Segala puji
syukur kita haturkan kepada Allah SWT yang telah mengutus Rasul-Nya yang
termulia (saw) yang membawa petunjuk yang dengannya dapat menyelamatkan dan
memenangkan kita di dunia maupun di Akherat. Tulisan sederhana ini dibuat sama
sekali bukan untuk menimbulkan polemik ataupun perdebatan yang kontraproduktif
terhadap persaudaraan sesama muslim. Tulisan ini justru dibuat agar terbangun
sikap saling menghargai perbedaan pendapat yang ada. Sikap menghargai yang
bukan sekedar “basa-basi”, namun terbangun di atas pengetahuan atas argumentasi
saudaranya yang berbeda pendapat. Tulisan ini adalah tentang merayakan
peringatan hari kelahiran (maulid) insan termulia, Rasulullah SAW. Sebagaimana
diketahui bahwa sebagian muslimin berpendapat bahwa merayakan maulid Nabi
adalah sebuah perbuatan bid’ah yang oleh karenanya merupakan sesuatu yang
terlarang dalam agama. Tulisan ini akan mengemukakan dasar-dasar (hujjah) yang
digunakan oleh banyak muslimin lainnya yang berpendapat bahwa perayaan Maulid
Nabi saw adalah sesuatu yang mulia dan dianjurkan oleh agama. Oleh karena
adanya pendapat yang menyatakan bahwa memperingati maulid nabi saw itu suatu bid’ah,
maka tulisan ini akan diawali dengan menjelaskan sekilas mengenai bid’ah itu
sebelum menjelaskan mengapa memperingati Maulid Nabi saw bukan bid’ah dan
bahkan sesuatu yang dianjurkan dalam agama.
I. Sekilas Tentang Bid’ah
P
|
ada dasarnya kita dapat sepakat bahwa bid’ah itu adalah sesuatu yang terlarang oleh Allah dan Rasul-Nya.
Namun sebelumnya kita perlu definisikan dulu apakah bid’ah itu. Banyak definisi bid’ah
yang dijelaskan oleh al-Quran[1], as-Sunnah[2] maupun
definisi-definisi yang disimpulkan oleh kajian para ulama. Saya kira terlalu
panjang untuk disebutkan satu-per-satu, bagi yang tertarik dapat merujuk ke
ayat dan hadits yang saya sebutkan dalam catatan kaki dan juga banyak referensi-referensi lainnya. Tapi secara umum
dapat disimpulkan dari beragam definisi tersebut bahwa sesuatu itu disebut Bid’ah jika:
- Perbuatan tersebut masuk atau termasuk dalam ranah agama, baik dalam hal akidah maupun hukum, dengan penambahan atau pengurangan terhadap yang disyariatkan.
- Perbuatan bid’ah itu disebarluaskan dan diserukan (kepada orang banyak).
- Perbuatan tersebut tidak memiliki dalil dalam syariat yang memperbolehkannya, baik secara khusus maupun umum.
Selain itu ada juga ulama yang membagi bid’ah ke dalam dua kategori, yaitu: bid’ah yang baik (bid’ah hasanah) dan bid’ah
yang sesat (bid’ah dhalalah).
Pendapat ini sebenarnya bersandarkan pada ucapan Sayyidina Umar bin Khattab ra
mengenai hukum Shalat Tarawih berjamaah di masjid (“sebaik-baik bid’ah adalah ini..”). Tapi pada tulisan ini akan diasumsikan
saja bahwa semua bid’ah adalah
dilarang dalam agama.
Seperti disinggung diatas bahwa hakikat bid’ah sebenarnya adalah membuat-buat
kebohongan terhadap Allah, yaitu dengan memasukkan sesuatu ke dalam agama-Nya
atau menguranginya dan menisbatkannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan
definisi bid’ah tersebut diatas, maka
setiap perbuatan yang memiliki dalil
dari al-Quran dan/atau as-Sunnah jelas tidak dapat digolongkan sebagai perbuatan
bid’ah. Sementara itu perlu diingat
juga bahwa sifat dalil itu ada 2 macam:
- Dalil yang bersifat khusus. Dalil berupa nash di dalam al-Quran dan Sunnah, yang menjelaskan baik batasannya, perinciannya, tata caranya dan bagian-bagiannya. Maka seluruh perbuatan yang bersandarkan pada dalil yang khusus ini jelas bukan merupakan perbuatan bid’ah.
