Wednesday, January 2, 2013

Bid’ah dan Maulid Nabi SAW


Segala puji syukur kita haturkan kepada Allah SWT yang telah mengutus Rasul-Nya yang termulia (saw) yang membawa petunjuk yang dengannya dapat menyelamatkan dan memenangkan kita di dunia maupun di Akherat. Tulisan sederhana ini dibuat sama sekali bukan untuk menimbulkan polemik ataupun perdebatan yang kontraproduktif terhadap persaudaraan sesama muslim. Tulisan ini justru dibuat agar terbangun sikap saling menghargai perbedaan pendapat yang ada. Sikap menghargai yang bukan sekedar “basa-basi”, namun terbangun di atas pengetahuan atas argumentasi saudaranya yang berbeda pendapat. Tulisan ini adalah tentang merayakan peringatan hari kelahiran (maulid) insan termulia, Rasulullah SAW. Sebagaimana diketahui bahwa sebagian muslimin berpendapat bahwa merayakan maulid Nabi adalah sebuah perbuatan bid’ah yang oleh karenanya merupakan sesuatu yang terlarang dalam agama. Tulisan ini akan mengemukakan dasar-dasar (hujjah) yang digunakan oleh banyak muslimin lainnya yang berpendapat bahwa perayaan Maulid Nabi saw adalah sesuatu yang mulia dan dianjurkan oleh agama. Oleh karena adanya pendapat yang menyatakan bahwa memperingati maulid nabi saw itu suatu bid’ah, maka tulisan ini akan diawali dengan menjelaskan sekilas mengenai bid’ah itu sebelum menjelaskan mengapa memperingati Maulid Nabi saw bukan bid’ah dan bahkan sesuatu yang dianjurkan dalam agama.


I.     Sekilas Tentang Bid’ah

P
ada dasarnya kita dapat sepakat bahwa bid’ah itu adalah sesuatu yang terlarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Namun sebelumnya kita perlu definisikan dulu apakah bid’ah itu. Banyak definisi bid’ah yang dijelaskan oleh al-Quran[1], as-Sunnah[2] maupun definisi-definisi yang disimpulkan oleh kajian para ulama. Saya kira terlalu panjang untuk disebutkan satu-per-satu, bagi yang tertarik dapat merujuk ke ayat dan hadits yang saya sebutkan dalam catatan kaki dan juga banyak referensi-referensi lainnya. Tapi secara umum dapat disimpulkan dari beragam definisi tersebut bahwa sesuatu itu disebut Bid’ah jika:
  1. Perbuatan tersebut masuk atau termasuk dalam ranah agama, baik dalam hal akidah maupun hukum, dengan penambahan atau pengurangan terhadap yang disyariatkan.
  2. Perbuatan bid’ah itu disebarluaskan dan diserukan (kepada orang banyak).
  3. Perbuatan tersebut tidak memiliki dalil dalam syariat yang memperbolehkannya, baik secara khusus maupun umum.
Selain itu ada juga ulama yang membagi bid’ah ke dalam dua kategori, yaitu: bid’ah yang baik (bid’ah hasanah) dan bid’ah yang sesat (bid’ah dhalalah). Pendapat ini sebenarnya bersandarkan pada ucapan Sayyidina Umar bin Khattab ra mengenai hukum Shalat Tarawih berjamaah di masjid (“sebaik-baik bid’ah adalah ini..”). Tapi pada tulisan ini akan diasumsikan saja bahwa semua bid’ah adalah dilarang dalam agama.

