Sunday, March 22, 2009

Taqdir Menurut Fauzan dan Saya

Fauzan adalah anak sulung saya yang bulan lalu genap berusia 6 tahun. Kemarin sore setelah “perang bantal guling” dengan saya, saya cukup dikejutkan dengan pertanyaannya yang menurut saya cukup berat untuk ukuran anak seusianya.

Dia bertanya: “Bi, kenapa sih kita mesti menyembah Allah?”


Saya menjawab: “Hmm..karena Allah yang menciptakan kita semua. Allah yang kasih kita semua, kita bisa sehat, bisa sekolah, bisa ngomong, bisa makan, bisa minum, bisa nafas, bisa jalan, dan semuanya itu anugerah dan izin Allah. Jadi memang pantas kalau Allah itu kita sembah.”

Fauzan tampak berfikir mendengarkan jawaban saya, tapi dengan segera dia melontarkan pertanyaan susulan yang menurut saya tidak kalah beratnya:

“Berarti kita itu mainannya Allah dong, Bi?”

“Lho, kok?”, tanya saya singkat.

“Ya kan Allah yang bikin fauzan makan, bikin fauzan ngomong sama bikin yang lain2. Terus fauzan kalau ngomong nggak sopan sama Abi, terus nakal berarti juga Allah yang bikin kan? Berarti semua itu mainannya Allah..”, jawab fauzan dengan sangat yakin akan logikanya sendiri.

Saya jawab, “Bukan gitu, sayang…Allah itu Maha Adil..”.

Belum sempat bicara lebih lanjut, fauzan memotong penjelasan saya dengan mencoba meyakinkan saya bahwa logikanya itu yang benar dan lalu mengajak meneruskan perang bantal guling yang sempat tertunda karena 2 pertanyaan berbobot tadi.

Saya pun mengiyakan ajakannya. Saya juga tidak ingin menghentikan proses berfikir fauzan terlalu cepat untuk sampai pada jawaban bagaimana konsep taqdir dan keadilan Ilahi. Untuk sementara biarkan pertanyaan-demi-pertanyaan muncul di benaknya, agar jawaban merupakan hasil dari prosesnya berfikir, bukan sekedar doktrinal.

Setelah itu saya berfikir sepertinya pemahaman seperti fauzan yang 6 tahun itu juga banyak dipegang oleh cukup banyak muslimin dunia sejak zaman dulu sampai sekarang. Pemahaman tersebut juga bahkan punya dasar dalam al-Quran Mulia. Dalam Al-Quran terdapat ayat2 yang mengatakan bahwa segala hal sudah ditentukan oleh Allah SWT, manusia –mau tidak mau—harus menjalani setiap peran dan nasib yang telah ditentukan tersebut. Karena pemahaman keterpaksaan itu maka pahaman ini dikenal dengan paham Jabariyah (berasal dari kata jabr yang berarti terpaksa).

Lawan dari pahaman Jabariyah ini yaitu pahaman yang menyatakan bahwa manusia sepenuhnya bebas untuk memilih, tidak mempercayai adanya taqdir yang membatasi setiap usaha manusia. Pahaman ini juga memiliki dasar dalam al-Quran Suci. Pahaman ini sering dikenal dengan paham Qadariyah.
Kedua pemahaman tersebut kemudian melebur ke dua firqah besar dunia. Jabariyah diadopsi oleh firqah Asy’ariyah, sementara pemahaman ala Qadariyah dianut oleh kelompok Mu’tazilah.

Saya, tidak sepenuhnya sepakat dengan kedua aliran tersebut di atas. Saya sepakat dengan pemahaman ketiga yang dianut oleh beberapa madzhab pemikiran yang tersebar. Pemahaman tersebut menyatakan bahwa manusia memang memiliki kebebasan berkehendak, apa yang terjadi adalah akibat dari serangkaian sebab yang dipilih oleh manusia secara langsung ataupun tidak langsung. Tapi semua itu ada dalam lingkaran batas-batas yang ditentukan-Nya. Manusia itu bukanlah seperti batu yang kalau digelindingkan dari atas bukit pasti akan menggelinding ke bawah karena adanya gravitasi. Manusia bukanlah seperti bulan dan matahari yang telah ditaqdirkan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dilakukannya (wa al-qomaru qoddarnaahu manazila hatta urjuuni al-qadim). Manusia itu diberikan hidayah dan kemampuan untuk berkehendak dan memilih jalannya masing2. Semua manusia memilikinya (wa al-ladzi qaddara fa HADAA). Allah memberi aturan2, apabila kamu begini maka akan begitu. Kalau mau selamat, ikuti jalan ini, apabila tidak kamu akan celaka. Jadi kesempurnaan sebab2 dan lantaran2 itu sebenarnya merupakan realisasi dari Taqdir Ilahi.