- Dalil yang bersifat Umum. Dalil yang juga bersumber dari Al-Quran dan Sunnah namun bersifat umum. Dalil ini hanya mengatur garis besar suatu perbuatan, sehingga dalam pelaksanaannya bentuknya dapat berbeda dengan yang ada pada masa Rasulullah SAW walaupun esensinya melaksanakan hal sama. Dalil umum dapat menjadi dasar hujah bagi keabsahan perbuatan. Sehingga setiap kegiatan yang bersandar pada dalil umum bukanlah merupakan bid’ah, karena dilaksanakan dalam rangka memenuhi perintah Allah dan Rasul-Nya. Untuk memperjelas mengenai dalil yang bersifat umum ini, berikut ini adalah beberapa contohnya:
·
Allah memerintahkan pada kita bahwa jika
dibacakan kepada kita al-Quran maka diam dan dengarkanlah..dst (QS. Al-A’raf:
204). Jika dilihat praktik yang terjadi pada zaman Rasulullah saw, maka ayat
tersebut berlaku pada saat Rasul dan para sahabat mendengarkan al-Quran secara
langsung di masjid dan di rumah. Lalu bagaimana kalau kini kita mendengarkannya
lewat radio, komputer, CD/mp3 player dll? Oleh karena sifat ke-UMUM-an dari
dalil tsb maka perintah tersebut (untuk diam dan mendengarkan) juga berlaku
untuk berbagai macam metode mendengarkan al-Quran.
·
Nabi Muhammad saw bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.”
Oleh karena keumuman dalil tersebut, maka ilmu yang wajib dituntut tersebut
tidak hanya mencakup ilmu-ilmu yang ada pada zaman nabi saja, tapi juga
termasuk ilmu-ilmu lain yang dikembangkan belakangan, asalkan tidak
bertentangan dengan dalil-dalil lain baik yang umum maupun khusus.
·
Terdapat banyak dalil yang memerintahkan
penjagaan terhadap al-Quran. Maka dengan keumuman dalil tersebut, maka segala
tindakan yang bertujuan untuk menjaga kemurnian al-Quran juga menjadi amal
mulia yang disyariatkan. Seperti misalnya membukukan al-Quran dalam bentuk
mushaf dan kitab (yang baru dilakukan setelah zaman Nabi saw), menghafalkannya,
melombakannya, dsb. Walaupun sebagian diantaranya bisa saja tidak ditemukan
contohnya pada zaman nabi saw secara khusus.
·
dll
II. Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW
Pada bagian sebelumnya dijelaskan mengenai definisi bid’ah dan kriteria-kriterianya. Kini
tiba giliran untuk menganalisis apakah merayakan maulid Nabi saw tergolong
sebagai perbuatan bid’ah sebagaimana
distempelkan oleh sebagian muslimin. Berikut ini adalah diantara dasar-dasar
(dalil) yang menjadi pertimbangan bagi sebagian besar muslimin yang berpendapat
merayakan maulid nabi saw adalah sesuatu yang baik dan dianjurkan dalam Agama:
1.
Mencintai Nabi
saw sebagai manusia yang paling berjasa terhadap kita semua (muslimin) yang
karena perantara pesan-pesan Ilahi yang disampaikannya lah kita insya Allah dapat selamat di dunia dan
akherat. Sementara kecintaan itu dapat menguat dan melemah seiring dengan
berjalannya berbagai aktifitas kehidupan sehingga membutuhkan momen-momen
tertentu yang dapat mengungkit semangat kecintaan itu.
2.
Mencintai Nabi
saw sebagai sesuatu yang diwajibkan dalam al-Quran dan as-Sunnah.
Mencintai Nabi saw adalah sebuah perintah yang diwajibkan dalam
al-Quran maupun as-Sunnah.
“Katakanlah: "jika
bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta
kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan
tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih
kamu cintai dari Allah dan RasulNYA dan dari berjihad di jalan-NYA, maka
tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-NYA". Dan Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik” (QS. At-Taubah: 24)
“…maka orang-orang yang
beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang
yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
(al-A’raf: 157).
Dan beberapa ayat al-Quran lain yang juga menyebutkan perintah
mencintai Nabi saw[3]. Ayat-ayat
tersebut setidaknya memerintahkan 4 hal, yaitu: (1) mengimani Nabi saw; (2)
memuliakannya; (3) menolongnya; (4) mengikuti kitabnya (al-Quran) yang
diturunkan bersamanya. Yang dimaksud dengan menolongnya (az-zaruhu) sebenarnya bukanlah menolong dalam arti seperti yang
kita biasa pahami, karena perlu kita ingat bahwa yang mengatakan hal ini adalah
Allah yang Maha Kuasa atas segeala sesuatu. Akan tetapi, yang dimaksudkan
dengan az-zaruhu adalah
menghormatinya, memuliakannya, dan mengagungkannya karena beliau adalah sang
Nabi penyayang dan agung. Menghormati, memuliakan dan mengagungkannya tentu tidaklah
terbatas hanya pada masa hidupnya saja, melainkan juga setelahnya sepanjang
zaman.
