Tahun ini giliran kami berlebaran di Solo. Biasanya kami berada di sana sampai sekitar seminggu setelah hari lebaran, kadang kurang atau lebih bergantung hari libur kerja (cuti bersama) dan juga ketersediaan tiket untuk pulang. Tapi nggak seperti biasanya, tahun ini saya pulang lebih cepat karena ada acara yg diagendakan 2 hari setelah lebaran. Maka saya terpaksa balik duluan ke Bandung sendirian, karena kalau saya ajak anak & istri saya pasti akan banyak "protes". Lagian saya ingin lebih menyenangkan kedua orang tua saya dengan memberikan "hiburan" kehadiran cucu nya yang jarang ia temui (karena beda kota). Oya, sejauh ini diantara saudara kandung baru saya yg dikaruniai anak, sedangkan kakakku tercinta belum dikaruniai oleh Allah keturunan. Semoga Allah segera memberinya keturunan yang Sholih/Sholihah, segerakan ya Allah, Amien ya Allah ya Rab al-Alamin.
Kembali ke cerita awal, jadi saya balik ke bandung duluan. Sampai di Bandung, saya langsung kontak2 ke orang yang kasih info tentang rencana pertemuan hari itu. Ternyata alangkah keselnya saya ketika tahu bahwa pertemuan tsb batal tanpa alasan yg jelas. Karena sudah terlanjur sampai di bandung, dan karena alasan biaya dan susah untuk cari tiket baliknya lagi (krn masih musim mudik), maka akhirnya saya terpaksa memutuskan untuk menerima kondisi "home alone".
Saya menulis tulisan ini ketika saya dalam kondisi "home alone" tsb. Ini bukan kali pertama saya mengalami kondisi "home alone", tahun yg lalu saya juga mengalami hal yg serupa, malahan waktu itu dalam kondisi bulan puasa, dan beberapa kali sebelumnya. Bukan kali pertama ini saya menyadari betapa beratnya di rumah sendirian. Bukan kali pertama ini saya menyadari betapa beratnya mendapati di rumah tidak ada yang bisa diajak omong, atau hal2 lain yang biasa kami lakukan bersama istri ataupun anak2. Tapi pengalaman beberapa kali menghadapi situasi sendiri seperti itu membuktikan betapa lemahnya saya, betapa tak berdayanya saya, betapa bingungnya saya tanpa mereka, betapa sumpek nya saya sendirian. Kenapa bisa begitu ?
Jawabannya menurut saya adalah disamping karena kebutuhan juga karena betapa CINTA-nya saya dengan istri dan anak2 saya sehingga menimbulkan kerinduan yang amat sangat ketika sekian waktu tidak berjumpa dengannya. Kerinduan seorang pecinta terhadap sang tercinta. Dalam kesendirian ini, saya coba membuat kesimpulan sementara bahwa kerinduan seorang pecinta terhadap sang tercinta karena terpisah dalam kurun waktu tertentu dapat menyebabkan setidaknya beberapa hal sbb :
- Kelemahan : kesepian berpotensi besar menyebabkan kita menjadi lemah, mudah tergoda syaitan, mudah patah semangat, dll.
- Kebingungan : kesendirian sering membuat kita bingung untuk bertindak. Mondar-mandir dalam rumah, masuk keluar kamar, baca buku cepat bosan, nonton tv malas, dan aktifitas-aktifitas lain menjadi tidak ada daya tarik yg cukup sehingga akhirnya kita jadi bingung apa yang mesti kita kerjakan.
- Kegelisahan (hati sumpek) : kesendirian membuat hati gelisah/sumpek dan tidak tenang. Dengan kondisi seperti ini waktu jadi seperti berjalan sangat lambat, sungguh kondisi yg tidak mengenakkan sama sekali.
Setidaknya itu kesimpulan sementara saya waktu saya buat tulisan pendek ini.
Lalu saya berfikir apakah efek yg mirip seperti tersebut di atas juga terjadi ketika kita "berpisah" dengan Sang Pencipta Cinta itu sendiri, Sang Maha Cinta, Sebaik-baiknya Pecinta dan Yang Dicinta, Allah Rabb al-Alamiin ? Aha ! Ternyata jawabnya adalah IYA ! Ketika kita "berpisah" dengan Allah, dalam artian kita tidak mengingat Allah, jauh dari Allah (karena beberapa sebab, misal maksiat), maka kita juga akan merasakan setidaknya ketiga hal yg saya sebutkan di atas : kelemahan, kebingungan dan kegelisahan.
