pikir tak guna lagi meladeni orang yang sedang kalap memuja kebenarannya dirinya sendiri.

Merasa tidak diacuhkan, Mat Nayar segera beranjak meninggalkan warung seraya bergumam lirih..mandharo kualat ketubruk montor sopo wae sing ono keraguan nang keimanane...

Belum selesai terkejut melihat semua temannya lenyap dari "perhelatan", Husin dikagetkan oleh pertengkaran mulut antara Cak Supar dengan salah seorang pengunjung warung.

Dari gaya serta aksen bicaranya tampak lelaki itu berasal dari daerah Jawa Barat. Sang lelaki mempermasalahkan mengapa teh yang ia pesan diberi gula, padahal ia tak pernah memintanya. Tak kalah ngototnya, Cak Supar tetap bersikeras bahwa selama hidupnya di Jawa Timur menjual air teh itu selalu dalam keadaan manis, kalau menghendaki "tawar" harus ditegaskan sejak awal kepada penjual. Mereka pun terus beradu mulut, dan tak satu pun siap mengalah karena sama-sama merasa benar.

Tapi tak mengapa bagi Husin. Semua pengalamannya malam ini membuatnya semakin bijak. Ia pun semakin yakin bahwa betapa tidak pernah "independent"-nya manusia dalam berpikir. Latar belakang kehidupan, agama, budaya, pendidikan, taraf ekonomi, struktur sosial-politik dan sebagainya selalu mewarnai benak pikiran setiap manusia. Selagi menghabiskan nasi-gorengnya yang tinggal sesuap dan tak memperdulikan pertengkaran Cak Supar dengan lelaki Sunda itu, ia pun bertanya pada nuraninya..., is independent minds an illusion...?. Wallahu a'lam bi Sawwab....!

Den Haag, 9 Desember 2000
AKJ

No comments:

Post a Comment