Seperti disinggung diatas bahwa hakikat bid’ah sebenarnya adalah membuat-buat kebohongan terhadap Allah, yaitu dengan memasukkan sesuatu ke dalam agama-Nya atau menguranginya dan menisbatkannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan definisi bid’ah tersebut diatas, maka setiap perbuatan yang memiliki dalil dari al-Quran dan/atau as-Sunnah jelas tidak dapat digolongkan sebagai perbuatan bid’ah. Sementara itu perlu diingat juga bahwa sifat dalil itu ada 2 macam:
  1. Dalil yang bersifat khusus. Dalil berupa nash di dalam al-Quran dan Sunnah, yang menjelaskan baik batasannya, perinciannya, tata caranya dan bagian-bagiannya. Maka seluruh perbuatan yang bersandarkan pada dalil yang khusus ini jelas bukan merupakan perbuatan bid’ah.
  2. Dalil yang bersifat Umum. Dalil yang juga bersumber dari Al-Quran dan Sunnah namun bersifat umum. Dalil ini hanya mengatur garis besar suatu perbuatan, sehingga dalam pelaksanaannya bentuknya dapat berbeda dengan yang ada pada masa Rasulullah SAW walaupun esensinya melaksanakan hal sama. Dalil umum dapat menjadi dasar hujah bagi keabsahan perbuatan. Sehingga setiap kegiatan yang bersandar pada dalil umum bukanlah merupakan bid’ah, karena dilaksanakan dalam rangka memenuhi perintah Allah dan Rasul-Nya. Untuk memperjelas mengenai dalil yang bersifat umum ini, berikut ini adalah beberapa contohnya:
·         Allah memerintahkan pada kita bahwa jika dibacakan kepada kita al-Quran maka diam dan dengarkanlah..dst (QS. Al-A’raf: 204). Jika dilihat praktik yang terjadi pada zaman Rasulullah saw, maka ayat tersebut berlaku pada saat Rasul dan para sahabat mendengarkan al-Quran secara langsung di masjid dan di rumah. Lalu bagaimana kalau kini kita mendengarkannya lewat radio, komputer, CD/mp3 player dll? Oleh karena sifat ke-UMUM-an dari dalil tsb maka perintah tersebut (untuk diam dan mendengarkan) juga berlaku untuk berbagai macam metode mendengarkan al-Quran.
·         Nabi Muhammad saw bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.” Oleh karena keumuman dalil tersebut, maka ilmu yang wajib dituntut tersebut tidak hanya mencakup ilmu-ilmu yang ada pada zaman nabi saja, tapi juga termasuk ilmu-ilmu lain yang dikembangkan belakangan, asalkan tidak bertentangan dengan dalil-dalil lain baik yang umum maupun khusus.
·         Terdapat banyak dalil yang memerintahkan penjagaan terhadap al-Quran. Maka dengan keumuman dalil tersebut, maka segala tindakan yang bertujuan untuk menjaga kemurnian al-Quran juga menjadi amal mulia yang disyariatkan. Seperti misalnya membukukan al-Quran dalam bentuk mushaf dan kitab (yang baru dilakukan setelah zaman Nabi saw), menghafalkannya, melombakannya, dsb. Walaupun sebagian diantaranya bisa saja tidak ditemukan contohnya pada zaman nabi saw secara khusus.
·         dll

II.     Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW

Pada bagian sebelumnya dijelaskan mengenai definisi bid’ah dan kriteria-kriterianya. Kini tiba giliran untuk menganalisis apakah merayakan maulid Nabi saw tergolong sebagai perbuatan bid’ah sebagaimana distempelkan oleh sebagian muslimin. Berikut ini adalah diantara dasar-dasar (dalil) yang menjadi pertimbangan bagi sebagian besar muslimin yang berpendapat merayakan maulid nabi saw adalah sesuatu yang baik dan dianjurkan dalam Agama:
1.       Mencintai Nabi saw sebagai manusia yang paling berjasa terhadap kita semua (muslimin) yang karena perantara pesan-pesan Ilahi yang disampaikannya lah kita insya Allah dapat selamat di dunia dan akherat. Sementara kecintaan itu dapat menguat dan melemah seiring dengan berjalannya berbagai aktifitas kehidupan sehingga membutuhkan momen-momen tertentu yang dapat mengungkit semangat kecintaan itu.

