Friday, June 15, 2007

Ketika amar makruf dan nahi mungkar tak mengubah keadaan

Kita sering mendapati bahwa nasehat yang kita berikan kepada seseorang seperti tidak berbekas. Lalu bagaimana sikap kita sebaiknya?[1]

Pertama, ketika ada orang lain, yang bila ia melakukan amar makruf dan nahi mungkar dalam sebuah kasus yang sama ada pengaruhnya, maka minta tolong kepadanya untuk melakukan itu. Ketika Allah memerintahkan Nabi Musa as untuk memberi petunjuk kepada Firaun, ia meminta kepada Allah agar Harun as diperkenankan bersamanya. Nabi Harun memiliki kemampuan untuk menjelaskan dengan lebih baik. Allah swt berfirman:

“Dan saudaraku Harun dia lebih fasih lidahnya daripadaku, maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan) ku” (QS. Qashas: 34).

Kedua, terkadang melakukan kewajiban amar makruf dan nahi mungkar tidak cukup sekali. Itu harus dilakukan berkali-kali dengan cara yang berbeda-beda. Sebuah kayu yang hendak dibelah dengan kampak tidak cukup dengan sekali mengayunkannya, tapi perlu berkali-kali. Al-Quran menyebutkan:

“Kami telah menjelaskan masalah ini dalam bentuk yang berbeda-beda sehingga mungkin memiliki dampak yang positif” (QS. Isra’: 41).

Ketiga, sangat mungkin bahwa cara yang kita lakukan tidak benar, sehingga tidak ada bekasnya. Karena amar makruf dan nahi mungkar memiliki prinsip-prinsip dan syarat-syarat tersendiri. Menghadapi sebuah kemungkaran harus cengan cara yang tepat pula.

Suatu waktu ada debu tanah yang menempel di pakaian kita, pada waktu lain ada debu arang yang menempel. Untuk menghilangkan debu tanah cukup dengan mengibaskan tangan ke arahnya, debu tersebut dapat lenyap. Namun, bila hal itu dilakukan terhadap debu arang, selain semakin menempel, tangan kita juga menjadi hitam karenanya. Debu arang dihilangkan dengan meniupnya sementara debu tanah dilenyapkan dengan mengibaskan tangan. Dengan demikian, setiap kemungkaran punya cara tersendiri untuk melenyapkannya. Al-quran menyebutkan:

“Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya”, (QS. Baqarah: 189)

Allah memerintahkan bahwa setiap rumah memiliki pintunya sendiri-sendiri.

Keempat, Untuk mencegah orang lain dari perbuatan mungkar, harus dengan jalan yang halal. Nabi Luth as ketika masyarakat hendak mengganggu tamunya ia berkata: “Aku bersedia untuk memberikan anak perempuanku untuk kalian kawini dan jangan ganggu tamuku. Saya menunjukkan kepada kalian cara yang halal sehingga kalian tidak terjebak dalam perbuatan haram. Allah swt berfirman:

“Hai kaumku, inilah putri- putriku mereka lebih suci bagimu, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama) ku terhadap tamuku ini” (QS. Hud: 79)

[undzurilaina]



[1] Disadur dari buku “Anda bertanya, Anda menjawab”, karya: Prof. Muhsin Qiraati

2 comments:

  1. betul bung betul

    ReplyDelete
  2. makasih bang. Semoga kita pelan2 bisa ikut berkontribusi. Karena kata Allah sungguh merugi jika kita tidak saling nasehat-menasehati dalam kebaikan dan kesabaran.

    Terima kasih, bang.

    ReplyDelete