Selain dalam al-Quran, mencintai Rasulullah saw juga banyak sekali
disebutkan dalam Hadits Rasulullah saw. Antara lain diriwayatkan dari Sayyidina
Abubakar ra bahwasanya beliau berkata: “Bershalawat
kepada Nabi saw lebih menghapuskan dosa-dosa daripada air memadamkan api.
Bersalam kepada Nabi saw lebih utama dari memerdekakan budak. Dan mencintai Rasulullah saw lebih utama daripada memerdekakan
jiwa,” atau beliau bersabda, “lebih utama daripada pukulan (tebasan) pedang
dalam berperang di jalan Allah.”[4]
Dengan berbagai dasar tersebut maka umat Muslim dianjurkan untuk
melakukan berbagai hal yang tergolong sebagai ekspresi dalam kecintaannya kepada Nabi saw, dengan syarat perbuatan itu adalah perbuatan yang
halal dan bukan suatu kemungkaran dalam syariat. Seperti misalnya:
1.
Menyusun sunnah-sunnah Rasul, menerangkan
hadits-hadistnya, mencetaknya, menerbitkannya dalam bentuk macam-macam (buku, e-book,
website, dll)
2.
Menerbitkan makalah dan buku-buku yang ditulis
berkenaan dengan kehidupan nabi saw, keturunannya, sahabat-sahabatnya, dll.
Termasuk pula menggubah syair-syair kasidah dalam bahasa apapun berkenaan dengan kedudukan dan kehidupan mereka,
sebagaimana dilakukan juga oleh kaum Muslim generasi pertama. Mengenai kasidah
ini, pada zaman nabi ada seorang sahabat Ka’ab bin Zuhair menyusun kasidah yang
panjang dalam memuji Rasululah saw karena kekaguman dan kecintaannya kepada
beliau. Kasidah ini disampaikan dihadapan Nabi Muhammad saw dan para sahabat
beliau ra. Dan Rasulullah pun membolehkannya[5].
3.
Mencintai, mentadaburi segala sesuatu yang berhubungan
dengan Nabi saw, seperti rumahnya, makamnya, tempat-tempat yang pernah
dikunjunginya, dll.
4.
Melaksanakan perayaan, bergembira sehubungan dengan
hari kelahiran Nabi saw, menyampaikan ceramah dan syair kasidah dalam rangka
memuliakan dan meneladani beliau, menyebutkan ketinggian derajat dan akhlaq
beliau dalam al-Quran dan sunnah. Dengan syarat perayaan maulid tersebut tidak
diiringi dengan perbuatan-perbuatan yang dilarang dan kemungkaran.
Kemuliaan
Hari Kelahiran Nabi saw dalam Sunnah Nabi
1. Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya dari Abu Qatadah bahwa
Rasulullah saw pernah ditanya tentang puasa pada hari Senin, maka beliau
bersabda, “Itulah hari aku dilahirkan,
dan pada hari itu pula wahyu diturunkan kepadaku.”[6]
2. Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Ibn Abbas, dia
berkata, “Ketika Nabi saw tiba di
Madinah, beliau mendapatkan bahwa orang-orang Yahudi sedang berpuasa di hari
Asyura. Lalu mereka ditanya tentang hal itu, maka mereka menjawab, “Ia (hari
Asyura) adalah hari yang Allah memenangkan Musa dan Bani Israil terhadap
Fir’aun, sedangkan kami berpuasa karena mengagungkan hal itu.” Maka, Rasulullah
saw bersabda: “Kami lebih utama terhadap Musa”, dan beliau memerintahkan untuk
berpuasa pada hari itu (Asyura).”[7]
Ibn Hajar al-Asqalani menarik kesimpulan dari hadits tersebut
tentang disyariatkannya merayakan momen-momen penting seperti halnya juga Maulid
Nabi saw, sebagaimana disebutkan oleh al-Hafidz as-Suyuthi, dll.