2.       Mencintai Nabi saw sebagai sesuatu yang diwajibkan dalam al-Quran dan as-Sunnah.
Mencintai Nabi saw adalah sebuah perintah yang diwajibkan dalam al-Quran maupun as-Sunnah.
“Katakanlah: "jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNYA dan dari berjihad di jalan-NYA, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-NYA". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik” (QS. At-Taubah: 24)
“…maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (al-A’raf: 157).
Dan beberapa ayat al-Quran lain yang juga menyebutkan perintah mencintai Nabi saw[3]. Ayat-ayat tersebut setidaknya memerintahkan 4 hal, yaitu: (1) mengimani Nabi saw; (2) memuliakannya; (3) menolongnya; (4) mengikuti kitabnya (al-Quran) yang diturunkan bersamanya. Yang dimaksud dengan menolongnya (az-zaruhu) sebenarnya bukanlah menolong dalam arti seperti yang kita biasa pahami, karena perlu kita ingat bahwa yang mengatakan hal ini adalah Allah yang Maha Kuasa atas segeala sesuatu. Akan tetapi, yang dimaksudkan dengan az-zaruhu adalah menghormatinya, memuliakannya, dan mengagungkannya karena beliau adalah sang Nabi penyayang dan agung. Menghormati, memuliakan dan mengagungkannya tentu tidaklah terbatas hanya pada masa hidupnya saja, melainkan juga setelahnya sepanjang zaman.
Selain dalam al-Quran, mencintai Rasulullah saw juga banyak sekali disebutkan dalam Hadits Rasulullah saw. Antara lain diriwayatkan dari Sayyidina Abubakar ra bahwasanya beliau berkata: “Bershalawat kepada Nabi saw lebih menghapuskan dosa-dosa daripada air memadamkan api. Bersalam kepada Nabi saw lebih utama dari memerdekakan budak. Dan mencintai Rasulullah  saw lebih utama daripada memerdekakan jiwa,” atau beliau bersabda, “lebih utama daripada pukulan (tebasan) pedang dalam berperang di jalan Allah.”[4]
Dengan berbagai dasar tersebut maka umat Muslim dianjurkan untuk melakukan berbagai hal yang tergolong sebagai ekspresi dalam kecintaannya kepada Nabi saw, dengan syarat perbuatan itu adalah perbuatan yang halal dan bukan suatu kemungkaran dalam syariat. Seperti misalnya:
1.       Menyusun sunnah-sunnah Rasul, menerangkan hadits-hadistnya, mencetaknya, menerbitkannya dalam bentuk macam-macam (buku, e-book, website, dll)
2.       Menerbitkan makalah dan buku-buku yang ditulis berkenaan dengan kehidupan nabi saw, keturunannya, sahabat-sahabatnya, dll. Termasuk pula menggubah syair-syair kasidah dalam bahasa apapun  berkenaan dengan kedudukan dan kehidupan mereka, sebagaimana dilakukan juga oleh kaum Muslim generasi pertama. Mengenai kasidah ini, pada zaman nabi ada seorang sahabat Ka’ab bin Zuhair menyusun kasidah yang panjang dalam memuji Rasululah saw karena kekaguman dan kecintaannya kepada beliau. Kasidah ini disampaikan dihadapan Nabi Muhammad saw dan para sahabat beliau ra. Dan Rasulullah pun membolehkannya[5].
3.       Mencintai, mentadaburi segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi saw, seperti rumahnya, makamnya, tempat-tempat yang pernah dikunjunginya, dll.
4.       Melaksanakan perayaan, bergembira sehubungan dengan hari kelahiran Nabi saw, menyampaikan ceramah dan syair kasidah dalam rangka memuliakan dan meneladani beliau, menyebutkan ketinggian derajat dan akhlaq beliau dalam al-Quran dan sunnah. Dengan syarat perayaan maulid tersebut tidak diiringi dengan perbuatan-perbuatan yang dilarang dan kemungkaran.

Kemuliaan Hari Kelahiran Nabi saw dalam Sunnah Nabi
1. Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya dari Abu Qatadah bahwa Rasulullah saw pernah ditanya tentang puasa pada hari Senin, maka beliau bersabda, “Itulah hari aku dilahirkan, dan pada hari itu pula wahyu diturunkan kepadaku.”[6]
2. Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Ibn Abbas, dia berkata, “Ketika Nabi saw tiba di Madinah, beliau mendapatkan bahwa orang-orang Yahudi sedang berpuasa di hari Asyura. Lalu mereka ditanya tentang hal itu, maka mereka menjawab, “Ia (hari Asyura) adalah hari yang Allah memenangkan Musa dan Bani Israil terhadap Fir’aun, sedangkan kami berpuasa karena mengagungkan hal itu.” Maka, Rasulullah saw bersabda: “Kami lebih utama terhadap Musa”, dan beliau memerintahkan untuk berpuasa pada hari itu (Asyura).[7]
Ibn Hajar al-Asqalani menarik kesimpulan dari hadits tersebut tentang disyariatkannya merayakan momen-momen penting seperti halnya juga Maulid Nabi saw, sebagaimana disebutkan oleh al-Hafidz as-Suyuthi, dll.
3. Dalam konteks yang lain, as-Suyuthi mengatakan, “Dan jelas bagiku periwayatan hadits ini melalui jalur yang lain, yaitu diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Anas, bahwa Nabi saw melakukan akikah terhadap dirinya sendiri setelah kenabian, padahal telah diriwayatkan bahwa kakeknya, Abdul Muthalib, telah melakukan akikah terhadap beliau pada hari ketujuh kelahirannya. Padahal akikah itu tidak diulang sampai dua kali, maka kemungkinannya beliau melakukan hal itu (akikah) sebagai wujud syukur atas diciptakannya beliau oleh Allah SWT sebagai rahmat bagi alam semesta, dan disyariatkannya hal itu bagi umatnya sebagaimana beliau bershalawat untuk dirinya sendiri. Oleh karena itu, dianjurkan juga bagi kita untuk melaksanakan syukur atas kelahiran beliau ini dengan berkumpul, memberikan makanan (kepada kaum fakir dan miskin), dan yang serupa dengan itu dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah dan menampakkan kebahagiaan (atas kelahiran Nabi saw itu).”[8]
Kita juga melihat al-Masih Nabi Isa as ketika dia memohon kepada Tuhannya untuk menurunkan hidangan kepadanya dan para pengikutnya yang setia, beliau berdoa:
Isa putera Maryam berdoa: "Ya Tuhan kami turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rezekilah kami, dan Engkaulah pemberi rezeki Yang Paling Utama".(QS.al-Maidah: 114).
Nabi Isa as telah menjadikan hari turunnya karunia yang bersifat materi yang mengenyangkan perut sebagai hari raya, sedangkan Rasul yang paling mulia (Muhammad saw) adalah karunia yang agung, yang Allah telah memberikan karunia-Nya kepada orang-orang Islam dengan kelahirannya. Maka mengapa kita tidak menjadikannya sebagai hari berbahagia dan kesenangan?

