(dimuat di Republika edisi Jumat/2 November 2012)
Belakangan ini, mungkin karena terdorong oleh semangat
yang tinggi untuk mengamalkan Islam, dan menegakkan sunnah
Rasulullah, cukup banyak di kalangan umat Islam yang begitu
mudah memberikan stempel kafir, syirik, munafik, dan ahli bid'ah
kepada orang-orang Muslim lain yang dianggap tidak memiliki pemahaman
yang sama dengan mereka.
Padahal, Allah Swt. dengan gamblang telah memerintahkan
kepada kita, agar menempatkan persatuan umat di atas segalanya
:“Berpegang-teguhlah kamu pada tali Allah, dan jangan bercerai-berai”? (Ali
Imran 3: 103). Begitu kerasnya perintah untuk mterus mengutamakan peratuan itu
sehingga, sebagian ulama menyatakan bahwa ayat yang disebut terakhir di
atas adalah satu-satunya ayat dalam kitab-suci-Nya yang menggabungkan secara
sekaligus perintah (positif) untuk bersatu, dan kalimat lawannya dalam bentuk
larangan bercerai berai. Maka, barangkali ada baiknya, jika kita menyegarkan
fikiran kita dengan pandangan para ulama tentang siapa yang disebut sebagai
Muslim, dan bagaimana kita harus bersikap kepada mereka, meskipun terdapat
banyak perbedaan faham dan pendapat di antara mereka.
Dalam al-‘Aqidah
al-Thahawiyah dikutip salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari sebagai berikut : “Seseorang yang
melakukan shalat sebagaimana kita, dan menghadap kiblat, serta makan daging
sembelihan kita adalah bagian dari kita (Muslim).”Selanjutnya Imam
ath-Thahawi menyatakan : “Kita tidak menisbatkan kekafiran,
kemusyrikan dan tidak (pula) kemunafikan kepada seseorang selama
tidak tampak dari mereka sesuatu yang menunjukkan hal-hal demikian
itu. Dan, sebagai gantinya, kita menyerahkan semua yang tidak tampak itu
kepada Allah. Kita hanya diperintahkan untuk menghukum berdasar yang
tampak saja ...”
Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Sesungguhnya
masalah wajib, haram, pahala, siksa, kafir dan fasik adalah urusan (hak) Allah
dan Rasul-Nya. Tidak ada hak bagi seorangpun dalam menetapkan hukum
ini.” Sedangkan Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah menegaskan: “Tidak ada
hak bagi seorang pun untuk mengafirkan seorang Muslim, meskipun dia salah dan
keliru, sehingga dijelaskan padanya hujjah (argumen) (yang
dapat menunjukkan kekeliruannya), hingga hujjah tersebut dapat diterima
olehnya”.
Selanjutnya, belakangan ini juga banyak orang yang suka
mengutip hadis Nabi Saw. tentang “akan berpecahnya umat menjadi tujuh puluh
tiga firqah, hanya satu saja di antaranya yang akan masuk surga dan selebihnya
masuk neraka.”
Menurut Imam Al-Ghazali (pengarang Ihyâ'
Ûlumiddîn), terdapat beberapa riwayat hadis itu dengan teks yang berbeda.
Satu riwayat menyebut “yang binasa di antaranya, satu firqah”. (Al-Maqdisi,
dalam bukunya yang berjudul Ahsanut Taqâsim termasuk
di antara yang menyebutkan hal ini). Yang tidak selamat pun, menurut Imam
Ghazali lagi, berarti orang-orang yang ditangkap oleh para petugas neraka untuk
digiring ke neraka, walaupun dalam kenyataannya mereka kemudian
dilepaskan--dengan adanya syafâ'at Nabi Saw.
Seorang ulama terkenal lainnya yang juga bernama Al-Ghazali,
tetapi yang ini hidup pada abad ke-20, yakni almarhum Syaikh Muhammad
Al-Ghazali, seorang yang pernah menjadi aktivis dan tokoh penting Al-Ikhwan
Al-Muslimin di Mesir, pernah menulis:
“Siapa kiranya firqah yang selamat? Itulah firqah yang
berpegang teguh pada Sunnah Rasul Saw. dan para sahabatnya, atau yang disebut
'al-jamaah' dalam salah satu riwayat. ... setiap Muslim pasti berusaha
sungguh-sungguh untuk mengikuti jejak Rasul Saw. dalam pikiran dan
perbuatannya. Para salaf (yakni, generasi-generasi terdahulu)
dan khalaf (generasi-generasi kemudian), Ahlussunnah, Syi'ah,
para pengikut aliran tasawuf atau filsafat (Islam), semuanya mengaku dan
beranggapan dirinya memperjuangkan Islam, membela dan mendukung nabinya serta
mengibarkan panjinya ....”
Dalam akhir uraiannya itu, Al-Syaikh Al-Ghazali mengutip
pendapat Al-Syaikh Al-Kautsari dalam mukadimah buku At-Tabshîr fid-Dîn sebagai
berikut:
“Para ulama berbeda pendapat tentang siapa yang dimaksud
terpecah ke dalam dalam bilangan kelompok tersebut, apakah ituummah
ad-da'wah (yakni, seluruh umat manusia yang sampai kepada mereka
dakwah Nabi Muhammad Saw., tak peduli mereka menjadi Muslim atau tidak) ataukah ummah
al-ijâbah (yakni, umat yang menerima seruan beliau dan memeluk agama
Islam).” Dengan kata lain, jika yang dimaksud adalah ummah ad-da’wah,
maka yang dimaksudkan dengan tujuh puluh dua firqah yang tidak selamat adalah
yang tidak menerima Islam.
Salah seorang Syaikh Al-Azhar di Mesir, yakni DR. Abdul
Halim Mahmud, selain juga menyatakan bahwa hadis ini dirawikan dengan beberapa
susunan kalimat, dalam beberapa kitab dan dengan berbagai sanad, menegaskan
bahwa Imam Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya. Seperti juga Syaikh
Muhammad Al-Ghazali, Imam Fakhrurrazi dalam kitab tafsirnya menyatakan bahwa
hadis ini lemah. Ibn Hazm menyatakan tentang hadis ini: “Sama sekali tidak sah
ditinjau dari segi sanadnya.” Ibn Al-Wazir, dalam buku Al-'Awâshim
minal Qawâshim, berkata, “Jangan sekali-kali Anda tertipu oleh tambahan
kalimat 'semua firqah itu masuk neraka, kecuali satu'.
Ini adalah tambahan yang fâsid (palsu, rusak). Besar
kemungkinannya disisipkan oleh kaum mulhid (ateis).”
Akhirnya, marilah terus kita hayati doa yang diajarkan oleh
Allah kepada kita :
“Ya Allah, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang
telah mendahului kami dalam keimanan. Dan jangan jadikan dalam hati kami
kebencian kepada orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Engkau Maha Kasih dan
Mahapenyayang.” (Al-Hasyr : 10) [undzurilaina]