Saturday, April 25, 2009

Kontrol Masyarakat

Ketika kita berada di jalan raya, kita akan banyak menemukan rambu2 yang mengatur para pengguna jalan. Ada rambu2 yang bersifat spesifik seperti dilarang berhenti (S coret), dilarang parkir (P coret), dilarang masuk (forbidden), jalan searah, dan masih banyak lagi. Di luar rambu2 yg banyak itu, ada juga peraturan yang sifatnya umum sehingga tidak ada rambu2nya secara spesifik. Misalnya di Indonesia (pada jalan dua arah) seluruh kendaraan diharuskan berjalan di sisi sebelah kiri.


Walaupun sudah ada rambu2 tersebut baik yang bersifat spesifik maupun umum, namun dalam praktiknya seringkali pengguna jalan menaatinya ketika ada polisi yang berjaga disana. Kalau tidak ada polisi yang jaga, ya seolah-olah lenyaplah peraturan dan rambu2 itu bagi semua. “Tanya kenapa…tanya kenapa”, kata sebuah iklan rokok yang memotret hal ini sebagai kontennya.

Idealnya seluruh pengguna jalan mesti saling memperhatikan satu dengan lainnya. Ketika mereka melihat seorang pengguna melakukan pelanggaran, misalnya berjalan melawan arus, seharusnya pengguna jalan lain akan memperingatkan dengan membunyikan klakson atau menyalakan lampu.

Kalau seorang polisi mengetahui kejadian itu, mestinya ia akan langsung menindak sang pelaku pelanggaran dan menjatuhkan denda/tilang kepadanya. Namun, jika si polisi itu tidak mengetahui kejadiannya, mestinya masyarakat akan memberikan kesaksian kepadanya. Dengan kondisi yang ideal semacam itu, tentu akan sangat sedikit sekali pengemudi yang berniat melakukan pelanggaran.

Dalam pengelolaan sebuah organisasi/perusahaan, kita mengenal istilah tata kelola (governance) dan pengendalian internal (internal control). Adanya berbagai kasus pelanggaran dan penyalahgunaan aturan dan wewenang (seperti kasus Enron, dsb) membuat orang memikirkan bagaimana mekanisme tata kelola dan pengendalian internal dapat dibuat sedemikian rupa untuk mempersempit ruang gerak pelanggaran dan penyalahgunaan. Berbagai standard dan aturan pun dibuat dalam rangka untuk mewujudkan itu, baik yang bersifat umum maupun khusus (sektor tertentu, internasional maupun lokal. Misalnya ada COSO dan Sarbanes-Oxley Act yang bersifat cukup umum dan diadopsi cukup luas secara internasional. Ada juga Basel II yang khusus mengatur manajemen risiko di sektor perbankan, ada juga Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang juga perbankan tapi khusus untuk lingkup Indonesia saja. Dan sebagainya, dan sebagainya.

Namun demikian, kita juga melihat ternyata peraturan dan standard pengendalian dan tata kelola (governance) yang bermacam-macam tersebut diatas tidak juga menjamin tidak adanya pelanggaran. Belum lama kita menyaksikan bagaimana ”hebatnya” seorang Cassano yang kepala agen asuransi AIG di Inggris itu mengakali aturan BASEL II dan berhasil membuat seluruh dunia merasakan akibatnya dengan tenggelam di lautan krisis finansial global. Dia berhasil membujuk perbankan eropa yang punya kondisi likuiditas finansial sangat baik untuk mentransfer uangnya ke perbankan amerika yang sedang kesulitan likuiditas akibat krisis subprime mortgage. Aturan manajemen risiko perbankan BASEL II yang melarang keras hal tersebut dia akal2i dengan memberikan penawaran penjaminan asuransi dengan keuntungan yang sangat menggiurkan. Alhasil semua pihak yang terkait pun sama-sama bersepakat untuk mengakali peraturan yang dibuat untuk kepentingan bersama itu demi keuntungan yang menggiurkan tersebut. Akibatnya risiko yang sebenarnya sudah dapat diprediksi itu pun terjadi, dan hampir seluruh dunia merasakan akibatnya. Terutama bagi negara-negara yang berbasis pada ekonomi kapitalisme.

Saya tidak sedang ingin membahas mengenai peraturan dan rambu2 lalu lintas atapun ekonomi kapitalisme. Yang saya ingin highlight dalam 2 kasus tersebut di atas adalah mengenai pentingnya kontrol masyarakat/komunal dimanapun dan kapanpun berada. Ketika kita menginginkan agar seluruh masyarakat (secara umum ataupun dalam sebuah komunitas/organisasi tertentu) dalam berbagai masalah bisa tertib, tidak ada pelanggaran dan keluar dari garis-garis keadilan, maka itu hanya mungkin terwujud apabila secara bersama-sama semua pihak ikut mendukungnya.

Peraturan dan standard jelas memang diperlukan, tapi tanpa itikad baik dan komitmen dari semua pihak untuk bersama-sama berjalan di jalur yang benar serta saling mengingatkan satu dengan lainnya apabila ada yang mencoba melakukan pelanggaran, maka PASTI setiap peraturan atau standard sebaik apapun akan ditemukan celah-celahnya untuk dilanggar. Dalam istilah agama sikap seperti ini sering disebut dengan istilah amar ma’ruf nahi munkar.

Setiap individu tidak boleh menganggap remeh setiap bentuk pelanggaran dan perlu segera bereaksi menentangnya, ketika pelanggaran terjadi. Dengan cara inilah, masyarakat akan mempersempit ruang gerak pihak-pihak yang berniat melakukan pelanggaran dan memperlakukannya secara layak.

Mudah-mudahan suatu hari kelak, kita akan menyaksikan masyarakat Islam yang menjadi pelopor terhadap pembentukan masyarakat yang ideal itu di seluruh penjuru dunia.

Mudah-mudahan kita akan melihat suatu masa dimana seorang dokter, yang ketika dirinya tidak mengetahui cara pengobatan penyakit yang diderita oleh seorang pasiennya, secara jujur ia mengatakan, ”Saya tidak mengetahui cara pengobatan penyakit Anda.” Dan dengan penuh keikhlasan hati, ia juga akan mengembalikan biaya pengobatan yang telah diberikan, dan dengan diiringi rasa persaudaraan, menunjukkan seorang dokter spesialis di bidang pengobatan penyakit dimaksud. Disamping dokternya sendiri, peran masyarakat juga sangat penting untuk melakukan kontrol dalam hal ini. Misalnya dari organisasi komunitas profesi dokter sendiri, para pasien, media massa, dsb.

Mudah-mudahan kita juga akan melihat suatu masa dimana setiap orang hanya mau memilih orang-orang yang memang memiliki sifat dan kapasitas yang paling baik untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu. Suatu masa dimana setiap orang tahu hak-hak dan kewajibannya. Pada saat itulah, kita akan menyaksikan keadilan sosial benar-benar terwujud di tengah-tengah masyarakat. Semoga.