III.     Kesimpulan

Berdasarkan dasar-dasar yang disebutkan pada tulisan ini maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Bahwa bid’ah adalah segala sesuatu yang diada-adakan (ditambah atau dikurangi) dalam hal agama sedangkan ia tidak memiliki dalil baik dari al-Quran maupun as-Sunnah baik dalil yang bersifat umum maupun khusus.
2. Sehingga segala sesuatu perbuatan yang memiliki dasar dalil dari al-Quran dan/atau as-Sunnah tidak dapat digolongkan sebagai sesuatu bid’ah
3. Mencintai Rasulullah SAW adalah hal yang diperintahkan dalam al-Quran dan as-Sunnah
4. Sehingga segala sesuatu yang dilakukan dalam rangka mengekspresikan dan memperkuat kecintaan kepada Rasulullah SAW adalah sesuatu yang baik sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya, dengan catatan dilakukan tanpa melakukan sesuatu yang dilarang oleh dalil-dalil lainnya dalam al-Quran dan as-Sunnah.
5. Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw adalah salah satu bentuk ekspresi kecintaan kepada Nabi Muhammad saw, menyegarkan dan membangkitkan kembali kecintaan kepada beliau SAW, disamping mengagungkan syiar-syiar agama Allah yang dibawa oleh Rasulullah SAW.
6. Sehingga menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW adalah sesuatu amal mulia yang sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya dalam al-Quran dan as-Sunnah. Tentu saja sepanjang peringatan tersebut tidak dilakukan dengan melakukan hal-hal yang melanggar dalil-dalil lainnya dalam al-Quran dan as-Sunnah.
Akhirnya kembali kepada kita semua untuk pendapat yang kita akan yakini. Semoga kita dapat terus mengedepankan sikap saling menghargai antar sesama muslim dan terus memperkuat ikatan persaudaraan kita. Karena sungguh tantangan dan permasalahan yang dihadapi muslimin sungguh besar dan banyak yang membutuhkan perhatian dan energi kita semua. WaLLahu al-Musta’an.

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. [QS. Ali Imran:103]


[1] Yunus: 59; an-Nahl:116; dll
[2] Musnad Ahmad 3/310, 371, 4/126-127; Sunan Ibn Majah VII/45; Shahih Muslim 5/133, 8/62; Shahih Bukhari jilid IX bab “berpegang teguh pada al-Quran dan sunnah”, dll
[3] Antara lain QS. Al-Maidah: 56; dll.
[4] Rujuk hadits-hadits dalam Jami’ul ushul, jilid 1, yang menukilkannya dari shahih Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Kanzul ‘Ummal.
[5] As-Sirah an-Nabawiyah, Ibn Hisyam, 2/5/13.
[6] Shahih Muslim, 2/819
[7] Shahih Muslim, 113, dan Shahih Bukhari, 7/215
[8] Al-Hawi lil Fatawa, as-Suyuthi, 1/196