3. Dalam konteks yang lain, as-Suyuthi mengatakan, “Dan jelas
bagiku periwayatan hadits ini melalui jalur yang lain, yaitu diriwayatkan oleh
al-Baihaqi dari Anas, bahwa Nabi saw melakukan akikah terhadap dirinya sendiri
setelah kenabian, padahal telah diriwayatkan bahwa kakeknya, Abdul Muthalib,
telah melakukan akikah terhadap beliau pada hari ketujuh kelahirannya. Padahal akikah
itu tidak diulang sampai dua kali, maka kemungkinannya beliau melakukan hal itu
(akikah) sebagai wujud syukur atas diciptakannya beliau oleh Allah SWT sebagai
rahmat bagi alam semesta, dan disyariatkannya hal itu bagi umatnya sebagaimana
beliau bershalawat untuk dirinya sendiri. Oleh karena itu, dianjurkan juga bagi
kita untuk melaksanakan syukur atas kelahiran beliau ini dengan berkumpul,
memberikan makanan (kepada kaum fakir dan miskin), dan yang serupa dengan itu
dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah dan menampakkan kebahagiaan (atas
kelahiran Nabi saw itu).”[8]
Kita juga melihat al-Masih Nabi Isa as ketika dia memohon kepada
Tuhannya untuk menurunkan hidangan kepadanya dan para pengikutnya yang setia,
beliau berdoa:
“Isa putera Maryam berdoa:
"Ya Tuhan kami turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit
(yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu orang-orang yang
bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan
Engkau; beri rezekilah kami, dan Engkaulah pemberi rezeki Yang Paling
Utama".(QS.al-Maidah: 114).
Nabi Isa as telah menjadikan hari turunnya karunia yang bersifat
materi yang mengenyangkan perut sebagai hari raya, sedangkan Rasul yang paling
mulia (Muhammad saw) adalah karunia yang agung, yang Allah telah memberikan
karunia-Nya kepada orang-orang Islam dengan kelahirannya. Maka mengapa kita
tidak menjadikannya sebagai hari berbahagia dan kesenangan?
III. Kesimpulan
Berdasarkan
dasar-dasar yang disebutkan pada tulisan ini maka dapat disimpulkan beberapa
hal sebagai berikut:
1. Bahwa bid’ah adalah
segala sesuatu yang diada-adakan (ditambah atau dikurangi) dalam hal agama
sedangkan ia tidak memiliki dalil baik dari al-Quran maupun as-Sunnah baik
dalil yang bersifat umum maupun khusus.
2. Sehingga segala
sesuatu perbuatan yang memiliki dasar dalil dari al-Quran dan/atau as-Sunnah
tidak dapat digolongkan sebagai sesuatu bid’ah
3. Mencintai
Rasulullah SAW adalah hal yang diperintahkan dalam al-Quran dan as-Sunnah
4. Sehingga segala
sesuatu yang dilakukan dalam rangka mengekspresikan dan memperkuat kecintaan
kepada Rasulullah SAW adalah sesuatu yang baik sesuai dengan perintah Allah dan
Rasul-Nya, dengan catatan dilakukan tanpa melakukan sesuatu yang dilarang oleh
dalil-dalil lainnya dalam al-Quran dan as-Sunnah.
5. Peringatan Maulid
Nabi Muhammad saw adalah salah satu bentuk ekspresi kecintaan kepada Nabi
Muhammad saw, menyegarkan dan membangkitkan kembali kecintaan kepada beliau
SAW, disamping mengagungkan syiar-syiar agama Allah yang dibawa oleh Rasulullah
SAW.
6. Sehingga
menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW adalah sesuatu amal mulia
yang sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya dalam al-Quran dan as-Sunnah.
Tentu saja sepanjang peringatan tersebut tidak dilakukan dengan melakukan
hal-hal yang melanggar dalil-dalil lainnya dalam al-Quran dan as-Sunnah.
Akhirnya kembali kepada kita semua untuk pendapat yang kita akan
yakini. Semoga kita dapat terus mengedepankan sikap saling menghargai antar
sesama muslim dan terus memperkuat ikatan persaudaraan kita. Karena sungguh
tantangan dan permasalahan yang dihadapi muslimin sungguh besar dan banyak yang
membutuhkan perhatian dan energi kita semua. WaLLahu al-Musta’an.
“Dan berpeganglah kamu
semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan
ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah)
bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena
nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang
neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. [QS. Ali
Imran:103]
[1]
Yunus: 59; an-Nahl:116; dll
[2]
Musnad Ahmad 3/310, 371, 4/126-127; Sunan Ibn Majah VII/45; Shahih Muslim
5/133, 8/62; Shahih Bukhari jilid IX bab “berpegang teguh pada al-Quran dan
sunnah”, dll
[3]
Antara lain QS. Al-Maidah: 56; dll.
[4]
Rujuk hadits-hadits dalam Jami’ul ushul, jilid 1, yang menukilkannya dari
shahih Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Kanzul ‘Ummal.
[5]
As-Sirah an-Nabawiyah, Ibn Hisyam, 2/5/13.
[6]
Shahih Muslim, 2/819
[7]
Shahih Muslim, 113, dan Shahih Bukhari, 7/215
[8]
Al-Hawi lil Fatawa, as-Suyuthi, 1/196