Setidaknya itu kesimpulan sementara saya waktu saya buat tulisan pendek ini.
Kesimpulan2 saya tersebut diatas membuat saya menyadari bahwa saya tidak boleh sering2 atau lama2 berpisah dengan yang kita cintai. Perpisahan itu dapat kita sambung lagi dengan beberapa cara diantaranya adalah dengan :
- Menghadirkan sang tercinta ke hadapan kita : Apabila memungkinkan kita dapat menghadirkan sang tercinta ke hadapan kita, sehingga kita dapat bergaul dengannya untuk saling bertukar cinta dan kasih. Yang saya maksud dengan kata "apabila memungkinkan" disini adalah bahwa harus dilihat situasi dan kondisi dari pecinta dan tercinta juga untuk memutuskan menghadirkan ini. Misalnya ketika sang tercinta itu adalah istri/suami, maka sebisa mungkin untuk selalu kumpul. Tapi kalau sang tercinta itu adalah pihak lain seperti orang tua atau saudara kita tercinta, maka kehadiran menjadi tidak mutlak harus diwujudkan.
- Menjalin komunikasi yang intensif dengan sang tercinta : Selain menghadirkan sang tercinta, komunikasi yang intensif dengan sang tercinta dapat juga mengobati kerinduan kita kepada sang tercinta dan juga menjaga kedekatan hati dengan sang tercinta. Solusi ini dapat diterapkan untuk pihak2 yang tidak memungkinkan untuk selalu dihadirkan bersama2 kita, misalnya orang tua/saudara tercinta ketika kita sudah berkeluarga. Begitu juga dengan sang Maha Pengasih dan Penyayang, kita sangat dianjurkan untuk menjalin komunikasi yang intensif (dengan sholat, doa, dzikir, dll) sehingga kita akan selalu merasa dekat dengan-Nya. Kita akan merasa tentram dengan selalu mengingat-Nya. Seperti yang disabdakan oleh sang kekasih Allah, sebaik-baik makhluq Allah, Rasulullah SAW bahwa dengan mengingat Allah maka hati akan tenang. Dan tak kalah pentingnya melakukan apa yang disukai-Nya dan menjauhi apa yang tidak disukai-Nya adalah hal yang mutlak harus dilakukan untuk dapat melakukan komunikasi yang baik dengan sang Maha Pengasih dan Penyayang.
Membiarkan kondisi kesendirian tanpa melakukan kedua hal tersebut di atas secara cukup, akan berbahaya sekali. Karena akan membuat hubungan cinta kasih tsb menjadi terganggu, menjauhkan yang sebelumnya dekat, dan bisa2 mengikis rasa cinta yang ada sebelumnya. Apakah itu tidak berbahaya untuk hubungan kita denga istri/suami, atau dengan orang tua atau saudara kita ? Terlebih lagi dalam kasus hubungan kita dengan sang Khaliq. Naudzubillah min dzalik.
Setidaknya itu kesimpulan sementara dari renungan saya waktu saya buat tulisan pendek ini.
Saya mencintai Mu wahai Sang Maha Pengasih dan Penyayang, Allah SWT.
Saya mencintai Mu wahai kekasih Allah, Rasulullah SAW.
Saya mencintaimu wahai istri dan anak-anak ku, karena itu Cintailah kami ya Allah, Cintai kami ya Rasulullah.
Saya mencintaimu wahai orang tuaku, karena itu Cintailah orang tua kami ya Allah, Cintai orang tua kami ya Rasulullah.
Cintailah kami semua, ya Allah wa ya Rasulullah.
Jagalah hati kami untuk selalu mencintai-Mu lebih dari cinta kepada selain-Mu
Sampaikan sholawat dan salam dari kami sekeluarga kepada Nabi dan Rasul-Mu Muhammad beserta keluarganya.
Assalamu alaika ayyuha Nabiyu wa aalihi wa rahmatullah wa barokatuh.
Bandung, 29 Oktober 2006, baina dzhuhur wa ashr.
No comments:
Post a Comment