Usaha/ikhtiyar yang dilakukan oleh manusia tidak perlu dipertentangkan dengan kekuasaan dan kehendak Sang Khaliq, karena tidak ada usaha/ikhtiyar yang dilakukan tanpa persetujuan (izin) Allah. Toh ketika kita berikhtiyar, pada hakekatnya kita hanya berpindah dari taqdir yang satu ke taqdir yang lainnya (yang kesemuanya tidak bertentangan dengan Ilmu-Nya). Ketika misalnya kita berdiri di rel KA dan ada kereta yang mendekat kencang, disana kita punya pilihan. Kalau kita tidak menghindar, maka GUBRAKK!! Taqdirnya meninggal. Tapi kalau kita memilih menghindar, maka taqdirnya hidup. Hal ini tidak terus diartikan ketidak berdayaan ALLAH SWT, karena semuanya itu bersumber dari Iradat, ketentuan dan taqdir Ilahi juga. Sebebas-bebasnya, semua masih dalam kerangka Ilmu dan kehendal-Nya. Kita tidak tahu batasnya, batasnya adalah kemauan dan kemampuan kita dalam berusaha.


Diriwayatkan dulu Imam Ali as pernah bangun dan pindah dari bawah sebuah dinding yang mulai miring. Seseorang yang melihatnya kemudian bertanya kepada beliau: “Wahai Amirul Mukminin, apakah anda lari dari qadha Allah?”
Beliau ra menjawab: “Aku lari dari qadha Allah ke qadha-Nya SWT”. Jadi, ia lari dari sebuah ketentuan ke ketentuan-Nya yang lainnya. Jatuhnya dinding yang telah miring merupakan ketentuan Ilahi, sehingga sewajarnya tembok itu akan menjatuhi kepala seorang manusia pada saat terpenuhinya segala persyaratannya. Akan tetapi apabila manusia itu menghindar darinya, maka ia pun akan selamat dari bencana, dan ini pun merupakan ketentuan Ilahi juga.

Disebutkan juga bahwa suatu hari pernah Khalifah Umar bin Khattab (ra) dalam perjalanannya menuju Syam, sebelum memasuki daerah itu mendengar berita adanya wabah sampar. Ketika bermusyawarah dengan orang2 yang bersamanya, mereka semuanya mencegahnya untuk meneruskan perjalanan, kecuali Abu Ubaidah bin Jarrah yang waktu itu menjabat palima pasukan muslim di Syam. Ia berkata kepada Umar: “Wahai Amirul Mukminin, adakah Anda melarikan diri dari taqdir Allah?” Umar pun menjawab: “Ya, aku lari dari takdir Allah dengan taqdir-Nya dan kepada taqdir-Nya.”


Riwayat2 tersebut jelas menerangkan bagaimana makna taqdir Ilahi itu. Ada taqdir2 yang bersifat definitif (tetap) dan ada yang masih menggantung (tidak definitif). Al-Quran berbicara tentang sistem2 yang tetap ini dan menamakannya dengan Sunnatullah:
“Kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah.” (QS 33: 62).

Diantara sunnatullah yang definitif itu adalah hanya berubahnya kondisi manusia setelah manusia itu sendiri mengubahnya (lihat QS 13:11).

Contoh sunnatullah yang lain misalnya bahwa orang2 zalim yang akan memilih teman yang zalim juga.
“Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebagian yang lain.” (QS 6:129).

Dan banyak lagi contoh sunnatullah yang dijelaskan oleh Allah SWT dalam al-Quran.

Kesimpulannya suatu realitas itu nasibnya mengikuti penyebabnya.
“Sesungguhnya manusia itu bergantung pada usaha dan kerjanya.” (QS. An-Najm:39).

Sehingga disebabkan karena sesuatu itu berhubungan dengan banyak sebab, maka ia pun memiliki nasib yang berbeda2 pula. Perlu diingat juga bahwa disamping faktor2 yang bersifat materiil seperti “minggir dari rel KA” pada contoh di atas, ada juga faktor penyebab lain yang non-materi seperti doa, sedekah, serta perbuatan baik yang juga akan ikut mempengaruhi nasib seseorang.

Fauzan sayang, sekarang abi lanjutkan perkataan yang kau potong kemarin ya, walaupun mungkin engkau membacanya nanti setelah engkau beranjak matang…

Jadi bukan gitu sayang, Allah itu Maha Adil. Nggak mungkin Dia membuat kita seperti mainan yang dikendalikan-Nya tapi setelah itu kita diadili-Nya karena apa yang kita lakukan. Allah itu sudah kasih tahu mana jalan mana yang baik dan mana yang sesat. Dia SWT juga telah membekali kita dengan petunjuk dan potensi untuk kebaikan dan keburukan. Tinggal kembali ke kita apakah yang kita pupuk potensi baik kita atau potensi buruknya yang kita pelihara. Kata Allah, Sungguh akan sukses orang yang memupuk potensi baiknya, dan akan merugi orang yang mengotorinya (qad aflaha man zakkaaha, wa qad khooba man dassaaha).

Mudah-mudahan kita sukses ya, Zan. Kalau belum sukses, pikirkan mungkin bukan disitu bakatmu, mungkin kurang keras usahamu, mungkin kurang konsistensimu, mugkin kurang doamu, mungkin kurang sedekahmu, dan mungkin2 yang lain, yang pasti bukan salah-Nya. Tugas kita adalah untuk menemukan dan memperbaikinya. Itulah HIDUP, Anakku sayang.[undzurilaina]