Allah Swt berfirman: Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu.(Luqman: 14)
Dalam firmannya, Allah Swt menyebutkan tentang hak perlakuan bagi kedua orang tua. Namun, dalam memberikan contoh terhadap orang tua yang berhak memiliki penghormatan besar, Allah mewajibkan bersyukur kepada mereka dan disandingkan dengan syukur kepada Allah. Allah Swt hanya membawa contoh tentang jasa seorang ibu yang mengandung dan menyusui anaknya hingga dua tahun. Sehingga kita dapat memahami bahwa penekanan penghormatan kepada kaum ibu jauh lebih besar dibandingkan penghormatan terhadap kaum bapak. Banyak riwayat yang menceritakan tentang kedudukan ibu yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kedudukan seorang ayah.
Pernah seseorang datang kepada Rasulullah Saw dan bertanya tentang siapa yang harus dimuliakan setelah Allah dan rasul-Nya. Rasul Saw bersabda, “Ibumu!” Kembali orang itu bertanya, “Setelah itu siapa, ya Rasulullah?” . Rasul menjawab, “Ibumu!” Sampai tiga kali Rasul tetap menjawab, “Ibumu.”. Setelah keempat kalinya, barulah Rasulullah Saw menjawab, “Ayahmu!”
Dalam riwayat lain, seseorang datang kepada Rasul Saw untuk ikut berjihad bersama Rasulullah Saw. Rasul bertanya, “Adakah ibumu masih hidup?” Orang itu menjawab, “masih.” Rasul Saw pun bersabda, “Pulanglah dan berbaktilah kepada ibumu.” Rasul Saw juga bersabda, “Bahwa surga ada di bawah telapak kaki para ibu.”
Alangkah tingginya Islam dalam memposisikan kaum ibu, sehingga (dalam kondisi tertentu) Rasul Saw menggantikan kewajiban berjihad dengan berbakti kepada seorang ibu. Bangsa Arab sebelum Islam amat merendahkan posisi kaum ibu. Dalam pernikahan, mereka hanya dijadikan alat kaum bapak untuk menjaga dan melanjutkan keturunan. Dan, setelah sang anak lahir, otomatis hilanglah hak-hak ibu atas diri anaknya itu.
Lebih buruk lagi, para ibu adakalanya dijadikan barang warisan seorang ayah bagi anak-anaknya. Sedemikian buruknya posisi kaum wanita, sehingga sering terjadi pembunuhan terhadap bayi wanita pada awal kelahirannya. Sayang, dewasa ini, sebagian pihak yang melakukan pembelaan terhadap kaum wanita yang dimanfaatkan kaum lelaki justru menuding Islam sebagai agama yang merendahkan derajat kaum wanita. Mereka menuduh Islam telah memposisikan kaum wanita sebagai makhluk kedua (secondary creation) setelah kaum pria.
Tidak! Tuduhan mereka sama sekali tidak berdasar. Apabila Islam menganjurkan kaum wanita untuk tinggal di rumah bukan lantaran Islam hendak membatasi kaum wanita. Tetapi Islam melihat persoalan tersebut dari sudut pandang universal. Bahwa wanita dan pria pada dasarnya sama dan setara sebagai bagian dari suatu kesatuan masyarakat. Islam melihat bahwa tugas kaum wanita, juga kaum pria, diarahkan semata-mata untuk mendukung kesempurnaan suatu masyarakat. Wanita dan pria harus berjalan bersama mengisi kekosongan masing-masing demi mewujudkan sebuah konstruk masyarakat yang sempurna.
Keharusan kaum ibu tinggal di rumah dimaksudkan untuk memenuhi hasrat setiap anak yang terlahir dalam rumah tersebut. Tugas kaum ibu adalah menjadikan rumah sebagai surga bagi orang-orang yang tinggal di dalamnya. Sehingga setiap anak yang lahir dalam rumah tersebut akan tumbuh menjadi manusia yang memiliki talenta dan sangat cenderung terhadap kesempurnaan.
Allah Swt berfirman:
Siapa yang membunuh seseorang dengan selain (bayaran) jiwa (atas orang lain) atau karena selain membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa memberikan (pemeliharaan) hidup seorang manusia, maka seolah-olah ia telah memberikan (pemeliharaab) hidup manusia seluruhnya.(al-Mâ’idah: 32)
Memberikan (pemeliharaan) hidup kepada seseorang, menurut Imam Ja’far al-Shadiq, adalah menghantarkan seluruh kehidupan seseorang menuju kesempurnaan eksistensinya. Karenanya, menurut al-Quran, itu sama belaka dengan menghantarkan seluruh kehidupan umat manusia kepada kesempurnaan. Lewat perhatian dan kasih sayang seorang ibu, serta pendidikan yang benar, niscaya akan terlahir dan tercipta para pemimpin umat yang ideal.
Islam memiliki alasan yang apik dan paripurna perihal setiap aturan yang diturunkannya. Dan manusia yang terpedaya hawa nafsunya akan berputus asa dalam menemukan kelemahan atas segenap alasan yang tercantum di dalamnya. Jadinya, mereka pun meracau dan dengan brutal menuduh Islam begini dan begitu, berdasarkan prasangka-prasangka buruk yang tidak masuk akal. Wallâhua’lam bi al- shawab.[]